Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 9 No. 2 Tahun 1994 >  GEREJA DI TENGAH PERKEMBANGAN KOTA-KOTA BESAR DI INDONESIA > 
LALU BAGAIMANA? 

Dapat di kata menghadapi tantangan permasalahan yang ditimbulkan perkembangan kota-kota besar, gereja kelihatannya masih mandul dan nyaris tidak berbuat apa-apa!

Melihat perkembangan pembangunan gereja-gereja di kota-kota besar, sepintas lalu kita dapat melihat adanya pertambahan kuantitatif, baik dalam jumlah gedung gereja baru yang dibangun maupun dalam biaya pembangunan yang berlomba-lomba, tetapi di balik itu kita melihat bahwa umumnya jemaat perkotaan lebih bersifat individualistis, di mana sekalipun banyak gereja-gereja besar dibangun dengan mahal dan mewah, ternyata kepedulian gereja-gereja besar kepada gereja-gereja miskin boleh di kata hampir tidak ada. Harta gereja umumnya lebih diprioritaskan untuk keperluan sendiri dalam bentuk gedung maupun mobil, dan sangat sedikit diarahkan sebagai buah-buah kasih ke luar.

Di balik mercu-mercu gedung gereja yang bergemerlapan, kota-kota besar juga menyimpan ribuan gedung-gedung gereja di kampung-kampung yang miskin dan bahkan reyot. Di sini kita melihat bahwa dampak kepedulian misi gereja-gereja kota kepada sesama gerejanya saja masih kecil, lebih-lebih kepeduliannya kepada orang-orang di luar gereja. Kenyataan ini dapat dilihat dari hasil penelitian STT Jakarta (1985), di mana dijumpai fakta bahwa dari 226 gereja responden, hanya 15 gereja yang mempunyai program pelayanan sosial yang bisa disebut sebagai "pelayanan perkotaan" (urban ministry), ini jumlahnya hanya 6 persen saja!

Dari hasil penelitian itu, termasuk penelitian yang dilakukan oleh World Vision International bekerja sama dengan yayasan-yayasan Kristen di Jakarta, Semarang dan Surabaya, juga ditemukan fakta bahwa setidaknya ada tiga sikap gereja dalam kepeduliannya pada masyarakat penyandang masalah di perkotaan, yaitu:

1. Sikap yang menganggap bahwa tugas gereja atau persekutuan hanya untuk mengabarkan "Injil", sedang urusan sosial adalah tanggung jawab pemerintah.

2. Sikap yang menganggap bahwa pelayanan diakonia hanya perlu diberikan kepada anggota jemaat sendiri saja yang kebetulan membutuhkan.

3. Sikap yang mulai menyadari bahwa pelayanan sosial termasuk tugas gereja atau persekutuan Kristen dan menjadi bagian tak terpisahkan dari pemberitaan Injil.

Dari gambaran di atas kita dapat melihat bahwa kesadaran Gereja atau persekutuan Kristen di kota-kota besar masih bervariasi, sehingga "misi" yang mereka lakukan juga diwarnai oleh konsep pengertian tentang "Injil" yang belum seragam. Sebenarnya, apakah Injil yang sebenarnya?

Tuhan Yesus pada waktu mengutus murid-muridnya yang ditulis Matius 28 mengatakan:

19 "Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptiskanlah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus,

20 dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu."

Bukanlah kita cenderung hanya menyempitkan Injil sekedar menjadi tugas Mat 28:19 dan mengabaikan Mat 28:20? Bukankah "kasih" yang vertikal (kepada Allah) dan yang horisontal (kepada sesama manusia) merupakan perintah Allah? Kasih kepada sesama yang diumpamakan dengan "orang Samaria yang baik hati secara sosial?" (Lukas 10:25-37).

Ketika memulai pekerjaannya setelah berpuasa 40 hari lamanya, Yesus meneguhkan kitab Yesaya dan mengatakan:

"Roh Tuhan ada pada-Ku, oleh sebab Ia telah mengurapi Aku, untuk menyampaikan kabar baik kepada orang-orang miskin; dan Ia telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan, dan penglihatan bagi orang-orang buta, untuk membebaskan orang-orang yang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang." (Lukas 4:18-19)

Dari ayat di atas kita dapat melihat bahwa Yesus sendiri mengabarkan Injil yang mendatangkan Shalom bagi manusia, baik secara spiritual, fisis, psikis, maupun sosial. Karena itu patut dipertanyakan sampai di mana kesetiaan dan iman yang sudah ditunjukkan oleh gereja atau persekutuan di kota-kota besar mengenai kepeduliannya menjalankan misi kemasyarakatan yang disuruh Tuhan itu, bahkan pada saat kedatangannya kelak, kelihatannya pelayanan sosial mendapat bobot yang besar pula:

Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku... sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lalaikan untuk salah seorang dari saudara-saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku. (Matius 25:34-40)

Rasul Yohanes (I Yohanes 3) dengan jelas menulis tentang sifat anak-anak Allah yang sepatutnya sebagai berikut:

16 Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawa-Nya untuk kita; jadi kita pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita."

17 Barang siapa mempunyai harta duniawi dan melihat saudaranya menderita kekurangan tetapi menutup pintu hatinya terhadap saudaranya itu, bagaimanakah kasih Allah dapat tetap di dalam dirinya?

18 Anak-anakKu, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran.

Kelihatannya dari terang beberapa ayat-ayat di atas saja kita dapat berintrospeksi sampai di manakah kita sudah "melakukan kehendak Allah" dalam hidup kita?

Berbicara mengenai "Gereja, Teologi dan Masyarakat" kita harus sadar bahwa gereja tidak terlepaskan dari teologi yang benar yang alkitabiah, tetapi lebih lagi perlu disadari bahwa teologi yang alkitabiah itu justru teologi yang mengakar ke bawah, yang memasyarakat. Teologi bukanlah "obat bius" yang membuai kita pada pemikiran-pemikiran yang melambung di angkasa berupa perdebatan doktrin-doktrin rumit yang tidak mendarat, dan teologi juga bukan ekstatisme "kompensasi keresahan jiwa", tetapi teologi sepatutnya merupakan sesuatu yang hidup yang mengakar ke bawah sekaligus memasyarakat.

Menghadapi PJP-II (1994-2019) yang sudah kita masuki ini, kita ditantang untuk menyiapkan insan-insan yang sadar dan mampu mengantisipasi "Iptekti" (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Tinggi) tetapi sekaligus insan-insan yang berwawasan iman, iman yang vertikal dan sekaligus yang horisontal, dengan demikian kita dapat berperan dengan benar dalam kancah perkembangan kota-kota besar di Indonesia yang makin kehilangan orientasi kemanusiaan dan Ilahinya itu, kota yang perlu dientaskan kemiskinan rohani dan materinya.

Kita perlu juga sadar bahwa selama PJP I di samping proses "pembiusan" yang cenderung dilakukan gereja, umat Kristen telah melakukan "pemborosan" yang lebih banyak mengalokasikan harta titipan Tuhan pada bangunan gedung dan sangat kecil digunakan untuk menyiapkan SDM dan melayani sesama kita. Sudah tiba saatnya kita bangkit untuk benar-benar mengisi pelayanan kita bersandarkan kasih Kristus yang menumbuhkan Gereja dengan Teologinya yang memasyarakat.



TIP #26: Perkuat kehidupan spiritual harian Anda dengan Bacaan Alkitab Harian. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA