Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 1 Tahun 1996 > 
PANDANGAN TEOLOGIA PAULUS TENTANG GLOSSOLALIA 
Penulis: Gordon Fee897

Bila kita mengatakan "keselamatan oleh kasih karunia saja" sebagian besar orang akan langsung berpikir "Rasul Paulus", tetapi bila kita katakan "berbahasa lidah" maka sebagian besar orang akan berpikir "Pentakosta" atau "Kharismatik". Ini terjadi sekalipun Paulus sendiri mengatakan bahwa dirinya berbahasa lidah melebihi orang-orang Korintus sendiri. Contoh ini menunjukkan bagaimana sebagian besar dari kita membaca Perjanjian Baru dengan filter (saringan) pengalaman bergereja kita. Lagipula, respon spontan semacam ini ketika kita mendengar kata "glossolalia" mungkin tidak adil baik untuk Paulus maupun mereka yang saat ini mengalami ekspresi kerohanian yang sangat alkitabiah ini.894

Meskipun mungkin ada berbagai alasan mengapa banyak orang Kristen masa kini yang alergi atau malahan menolak langsung fenomena ini (mungkin karena ketakutan terhadap hal yang belum dikenal, kurangnya penghargaan terhadap hal-hal yang di luar rasio, pengalaman yang kurang menyenangkan dengan karismatik, dan lain-lain.), salah satu alasan nampaknya berakar dari kenyataan bahwa kaum Pentakosta punya pengalaman yang banyak dalam hal ini, tetapi kadangkala kurang dalam perenungan teologisnya.895 Selain itu, pendekatan kalangan Pentakosta pada fenomena ini seringkali dengan rasa bangga sehingga membuatnya tidak menarik bagi yang lain. Kebanggaan seperti itu, yang sulit kita hubungkan dengan teologia Paulus, mungkin menyebabkan beberapa orang memandang remeh bentuk doa dan pujian ini (1 Kor 14:15-17) sebagai sesuatu yang pada dasarnya tidak berharga untuk Paulus.

Tujuan dari tulisan ini896 adalah untuk menunjukkan bahwa rasa kebanggaan karena glossolalia bukan merupakan pandangan Paulus sendiri, dan bahwa Paulus juga punya pandangan yang positif tentang karunia ini dalam 1 Korintus 14 karena sebenarnya hal ini sesuai dengan teologianya secara keseluruhan dan juga pengalamannya dengan Roh Kudus. Namun dalam literatur yang ada nampaknya dituliskan secara kebalikannya, seakan-akan Paulus hanya menegur bahasa lidah dengan pujian yang samar saja. Pandangan seperti itu berdasar pada interpretasi yang salah tentang konteks pembicaraan Paulus. Apa yang ditulis Paulus dan ditekankannya adalah pengalaman glossolalia di dalam jemaat ketika tidak ada orang yang menerjemahkannya. Sebaliknya, semua yang dikatakannya tentang karunia itu sendiri, termasuk pengalamannya dengan karunia itu, sangatlah positif. Sayangnya, dictum ini jarang diterima oleh banyak orang yang mengaku pengikutnya: "Aku akan melakukan keduanya; aku akan berdoa dalam Roh (yaitu dalam bahasa lidah) dan aku akan berdoa dengan pemahamanku."

Tesis tulisan ini adalah bahwa pemahaman Paulus tentang glossolalia dapat ditemukan dalam paradoks di 2Kor 12:9, bahwa "Kuasa (Allah) disempurnakan dalam kelemahan (manusia)," dan bahwa berbahasa lidah karena itu merupakan tanda kelemahan bukannya kekuatan. Jadi saya mengajukan: (1) membahas secara singkat tema kekuasaan dan kelemahan di dalam Paulus; (2) meneliti data Paulus tentang glossolalia dari 1 Korintus; (3) mengajukan bahwa data ini sesuai dengan referensi Paulus yang samar tentang berdoa dalam Roh dalam Rm 8:26-27; dan (4) menyimpulkan dengan menunjukkan bagaimana data tentang "berdoa dalam Roh" sesuai dengan tema kekuatan dalam kelemahan.

 KONTEKS

Orang yang tidak mengenali peranan yang sangat penting dari Roh Kudus dalam seluruh pengajaran teologia Paulus898 kurang memahami Pulus dan Injilnya. Bagian penting dari peranan Roh Kudus adalah kerangka eskatologis yang menyeluruh yang mendasari baik pengalaman maupun pemahaman Paulus tentang Roh Kudus. Karunia dari Roh yang dicurahkan (yang punya peranan penting bagi dirinya maupun orang lain dalam pengharapan eskatologisnya) bersama dengan kebangkitan Kristus bagi Paulus merupakan penyebab utama dari perspektif eskatologisnya yang secara radikal telah diubahkan. Di satu pihak, kedatangan Roh Kudus memenuhi janji eskatologis dalam Perjanjian Lama, bukti yang pasti bahwa masa depan telah dimulai. Di lain pihak, karena pernyataan eskaton belum digenapi, maka Roh Kudus juga menjadi jaminan akan kemuliaan akhir. Tidak mungkin untuk dapat memahami penekanan Paulus tentang kehidupan Roh yang dialami bila dipisahkan dari perspektif eskatologis yang menyeluruh yang mendominasi pemikiran Paulus.

Dalam konteks inilah kita baru dapat memahami ambivalensi di dalam surat-surat Paulus tentang tema "kekuasaan/kekuatan" dan "kelemahan". Memang kekuasaan/kekuatan merupakan istilah yang sulit dipahami dalam tulisan Paulus. Di satu sisi, seringkali itu berarti manifestasi yang jelas kelihatan yang membuktikan kehadiran Roh Kudus (mis. 1 Kor 2:4-5; Gal 3:5; Rm 15:19). Bukti dari 1Tes 5:19-22; 1 Kor 12-14; Rm 12:6 dan terutama Gal 3:2-5 dengan himbauannya agar mujizat-mujizat tetap hadir dalam gereja membuktikan bahwa gereja Paulus adalah "karismatik" dalam pengertian bahwa kehadiran Roh yang dinamis dinyatakan dalam perhimpunan mereka.899 Dan meskipun kata "kuasa" dipakai dalam pengertian bahwa orang percaya memegang teguh dan hidup berdasar kasih Kristus secara mendalam (Ef 3:16-20), Paulus juga mengakui di sini bahwa pekerjaan ajaib dari Roh Kudus akan dibuktikan melalui cara orang-orang yang telah dibaharui bersikap terhadap sesamanya. Bagaimanapun juga, Roh Kudus itu dialami dalam gereja-gereja Paulus, dan bukan hanya sekedar ungkapan iman yang diucapkan saja.

Di sisi lain, Paulus juga berpendapat bahwa ada korelasi yang sangat dekat antara kuasa Roh Kudus dengan kelemahan-kelemahan saat ini. Perikop-perikop dalam Rm 8:17-27; 1 Kor 12:9; dan Kol 1:9-11 6) menunjukkan bahwa Roh Kudus dilihat sebagai sumber yang memberikan kuasa/kekuatan di tengah penderitaan atau kelemahan. Menurut Paulus, "mengenal Kristus" berarti mengenal "baik kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dari kesengsaraanNya" di mana kehidupan dalam kondisi telah berarti menjadi "serupa dengan Dia dalam kematianNya" sewaktu kita mengarahkan diri kepada apa yang di hadapan (belum) yaitu hadiah akhir (Fil 3:9-13). Nampaknya inilah seharusnya pemahaman kita tentang dua kata kai (dan) yang mengikuti "mengenal Dia" dalam perikop ini. Bukannya ada tiga hal yang Paulus ingin kenal, tapi satu saja: mengenal Kristus. Tetapi ini dalam konteks mengenal Dia dalam dua Cara, dalam kuasa kebangkitannya dan persekutuan dari kesengsaraanNya.900 Menderita berarti menjadi sama seperti Tuhan kita, mengikuti teladanNya dan dengan demikian "menggenapkan apa yang kurang pada penderitaan Kristus" (Kol 1:24).

Paulus terlebih lagi juga mengharapkan bahwa kuasa Allah melalui Roh akan lebih jelas dinyatakan di tengah kelemahan, sebagai bukti bahwa kuasaNya terdapat dalam pesan dari Mesias yang tersalib. Karena itu, dalam 1 Kor 2:3-5 Paulus dapat pada saat yang sama menyatakan realitas kelemahan dirinya dan kuasa Roh Kudus yang dinyatakan dalam khotbahnya dan pertobatan jemaat Korintus; dan dalam 1Tes 1:5-6 dia mengingatkan orang-orang yang baru percaya bahwa mereka karena kuasa Roh Kudus di tengah penderitaannya dapat bersukacita karena pekerjaan Roh Kudus.

Semuanya ini merefleksikan pemahaman eskatologis dasar dari Paulus tentang eksistensi orang Kristen sebagai "sudah/belum", suatu regangan (tensi) yang berlawanan yang Paulus dapat selaraskan tetapi bagi banyak orang Kristen itu tidak dapat dilakukan. Ini bukan hanya suatu tensi dimana masa kini seluruhnya kelemahan dan masa depan semuanya kemuliaan. Masa depan telah menerobos ke masa kini, seperti dibuktikan oleh karunia Roh Kudus; dan karena Roh Kudus berarti kehadiran dari kuasa Allah, dimensi masa depan juga sudah hadir dalam porsi tertentu. Jadi kesengsaraan masa kini adalah tanda kemuridan, yang paradigmanya adalah Tuhan kita yang tersalib. Kuasa yang sama juga telah membangkitkan Dia yang tersalib dari kematian yang sedang bekerja dalam tubuh kita yang fana saat ini.

Paradoks dalam pemahaman Paulus sendiri inilah yang menciptakan begitu banyak kesulitan bagi orang modern. Memang, sebenarnya kegagalan gereja untuk merangkul baik kuasa maupun kelemahan, pada waktu yang sama dan dengan sepenuh hati, telah menyebabkan banyak pasang surut kehidupan Roh dalam gereja selama berabad-abad. Paulus maupun para penulis Perjanjian Baru yang lain, memegang pandangan tentang Roh dan kuasa dalam tensi yang menyenangkan.901 Paulus sendiri mengambil jalan tengah radikal yang seringkali tidak terlihat oleh baik kaum injili maupun Pentakosta, yang secara tradisi cenderung untuk menekankan pada satu sisi atau sisi lainnya.902

Saya menyarankan dalam tulisan ini bahwa posisi Paulus ada pada eskatologi "tengah radikal" sebagai kunci pemahamannya tentang glossolalia, bukan hanya karena dia sendiri menentang langsung pada orang Korintus, yang nampaknya sangat terpukau dengan karunia lidah dan rasa kebanggaan yang menyolok, tetapi juga karena Paulus juga punya pernyataan yang positif tentang karunia lidah. Kita akan meneliti lagi secara singkat data Paulus.

 DATA PAULUS

Sudah kita ketahui bahwa Paulus menyebutkan secara spesifik tentang fenomena glossolalia (berbahasa lidah) hanya pada 1 Kor 12-14. Umumnya juga disetujui meskipun tidak dari sudut pandangan yang sama bahwa diskusi Paulus tentang fenomena ini terutama untuk membetulkan penyalahgunaan bahasa lidah oleh orang Korintus, bukan mengajarkan secara teologis dalam bidang yang membutuhkan pengajaran lebih dalam. Memperhatikan alasan ini, hanya ada sedikit bahan untuk mengadakan analisis teologis. Apa yang kita dapat dari Paulus adalah penekanannya dalam mengoreksi orang Korintus bukan pengajaran atau refleksi yang menyeluruh.

Bagaimanapun juga ada beberapa kesimpulan penting yang dapat kita tarik dari analisis yang teliti pada bagian 1 Korintus ini. Saya sebutkan di sini daftarnya sedang pembahasannya akan dilakukan di bagian selanjutnya:

1. Bagaimanapun juga, glossolalia adalah ucapan yang diinspirasikan oleh Roh Kudus, seperti jelas dinyatakan dalam 1 Kor 12:7-11 dan 14:2.

2. Apakah Paulus juga menganggap bahwa bahasa itu adalah bahasa dunia yang benar-benar ada nampaknya tidak mungkin. Bukti-bukti yang ada tidak mendukung pendapat demikian.

3. Bahasa ini tidak dimengerti baik oleh yang mengucapkan (14:14) maupun pendengar yang lain (14:16), karena itu di dalam jemaat harus diterjemahkan.

4. Peraturan untuk penggunaannya di tengah jemaat dalam 14:27-28 dan pernyataan di 14:32 bahwa "Roh para nabi dibawah kendali para nabi" menjelaskan bahwa para pembicara itu bukan dalam kondisi ecstasy atau di luar kontrol.

5. Bahasa ini terutama ditujukan kepada Allah (14:2, 14-15, 28), yang isinya berupa doa, lagu, pujian dan ucapan terima kasih.

6. Meskipun Paulus tidak melarang penggunaannya dalam jemaat, tapi dia tidak mendorong orang untuk memakainya; malahan dia menegaskan supaya mereka berusaha sedapatnya berbicara yang dimengerti orang lain, yaitu bernubuat (14:1, 3-5, 6, 9, 12, 24-25,28).

7. Sebagai karunia untuk doa pribadi, Paulus sangat menghargainya (14:2, 4a, 15, 17-18). Meskipun tidak dapat dimengerti oleh pembicaranya, doa "di dalam Roh" semacam ini membangun orang yang berbicara.

Saya ingin menunjukkan hubungan yang penting antara kesimpulan tadi (terutama 1,3,4,5 dan 7) dan apa yang dikatakan Paulus tentang "berdoa dalam Roh" dalam Rm 8:26-27. Saya telah berargumentasi panjang lebar bahwa kita bisa memahami perikop Rm melalui eksegesis dan fenomenologis bila kita memahami bahwa Roh Kudus berdoa syafaat bagi kita dengan keluhan yang tak terucapkan sebagai menunjuk terutama pada glossolalia.903

Apa yang membuat saya merubah pandangan tentang hal ini904 adalah kombinasi dari tiga kenyataan: (1) hal-hal utama yang Paulus katakan tentang Roh Kudus berdoa melalui kita dalam Rm 8:26-27 persis berhubungan dengan gambarannya tentang berdoa dalam bahasa lidah dalam 1 Kor 14:14-19, yaitu: (a) bahwa Roh Kudus dipahami berdoa di dalam/melalui orang percaya (bdk. point 1,4 dan 5 di atas), dan (b) bahwa orang yang berdoa tidak paham dengan pikirannya apa yang dikatakan Roh Kudus (bdk point 2,3 dan 7). (2) pengalaman yang digambarkan Paulus dalam Rm 8:26-27 sebagai "Roh Kudus berdoa syafaat dengan keluhan alaletos", dinyatakan sedemikian rupa bahwa dia sedang membahas sesuatu yang biasa dijumpai di antara jemaat yang baru percaya (karena dia menulis ke gereja yang hanya mengenal dia dari reputasinya, bukan secara pribadi). Tetapi sebenarnya tidak ada bukti lain di perjanjian Baru maupun di luarnya untuk fenomena seperti itu. Sebaliknya, glossolalia menunjukkan tanda-tanda yang biasa dijumpai.905 (3) Dalam kasus itu Paulus memakai frase stenagmos alaletos (mungkin berarti=keluhan yang tak terucapkan) dan bukannya glossolalia (kalau itu fenomena yang digambarkan dengan ungkapan ini) yang sepenuhnya sesuai konteks, mengingat apa yang telah dikatakannya sebelumnya pada ayat 22-23 tentang segala makhluk (=ciptaan) mengeluh saat menunggu apa yang belum digenapi dari penebusan akhir dan orang-orang percaya juga bersama-sama dengan segala makhluk dalam keluhan itu. Jadi meskipun Paulus memakai kata alaletos,906 tetapi yang dimaksudkannya bukanlah berdoa dalam hati (diam), tetapi berdoa yang "terlalu dalam untuk kata-kata" dalam pengertian "kata-kata biasa dari bahasa asal pembicara." Karena itu kata "tidak dapat diucapkan" bukan dalam pengertian kita tidak "mengucapkan kata-kata,"907 tetapi dalam pengertian bahwa apa yang diucapkan tidak dipahami oleh akal pembicara.

Bagaimanapun juga, apa yang digambarkan Paulus dalam Rm 8:26-27 adalah bentuk berdoa dalam Roh, bahasa yang juga dipakainya untuk berbahasa lidah dalam 1 Kor 14:15-16.15 Jadi dari sudut pandangan surat-menyurat ini, usaha kita untuk menteologikan fenomena ini akan meliputi data dari kedua perikop dan karena itu harus dipahami sebagai "ke arah teologi berdoa dalam Roh" yang bagi Paulus seringkali berarti berdoa dalam bahasa lidah. Bagaimanapun juga, dia dapat mengatakan tanpa bukti, tetapi juga tanpa takut ditantang, bahwa "Aku berbahasa lidah lebih dari kamu semua" pada suatu jemaat yang (nampaknya) sangat membanggakan ekspresi fenomena ini di depan umum (1 Kor 14:18).

 PROPOSAL TEOLOGIS

Meskipun Paulus sendiri tidak memberikan perenungan teologis tentang fenomena bahasa lidah, tapi apa yang dikatakannya (dan juga apa yang tidak dikatakannya) memberi kita kesempatan untuk menyimpulkan pemahamannya tentang hal ini. Berdasarkan kesimpulan yang telah kita bahas di atas, saya menawarkan beberapa perenungan ini:

1. Bahwa Paulus memahami glossolalia sebagai ucapan yang diilhami Roh Kudus seperti terlihat dalam berbagai pernyataannya di 1 Kor 12:7-8, 10 dan 11. Dalam 1 Kor 12:7 dia memulai dengan mengatakan bahwa kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama, yang diikuti dengan ayat 8-10 yang berisi daftar sembilan penyataan. Empat penyataan yang pertama dinyatakan secara eksplisit sebagai karya Roh Kudus ("kepada yang seorang Roh memberikan ..."kepada yang lain lagi Ia memberikan...") sehingga membawa implikasi bahwa kelima yang lain juga sama halnya. Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam ayat 11 "Semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama (di antara kalian), yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendakiNya."

Hal ini juga secara eksplisit ditegaskan Paulus dalam 1 Kor 14:2 bahwa: "Siapa yang berkata-kata dengan bahasa Roh... mengungkapkan hal-hal yang rahasia (kepada Allah) oleh Roh,"908 yang kemudian dilanjutkan dalam ayat 15 dengan "aku akan berdoa/menyanyi dengan Rohku."909 Berdoa "dengan Roh" seperti ini yang tidak dipahami oleh pembicaranya tetapi efektif untuk Allah juga secara eksplisit dinyatakan dalam Rm 8:26-27.

Kenyataan teologis ini seharusnya membuat orang-orang lebih berhati-hati jika berusaha untuk "menempatkan bahasa lidah pada tempatnya" (biasanya berarti "menghapuskannya sama sekali" di gereja masa kini). Paulus tidak menegur bahasa lidah dengan pujian yang samar, seperti yang biasa dikemukakan beberapa ahli, dan dia juga tidak terheran-heran dengan fenomena ini, seperti yang nampaknya terjadi di kalangan jemaat Korintus sendiri, maupun di beberapa kalangan Pentakosta dan karismatik masa kini. Seperti halnya untuk semua aktifitas karena kuasa Roh Kudus yang lain, Paulus juga memandang tinggi, pada tempatnya yang sewajarnya.

2. Tentang fenomena itu sendiri, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, aturan untuk pemakaian di tengah jemaat dalam 1 Kor 14:27-28 menjelaskan bahwa pembicaranya bukan dalam kondisi tidak sadar atau diluar kontrol. Sebaliknya, para pembicara ini diminta untuk berbicara bergantian, satu persatu, dan mereka harus tetap diam jika tidak ada yang menerjemahkan. Instruksi semacam itu tidak ada gunanya jika pembicara dalam keadaan tidak sadar dalam pengertian orang itu "di bawah kuasa Roh Kudus" sehingga lepas dari kontrol pribadi. Karena itu, apa yang dikatakan Paulus tentang bernubuat dalam ayat 32 juga diterapkan pada mereka yang ingin berbicara dalam bahasa lidah dalam kebaktian umum jemaat: "roh dari nabi tunduk kepada nabi." Ini juga berarti bahwa orang-orang luar yang melihat para orang percaya sebagai orang gila kalau semua berbahasa lidah (nampaknya dalam pengertian: pada waktu yang sama) dalam kebaktian mereka, bukannya melihat kegilaan dalam sifat aktifitasnya sendiri tetapi karena tidak memahami arti ucapannya dan karena ketidakteraturannya. Begitu pula meskipun Paulus tidak membahas masalah ini dalam pengertian seperti itu dalam Rm 8:26-27, tidak ada dalam penggambarannya yang menyatakan bahwa pembicara itu di luar kontrol.

Kedua, bahwa Paulus tidak menganggap glossolalia sebagai bahasa dunia dinyatakan oleh beberapa bukti yang saling mendukung. Dia jelas tidak menganggap bahwa ada orang yang hadir yang mengerti bahasa itu bila tidak diterjemahkan, dan persamaan pada 14:10-12 berarti bahwa itu bukan bahasa dunia (sesuatu tidak identik dengan sesuatu yang dinamakan dengannya). Pemahaman Paulus yang paling mungkin kita mengerti adalah gambarannya tentang fenomena itu dalam 1 Kor 13:1 yaitu bahasa malaikat. Konteksnya sendiri menentukan bahwa frase ini ditujukan untuk glossolalia. Hal yang lebih sulit lagi adalah hubungannya yang dekat dengan bahasa bangsa-bangsa. Kemungkinan sekali ada dua macam glossolalia: bahasa manusia, yang diilhami oleh Roh Kudus, tetapi tidak dikenal oleh pembicara atau orang yang mendengar, dan bahasa malaikat, diilhami oleh Roh Kudus untuk berbicara dalam dialek surgawi. Konteks historisnya pada umumnya menyatakan bahwa arti yang kedualah yang dipahami oleh orang Korintus sebagai glossolalia, dan karena itu mereka menganggap itu sebagai bukti bahwa mereka sudah mencapai sebagian dari status surgawi mereka untuk masa mendatang.910

3. Menurut semua bukti yang ada, Paulus memahami glossolalia sebagai pembicaraan yang ditujukan kepada Allah, bukannya untuk sesama orang percaya. Hal ini dinyatakan dalam beberapa cara. Pertama, hal ini dikatakan secara jelas dalam setiap kasus bila Paulus mengatakan arah dari ucapan itu dan dalam satu kasus jelas dibandingkan dengan nubuat yang ditujukan untuk orang lain. Jadi dalam 1 Kor 14:2 Paulus mengatakan bahwa orang yang berbahasa lidah tidak berbicara pada manusia, tetapi kepada Allah. Begitu pula dalam 14:28, kalau tidak ada yang menerjemahkan bahasa lidah, pembicara itu supaya diam di dalam gereja dan supaya "berbicara sendiri dan kepada Allah." Hal yang sama juga disinggung dalam ayat 14-16, dimana orang yang berbahasa lidah dikatakan "berdoa" (ayat 14-15), "memuji Allah" (ayat 16), dan "mengucap syukur" (kepada Allah implikasinya, ayat 17). Akhirnya begitu pula dalam Rm 8:26-27 Roh Kudus dikatakan berdoa kepada Allah melalui orang percaya demi orang percaya itu sendiri.

Dua hal yang penting yang timbul dari kenyataan ini. Pertama, nampaknya hanya ada sedikit bukti dari Paulus untuk istilah yang biasa dipakai di kalangan Pentakosta "pesan dalam bahasa lidah," untuk menggambarkan fenomena bahasa lidah dan penerjemahannya seperti yang telah dalam sejarah dipraktekkan oleh gereja-gereja Pentakosta. Nampaknya istilah ini didasarkan pada 1 Kor 14:5, 19) dimana Paulus menilai bahwa nubuat dan bahasa lidah yang diterjemahkan itu punya nilai yang sama untuk membangun kelompok orang percaya. Tetapi nampaknya ada yang dalam membaca teks itu menginterpretasikan bahwa nubuat dan bahasa lidah yang diterjemahkan sebagai fenomena yang sama, karena ayat 2 dan ayat 28 jelas mengatakan bahwa itu bukan hal yang sama. Hal ini terutama sekali dalam ayat 28 ketika Paulus menegaskan bahwa tidak boleh ada glossolalia jika tidak ada penerjemahannya di dalam gereja; tetapi pembicara itu disuruh berbicara "sendiri dan kepada Allah." Implikasinya jelas bahwa apa yang diterjemahkan dalam setiap kasus adalah pembicaraan yang dalam ayat 2 dinamakan "mengungkapkan hal-hal yang rahasia." Tentu saja, kita tidak dapat dengan begitu menunjukkan bahwa berbahasa lidah di tengah umum tidak pernah ditujukan kepada jemaat itu; hanya kita dapat mengatakan bahwa Paulus tidak pernah mengatakan atau mengimplikasikan yang demikian.

Kedua, karena semua data yang ada menunjukkan bahwa Paulus tidak pernah melarang glossolalia yang diterjemahkan dalam jemaat, ataupun bahwa dia menganjurkan hal itu. Hal ini jelas dibuktikan dari pernyataannya bahwa dia lebih menyukai nubuat di dalam gereja, maupun dari implikasi yang jelas dalam 1 Kor 14:18-19 ("Aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih daripada kamu semua, tetapi dalam pertemuan jemaat lima kata yang dimengerti lebih baik daripada beribu-ribu kata yang tidak dimengerti") dan 28 (untuk mereka yang berbahasa lidah, "jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya hendaklah berdiam diri di dalam gereja dan berkata-kata sendiri kepada Allah").

4. Ini mengarahkan kita untuk melihat lebih jauh, dan untuk khusus memisahkan demi perenungan teologis kita berikut ini, bahwa alasan untuk "diam" di dalam gereja untuk bahasa lidah yang tidak diterjemahkan dibandingkan dengan nubuat adalah karena dalam kedua kasus ini penekanan Paulus adalah membangun jemaat. Apa yang terjadi dalam jemaat yang berkumpul harus dapat dimengerti, agar supaya dapat membangun seluruh anggota yang lain. Dengan demikian dalam kasus glossolalia yang tidak diterjemahkan, orang yang berbahasa lidah memang "mengucap syukur kepada Allah", tetapi yang lainnya tidak dibangun dan tidak dapat mengatakan "amin" (1 Kor 14:16-17), karena mereka tidak mengerti apa yang dikatakan kepada Allah.

Tetapi hal yang sebaliknya terjadi untuk orang yang berdoa dalam bahasa lidah secara pribadi. Orang seperti itu "mengungkapkan hal-hal yang rahasia kepada Allah," dan meskipun pikirannya beristirahat dan tidak menghasilkan apa-apa, pikirannya tidak melayang-layang atau lepas kontrol. Sebaliknya, doa semacam itu merupakan alat untuk membangun orang yang berdoa itu (1 Kor 14:4), meskipun "tidak menghasilkan apa-apa" dari segi pemahaman orang itu tentang apa yang dikatakan.

Meskipun pemahaman ini bertolak belakang dengan pemahaman diri sendiri di kalangan Kristen Barat yang sangat dipengaruhi filosofi Abad Pencerahan, Rm 8:27 memberikan kunci teologis mengenai membangun iman ini. Ini adalah masalah mempercayai Allah bahwa yang mendengar doa kita melalui Roh ini "mengetahui maksud/pikiran dari Roh itu, bahwa Roh itu berdoa untuk orang-orang kudus apa yang sesuai kehendak Allah. Paulus nampak jelas dapat menerima kenyataan bahwa Roh Kudus membangun roh orang percaya, meskipun pembangunan ini diproses tanpa melalui otak, meskipun hal ini sulit diterima kekristenan masa kini. Pada titik inilah perenungan teologis kita yang terakhir muncul sebagai usaha menyatukan bagian 1 dan 3 dari tulisan ini.

5. Konteks Paulus untuk berdoa dalam Roh," dan juga untuk glossolalia, adalah kerangka eskatologinya yang menyeluruh, dimana dia memahami Roh Kudus itu bukti yang pasti bahwa masa depan telah muncul di masa kini911 dan merupakan jaminan tentang pemenuhan akhirnya.912 Dalam kerangka pemikiran ini bagi Paulus glossolalia melayani jemaat bukan sebagai bukti bahwa masa depan sudah tiba (bertolak belakang dengan Korintus), tetapi bahwa masa depan "belum lagi" kita jangkau.913 Karena kita saat ini berada di antara "dua masa" ini maka kita membutuhkan bantuan Roh Kudus dalam ketidakberdayaan kita saat ini. Inilah sebenarnya maksud Rm 8:26-27. Roh Kudus datang, berdoa melalui kita dengan "keluhan-keluhan yang tak terucapkan" sebagai penolong kita dalam masa kelemahan ini. Pada saat yang sama glossolalia berfungsi sebagai peringatan yang terus-menerus bahwa kita, bersama dengan semua makhluk, terus menunggu masa penebusan akhir kita.

Itulah sebabnya mengapa bahasa lidah, maupun nubuat dan karunia-karunia Roh Kudus yang lain hanya untuk masa kini saja (1 Kor 13:8-13). Bahasa lidah (juga nubuat dan pengetahuan) hanya pada masa kelemahan ini saja, ketika kita "hanya mengetahui sebagian saja" dan memerlukan pertolongan Roh Kudus. Doa orang percaya dalam bahasa lidah menggemakan "keluhan-keluhan" dari semua ciptaan, sewaktu kita bersama-sama menunggu penggenapan masa depan yang Allah sudah mulai dalam kebangkitan dan karunia Roh Kudus.

Implikasi teologis dari pemahaman seperti ini sangatlah luas. Berbeda dengan apa yang selama ini dikatakan di kalangan Pentakosta dan karismatik, bagi Paulus kita tidak "berdoa dalam bahasa lidah" dari posisi yang "kuat," seakan-akan kepenuhan dengan Roh membuat kita punya posisi yang kuat di hadapan Allah. Sebaliknya, kita berdoa dalam bahasa lidah dalam posisi kelemahan, karena kita "tidak tahu bagaimana seharusnya kita berdoa." Pada waktu seperti itu kita sangat membutuhkan Roh Kudus untuk membantu kita karena Roh itu berdoa melalui kita apa yang sesuai dengan rencana Allah. Dan kita terutama perlu belajar untuk mempercayai seperti yang dituntut doa itu sendiri, yaitu bahwa Allah sungguh-sungguh mengenal pikiran dari Roh Kudus, dan doa syafaatnya bagi kita benar dalam pengertian sesuai rencana Allah dalam hidup kita.

Pemahaman tentang glossolalia seperti itu juga punya pengertian kelemahan dalam hal lain. Meskipun orang yang berbahasa lidah tidak "di luar kontrol" dalam pengertian perasaan yang meluap-luap dari fenomena ini, tetapi juga orang ini tidak "dapat mengontrol" dalam pengertian alkitabiah: yaitu melepaskan kontrol atas kehidupan dan tujuannya, sehingga orang menyerahkan seluruh dirinya - terutama bagian yang paling sulit dikuasai dari dirinya, yaitu pikiran dan lidahnya - pada pimpinan Allah,914 percaya bahwa kasih-Nya kepada kita tulus, sepenuhnya "tanpa kepura-puraan" (menurut King James Version) dan bahwa Dia hanya bertujuan yang baik untuk "orang-orang kudus." Inilah sebabnya mengapa Paulus bersikeras bahwa dia akan melaksanakan kedua hal ini: bahwa dia akan berdoa dan menyanyi dengan akalnya (demi orang lain), dan bahwa dia akan berdoa dan menyanyi di dalam Roh (demi dirinya sendiri).

Pada waktu yang sama, dengan berdoa dari posisi kelemahan, Paulus juga menegaskan ketergantungan kita sepenuhnya pada Allah dalam semua hal; dan di sinilah dimana "kuasa dalam kelemahan" muncul. Dengan berdoa dalam bahasa lidah, Roh Kudus menjadi jalan yang melaluinya kekuatan Allah disempurnakan di tengah kelemahan kita - inilah kekuatan pokok orang percaya. Jadi ketika kita berdoa dalam bahasa lidah, selain sebagai bukti bagi kita bahwa kita telah memasuki jaman eskatologis yang baru di hantar oleh Roh Kudus, terutama juga berfungsi sebagai bukti bahwa kita masih "belum" mencapai pemenuhan jaman itu. Karena kita belum lagi sampai, dan sedang menunggu dengan seluruh makhluk penebusan kita yang akhir, jadi kita berdoa dalam Roh dari kelemahan kita, secara implisit mempercayakan bahwa Roh akan berdoa sesuai dengan rencana Allah. Berdoa seperti itu berarti kebebasan dan kekuatan, kekuatan Allah yang disempurnakan di tengah kelemahan kita.

Terakhir saya mencatat bahwa jika pandangan yang disampaikan di sini ini sesuai dengan Paulus, kita akan dapat memahami mengapa di satu pihak dia sangat sedikit berbicara tentang hal itu, tetapi sangat positif tentang hal itu di lain hal; dan juga mengapa dia sendiri juga biasa melakukannya dalam doa pribadinya lebih dari orang Korintus manapun juga yang sangat meninggikan hal itu. Seluruh pemahaman Paulus tentang keberadaan saat ini dalam Kristus melalui Roh Kudus adalah kehidupan di mana kuasa dan hikmat Allah paling nyata melalui kelemahan dan ketidakberdayaan manusia. Inilah sebabnya mengapa dia menolak mengenal apapun juga di antara orang Korintus selain dari "Kristus dan Dia yang disalibkan"; inilah sebabnya mengapa dia menegur mereka di dalam 1 Kor 11-12; dan inilah sebabnya mengapa dia dapat berbicara dengan begitu percaya diri tentang Roh Kudus yang menguatkan meskipun dia sendiri mengenal kelemahan, penderitaan, dipenjarakan, dicemohkan.

Sebagai kesimpulan, dipandang dari perspektif Paulus, berbicara dalam bahasa lidah sesuai dengan semua pandangan teologisnya. Inilah kesempatan kita untuk menyatakan diri kita yang terdalam kepada Allah - dalam pujian, ucapan syukur, doa dan doa syafaat. Dan hal ini terutama lagi ketika kita sendiri tidak tahu apa yang harus didoakan di tengah kelemahan saat ini; tetapi apa yang kita ketahui, Paulus melanjutkan, adalah dengan berdoa bagi kita dalam kelemahan kita saat ini, "Roh Kudus bekerja dalam segala hal untuk kebaikan, untuk kita yang mengasihi Allah dan terpanggil sesuai dengan rencana Allah" (Rm 8:28).915



TIP #34: Tip apa yang ingin Anda lihat di sini? Beritahu kami dengan klik "Laporan Masalah/Saran" di bagian bawah halaman. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA