Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 1 Tahun 1997 > 
PROBLEM KEMATIAN SEBAGAI TANTANGAN PENGINJILAN DALAM MASYARAKAT MODERN 
Penulis: Rolf Hille

Dulu pernah sebuah jemaat di Prusia mengeluh kepada Raja Frederick Agung, karena sang pendeta dalam khotbah Paskahnya menyangkal kebangkitan Yesus. Jemaat bereaksi keras dan mengusulkan kepada raja supaya pendetanya dipecat dari kependetaannya. Raja yang menganut filsafat Pencerahan menjawab ringan, "Jika bapak pendeta tidak ingin bangkit pada hari kiamat, biarlah dia tetap mati." Sebagaimana, kebangkitan tidak terlalu penting bagi Raja Frederick, demikian juga kebangkitan tidak lagi penting bagi manusia modern. Dewasa ini pertemuan-pertemuan gerejawi jarang membahas topik kebangkitan. Filsafat Zaman Baru, pluralisme, teologia proses dan sebagainya termasuk teologi Injili berkutat dengan permasalahan modern. Berhadapan dengan segala permasalahan modern ini, apakah topik kebangkitan, sekalipun telah diwartakan gereja sebagai kebenaran kekal selama dua ribu tahun, masih relevan untuk masa kini.

Menjawab relevansi kebangkitan dengan problem hidup manusia, harus diakui bahwa seluruh teologia Kristen berdasar pada keyakinan bahwa Yesus orang Nazaret telah bangkit. Oleh karena itu, seraya memperhatikan tantangan terhadap iman Kristen melalui cara-cara pandang dunia (world-view) sebagaimana ada dalam agama-agama, filsafat-filsafat dan teristimewa ideologi-ideologi baru, pertanyaannya tetap sama yaitu adakah relevansi berita kebangkitan dengan semua pergumulan manusia. Untuk memperoleh jawaban yang mendasar, perlu diselidiki korelasi antara pertanyaan filosofis dan jawaban teologis sebagaimana pernah dilakukan Paul Tillich. Dalam apologetika korelatif seperti itu, kita harus mempertimbangkan bahwa wahyu dalam Alkitab jauh melampaui wawasan-wawasan ideologis serta isu-isunya. Jika kita mau memperoleh dari Firman Allah jawaban lama namun segar untuk problem modern, kita harus membiarkan Allah menentukan cara kita membahas kebenaran.

 I. ANALISIS MODERN TERHADAP EKSISTENSI SEBAGAI SUATU TITIK MULA

Problem manusia modern ternyata bersumber pada kematian. Kematian memicu semua kegiatan berpikir, termasuk ilmu pengetahuan, dari manusia. Sejarah filsafat dan agama memperlihatkan bahwa semua cara pandang dunia berakar, langsung ataupun tidak, pada problem kematian. Martin Heidegger dalam Ada dan Waktu (1929) mendasarkan analisis eksistensinya pada situasi ontologis dari "eksistensi menuju kematian." Manusia menemukan dirinya sebagai telah "terlempar" ke dalam eksistensi. Dia mengalami dirinya sebagai makhluk yang nasibnya telah ditentukan sejak awal kehidupannya. Dia juga menganggap kematian sebagai akhir dari semua eksistensi. Karena itu, kehidupan di dunia bersifat maya, selalu dilingkupi dan terancam oleh kematian yang tak terelakkan. Seperti ada di kamar maut dengan kursi listriknya yang menanti, tidak ada jalan keluar.

Karena seluruh hidup dibayang-bayangi kefanaan, muncullah krisis makna yang hebat. Begitu manusia menyadari bahwa masa-masa kejayaannya akan diikuti dengan kesuraman di mana kematian merupakan puncak kesuraman yang tak terelakkan, maka saat yang paling bahagiapun dibayangi dengan ketakutan. Cemas akan kematian dan kehilangan kebahagiaan mewarnai hidup. Atlet dunia mengetahui bahwa ia akan kehilangan kekuatan masa mudanya, meninggalkan gelar juara untuk orang lain. Wanita takut kehilangan kecantikan dan daya tarik. Ilmuwan harus menerima kenyataan pahit bahwa kemampuan mentalnya makin merosot seiring bertambahnya usia dan hasil penelitiannya akan dilampui orang lain. Filsafat eksistensi memang benar dalam analisisnya" mengenai eksistensi. Setiap cara pandang dunia menurut caranya sendiri-sendiri pada dasarnya bergumul dengan kematian dan mencari jalan untuk keluar dari kamar maut itu. Berikut kita akan membahas secara singkat beberapa pendekatan penting atas kematian.

 II. PENDEKATAN-PENDEKATAN IDEOLOGIS YANG PENTING DALAM MENGHADAPI KEMATIAN

A. Agnostisme: Tiada penjelasan

Agnostisme yakin bahwa pertanyaan tentang kemungkinan eksistensi setelah mati tidak terjawab. Penjelasan agama dan filsafat dipandang spekulatif serta saling kontradiksi. Epicurus berkata, "Kejelekan yang paling menakutkan, yaitu kematian, bukan urusan kita. Karena selama kita masih hidup, kematian tidak di sini; dan ketika dia di sini, kita sudah tidak hidup lagi." Kalau pandangan agnostik ini diterima, orang akan jatuh pada materialisme.

B. Materialisme: Tiada hidup sesudah mati

Materialisme mendefinisikan kesadaran secara sempit sebagai melulu gejala neurologis dari makhluk hidup. Hidup tak terpisahkan dari materi. Maka ketika fisik manusia semakin merosot dan sampai kepada batas akhir yang final, terlihatlah bahwa manusia dalam waktu yang terbatas. Akhirnya, yang tertinggal cuma genus manusia, bukan species individu. Penjelasan metafisik tentang manusia adalah semu, karena pada akhirnya "manusia adalah apa yang dimakannya" (Feuerbach).

C. Animisme: Perluasan hidup di dunia

Animisme berusaha memampukan orang mati untuk meneruskan hidupnya melalui upacara agama untuk orang mati. Dengan cara ini orang mati tetap bersatu dengan yang masih hidup. Eksistensi orang mati dan orang hidup saling bergantung.

D. Spiritisme: Kembali seperti ketika hidup di dunia

Spiritisme dengan cara-cara gaibnya memanggil arwah orang mati. Arwah ini berbentuk fisik seperti ketika ia masih hidup di dunia. Dalam kondisi sementara ini, ia diharapkan memberikan pengetahuan tambahan. Sebagai contoh, ada dokter di Amerika Latin sebelum melakukan operasi yang sulit, berkonsultasi dulu dengan arwah dari rekan dokter yang terkenal untuk memohon petunjuk.

E. Idealisme: Kesempurnaan Roh

Idealisme memandang roh sebagai esensi hidup manusia. Dalam kematian roh bebas dari penjara tubuh. Kini roh murni menjadi bebas dalam kekekalan. Fichte berkata, "Saya akan melayang-layang di atas kehancuran tubuh saya dan menonton kematian."

F. Panteisme: Kembali hidup

Dalam panteisme hidup di dunia bisa kembali lagi melalui reinkarnasi berulang-ulang sesuai dengan Karma. Proses ini bergerak dari hidup dengan suka dukanya untuk berakhir kepada keadaan nirwana, di mana tidak ada lagi apa-apa. Yang ada hanyalah ada ilahi yang universal. Ada sebuah puisi perpisahan dari seorang penganut Zen Budhisme, "Ke depan; ke belakang; musim gugur daun-daun berjatuhan."

 III. RELEVANSI KEBANGKITAN YESUS KRISTUS DALAM HUBUNGAN DENGAN KRISIS MAKNA

Iman kita jelas diperhadapkan dengan tantangan-tantangan dalam kebudayaan, agama dan cara pandang dunia. Untuk itu, sebagaimana didefinisikan oleh Rasul Petrus, kita harus siap sedia pada segala waktu untuk memberi pertanggungjawaban kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungjawaban dari kita tentang pengharapan yang ada pada kita (1Pet 3:15).

A. Lebih dulu perlu diperlihatkan dasar antropologis dari krisis makna ditinjau dari sejarah keselamatan dalam Alkitab

Hanya dia yang tahu apa itu hidup, mampu mengatakan apa itu mati. Allah di dalam kehidupan Yesus telah menyatakan tujuan tertinggi dari hidup manusia. Allah menciptakan manusia dalam kondisi fisik, supaya menikmati persekutuan dengan Allah dan sesamanya. Maka hidup berarti bersekutu dengan Allah dan mati berpisah selamanya dari Allah. Manusia keliru berusaha untuk bebas dari Allah, karena hal itu menghancurkan dirinya sendiri (Kej 3). Kemudian, manusia dengan usaha sendiri tidak mampu meniadakan kematian, sebagaimana ia juga tidak mampu meniadakan dosa sebagai penyebabnya (Rom 3:28). Sebenarnya keadaan hidup manusia adalah "ada menuju kematian." Ketika manusia berdosa dan tidak mampu bersekutu dengan Allah, Sang Pencipta melalui Yesus Kristus turun kepada manusia bahkan turun sampai mati (Flp 2). Dengan cara ini kematian menjadi titik temu antara Allah dan orang berdosa. Kalau manusia bertemu maut, ia mati, tapi kalau Allah bertemu maut, maut itu sendiri yang mati. Dalam ketidakberdayaan salib, Kristus telah menghancurkan kedigdayaan dosa dan karenanya juga mengatasi kuasa maut (1Kor 15).

B. Kuasa dan relevansi berita kebangkitan berdasarkan pada fakta historis dari peristiwa kebangkitan itu sendiri

Jikalau kita memeriksa topik kebangkitan secara jujur dan serius, kita akan sampai pada kesimpulan-kesimpulan historis sebagai berikut.

1. Para saksi kebangkitan dapat dipercaya, sebab berita pertama-tama mengenai kubur yang kosong justru menimbulkan ketakutan di kalangan murid. Keadaan emosi demikian jelas memperlihatkan bahwa mereka tadinya tidak berpikir Yesus akan bangkit. Namun setelah mereka yakin Yesus telah bangkit, para saksi mata kebangkitan itu, wanita di kubur dan murid-murid, kemudian menderita karena kesaksian mereka atas kebangkitan dan beberapa bahkan mati syahid karena berita ini.

2. Di antara peristiwa kebangkitan dan saksi mata secara tertulis (1Kor 15:1-8) hanya berselang beberapa tahun. Para saksi yang disebutkan Paulus adalah mereka yang hidup sezaman dengan pembaca surat Paulus itu. Maka sebagian besar mereka, kalau mau, bisa di wawancara sebagai saksi saksi mata.

3. Orang di mana-mana menyaksikan berbagai penampakan Kristus. Bahkan orang Yahudi musuh orang Kristen tidak menyangkal fakta kubur yang kosong. Mereka hanya mengartikan fakta itu secara berbeda, yakni mayat Yesus dicuri.

4. Penulis-penulis Perjanjian Baru jelas tahu membedakan antara mitos dan laporan fakta historis (bdk. 2 Pet 1:16). Sumber-sumber PB adalah laporan yang benar dan terpercaya mengenai peristiwa kebangkitan.

Dengan semua bukti di atas, dapat dikatakan bahwa secara historis kebangkitan merupakan salah satu peristiwa lampau yang paling baik pembuktiannya. Akan tetapi, fakta sejarah ini tidak bisa diterima oleh pendengar tanpa konsekuensi pribadi. Karena itu, selain soal peristiwa historis, orang juga diperhadapkan dengan tantangan secara pribadi untuk menerima atau menolak klaim Ketuhanan Yesus.

C. Signifikansi dari historisitas kebangkitan khususnya ditekankan sekarang dalam debat dengan higher criticism dari abad ke-19 dan ke-20

Ludwig Feuerbach dalam hipotesis proyeksinya menuduh bahwa berita kebangkitan dan janji langit baru dan bumi baru hanyalah buah angan-angan manusia. Sigmund Freud mengikuti Feuerbach dengan psikologinya yang mengkritik agama dan menganggap iman Kristen sebagai ilusi saja. Namun demikian, kritik-kritik ini sebenarnya kurang mempertimbangkan dua hal. Pertama, sesuatu yang diangan-angankan, tidak ada kaitannya dengan ada tidak adanya sesuatu. Kedua, hipotesis proyeksi dari Ludwig Feuerbach dan semua kritik sejenisnya, berangkat dari aspek psikologis dari berita kebangkitan ketimbang dari klaimnya sebagai realitas sejarah. Bertentangan dengan semua usaha neo liberalisme, hubungan integral antara fakta historis kebangkitan dan penerimaannya secara pribadi tidak bisa diabaikan. Di satu pihak, iman tanpa tindakan keselamatan yang historis tidaklah berdasar; di lain pihak, melulu pengakuan rasional atas tindakan Allah yang historis, namun tanpa mengimaninya secara pribadi, juga gagal mencapai keselamatan. Bila teologia modern coba-coba mendemitologisasi pesan Alkitab sekalipun tetap mempertahankan relevansi iman, ia gagal. Karena iman tanpa dasar historis tidak cukup dan hanya akan menjadi sasaran kritik psikologi agama dari Feuerbach dan pengikutnya.

Ketika teologia Injili menekankan dasar sejarah dari iman Kristen, dalam konteks kita yakni fakta historis dari kebangkitan, teologia itu mampu melampaui masanya sendiri. Hanya melalui fakta kebangkitan, orang beriman mampu mengatasi kritik dari psikologi agama.

 IV. KONSEP-KONSEP TEOLOGIS PENTING YANG BERSUMBER PADA FAKTA KEBANGKITAN

Beberapa konsep teologis yang menjadi fondasi ajaran Kristen berasal dari fakta kebangkitan. Berikut ini ringkasannya.

A. Kebangkitan menandakan penetapan Yesus sebagai Tuhan (Kyrios)

Sejak kekal Yesus adalah Anak Allah (bdk. Prolog Injil Yohanes dalam Yoh 1). Namun otoritas universalNya sebagai Tuhan tidak diberikan kepadaNya oleh Bapa sampai kebangkitan-Nya dari antara orang mati (Rom 1:4). Maka predikat Allah dalam Perjanjian Baru adalah Dia "yang membangkitkan orang mati" (2Kor 1:9). Kristologi secara keseluruhan berakar pada kebangkitan Yesus Kristus. Contoh yang jelas adalah dalam kisah Tomas yang ragu-ragu. Dalam perjumpaannya dengan Kristus yang bangkit, Ia akhirnya mengaku, "Ya Tuhanku, ya Allahku" (Yoh 20:28). Juga dalam diri Saulus si penganiaya gereja, di hadapan Kristus yang mulia, ia bertanya, "Apakah yang harus kulakukan, ya Tuhan?" (Kis 22:10).

B. Kebangkitan menghasilkan pendamaian

Orang Yahudi dan bangsa kafir menghukum mati Yesus sebagai seorang pelanggar hukum. Yesus dikucilkan dan dihukum mati. Salib berarti kematian yang terkutuk. Namun dalam kebangkitan, Allah selaku Hakim abadi memperbaiki hukuman bagi manusia. Karena dalam kematian-Nya, Allah tetap dalam persekutuan dengan AnakNya dan membangkitkan yang dihukum mati kepada hidup dalam kemuliaan. Dengan demikian, Allah menekankan arti penebusan yang kekal dari salib. Kristus telah "dibangkitkan kepada hidup bagi pembenaran kita" (Rom 4:25).

Tokoh-tokoh sejarah dipuji karena prestasi mereka sebagai seniman, politisi, penjelajah, penemu dan sebagainya. Namun hanya kepada tokoh Yesus dikatakan, "Beritakanlah kematian Tuhan sampai Dia datang kembali" (1Kor 11:26). Umumnya kematian seseorang tidak bisa jadi isi pewartaan, karena kematian berarti kehancuran. Namun kematian Yesus ternyata adalah keselamatan dan hidup itu sendiri, sebab Kristus telah bangkit.

C. Kebangkitan merupakan dasar iman dan persekutuan pada masa kini dengan Kristus

Kristus yang bangkit menampakkan diri kepada para murid yang bersaksi tentang fakta ini sampai mati syahid (1Kor 15:5). Gereja mewartakan kematian-Nya dalam pemberitaan firman dan sakramen serta memuliakan kebangkitan-Nya sampai Dia datang kembali. Orang percaya mengalami kehadiran Kristus yang hidup melalui Roh dan karunia-karunia-Nya. Melalui baptisan, ia berbagian dalam misteri salib dan kebangkitan (Rom 6). Dalam perjamuan kudus, ia mengantisipasi persekutuan eskatologis melalui kehadiran Kristus secara fisik. Maka baptisan dan perjamuan kudus adalah real, tempat perjumpaan yang real antara ciptaan dan ciptaan baru.

Firman Kristus secara efektif menghasilkan kemerdekaan dalam diri manusia untuk menerima hidup kekal di sini dan kini dalam jaminan iman. Maka masa hidup manusia menjadi masa kasih karunia, karena di situ ia harus mengambil kesempatan untuk memutuskan secara pribadi dan bertanggung jawab (Yoh 11:25f).

D. Kebangkitan adalah awal ciptaan baru dan jaminan dari kebangkitan

Matinya maut menjadi nyata dalam kebangkitan Kristus secara fisik. Kebangkitan bukan suatu pemuliaan dari kehidupan yang pernah dijalani, melainkan betul-betul ciptaan baru. Bentuk fisik dari kebangkitan adalah jaminan bahwa ciptaan baru berkaitan dengan ciptaan yang ada. Kebangkitan tubuh menjanjikan bahwa manusia akan dibangkitkan untuk hidup kekal dalam kesatuan tubuh dan jiwa. Dengan demikian, ia dilepaskan dari keterbatasan karena dosa dan masuk ke dalam persekutuan tanpa akhir dengan Allah (1Kor 15).

Ketika mati, orang percaya berjumpa dengan Kristus sebagai pribadi yang telah dikenal. Selama hidup, ia sudah mengenal-Nya, maka ketika mati, ia berlindung pada-Nya. Melalui kebangkitan, dalam kebertubuhan yang baru manusia dihakimi. Keputusannya sekarang membawa dampak final, bersekutu dengan Allah selamanya atau terpisah selamanya dari Allah (Ibr 9:27).

Jadi ada dua fase yang jelas berbeda dalam sejarah keselamatan. Pertama, keselamatan yang digenapi dalam salib Kristus. Itu sudah final. Kedua, keselamatan yang dinyatakan dalam firman "dosamu telah diampuni!" adalah sempurna dan berlaku sampai selamanya. Bagi orang beriman problem dosa dipecahkan di sini dan kini. Namun problem kuasa belum tuntas. Penyelesaian bagi seluruh problem di dunia seperti sakit penyakit, kelaparan dan ketidakadilan sosial, masih menunggu waktu. Problem-problem ini akan diselesaikan secara eskatologis pada saat kedatangan Kristus kembali. Itu sebabnya, sekalipun Kristus yang bangkit secara fisik telah disempurnakan dalam kemuliaan, dengan iman gereja masih menanti-nantikan "penebusan tubuh" (Rom 8:23). Semua kegiatan sosial dan politik gereja merupakan pertanda awal dari zaman baru yang akan tiba itu. Maka jangan heran kalau dalam masa kini, semua kebajikan dan mujizat sifatnya sementara dan tidak sempurna seperti kebangkitan Lazarus yang akan mati lagi. Sekalipun demikian, orang beriman berani memberikan tanda adanya harapan di dunia yang diwarnai kematian ini, karena ada kepastian kebangkitan.

E. Meneladani Kristus yang bangkit: konsekuensi-konsekuensi praktis

Kebenaran tentang hidup dan mati yang dinyatakan dalam Yesus bukan teori, melainkan gambaran tentang bagaimana manusia dapat bersekutu dengan Kristus. Ingat Yesus memperkenalkan diri-Nya sebagai jalan, kebenaran dan hidup (Yoh 14:6). Semua ini dalam pengertian soteriologis dan eskatologis. Orang beriman memohon hikmat hidup kepada Allah, supaya tidak mengabaikan kematian, melainkan mempertimbangkan kematian sebagai sebuah realitas hidup. Untuk itu firman Allah mengingatkan orang beriman tentang hidup dan mati. Di sinilah berita Injil membebaskan kita dari materialisme dan mengajarkan "untuk memiliki hal-hal seolah-olah itu bukan milik kita untuk dipertahankan" (1Kor 7:30). Berita Injil membebaskan kita dari ideologi aktualisasi diri demi berpedoman pada semboyan Yohanes Pembaptis "Dia harus semakin bertambah, aku harus semakin berkurang" (Yoh 3:30). Kalau semboyan Yohanes Pembaptis ini dihayati dengan baik, orang beriman akan mampu belajar apa artinya mati

Injil memimpin manusia kepada perjumpaan dengan Dia yang mati di salib, lalu orang menjadi hidup. Spiritualitas Injil melawan realitas maut yang serius mematikan. Jaminan bahwa Kristus yang bangkit telah menaklukkan kematian dan kesadaran bahwa hidup yang fana akan menentukan masa kekekalan, melahirkan kewajiban untuk menjadi saksi kebenaran entah itu melalui pewartaan Injil, khotbah, pengajaran atau konseling. Hidup yang fana membuat penginjilan sebagai tugas yang mendesak. Semboyan dari gerakan misi sedunia yang dipimpin oleh John R Mott dan Hudson Taylor adalah "mereka mati pada waktunya." Khususnya dalam konseling bagi mereka yang menjelang ajal dan mereka yang berduka cita, atau dalam khotbah di pekuburan, penginjilan di situ membuktikan kebenaran berita tentang penghukuman dan kasih karunia.

 V. KRITIK TEOLOGIS TERHADAP UPAYA-UPAYA MANUSIA UNTUK MEMECAHKAN PROBLEM KEMATIAN

Berita Alkitab tentang kebangkitan, yang dirangkum di atas merupakan realitas sejarah seperti halnya karya keselamatan Allah, Kabar Baik telah memperlihatkan diri lebih unggul dari semua upaya manusia untuk memecahkan problem kematian. Berikut ini kita akan diperlihatkan bagaimana penjelasan-penjelasan filosofis (butir-butir 2.1-2.6 ini dievaluasi secara apologetis berdasarkan teologi kebangkitan, serta bagaimana semua itu dapat disangkal.

Namun sebelumnya harus diakui bahwa ilmu kedokteran, sosiologi dan ontologi dari eksistensialisme mampu memajukan pengetahuan manusia sampai batas terjauh yaitu kematian. Tetapi mereka tidak bakal benar-benar memahami apa itu kematian, selama mereka tidak tahu apa itu hidup sebagai persekutuan dengan Allah di dalam Kristus. Agama dan filsafat secara spekulatif bisa saja menyangkal atau mengabaikan garis batas kematian, tetapi sebagai upaya manusia mereka tidak akan mampu menaklukkan kematian, karena mereka tak mampu mengatasi sebab kematian.

Dalam diri Yesus, hidup bertemu dengan kondisi manusia yang fana di tengah-tengah sejarah. Bertentangan dengan analisis manusia tentang eksistensi, salib serta kebangkitan-Nya merupakan wahyu ilahi tentang hidup dan mati. Dalam wahyu itu dibukakan manusia dalam kefanaannya, namun sekaligus juga dijanjikan bahwa pada suatu hari kelak dalam tubuh ia akan memiliki persekutuan pribadi dengan Allah.

A. Agnostikisme

Mengaku bahwa manusia tidak dapat mencapai kepastian apapun berkenaan dengan pertanyaan akan makna hidup dipandang dari sudut kematian, dan karenanya tidak mau berpaling pada spekulasi-spekulasi metafisik. Bertentangan dengan segala perkembangan teori-teori, iman Kristen menyingkapkan pengetahuan yang telah diberikan Allah kepada manusia. Iman berdasar pada peristiwa sejarah dari kebangkitan Kristus secara fisik. Iman juga bertahan melalui pengalaman akan Kristus yang bangkit, yang menyatakan diri melalui kesaksian Roh Kudus di hati. Roh Kudus mengikat pewahyuan diri Kristus yang bangkit kepada firman yang diberitakan dan sakramen-sakramen. Demikianlah Paulus membicarakan keyakinan bahwa tiada kematian ataupun hidup dapat memisahkannya dari kasih Allah di dalam Kristus (Rom 8:38).

B. Materialisme

Berpegang teguh pada realitas sejarah dan hidup badani manusia, namun ia keliru menyempitkan antropologi menjadi biologi dan neurologi. Oleh karena itu, ia tidak memperhitungkan realitas dari kesadaran rasional. Akibatnya, berhadapan dengan kematian, manusia menjadi putus ase atau malah berkhayal bahwa kematian menjadi jalan untuk lepas dari tanggung jawab pribadi. Ekspresi yang khas dari hidup yang kalah ini tertera pada kata-kata dari batu nisan analis bahasa Mauther, yang juga seorang ateis, "Dilepaskan dari beban hidup manusia."

C. Animisme

Memahami fakta bahwa transendensi kematian harus dalam konteks realitas dunia yang ada. Ada anggapan bahwa kebangkitan kembali kepada kehidupan seperti di dunia. Ini pengertian yang keliru, seperti juga orang Saduki (Mat 22:23-33). Kebangkitan orang mati bukan seperti hidup kembali, juga bukan keadaan yang baru dari tidak ada apa-apa (creatio ex nihilo), melainkan transformasi total dari tubuh fana, suatu ciptaan baru dari ciptaan yang ada.

D. Spiritisme

Menunjuk pada hubungan hakiki antara kematian dan keburukan. Kematian merupakan manifestasi hidup tanpa allah, dan oleh karenanya tidak dapat cuma dimengerti sebagai sebuah keadaan netral. Pada dasarnya ajaran tentang kematian dan setan berkaitan. Karena itu, praktek spiritisme mutlak dilarang Allah dan selalu berakibat serius (1 Sam 28). Iman dalam Kristus menyatakan hubungan ini. "Melalui kematian-Nya Kristus membinasakan dia yang memiliki kuasa kematian, yaitu Iblis" (Ibr 2:14).

E. Idealisme

Membedakan antara kesadaran manusia dan hidup badaninya. Namun filsafat ini salah menilai apa itu kematian, karena penyebab kematian dianggap dalam badan manusia. Keselamatan tidak ditemukan dalam pemisahan dualistik antara tubuh dan jiwa, melainkan dalam mengatasi keterpisahan antara Allah dan manusia. Kata-kata pada batu nisan Holderlin mencerminkan pendewaan roh dari seorang idealis, yang tiada lain adalah memuliakan diri sendiri. "Dalam badai yang paling mulia semoga dinding penjaraku runtuh, bahkan lebih mulia dan bebas semoga rohku pergi ke negeri yang tak dikenal."

F. Panteisme

Mengabaikan perbedaan penting antara Sang Pencipta dan makhluk ciptaan, juga kedirian Allah dan manusia. Ia memandang kesatuan yang imanen dari materi menjadi sesuatu yang transenden. Namun dengan hilangnya kedirian, hilang pula tanggung jawab. Teori reinkarnasi memang melihat perbedaan antara individu dan nasib, namun teori itu Salah menilai keunikan dari keputusan-keputusan manusia dengan menurunkan hidup cuma sebagai episode melalui reinkarnasi yang berulang-ulang. Keselamatan tidak diperlukan, karena ada mekanisme sebab akibat dari Karma. Anugerah ditolak dan keselamatan dicari dalam peniadaan person ketimbang pembenaran person.

 VI. PENUTUP

Semua upaya manusia untuk mengecilkan, mengurangi, menindas, atau menanggulangi "hidup menuju kematian" pasti gagal tatkala diperhadapkan dengan realitas kematian. Sebaliknya, kebangkitan Kristus adalah realitas sejarah yang total beda, dan dengan sia-sia maut mencoba melawan kebangkitan itu. Tentu saja kematian adalah titik balik yang menentukan dari hidup. Secara imanen kematian menyatakan diri lewat kemerosotan tubuh dan putusnya komunikasi antarpribadi. Namun di seberang kematian, ketika iman menjadi sesuatu yang nampak, menanti perjumpaan pribadi dengan Kristus yang bangkit. Itu adalah penggenapan hidup kekal yang sudah dialami oleh iman, penggenapan dari kebertubuhan baru pada akhir zaman, sewaktu Allah menjadi "semua di dalam semua." Kierkegaard mengungkapkan pengharapan ini dengan puitis di batu nisannya. "Hanya sebentar, dan akan menang, maka semua pergumulan akan lenyap. Kemudian aku bisa menyegarkan diri dengan air hidup dan tak pernah berhenti berbicara, `Selamanya, selamanya, bersama Yesus."



TIP #19: Centang "Pencarian Tepat" pada Pencarian Universal untuk pencarian teks alkitab tanpa keluarga katanya. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA