Perkembangan penduduk dan khususnya penduduk perkotaan yang melanda dunia sesudah perang dunia kedua yang dampaknya juga terasa di Indonesia telah mengubah banyak tatanan sosial termasuk tatanan kehidupan berjemaat, khususnya jemaat perkotaan (urban parish). Di tengah-tengah perubahan cepat demikian yang menimbulkan dampak luar biasa, mau tidak mau gereja juga diperhadapkan dengan perubahan strategi dan misi pelayanannya yang membutuhkan penyesuaian dan juga antisipasi menghadapi hal itu.
Masalah perkotaan yang timbul belakangan ini seperti soal kejahatan kerah putih (white collar crime) semacam kasus Bapindo, masalah jurang kaya miskin di kota besar, Lingkungan Hidup, PHK, demonstrasi-demonstrasi perburuhan, bahkan pengrusakan pabrik semacam yang banyak terjadi di Tangerang dan Medan, telah menjadi topik liputan utama surat-surat kabar dan majalah maupun mass media lainnya, tetapi sayang sekali perhatian dan tanggapan gereja pada umumnya sepi kalau tidak mau dibilang sebagai tidak ada sama sekali.
Apakah masalah itu bukan masalah gereja? Ataukah gereja yang belum peka akan lingkungannya? Topik inilah yang menjadi salah satu bahasan dalam "Minister Convention 1994" yang menantang para Hamba Tuhan maupun Pengerja Kristen agar mulai menggumuli nisbah antara Gereja, Teologi dan Masyarakat.