Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 9 No. 2 Tahun 1994 >  GEREJA DI TENGAH PERKEMBANGAN KOTA-KOTA BESAR DI INDONESIA > 
BAGAIMANA SIKAP GEREJA? 

Secara psikis dan spiritual kita melihat bahwa masyarakat perkotaan makin individualistis dan kepeduliannya kepada tetangga makin menipis, rumah tangga banyak yang berantakan dan kurangnya ikatan kasih antar orang tua dan anak menimbulkan banyak korban. Pelayanan rohani makin kurang dirasakan menggigit karena tekanan karir menimbulkan kurangnya perhatian manusia pada agama, tetapi stress karir dan kejenuhan hidup modern cenderung menghasilkan masyarakat kota yang kosong rohani yang menjadi sasaran empuk ibadat-ibadat emosional dan yang bersifat eskapis tanpa dampak, berarti bagi kehidupan spiritual.

Di samping banyak "gereja", yang makin suam dan kosong, memang banyak "persekutuan" menjamur di kota-kota besar termasuk di kantor-kantor, restoran-restoran, dan gedung-gedung umum lainnya, dan banyak pengusaha dan orang modern menghadirinya, tetapi apakah kegairahan spiritual perkotaan itu menghasilkan kehidupan yang bertobat? Hal ini perlu dipertanyakan, sebab sekalipun banyak orang hadir dalam persekutuan-persekutuan demikian kelihatannya para pengusaha itu umumnya tetap tidak menunjukkan perubahan dalam cara dagangnya sekalipun ia mulai rajin memberikan persembahan atau persepuluhan.

Kasus-kasus PHK dan pemogokan masih banyak terjadi di perusahaan yang manajernya aktif di "praise center" atau menjadi "majelis gereja", bahkan banyak perusahaan masih menjalankan cara-cara dagang yang "mengabdi mamon" padahal banyak eksekutifnya yang rajin menghadiri pertemuan-pertemuan demikian. Banyak direktur bank dikatakan bertobat melalui persekutuan-persekutuan doa, tetapi kenyataannya tidak ada perubahan terjadi dalam praktik bank itu yang menunjukkan sifat Kristianinya. Sistem hadiah undian bank yang tidak mendidik tidak juga berubah sekalipun direkturnya dikatakan sebagai bertobat.

Banyak konglomerat sekarang dielu-elukan sebagai "orang yang diberkati Tuhan" karena sumbangannya kepada gereja dan persekutuan tetapi orang lupa bahwa pengusaha demikian perlu diajak bertobat dan mentaati Firman Tuhan agar tidak dikritik masyarakat umum karena ulahnya yang entah merusak hutan tropis, pabriknya mencemari lingkungan, atau menjadi mafia tanah yang ikut mempersulit penduduk miskin di kota.

Moralitas kota makin merosot tajam, hukum rimba makin menjadi etika kota dan etika bisnis makin menjadi nostalgia, dan manusia kota akan makin menjadi alat produksi dan makin kehilangan identitas diri dan sadar hukumnya lemah. Gejala demikian menunjukkan fakta spiritualitas perkotaan yang semu di mana agama memang dicari dan bermanfaat secara "emosional" tetapi tidak berdaya men"transformasi"kan manusia modern di kota. Agama bertumbuh secara kuantitatif tetapi secara kualitatif masih dipertanyakan.

Jim Rohwer dalam tulisannya berjudul "What's in a nationality?" mengatakan mengenai gejala dunia di tahun 1993 antara lain sebagai berikut:

The growing integration of the world economy is pushing human society into a borderless future... capital first, then goods and at last services will be ever inclined to flow to places where they earn the best returns, not necessarilly where governments would like them to go; the companies and people who provide all these things are increasingly following suit... But not so fast. The attachments of blood, race, religion and language will be lessened hardly a jot by all these developments. Indeed, they mill continue to weigh more heavily in the worlds emotional scaleshan economic cosmopolitanism does; and they will be the root cause of most of 1993's rows.489

Komentar di atas senafas dengan analisis John Naisbitt dalam bukunya mengenai dilema "High Tech-High Touch"490 di mana kehidupan modern dikatakan sering mengalami dua kecenderungan komplementer yang saling bertentangan. Kenyataannya kecenderungan yang diamati para pakar tersebut kelihatannya berlaku pula di kehidupan perkotaan dan dalam kaitannya dengan agama.

Penduduk kota modern makin sekular, individualistis dan materialistis tetapi mereka cenderung mencari kelompok-kelompok "primordial" semula seperti SARA, itulah sebabnya di kota-kota besar kecenderungan untuk berkelompok secara kesukuan atau sekampung menjadi lebih kuat sebagai rem pengaman kecenderungan modernisasi yang makin menghilangkan identitas diri manusia.

Dalam kehidupan kegerejaan kita melihat gejala yang sama di mana banyak umat mencari kembali primodialisme agama dalam bentuk kehidupan bergereja di samping mencari pelarian emosional sebagai kompensasi kejenuhan kehidupan modern. Di satu segi kelihatannya gereja ada manfaatnya untuk mengisi kehausan emosional dan kebutuhan primordialisme, tetapi sebagai "Hamba Allah" jelas gereja demikian tidak menjadi "berkat" bagi masyarakat bila ia tidak mempunyai kepekaan lingkungan dan kepedulian sosial.



TIP #11: Klik ikon untuk membuka halaman ramah cetak. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA