Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 7 No. 1 Tahun 1992 >  SEJARAH DAN TINJAUAN KRITIS TERHADAP TEORI KENOSIS > 
PERKEMBANGAN TEORI KENOSIS DARI WAKTU KE WAKTU 

Bapa-bapa Gereja awal, seperti Origen, Athanasius, Gregory dari Nyssa, Cyril dari Alexandria, dan Augustine, ada menyinggung konsep pengosongan diri Kristus ini. Tetapi konsep kenosis mereka tidak mempengaruhi doktrin Kristologi. Mengikuti Filipi 2:7, mereka memang mengemukakan bahwa Logos menjadi manusia melalui tindakan pengosongan diri. Tapi hal itu dilakukan bukan dengan jalan melepaskan hakekat dan sifat-sifat keallahanNya.195

Perkembangan modern dari teori kenosis dapat dikatakan dipelopori oleh Zinzendorf, seorang tokoh Moravia. Dalam keinginannya untuk menjelaskan bagaimana Allah menjadi manusia, Zinzendorf mengemukakan bahwa Kristus, sewaktu Ia dikandung dalam rahim ibuNya, meninggalkan keilahianNya. S. Cave melihat apa yang dikatakan oleh Zinzendorf belum merupakan suatu pernyataan yang bersifat teologis. Cave berpendapat bahwa pernyataan Zinzendorf hanyalah merupakan suatu ekspresi kekaguman akan kebesaran Allah dalam peristiwa inkarnasi Kristus.196

Teori Kenosis ini baru mendapat ekspresi teologisnya melalui tulisan dari Sartorius, pada tabun 1831. Ia melihat, dalam inkarnasi Kristus, kasih Allah yang begitu besar. Sedemikian besarnya kasih Allah sampai Ia rela menyangkal diriNya sedemikian rupa untuk menjadi manusia dan bahkan mengambil rupa seorang hamba. Sartorius sendiri tidak menjelaskan bagaimana penyangkalan diri Allah itu terjadi dalam inkarnasi Kristus.

Penjelasan sistematis dan teologis dari Teori Kenosis ini baru muncul pada tahun 1845 dalam artikel-artikel yang ditulis oleh Gottfried Thomasius (1802-1875). Pandangan lengkap Thomasius dapat dibaca dalam dua jilid pertama bukunya, Christ's Person and Work: A Presentation of Evangelical Lutheran Dogmatics from the Central Point of Christology.197 Thomasius, menuruti pembagian Martin Chemnitz, seorang teolog Lutheran ortodoks, membagi sifat atau atribut dari Allah Anak menjadi dua bagian, sifat relasional dan imanen. Menurut Thomasius, dalam inkarnasiNya, Allah Anak melepaskan sifat relatifNya (relative attributes), yang mengkarakteristikkan relasiNya dengan dunia ini, yakni kemahakuasaan (omnipotent), kemahatahuan (omniscience), dan kemahaadaanNya (omnipresence). Namun, pada waktu Ia berinkarnasi, Allah Anak tetap mempertahankan sifat imanenNya yang absolut dan esensial, yakni kesucian, kuasa, kebenaran dan kasihNya. Bagi Thomasius, sifat imanen inilah yang menjadikan Allah sebagai Allah. Sifat relatif Allah bukan merupakan bagian yang esensial karena itu hanya merupakan ekspresi yang Allah tunjukkan dalam relasiNya dengan dunia ini. Oleh karena itu, Allah dapat secara bebas mengosongkan sifat relatifNya untuk menjalankan rencana inkarnasiNya.

Dengan pembagian sifat Allah secara demikian, Thomasius merasa bahwa ia telah menyelesaikan persoalan inkarnasi. Keallahan Kristus tetap terpelihara dengan tetap dipertahankannya sifat absolut Allah Anak. Tapi karena Ia tidak mahaada, mahatahu dan mahakuasa, maka kemanusiaan Yesus dapat dijelaskan dengan baik. Bagi Thomasius, keallahan Kristus bukan nampak dalam ketidakberubahanNya, tapi justru dalam kemampuanNya untuk berubah.

Pendapat Thomasius ini dikritik oleh I.A. Dorner (1809-1884). Menurut Dorner, Thomasius dalam usahanya menjelaskan Kristologi justru melupakan doktrin Allah Tritunggal. Keabsolutan Allah Tritunggal berakar pada kenyataan bahwa setiap Pribadi secara bersama-sama mempertahankan sifat-sifatNya. Kesatuan Allah Tritunggal akan membuat ketiga Pribadi Allah itu tidak dapat dipisahkan. Sehingga pembatasan diri pada Allah Anak akan menyebabkan pembatasan pada Pribadi Allah Bapa dan Allah Roh Kudus.

Mereka yang memegang doktrin Allah tradisional juga tidak dapat menerima teori kenosis Thomasius. Menurut mereka, tidak ada sifat Allah yang tidak penting. Pribadi Allah merupakan suatu kesatuan yang utuh, yang tidak mungkin dipecah-pecahkan menjadi bagian yang penting (esensial) dan tidak penting (non esensial).

Masalah lain yang ditinggalkan oleh teori kenosis Thomasius adalah: Bagaimana dengan pekerjaan Allah Anak yang menunjang alam semesta ini dengan kekuatanNya? Apakah selama Ia berinkarnasi jabatan dan pekerjaan ini dibiarkan kosong?198 Wolfgang Friedrich Gess (1819-1891) mencoba menyelesaikan masalah doktrin Allah Tritunggal yang tidak bisa diselesaikan oleh teori kenosis Thomasius. Gess mengemukakan bahwa sewaktu Allah Anak mengosongkan diriNya, tugas untuk memelihara dan menunjang dunia ini diserahkan kepada Allah Roh Kudus. Tentu saja spekulasi teologis Gess tidak dapat menyelesaikan masalah Thomasius. Justru dengan spekulasi Gess ini orang dapat melihat ketidakcocokan teori kenosis dengan doktrin Allah Tritunggal.

J.H. August Ebrard, seorang teolog Reformasi di Zurich, tetap mencoba mendamaikan teori kenosis dengan doktrin Allah Tritunggal. Ebrard mengusahakan untuk mempertahankan kesatuan dan keabsolutan Allah Tritunggal. Oleh karena itu, tidak seperti Thomasius, Ebrard tidak membagi sifat-sifat Allah. Ebrard melihat kenosis sebagai suatu inisiatif Allah yang mentransformasikan sifat AllahNya ke dalam suatu bentuk yang kompatibel dengan hakekat manusia. Dalam transformasi tersebut, Logos itu menyesuaikan atributNya dari bentuk kekal (eternal form) menjadi bentuk waktu (time form) yang dapat mencocoki kehidupan seorang manusia penuh. Jadi dalam kenosis bukan berarti Allah Anak kehilangan beberapa atribut ilahiNya, tetapi hanya memberi bentuk yang baru untuk atribut-atribut tersebut.

Sampai di sini Ebrard memberi penjelasan yang masih lebih baik ketimbang teori spekulatif Gess. Namun, pertanyaan bagaimana Allah Anak dapat tetap menunjang alam semesta ini tetap tidak terselesaikan. Ebrard sendiri mencoba menyelesaikan dengan menyatakan bahwa Allah Anak tetap menunjang alam semesta ini dalam Logos yang berinkarnasi, tetapi dalam kesadaran yang berbeda. Dengan perkataan lain, Yesus sendiri tidak menyadari bahwa pada saat yang bersamaan Allah Anak yang ada dalam diriNya juga menunjang alam semesta ini dengan kekuatanNya.

Doktrin kenosis yang nampaknya "dapat" memberi penyelesaian mengenai bagaimana Kristus berinkarnasi ini juga mendapat sambutan di Inggris. Di antara mereka antara lain D.W. Forrest dan Fairbairn, tokoh-tokoh dari Free Church, dan Ch. Gore dan R.L. Ottley dari Gereja Anglikan. Forrest menerima pendapat bahwa keilahian Kristus dibatasi oleh Kristus sendiri, dan Kristus membatasi diriNya sedemikian rupa, sampai pada tahap keterbatasan dan kondisi seorang manusia.

Tidak jauh dari pandangan Forrest, Gore mengikuti pandangan Bishop Martensen dari Denmark, juga melihat kenosis di mana Anak Allah yang berinkarnasi ke dalam dunia mengkondisikan diriNya dalam keadaan manusia. Kristus tetap merupakan Pribadi Allah Tritunggal yang kedua, yang tetap menunjang dunia ini sebagai Pencipta dan Pemelihara, tetapi sekaligus Ia juga berinkarnasi sebagai Logos yang mengosongkan diri. Kedua kesadaran eksistensiNya itu tidak saling berhubungan, sehingga Yesus hanya mengetahui bahwa diriNya adalah Allah tanpa membawa kehidupan Tri tunggalNya ke dalam dunia.

Berbeda dengan Ebrard, Gore tidak membagi kesadaran Yesus menjadi dua bagian sadar (conscious) dan tidak sadar (unconscious). Gore melihat kehidupan Allah yang berinkarnasi hanya merupakan bagian penuh dari kegiatan Pribadi kedua dari Allah Tritunggal. Jadi dapat dikatakan bahwa Allah Anak secara sekaligus mempunyai dua kehidupan secara bersamaan: Pertama, kehidupan yang tak terbatas sebagai Penguasa dunia ini, dan kedua, kehidupan terbatas dalam inkarnasiNya ke dalam dunia. Gore sendiri tidak berminat untuk menjelaskan bagaimana hubungan antara dua kehidupan itu dalam pribadi Allah Anak.



TIP #16: Tampilan Pasal untuk mengeksplorasi pasal; Tampilan Ayat untuk menganalisa ayat; Multi Ayat/Kutipan untuk menampilkan daftar ayat. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA