Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 >  ALIRAN TEOLOGIA DI DUNIA KETIGA: SUATU SOROTAN TERHADAP TEOLOGIA PEMBEBASAN DALAM PERSPEKTIF INJILI > 
EVALUASI TERHADAP TEOLOGIA PEMBEBASAN 

Sering kali suatu gerakan itu muncul sebagai 'unpaid bills of the church' - rekening yang belum terlunaskan oleh gereja - sebagaimana juga dengan gerakan Karismatik. Pada bagian ini kami bukan hanya mengritik Teologia Pembebasan saja, namun sikap kami lebih cenderung mengusahakan dialog dengan rendah hati. Kami mengakui bahwa banyak hal yang diungkapkan oleh teolog pembebasan sebetulnya merupakan pergumulan hati nurani kami sendiri. Ada teolog-teolog Injili di dalam mereka mengritik Teologia Pembebasan lebih bersifat 'self-defence', tuduhan Marxisme mungkin hanya pembelaan terhadap Kapitalisme, atau keberatan terhadap 'epistemo logical privilege of the poor' sebetulnya hanya menguntungkan si kaya. Ada yang menyederhanakan dan menyamakan teologia ini sebagai 'theological glorification of violence' - pembenaran atau pemuliaan kekerasan secara teologis. Sebetulnya yang mereka tentang ialah kekerasan yang melembaga. Kekerasan yang pertama berasal dari struktur yang berkuasa yaitu kekerasan yang menindas, dilawan dengan aktif tanpa kekerasan (active non violence), yang menjadi populer setelah tergulingnya Marcos.

Munculnya Teologia Pembebasan menyadarkan kita akan perlunya suatu teologia yang mempunyai orientasi universal. Selama ini teologia yang kita warisi dibentuk dari konsep 'putih unggul'. Sehingga seolah-olah teologia putih saja yang berhak disebut teologia, yang lain pakai embel-embel teologia hitam dan sebagainya. Tertundanya pengadilan akhir karena Yesus belum datang tidak berarti sekarang tidak perlu keadilan. Nabi Allah perlu berseru, "Berapa lamakah lagi, ya Penguasa yang kudus dan benar" (Why 6:9,10; Amos 1:13). Gereja memang tidak seharusnya menjadi motor gerila, tetapi juga bukan tempat retreatnya orang suci menunggu parousia. Kita perlu memikirkan kembali makna mengidentifikasikan diri dengan orang miskin. Apakah, seperti yang dikatakan Rudy Budiman, sering kali sikap kita sebagai orang yang di atas memberi sedekah kepada yang di bawah, ataukah seharusnya sebagai orang yang berdiri di samping bersama-sama orang tersebut menggumuli permasalahannya?26 Kegagalan kita mengambil resiko mempertanyakan bisa menjadi kegagalan kehilangan kemurnian Kerajaan Allah itu sendiri!

Teologia Pembebasan juga mengingatkan bahwa wilayah teologia harus selalu konteks dari situasi konkrit. Eklesiosentrisme adalah rintangan bagi teologia, kita perlu bergerak ke wilayah yang lebih luas, yaitu kosmosentrisme. Teologia pada hakekatnya adalah refleksi kontekstual, secara eksternal harus bersuara terhadap tensi dan konflik dalam masyarakat, ketidakpastian, pengharapan dan kegagalan manusia. Secara internal, teologia harus berfungsi secara kritis; menyoroti pertumbuhan iman jemaat di dalam pelayanannya kepada dunia, kualitas penatalayanannya. Teologia yang baik bukan hanya Alkitabiah, asumsi bahwa disiplin eksegese adalah obyektif merupakan warisan metode 'historicgrammatical' yang perlu direnungkan kembali. Alkitabiah hanya sebagian proses teologia, perlu dilanjutkan agar teologia tersebut menjadi kontekstual.

Perlu diakui bahwa dari Teologia Pembebasan kita menerima masukan baru dari sosiologi, ekonomi, ilmu politik. Di dalam kehidupan pribadi maupun bermasyarakat orang Kristen perlu menunjukkan solidaritasnya, jangan hanya melihat kebutuhan orang lain dan mengatakan "selamat jalan" tetapi tidak berbuat apa-apa (Yak. 2:16). B.S. Childs mengatakan, "Setiap generasi berdiri di dalam momen sejarahnya sendiri yang khusus, untuk meneliti Alkitab supaya bisa mengenali kehendak Allah, dan berjuang menuju suatu ketaatan hidup yang harus dilaksanakan di dalam pokok permasalahan yang konkrit dari dunia."27 Kita terbiasa 'using theology' bukan 'doing theology'. Antropologi menjadi semacam proses kognitif mempelajari sejarah dogma dalam bentuk proposisional, terpisah dari tuntutan sosial dan pemanusiaan. Harvie Conn mengatakan bahwa perlu adanya hermeneutika spiral, yaitu suatu hermeneutika yang selalu mengadakan dialog antara masa lampau dan masa kini, bukan hanya 'what it means' tetapi juga 'what it means'. Hermeneutika spiral bertumbuh selagi orang tersebut datang kepada Alkitab dengan kesadaran akan situasi pribadinya, konteks budaya dan sosialnya, dan dengan suatu pengakuan tanggung jawab bahwa ia harus mengasihi sesamanya melalui keterlibatan nyata dalam memperjuangkan nilai-nilai masyarakat. Refleksi dari pertanyaan yang timbul akibat kesadaran tersebut adalah pertanyaan yang lebih jauh, di situlah spiral itu terus berfungsi secara penuh.

Sebagaimana kami sebutkan di atas bahwa evaluasi ini lebih merupakan dialog, maka di antara beberapa segi positif di atas yang kami yakin menjadi masukan baru bagi kaum Injili, Teologia Pembebasan mempunyai beberapa segi negatif yang kami rasakan sangat meresahkan bukan karena semata-mata merupakan perombakan dari yang lama, melainkan karena sulit dipertanggungjawabkan dari terang Firman Tuhan. Di bawah ini akan kami soroti beberapa hal yang perlu menjadi 'lampu merah' bagi para teolog pembebasan.

Persoalan yang pertama muncul dari orientasi teologia mereka, yaitu pembebasan bagi yang tertindas. Kerajaan Allah diidentifikasikan dengan gerakan pembebasan dari si miskin dan kelompok yang tertindas. Apakah ini sungguh-sungguh konsep keselamatan dalam Injil, 'holistic view' atau keselamatan seutuhnya? Mereka mengritik kaum Injili yang cenderung merohanikan tema-tema kemiskinan dalam Alkitab, tetapi diganti menjadi miskin secara sosio ekonomi. Kalau kaum Injili dikatakan menjadi internalisasi, justru mereka jatuh dalam bahaya eksternalisasi. Bagi kami miskin dalam Alkitab seharusnya mempunyai dimensi sosio religius (tidak hanya religius, tetapi juga tidak hanya sosio ekonomi). Yang satu merohanikan arti miskin dalam Alkitab menjadi masalah 'di dalam', yang lain menjasmanikan arti miskin menjadi masalah perbedaan klas sosial. Yang satu berbicara terlalu banyak tentang kasih Allah tanpa keadilan, yang lain keadilan Allah tanpa kasih. Yang satu melenyapkan garis horizontal dalam Injil menjadi vertikalisme, yang lain jatuh dalam horizontalisme.

Kesulitan kedua timbul kalau kita menganalisa tekanan teolog pembebasan terhadap kekonkritan situasi kita. Kaum Injili cenderung memberi respon terhadap konteks dengan prioritas monistik, yaitu terhadap keselamatan jiwa, sedangkan keadilan sosial adalah soal kedua. Karya Kristus dilihat sebagai aktivitas dalam gereja, baru kemudian melalui individunya menyentuh kebutuhan manusia secara lebih luas, ini menimbulkan privatisasi Sedangkan teolog pembebasan menekankan dosa yang sudah melembaga dalam masyarakat. Dosa bukan soal pribadi atau semata-mata realita di dalam, sehingga hanya cukup dengan penebusan secara rohani, tetapi dosa adalah fakta sosial dan historis. Carilah dosa di dalam struktur penindasan, eksploitasi manusia, perbudakan, klas sosial dan rasisme, bukan berarti mereka menolak dosa sebagai pemberontakan terhadap Allah, tetapi akarnya dicari melalui struktur masyarakat. Tetapi di sinilah letak persoalannya, teologia tradisional menunjukkan pandangan monistik privatisasi dari Injil, mereka sebaliknya monistik kolektivisasi sehingga mengabaikan kebutuhan dan tanggung jawab pribadi kepada Allah. Perkataan Carl Braaten sangat tepat dalam hal ini:

"Teologia Pembebasan benar di dalam melebarkan konsep dosa meliputi dimensi sosial, tetapi pandangannya justru dangkal dalam beberapa hal ... Banyak kekayaan konsep dosa dalam teologia, tradisional menjadi hilang. Dosa menimbulkan murka Allah; merupakan perbudakan iblis; suatu kondisi mati rohani... Suatu keadaan yang rusak total sehingga sekalipun masalah struktur sosial sudah beres, penindasan, rasisme, seksisme, perbedaan klas, kapitalisme dsb, tetap kondisi hakiki manusia yang berdosa belum beres secara fundamental."28

Wilayah ketiga yang kami soroti ialah sehubungan dengan ilmu kemasyarakatan sebagai partner teologia. Ini bukan soal menjadikan teologia ilmu sosial sebagaimana yang dituduhkan sebagian orang, sebab sesungguhnya sulit memisahkan teologia dari asumsi kemasyarakatan sekalipun teologia tersebut dibentuk dari pandangan Alkitab yang ineran. Tetapi yang kami permasalahkan ialah pemutlakan ideologi di dalam pemakaian ilmu kemasyarakatan sebagai alat. Teologia warisan barat cenderung melihat kebutuhan sosial dari segi kapitalisme saja. Sebaliknya teolog pembebasan banyak yang melihatnya dari segi Marxisme atau Sosialisme. Yang satu menyoroti pertumbuhan ekonomi sebagai jalan keluar mengatasi kemiskinan, pandangan ini disebut idealisme optimistik sehingga menjadi pendukung status quo. Sebaliknya yang satu melihat perjuangan kelas sebagai jalan keluar yang disebut idealisme pesimistik, dengan demikian Kerajaan Allah dalam Kristus - suatu masyarakat baru - diperjuangkan melalui revolusi. Keduanya disebabkan kaitannya dengan ideologi. Gutierrez sering mengatakan bahwa mencari jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme akhirnya hanya jatuh lagi pada status quo. Usaha tersebut secara implisit mendukung penindas daripada secara eksplisit mendukung yang tertindas, bukan rekonsiliasi yang dibutuhkan melainkan liberasi, slogan tidak menyebabkan perubahan. Memang benar, tetapi kita juga harus tahu bahwa komitmen orang Kristen bukan pada teori perjuangan klas atau teori kemasyarakatan yang lain, melainkan kepada satu Allah yang benar yang menyatakan diri melalui firmanNya. Memang benar bahwa komitmen terhadap sosiologi tertentu lebih mendekati pola Injil, tetapi apakah benar demikian harus ditentukan oleh Injil, tidak oleh analisa sosial yang otonom sehingga terjadi pemutlakan ideologi. Jangan lupa bahwa Marxisme - adalah produk zaman pencerahan, yang dibangun atas definisi metafisis manusia yang mampu dan berkuasa dalam dirinya sendiri untuk menciptakan suatu masyarakat yang ideal, dengan demikian kedaulatan Allah adalah sekunder.

Masih ada satu hal lagi yang perlu diteliti sehubungan dengan tugas hermeneutika dan penolakan mereka terhadap perspektif utopia. Teolog pembebasan banyak memakai konstruksi eskatologis Moltmann (Teologia Pengharapan) untuk membentuk teologianya, tetapi mereka sangat kritis terhadap keabstrakan pandangan masa depan Moltmann, kekonkritan masa sekarang jangan ditumpulkan oleh kesamaran masa depan! Alves mengatakan bahwa mereka bukannya percaya terhadap kemungkinan adanya masyarakat yang sempurna, melainkan mereka percaya terhadap ketidakharusan keadaan masyarakat yang tidak sempurna sekarang ini. Tetapi yang menjadi masalah adalah sebaliknya. Tidakkah kekonkritan masa kini mereka justru melumpuhkan kekhususan eskatologi Kristen? Apakah pengalaman kelahiran baru yang sudah terjadi tetapi masih menunggu puncaknya pada masa yang akan datang hanya menjadi pengalaman 'sekarang' tanpa garis hubungan kepada Allah yang di depan kita dan membawa pada titik kesempurnaan tersebut? Sering mereka mengatakan bahwa eskatologi sebagai pelarian dari sejarah, tetapi apakah mereka tidak terancam bahaya eskatologi sebagai pelarian masa depan Allah? Teolog pembebasan menghadapi bahaya menurunkan eskatologi menjadi etika, sebagaimana kaum Injili menjadikan eskatologi suatu diagram yang digantung di depan tembok gereja. Etika yang bersumberkan eskatologi tidak dapat dipisahkan dari eskatologi yang mewujudkan diri dalam etika 'praxis'. Dapatkah para teolog pembebasan menjamin bahwa terlepas dari eskatologi Kristen, teologianya lalu tidak menjadi alat untuk membenarkan satu kelompok tertentu?.

Akhir kata

Sejak semula kami katakan bahwa ini adalah suatu dialog, mungkin banyak dari kritikan kami yang merupakan hasil ideologi tersembunyi yang belum dikonfrontir oleh terang Firman Tuhan. Namun sebaliknya kami himbau saudara yang sedikit banyak sudah memasukkan atau bahkan sudah menjadi pembela teologia pembebasan ini mengkonfrontir dirinya dengan terang Firman Tuhan. Kecuali interaksi antara kelompok Injili dengan Oikumenikal mengambil arah yang positif dan mau saling bertumbuh, maka sulit diharapkan keduanya bisa saling memperkaya dan mengadakan 'self-critique'. Kiranya segala kemuliaan hanya bagi nama Tuhan, bukan bagi denominasiku, latar belakang Sekolah Teologiaku, atau 'self-pride'-ku.



TIP #11: Klik ikon untuk membuka halaman ramah cetak. [SEMUA]
dibuat dalam 0.11 detik
dipersembahkan oleh YLSA