Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 1 Tahun 1997 >  YESUS SEBAGAI PENDIDIK > 
III. LEBIH DARI GURU BIASA 

Setelah melihat contoh-contoh bagaimana orang membangun pemikiran dan pemahamannya tentang pekerjaan berdasarkan keteladanan Yesus, menurut penulis kita juga harus mendalami Injil untuk mengerti pribadi dan kehidupan Yesus sebagai Pendidik maupun Pengajar.

Penulis ingin menyajikan suatu gagasan secara garis besar untuk dapat dikembangkan pembaca secara lebih jauh.

Sapaan terhadap Yesus sebagai Rabbi (Aram) artinya "mengajar" (Yun.: didaskalos). Dalam Injil Lukas, Yesus malah disapa sebagai epistata, sebutan resmi bagi seorang pejabat, pengawas dan penguasa serta pemelihara. Hal ini terlihat dalam konteks Yesus dimuliakan si atas gunung (Luk 9:33); dalam konteks kecemasan para murid (Luk 9:49); dalam konteks setelah angin ribut diredakan (Luk 8:24); dalam konteks pemanggilan beberapa penjala ikan (Luk 5:5); dan dalam konteks seorang kusta meminta kesembuhan (Luk 17:13). Tampaknya Lukas ingin menunjukkan bahwa Yesus adalah pribadi guru berotoritas, bukan hanya sebagai pengajar biasa layaknya orang Farisi dan ahli Taurat pada zaman-Nya. Memang, di samping sapaan sebagai epistata tadi, Yesus juga dipanggil sebagai didaskale sebagaimana terdapat juga dalam tulisan Lukas lainnya (7:40; 9:38; 10:25; 11:45; 12:13; 18:18; 19:39; 20:21,28,39; 21:27).

Injil Matius menggunakan sapaan kyrie yang berarti "Tuhan," terhadap Yesus sebagai guru (8:25; 17:15). Menurut Matius, murid-murid memandang Yesus bukan saja sebagai guru biasa namun juga sebagai Tuhan yang berkuasa. Matius memang tidak mengabaikan sapaan Yesus sebagai Rabbi seperti oleh Yudas Iskariot (Mat 26:25,49) dan sebagai didaskale oleh orang banyak (Mat 19:16; 22:16,24,36). Yang menarik lagi ialah bahwa Matius mencatat otoritas Yesus atas diri-Nya sebagai Rabbi. Mereka tidak diperbolehkan oleh Yesus untuk dipengaruhi oleh para rabbi lain (Mat 23:8-10). Matius hendak menegaskan bahwa hanya Yesus saja Rabbi yang berotoritas dan di luar Dia tidak ada. Sesama murid adalah saudara.

Dalam Injil Markus, Yesus juga disebut sebagai Rabbi oleh para murid. Misalnya oleh Petrus dalam konteks peristiwa di atas gunung (Mrk 9:5); juga oleh murid ketika mereka melihat bagaimana pohon ara yang dikutuki Yesus menjadi layu (Mrk 11:21); serta oleh Yudas di taman Getsemani (Mrk 14:45). Orang buta yang meminta kesembuhan, menurut Markus malah menyapa Yesus sebagai rabbouni (Aram) (Mrk 10:51). Sapaan sebagai didaskale selain digunakan oleh para murid (4:38; 9:38; 10:35; 13:1), juga diungkapkan oleh orang-orang luar (9:17; 10:17,20; 12:14,19,32).

Dalam Injil Yohanes, Yesus disapa oleh para murid sebagai didaskale (Yoh 1:38; 20:16); sebagai rabbi (Yoh 1:38, 49; 4:31; 9:2; 11:8). Orang luar rnenyapa Yesus sebagai rabbi pula (3:2; 6:25). Satu sebutan rabbouni dari wanita yakni

Maria Magdalena (Yoh 20:16).

Bahwa Yesus adalah Pendidik dan Pengajar berotoritas tampak pula dalam kalimat hikmat dan kuasa-Nya. Hal tersebut dinyatakan melalui berbagai kesempatan. Dia menyatakan melalui pengajaranNya yang berkuasa dan menantang serta berwibawa (Mat 11:16-19,25f, 12:42; 23:37-39; 11:28-30). PengajaranNya lain dari ajaran para rabbi Yahudi sezamanNya, karena Yesus mengungkapkan pesan-pesan bermakna eskatologis di sekitar tema kedatangan Anak Manusia di dalam kemuliaan-Nya (Mat 7:26-29; 24:35; Mrk 8:38).

Kitab Injil juga mengetengahkan bahwa konteks pengajaran Yesus bervariasi. Seringkali Ia mengajar di sinagoge ketika ibadah pada hari Sabat (bdk. Luk 4:16-17). Dalam peristiwa semacam itu Dia mendapat tugas apakah membaca dan menguraikan isi Kitab Suci. Kalau Kitab Suci yang Dia baca berbahasa Ibrani, maka Ia berkhotbah menerjemahkan dan menguraikan isi kitab dalam bahasa Aram. Kadang-kadang Ia juga bertindak sebagai imam. Ketika berdebat dengan tokoh-tokoh agama Yahudi, Yesus memberikan jawaban dan pengertian-pengertian baru dalam bahasa Aram, Ibrani bahkan Yunani. Lihat saja misalnya penjelasan Yoh 12:20-36 ketika orang-orang Yunani ingin bertemu dengan Dia.

Yesus pun mengajar ketika memberitakan Injil terhadap orang banyak dengan tekanan pada tema kasih dan Kerajaan Allah (Mat 4:13; 9:1; Mrk 1:29; 2:1f). Jadi, pemberitaan Injil dapat dilakukan dengan pendekatan mengajar! Dalam konteks pemuridan atau tepatnya melatih dan membentuk murid-murid, Yesus banyak sekali mengajar (Mrk 1:16-20; Luk 9:52-62). Dia menegur mereka bila keliru; Dia meluruskan pikiran mereka yang bengkok dan menegaskan apa yang telah mereka mengerti. Akhirnya kita lihat pula dalam Injil bahwa Yesus mengajar murid-murid secara khusus, di mana mereka mendengar, melihat dan mencontoh Dia. Dalam proses pemuridan, loyalitas terhadap Dia sangat ditekankan (Mrk 3:13-19; 23:9-10).

Sebagai Guru, Yesus menetapkan aturan etis di antara para murid. Ada etika relasi ditekankan. Sesama murid harus belajar menerima sebagai saudara di antara satu sama lain. Tidak ada yang memandang diri lebih besar (Mat 18:13; 20:20-28; Mrk 10:35-45). Tidak heran bila gagasan ini mengilhami Paulus di kemudian hari yang mendesak jemaat Kolose agar berakar dalam Firman Tuhan sehingga dapat saling membangun dan mengajar (Kol 3:15,16). Dalam konteks pendidikan dan pengajaran-Nya, Yesus melakukan tugas pengutusan. Para murid yang mendapat contoh, pengajaran, kuasa dan hikmat dari Dia diutus untuk mendemonstrasikan di tengah-tengah bangsa Israel sendiri. Hal ini merupakan persiapan mereka kelak apabila secara penuh memberitakan Injil Kerajaan Allah (Mat 10; Mrk 6:6-11; Luk 9:1-5; 10:1-12). Jadi, Yesus benar-benar sebagai Guru yang menekankan praktik, bukan hanya pada teori atau pengajaran.

Isi ajaran Yesus sebagaimana dikemukakan oleh kitab Injil sangat kaya. Artinya, dalam Kitab Injil kita melihat bahwa Yesus mengajar murid dan para pendengar-Nya untuk mengenal, mengerti, memahami bahkan mengalami relasi yang indah dengan Allah yang dapat disapa sebagai "Abba" atau "Bapa." Ajaran Yesus mengenai Allah sebagai Bapa, sebagai Pencipta dan sebagai Raja yang penuh kasih namun tegas dan konsisten, amat mengesankan murid-muridNya. Yesus memperjelas arti, dimensi dan dinamika Kerajaan Allah atau Kerajaan Sorga pula kepada murid-murid dan audiens-Nya. Melalui pengajaran langsung, melalui perumpamaan, bahkan melalui perbuatan kasih dan kuasa, Yesus menyatakan berbagai tanda kedatangan Kerajaan Allah itu. Tak kalah pentingnya ialah bahwa dalam ajaran Yesus, Dia memperkenalkan siapa diriNya; terkadang dengan sebutan Anak, Anak Manusia dan Utusan Bapa. Misalnya dalam Injil Yohanes, berulangkali Yesus menegaskan, "Aku adalah...." (Yun.: ego eimi). Di samping itu, Dia nyatakan diri-Nya melalui perbuatan kasih dan keajaiban. Misalnya, air berubah menjadi anggur, seorang lumpuh di tepi kolam Betesta dapat berjalan dan seorang buta dapat melihat serta seorang yang mati dan terbaring di kubur selama empat hari dapat bangkit kembali.

Yesus sangat menekankan kehadiran Roh Kudus dalam kehidupan manusia. Dia mengajarkan siapa dan apa perbuatan Roh Kudus bagi murid-muridNya secara khusus (Yoh 14:25-26; 16:11-13). Dia juga menyatakan bahwa hujat terhadap Roh Kudus merupakan dosa yang tidak terampuni karena dengan begitu orang tidak sadar lagi terhadap dosanya dan mengenai perlunya ia menyambut anugerah Allah (Mat 12:28). Dia juga mendesak agar murid-muridNya berdoa untuk kedatangan Roh Kudus.

Yesus juga mengajarkan banyak perkara mengenai manusia, keadaan, asal mula dan tujuan akhir dari kehidupan. Manusia diajak, untuk mengenal kekuatan dan kelemahannya yang penuh dengan dosa dan kejahatan (Mrk 7:15-23). Manusia harus menerima kasih Allah agar dirinya bermakna dan berharga. Manusia harus mengutamakan Yesus, Anak Allah itu dalam hidupnya, serta menjadikan Dia di depan setiap langkahnya, agar hidupnya menjadi terarah dan berarti. Manusia tidak saja dipanggil mengasihi Allah tetapi juga mengasihi sesamanya sebagai diri sendiri (Mat 22:37-39). Berita Injil itu harus disampaikan juga kepada sesamanya, agar mereka juga diselamatkan (Mat 28:18-20).

Ajaran Yesus tidak saja menyangkut soal dogma atau doktrin. Dia juga memberikan pengajaran berkaitan dengan ibadah, seperti doa, memberi sedekah dan berpuasa. Dia tidak menginginkan orang percaya beribadah secara lahiriah namun batin mereka penuh kecemasan dan kekuatiran (Mat 6:1-34). Dia mengajar audiens-Nya, agar tidak membatasi ibadah kepada hal-hal ritual melainkan juga pada perbuatan kasih secara nyata. Di samping itu, Yesus pun mengajarkan bahwa orang harus mempersembahkan dirinya dengan kasih kepada Tuhan sebagai bagian dari ibadahnya. Dengan cara yang sama, Yesus mendidik murid-murid-Nya sebagaimana menggunakan harta, kekayaan, uang dan waktu secara kreatif bagi Tuhan dan bagi sesama. Dia tidak mengajarkan agar orang diperbudak uang, melainkan memahami nilai uang dari sudut nilai Kerajaan Allah yang kekal (Luk 16:9-12). Uang harus digunakan untuk menyatakan tanggung jawab terhadap negara juga terhadap Tuhan (Mrk 12:13-17). Herbert Lockyer dalam All The Teachings of Jesus sangat komprehensif membicarakan apa Baja yang menjadi isi atau bahan pengajaran Yesus Sang Guru Agung itu.

Metode mengajar Yesus yang berkesan dari Kitab Injil, sebagaimana dikemukakan oleh Donald Guthrie, dalam A Shorter Life of Christ, amat kreatif, bervariasi dan penuh hikmat serta kuasa. Guthrie menyimak bahwa dalam mengajar beberapa karakter penting dari Yesus sangat nyata dan penting sebagai pemikiran bagi kita yakni: (a) Penyesuaian diri-Nya yang tinggi terhadap audiens; (b) Pemakaian retorika dalam pengajaran-Nya; (c) Pemakaian logika dalam dialog atau tanya jawab; (d) Pengulangan gagasan untuk menekankan kebenaran; (e) Yesus tak lupa menggunakan berbagai ilustrasi; (f) Yesus senantiasa tak ketinggalan dengan humor: (g) Yesus pun memakai puisi; (h) PemakaianNya yang amat sering terhadap nats atau gagasan Perjanjian Lama dalam khotbah dan diskusi; (i) Warna dan bentuk-bentuk perumpamaan-Nya.

Yesus sebagai Pendidik melebihi tri tugas pendidikan yang kita kenal di Indonesia. Pendidikan di Indonesia mengenal tugas guru yang harus berada di depan, di tengah-tengah atau di antara serta di belakang murid-murid-Nya. Membaca keempat Injil, Kita akan kagum menyimak bahwa Yesus lebih daripada itu. Mengapa demikian? Pertama, Yesus memang berada di depan murid-murid-Nya untuk menjadi teladan. Dia memimpin mereka dalam berbagai perjalanan. Dia menghadapi tokoh-tokoh agama Yahudi di depan murid-murid-Nya. Kedua, Yesus memang berada di tengah-tengah para murid karena membina mereka melalui persahabatan dan persekutuan yang indah dan hangat. Yesus tinggal bersama-sama dengan murid-murid-Nya dari kelompok duabelas secara khusus. Para rasul pada kemudian hari tak melihat satu kesalahan atau kejahatan pun ada pada diri Yesus Kristus (bdk. 1 Pet. 2:24;3:18). Ketiga, Yesus berada di belakang mereka, memberikan arahan, dorongan, koreksi bahkan pengawasan. Ketika para murid menaiki perahu di danau Galilea, dari kejauhan Yesus mendoakan mereka. Ia tahu kalau mereka berada dalam bahaya karena diterpa oleh angin ribut. Seketika Baja Yesus datang memberikan pertolongan. Akhirnya, Yesus berada di dalam mereka melalui kehadiran Roh Kudus. Hal ini semakin nyata setelah masa kebangkitan dan kedatangan Roh Kudus (hari Pentakosta). Karena itu, Yesus menegaskan bahwa hubungan-Nya dengan murid ialah seperti pokok anggur dengan rantingnya. Yesus ingin berdiam di hati murid-murid dan sebaliknya para murid juga harus tinggal di dalam Dia, dalam kasih dan firman-Nya sehingga hidup mereka berbuah banyak, guna mempermuliakan Allah Bapa (Yoh 15:4-16). Paulus memahami tugas ini sehingga ia menyatakan kepada jemaat di Kolose bahwa Kristus Yesus ada di tengah-tengah mereka (Kol 1:27). Paulus sendiri merasakan kuasa Yesus dalam dirinya dalam segala keadaan (Kol 1:28,29; Gal. 2:19-20).

Dapat disimpulkan bahwa pribadi dan kehidupan serta pengajaran Yesus Sang Guru Agung amat mengesankan. Penulis malah menjadikan gagasan ini sebagai dasar filsafat pelayanan khususnya filsafat pendidikan. Tema kajian Yesus Sang Guru, telah lama menjadi pokok yang tidak henti-hentinya penulis dalami.

Penulis mengimbau para pembaca yang budiman untuk merenungkan kehidupan Yesus Sang Guru sebagai sumber inspirasi bagi tugas dan pekerjaannya. Dialah sosok ideal yang harus kita tiru. Bukan hanya menjadi teladan kita, tetapi Dia juga adalah Pribadi yang sempurna yang mampu menanamkan benih kesempurnaan itu dalam diri kita, agar kita hidup sempurna sebagaimana kehendak Allah (Mat 5:48). Di dalam Dia dan oleh Dia kita menemukan keutuhan hidup. Di dalam dan melalui Dia pula kita mengerti dan memahami makna sesungguhnya menjadi manusia. Bahwa kita mampu mengerti hal demikian oleh karena Yesus Kristus, menyatakan bahwa Dia memang Pendidik dan Pengajar ulung.



TIP #11: Klik ikon untuk membuka halaman ramah cetak. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA