Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 > 
SUATU SOROTAN TERHADAP TEOLOGI MODERN 
 I. PENDAHULUAN

Latar Belakang Pemikiran Manusia Modern

Judul makalah ini ialah 'Suatu Sorotan Terhadap Teologia Modern'. Karena ini merupakan suatu sorotan, maka pembahasannya tidak bisa terlalu mendetail, sebab istilah Teologia Modern itu sendiri luas, termasuk di dalamnya Liberalisme abad 19, Neo Ortodoks dsb. Namun secara singkat yang kami artikan Teologia Modern di sini ialah teologia-teologia yang muncul khususnya sesudah Zaman pencerahan sampai abad 20 ini, dan ini terbatas pada teologia-teologia yang sedikit banyak menerima presuposisi modernisme, sehingga di dalam merumuskan teologianya itu, kalau perlu mereka menyimpang dari prinsip-prinsip kekristenan yang sudah diterima oleh gereja-gereja konservatif sepanjang sejarah. Juga kami sebutkan sebagai suatu sorotan, sebab kami melihatnya secara kritis dalam posisi kami sebagai orang Injili. Hal ini memang sesuai dengan tema besar Jurnal Pelita Zaman kali ini yang ingin memperkenalkan pandangan Injili.

Latar belakang pemikiran manusia modern hanya kami batasi mulai Zaman pencerahan, karena pada Zaman inilah manusia sungguh-sungguh mempertanyakan segala sesuatu yang berbau otoritas, mereka merasa dirinya sudah dewasa, ada rasa tidak percaya kepada tradisi dan hal-hal yang dianggap kuno. Juga pada Zaman inilah revolusi industri dalam arti yang sesungguhnya dimulai di negara-negara barat. Berikut ini kami bahas beberapa tokoh dan faktor utama yang menjadi latar belakang pemikiran manusia modern.

1. Kant. (1724-1804)

Dialah tokoh utama dari Zaman pencerahan, di dalam artikel yang berjudul 'What is Enlightenment' ia mengatakan bahwa inilah zaman di mana manusia muncul dari kebodohannya, yaitu tergantung kepada otoritas di luar dirinya, sehingga enggan memakai pengertiannya sendiri. Motonya ialah 'Dare to use your-own understanding'. Di dalam banyak hal dia adalah peletak dasar secara teoritis dari teologie liberalisme, karena banyak sekali teolog Liberal yang membangun di atas filsafatnya. Dalam buku 'Critique of Pure Reason' dia mengatakan bahwa sains berdasarkan hakekatnya bisu terhadap agama, tidak bisa mengatakan pro atau kontra. Hal ini diperkuat lagi dengan teorinya yang memisahkan jangkauan wilayah pemikiran manusia menjadi dua, yaitu 'noumenal' dan 'phenomenal'. Wilayah 'noumenal' di luar jangkauan penganalisaan manusia, termasuk di dalamnya hal-hal mengenai kebebasan, kekekalan. Sedangkan 'phenomenal' ialah gejala-gejala yang nampak dan bisa diamati oleh manusia. Hal, ini menyebabkan Kant disebut juga sebagai 'Bapa Agnostisisme.'1 Pengaruhnya secara praktis terasa sekali bagi manusia sekarang, banyak sekali orang yang kalau diajak berbicara tentang Allah, surga, sesudah kematian dan sebagainya, akan menjawab 'tidak tahu'.

2. Hegel. (1770-1831)

Pengaruhnya yang terutama ialah metode dialektis yang diterapkan dalam perkembangan sejarah dan peradaban manusia. Seluruh perkembangan peradaban manusia bergerak menurut teori tesis anti tesis - sintesis. Teori Hegel ini merupakan revolusi dalam pemikiran manusia, dahulu manusia berpikir dalam garis horizontal, sebab akibat, tesis - anti tesis. Sekarang manusia berpikir secara sintesis,

Sejarah kemudian membuktikan bahwa Hegel berhasil mempengaruhi umat manusia, mereka sekarang cenderung menjadi kompromistis dan relatif. Di dalam teologia pengaruh Hegel sangat terasa, sebab metode pikirnya ini kemudian dipakai oleh dua tokoh besar Liberalisme, yaitu Wellhausen dalam kritik Perjanjian Lama, kemudian Baur dalam kritik Perjanjian Baru.

3. Dunia Ilmu Pengetahuan

Mulai Zaman pencerahan terjadi kemajuan yang pesat dalam bidang ilmu pengetahuan, makin banyak gejala alam yang bisa dijelaskan oleh manusia, ilmuwan-ilmuwan seperti Copernicus, Kepler, Galileo, Boyle, Newton, Maxwell, dan sebagainya. Sehingga manusia makin yakin akan kemampuannya sendiri, dan makin lama makin mendesak Allah keluar dari percaturan kehidupan manusia. Sekalipun demikian masih ada satu hal yang belum bisa terjawab di tengah-tengah kemajuan pengetahuan manusia tersebut, yaitu dari manakah asalnya manusia? Itulah sebabnya ketika Darwin menerbitkan bukunya 'The Origin of Species' pada tahun 1859, dikatakan bahwa seluruh edisi pertama terjual habis pada hari dipublikasikannya buku tersebut. Mereka merasa bahwa misteri terakhir yaitu asal mula manusia telah terpecahkan oleh teori Evolusi. Tidak heran sesudah Zaman ini ateisme menjadi begitu subur.

4. Kierkegaard. (1813-1855)

Kierkegaard sengaja kami tempatkan pada urutan terakhir dalam pembahasan latar belakang manusia modern. Karena filsafat eksistensialismenya sebetulnya merupakan arus balik daripada keoptimisan dan keyakinan manusia terhadap rasio yang dianggap bila menjawab segala sesuatu. Dia merasa di tengah kebanggaan manusia akan revolusi industri, justru manusia kehilangan makna yang sesungguhnya bagi dirinya, relasinya dengan yang Maha Tinggi. Di dalam salah satu tulisannya pada 'Jurnal' (1835) dikatakan "Yang penting ialah mengerti diriku, apa yang sungguh Allah kehendaki aku lakukan. Meneruskan kebenaran yang benar bagiku, menemukan ide yang baik bagi mati hidupku".2 Posisinya yang paling tepat ialah 'Subyektivisme'. Ada yang mengatakan filsafatnya sebetulnya bukan filsafat, melainkan akhir segala filsafat.

Ada suatu keseragaman dalam filsafat sesudah itu. Dahulu filsafat merupakan suatu usaha di mana manusia membangun suatu sistem menyeluruh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan hakiki dalam kehidupan ini. Dalam istilah Schaeffer seperti orang yang menggambar lingkaran yang mencakup seluruhnya, tetapi kalau kita ikuti akibatnya seperti dari satu lingkaran meloncat ke lingkaran yang lain. Sekarang manusia melepaskan usaha menggambar lingkaran tersebut, sebab yang penting ialah subyektivitas diriku saja, namun akibatnya lebih fatal, mereka seperti orang yang berada dalam ruang luas yang gelap tanpa exit. Inilah yang disebut anti filsafat. Isinya tidak penting, yang penting engkau bisa memilih dan bertindak bagi dirimu dengan demikian engkau bisa menemukan pengalaman eksistensial untuk mewujudkan dirimu! Schaeffer sekali lagi mengatakan bahwa di sinilah awal garis keputusasaan manusia modern (the line of despair).

 II. CIRI-CIRI KHAS MANUSIA MODERN

Setelah mengikuti latar belakang pemikiran manusia modern di atas, kita akan lebih mudah mengenal gejala dan ciri-ciri khas manusia sekarang. Manusia modern merupakan produk dari dua arus filsafat yang bertentangan di atas, di satu segi mereka optimis terhadap kemampuan teknologi manusia, tetapi di dalam segi lain, mereka begitu pesimis terhadap masa depan manusia. Di satu sisi mereka merasa dirinya sudah tiba pada puncak peradaban manusia, tetapi di sisi lain mereka merasa dirinya makin tenggelam dalam ketanpa-artian hidup (meaninglessness). Mereka menolak agama dan kehadiran Allah dalam hidupnya, tetapi mereka mencari kelepasan melalui mistikisme. Karena itu tidak heran di dalam cara berpikirnya, juga ada kontradiksi sebagai akibat dua arus di atas, berikut ini akan kami bahas beberapa ciri khas manusia modern.

1. Humanisme

Istilah ini sebetulnya luas sekali, tetapi secara singkat kami simpulkan sebagai suatu pandangan hidup yang berpusatkan pada diri manusia sendiri. Ini merupakan agama, tetapi agama yang tanpa Allah. Di antara sekian banyak kontributor terhadap pandangan humanisme, ada semacam keseragaman sebagai berikut:

- Manusia tidak rusak akibat dosa sejak lahir.

- Tujuan hidup adalah hidup itu sendiri sekarang bukan di akhirat.

- Dengan akal manusia dapat meningkatkan kehidupan yang baik.

- Kondisi utama untuk mencapai kemajuan hidup ialah melepaskan diri dari ikatan tahyul dan tekanan otoritas.

2. Naturalisme

Naturalisme ialah pandangan hidup yang menganggap bahwa alam semesta adalah suatu sistem tertutup yang saling berinteraksi, tanpa campur tangan dari yang supranatural. Bagaimana bisa mengerti gejala alam dan proses kehidupan di dalamnya? Satu-satunya jalan ialah melalui sains, hanya sains yang bisa memberikan gambaran tentang realita yang sesungguhnya. Di dalam kaitan dengan teologia Kristen, hal ini berarti apabila terjadi data-data di dalam Alkitab yang bertentangan dengan sains (atau sepertinya sains), misalnya: geologi, astronomi, dan khususnya biologi, maka pasti Alkitablah yang salah. Pada hakekatnya pengikut naturalisme sudah mempunyai presuposisi bahwa hal-hal yang supranatural itu tidak ada.

3. Ateisme Praktis

Ateisme praktis berbeda dengan ateisme dalam hal bahwa seorang ateis bukan hanya orang yang tidak beragama, bahkan dengan gamblang menyerang keberadaan Allah. Akibat pengaruh deisme,3 dan yang lebih populer belakangan ini yaitu agnostisisme, maka ateisme sebetulnya tidak terlalu popular lagi. Yang lebih banyak ialah ateisme praktis, mereka mungkin beragama, tetapi gaya hidupnya sangat sekuler, keberadaan Allah dengan segala firman yang harus dilaksanakan manusia secara praktis tidak ada hubungan apa-apa dengan dirinya. Ateis praktis tidak menyangkali Allah, namun di dalam setiap usaha mereka sebetulnya berpusat pada dirinya sendiri, mereka tidak mengenal kehidupan doa yang merupakan pengakuan kebutuhan manusia untuk bersandar kepada Allah. Pandangan ini sebetulnya banyak menyusup ke dalam gereja, khususnya di dalam negara Indonesia yang menganjurkan penduduknya untuk beragama tersebut.

4. Pragmatisme

Salah satu problem yang terbesar dari manusia ialah hilangnya konsep "truth" (kebenaran). Dahulu manusia berpikir bahwa ada suatu kebenaran mutlak yang menjadi standard kehidupan. Namun sejak pragmatisme dipopulerkan oleh William James, orang sekarang menganggap bahwa kebenaran ialah sesuatu yang bisa membawa hasil nyata (truth is what works). Dengan gagasan ini satu-satunya ujian bagi kebenaran ialah konsekuensi praktisnya, dengan demikian kebenaran menjadi relatif. Kalau diterapkan dalam agama berarti ajaran-ajaran atau aspek-aspek dalam agama tidak bernilai pada dirinya sendiri melainkan pada akibat moral dan psikologisnya. Pandangan ini mempunyai aspek kebenaran di dalamnya, terkadang kita terpancang pada kata-kata atau teori-teori kebenaran tanpa memikirkan penerapannya. Namun perlu diperhatikan bahwa suatu kebenaran itu biasanya membawa hasil, tetapi sesuatu yang membawa hasil belum tentu merupakan kebenaran.

5. Subyektivisme

Sebagaimana sudah kami singgung di bagian sebelumnya, akibat dari aksistensialisme dan juga yang lebih belakangan yaitu pragmatisme; di mana kebenaran yang universal itu dianggap tidak ada, maka manusia menjadi subyektif sekali di dalam menilai segala sesuatu. Pandangan ini dapat dikatakan merupakan suatu usaha untuk mengerti segala sesuatu dari segi si pelaku itu sendiri, bukan apa yang dikatakan orang lain, atau tradisi, atau ajaran agama sekalipun. Setiap orang adalah unik dalam keberadaannya, bahwa dirinyalah yang berpikir, mempertimbangkan dan memutuskan untuk masa depannya sendiri. Pandangan ini sebetulnya merupakan reaksi terhadap tata masyarakat modern yang cenderung bersifat massal, baik di bidang industri, teknologi, politik dan birokrasi, sehingga seolah-olah pandangan dari nilai pribadi itu ditelan dalam sistem tersebut.

6. Nihilisme

Akibat paling fatal dalam cara berpikir manusia modern ialah nihilisme. Ini merupakan konsekuensi daripada pilihan manusia sendiri yang tidak mau lagi mengakui keberadaan Allah, kebenaran yang mutlak, dan pemusatan pada diri manusia sendiri. Sehingga akhirnya manusia merasa dirinya tidak lagi mempunyai makna hidup (meaninglessness). Di antara para filsuf, Nietzsche dapat dikatakan sebagai Bapa Nihilisme, dan hidup secara konsisten dengan pandangan hidupnya itu. Dia mengatakan kalau tidak ada Allah, tidak ada agama berarti tidak perlu juga ada norma moral. Setiap orang menciptakan arti hidupnya sendiri, dan menentukan sendiri apa yang baik dan tidak baik bagi dirinya. Sayang sekali, sebagai seorang mahasiswa teologia yang brilian di Bonn, dia harus mengakhiri hidupnya dalam kefrustrasian dan menjadi orang yang kurang waras mentalnya.

 III. PENGARUH MODERNISME DALAM TEOLOGIA

Pengaruh filsafat dan cara berpikir manusia modern terasa sekali dalam bidang teologia. Khususnya pandangan naturalisme sangat mempengaruhi teolog-teolog modern, sehingga hal-hal dan ajaran-ajaran yang bersifat supra natural diubahkan begitu rupa supaya lebih bisa diterima oleh telinga orang modern. Sebetulnya banyak sekali aliran yang bisa dikategorikan teologia modern dengan tekanannya masing-masing, namun kesemuanya itu mempunyai beberapa persamaan baik di dalam presuposisi maupun di dalam beberapa doktrin utama yang mau diubahkan.

1. Evolusi

Kebanyakan teolog modern menerima evolusi menjadi 'World View'4 mereka. Sehingga tidak heran terjadi pertentangan yang tajam antara teolog Injili dan Liberal dalam hal ini. Pertentangan ini menjadi populer di barat dengan adanya dua kasus yang dipublikasikan secara luas, yaitu perdebatan antara Samuel Wilberforce dengan T.H Huxley pada tahun 1860 di Inggris, dan di Amerika karena kasus pengadilan Scopes, yaitu seorang guru yang mengajarkan evolusi dalam kelasnya. Teolog modern menerapkan filsafat evolusi dalam agama, antara lain mengatakan bahwa bentuk penyembahan (agama) merupakan proses dari cara penyembahan yang paling primitif (animisme), setelah melalui suatu perbaikan demi perbaikan akhirnya menjadi bentuk monotheisme kekristenan yang lebih bisa diterima oleh akal sehat. Juga terjadinya Alkitab melalui proses penyempurnaan oleh Bapa-bapa gereja sehingga menjadi kanon seperti yang kita punya sekarang, dengan demikian konsep penyataan dan pengilhaman menjadi kabur. Sebetulnya manusia sekarang banyak sekali yang terlalu cepat menelan evolusi sebagai ilmu yang absah, kami tidak akan membahas kelemahan-kelemahan evolusi dalam artikel ini, tetapi cukup kami katakan bahwa evolusi lebih tepat disebut sebagai filsafat daripada sebagai sains. Bapa Dr. Stanley Heath ada mengupas masalah ini dalam bagian wawancara daripada jurnal ini.

2 Meragukan Alkitab

Sejak abad 19, di kalangan Liberal muncul metode Kritik Sastra Tinggi (Higher Criticism) yang sampai sekarang menjadi salah satu ciri khas utama teologia modern. Metode ini dikembangkan berdasarkan presuposisi bahwa Alkitab adalah buku biasa yang mempunyai nilai karena mencatat banyak kesaksian atau pengalaman orang-orang suci Zaman dahulu, sehingga bisa menjadi keteladanan bagi kita. Namun data-data dalam Alkitab banyak sekali yang salah, karena itu Kritik Sastra Tinggi mencoba mencari siapa penulis-penulis Alkitab yang sesungguhnya, tanggal penulisan, komposisi dan sebagainya. Misalnya Pentateukh dikatakan tidak ditulis oleh Musa; Yesaya ditulis oleh beberapa orang, dalam Perjanjian Baru banyak perkataan atau ajaran yang sebetulnya tidak ajarkan oleh Yesus sendiri. Hal ini tentu saja meniadakan konsep pengilhaman oleh Allah terhadap para penulis Alkitab, sehingga kebenaran yang mereka tuliskan tidak mungkin salah, yang jelas sekali diajarkan dalam Alkitab (misalnya: II Tim. 3:16; I Pet. 1:21 dan sebagainya). Salah satu masalah utama di kalangan Barthianisme atau Neo Ortodoks adalah penerimaan mereka terhadap metode Kritik Sastra Tinggi, sehingga ada usaha untuk memulihkan beberapa doktrin fundamental dari kekristenan, tetapi dasarnya labil sekali, karena banyak data-data dalam Alkitab mereka sendiri tidak mempercayai kebenarannya.

3. Kristologi

Selaras dengan pandangan mereka yang tidak mempercayai hal-hal yang supranatural, maka kepercayaan ortodoks tentang Kristus yang berbau supranatural dibuang oleh mereka. Hal kelahiran Yesus dari anak dara, dwi - sifat Yesus sebagai manusia dan Allah, kebangkitan tubuh, juga mujizat-mujizat yang pernah dilakukan Yesus disangkalinya. Dengan demikian Yesus hanya menjadi teladan yang patut diikuti oleh manusia. Seorang tokoh liberal Adolf Van Harnack dalam bukunya "What is Christianity" yang terbit dalam bahasa Inggris pada tahun 1901, mengatakan bahwa Kristus bukan anak Allah yang berinkarnasi mati bagi dosa dunia, melainkan Dia adalah satu-satunya yang di dalam kehidupan kerohanian dan kesalehan-Nya menunjukkan kepada kita apa artinya menjadi anak Allah, dikatakan bahwa doktrin Kristologi yang dianut para teolog konservatif adalah penyimpangan yang terjadi belakangan. Sebetulnya kalau kita mengamati teologia modern ada suatu kontradiksi di dalam Kristologi mereka. Di satu segi mereka tidak mempercayai Yesus sebagai anak Allah, hal ini konsisten dengan presuposisi naturalisme mereka, tetapi di lain segi mereka juga tidak berani membuang Yesus sama sekali dari iman kepercayaan Kristen. Sebetulnya kesaksian dalam Alkitab jelas sekali, bahwa Yesus dan supranatural terkait menjadi satu. Di dalam logika yang sederhana, Paulus mengatakan kalau Yesus tidak bangkit maka - sia-sialah kepercayaan kita (I Kor. 15:17). Kaum modenisme (termasuk neo ortodoks!) kalau mau konsisten harus memilih apakah mereka menerima Yesus dengan kesaksian-kesaksian Alkitab tentang supranatural yang terkait dengan dirinya atau tidak sama sekali!

Justru di sinilah masalahnya, sering kali orang awam agak tertipu atau tidak sadar karena teolog modern memakai terminologi yang sama dengan kaum Injili, misalnya Pengakuan Iman Rasuli, tetapi sebetulnya yang mereka maksudkan di balik terminologi tersebut adalah sesuatu yang jauh berbeda dan bahkan sulit dikatakan apakah itu kepercayaan Kristen atau bukan.

4. Doktrin Allah

Allah yang dahulu transenden, sebagai Allah yang maha tinggi dan melampaui manusia, sekarang makin lama makin turun dan makin diidentikkan dengan manusia dan alam sekitarnya (imanen). Pada abad ke 19 dan awal abad 20 konsep Allah yang terkenal di kalangan liberal adalah pentheisme - Allah adalah segala sesuatu. Tetapi belakangan ini muncul konsep yang lebih baru yaitu panentheisme - Allah ada di dalam segala sesuatu. Tillich menyebutkan Allah sebagai 'being if self' (ada/keberadaan itu sendiri). Allah tidak perlu diperdebatkan ada atau tidak, karena Ia adalah keberadaan itu sendiri, manusia tidak usah mencari Allah di luar, tetapi dengan melihat kepada ke dalamnya sendiri, ia tahu bahwa dasar dari keberadaannya yang terdalam adalah Allah yang disebut 'ground of being'. Sebetulnya Allah yang digambarkan mereka bukan lagi merupakan obyek yang terpisah dari manusia, di mana kita bisa berdoa dan memohon kepada-Nya. Jauh sebelum kita, Feuerbach pernah mengritik orang Kristen yang dikatakan sebagai proyeksi manusia semata-mata, Schaeffer mengemukakan pilihan bagi orang Kristen, personal God (Allah Kaum Injili) atau 'devilish Din' (konsep Allah modernisme).5

5. Eskatologi

Di dalam eskatologi, pandangan tradisional tentang akhir Zaman, Yesus yang datang kedua kali sebagai Hakim tertinggi, kemudian mendirikan kerajaan baru, semuanya ditolak. Konsep kerajaan Allah yang akan datang diubah dan diartikan sebagai kerajaan Allah yang harus diwujudkan dalam dunia dan kehidupan sekarang ini. Orang Kristen harus menjadi rekan kerja Allah yaitu dengan memperjuangkan keadilan sosial, merombak tekanan struktur yang senantiasa merugikan orang miskin. Semua tema-tema atau istilah-istilah eskatologi dianggap sebagai simbol untuk menggambarkan situasi sekarang. Pandangan ini kita lihat dalam aliran Injil sosial dan yang lebih belakang ini yaitu Teologia Pembebasan. Sebetulnya pandangan bahwa orang Kristen perlu ambil bagian dalam memperjuangkan keadilan sosial itu sendiri tidak salah, tetapi kalau eskatologi sepenuhnya diartikan sebagai simbol yang menggambarkan situasi sekarang maka ini menyempitkan pengertian eskatologi itu sendiri. Di dalam konsep Alkitab, kita berjuang untuk meningkatkan kehidupan manusia sekarang, dengan menjadi garam dan terang, tetapi itu hanya suatu 'fore taste', di mana penggenapan daripada janji Allah itu akan terjadi pada waktu Yesus datang ke-2 kali nanti.

Kalau kelima point di atas kita telusuri kembali, maka jelas sekali bahwa akar daripada modifikasi doktrin kekristenan yang bersejarah itu terletak pada penolakan mereka akan supranatural. Iman masih ada tetapi samar-samar dan tidak diketahui. Pada Zaman sekarang banyak orang melihat ketidakkonsistenan modernisme, itulah juga sebabnya liberalisme yang pada abad 19 begitu populer sekarang tidak digemari. Di dalam kegagalan liberalisme tersebut, mereka hanya mempunyai dua alternatif, yaitu kembali kepada kekristenan yang bersejarah yang didasarkan pada Alkitab atau membuangnya sama sekali dan mengarah ke nihilisme (misal: Death of God Theology), tetapi rupanya ada alternatif ke tiga yang dipilih oleh modernisme, yaitu 'leap of faith'. Sekalipun mereka tidak mempercayai yang supranatural tidak apa, data-data dalam Alkitab mereka katakan salah juga tidak apa, karena iman mereka melebihi itu, meloncat kepada sesuatu yang sebetulnya mereka sendiri tidak ketahui, tidak bisa dikomunikasikan. Dengan demikian teologia menjadi anti teologia, sistim ini tidak bisa diverifikasikan, hanya bisa dipercayai. Pandangan ini menjadikan kepribadian manusia terpecah sebagaimana yang digambarkan oleh Schaeffer.6

Optimis buta terhadap makna hidup, didasarkan pada lompatan iman yang non-rasional. Rasional dan logis yang tidak memberi makna. Namun justru usaha ini adalah 'despair beyond despair' (suatu usaha keputusasaan yang dibangun di atas keputusasaan yang lain). Karena dengan pandangan modernisme ini, manusia tidak punya konsep kebenaran yang menyatu, individu bahkan tidak bisa berkomunikasi dengan dirinya sendiri, padahal salah satu sifat hakiki manusia adalah mahkluk rasional. Dan akhirnya mereka jatuh kepada yang disebut 'modern mysticism'.

 IV. APA YANG HARUS KITA LAKUKAN?

Setelah kita membahas beberapa pandangan teologia modern yang menyimpang daripada kekristenan yang bersejarah yang didasarkan pada Alkitab, maka pada bagian terakhir ini kami akan memberikan beberapa saran atau kesimpulan umum yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan oleh kaum Injili untuk menghadapinya.

1. Membentuk Pola Berpikir Manusia Modern

Yang menjadi masalah daripada modernisme bukan ketidakpercayaan mereka kepada salah satu ajaran Kristen, tetapi pada mental atau pola berpikir keseluruhan daripada orang sekarang. Mereka cenderung menolak Allah yang berpribadi, penyataan secara propositional, kemutlakan moral, terkadang mereka berbicara seperti Kristen, tetapi di balik itu pola pikir mereka serupa dengan orang dunia yang lain. Hal inilah yang perlu dilaksanakan oleh kaum Injili (Rom 12:2) sehingga mereka diubah oleh pembaharuan budi sebagai orang yang sudah ditebus. Kaum Injili harus berani menekankan pentingnya kebenaran, berbicara dan bersikap dengan tegas tanpa bahasa kompromistis. Ini yang mungkin menjadi salah satu masalah bagi teolog besar Karl Barth, karena usahanya untuk bisa diterima oleh manusia modern maka ada beberapa pandangan yang keluar dari garis ortodoks.

Dari data yang kami peroleh, maka orang-orang yang pernah kenal secara pribadi dengan beliau mengakui kerendahan hatinya dan kesiapannya untuk menyaksikan Injil Yesus Kristus yang sudah menyelamatkan secara sederhana. Sayang sekali karena sistem teologia yang dibangunnya menimbulkan beberapa lubang dan implikasi yang berbahaya, maka ada murid-muridnya yang radikal dan mengembangkan teologia yang jauh bahkan sangat mengancam kekristenan. Paul Van Buren dengan teologia sekulernya adalah contoh yang jelas.

Harold O.J. Brown mengatakan bahwa ada tiga langkah yang perlu dilaksanakan dalam membentuk pemikiran manusia modern,7 yaitu yang pertama, mengritik dan menunjukkan kesalahan daripada teologia modern. Sehingga opini umum tidak berat kepada modernisme, hal ini sudah dicapai oleh kaum Injili (khususnya di Amerika). Yang kedua, membela dan merumuskan secara mendetail doktrin-doktrin tertentu dalam hubungan dengan kekristenan yang bersejarah, ini juga sudah tercapai. Yang ketiga, yang masih dalam proses dan menjadi tantangan kita bersama, yaitu menciptakan suatu sistem pemikiran yang koheren dan didasarkan kepada Firman Tuhan, kemudian bisa diterapkan ke dalam alam manusia modern, atau dengan kata lain merumuskan suatu World-View yang komprehensif.

2. Kesatuan Antara iman dan Pemikiran

Dalam dunia yang relatif ini, kita harus berbicara tentang hal ini. Manusia sekarang menganggap kebenaran itu relatif, pragmatis dan fragmental. Tidak ada suatu konsep menyeluruh yang bisa menghubungkan iman dan kenyataan, tantangan hidup ini. Tetapi kaum Injili tidak, kita percaya bahwa all truth is God's truth. Keyakinan Injili bahwa Alkitab sebagai Firman Tuhan bukan merupakan 'pengorbanan intelektual'. Pada Zaman dahulu memang kritik sastra tinggi cukup mendapat tempat di kalangan liberalisme, tetapi dengan kemajuan arkeologi, kita bersyukur bahwa banyak data-data Alkitab yang dahulu diragukan kebenarannya justru sekarang terbalik, Alkitablah yang benar dan para pengritiknya yang terlalu cepat bersuara. Bagi pembaca yang tertarik pada hal ini silahkan memiliki buku 'Bible Difficulties' yang sudah diberikan resensinya pada penerbitan, jurnal Pelita Zaman yang lalu. Kesatuan antara iman dan pemikiran ini dapat kami gambarkan sebagai berikut:

3. Mendemonstrasikan Karakter Allah Untuk Zaman Ini

Kalau kaum Injili berani mengatakan dirinya memiliki 'truth' itu maka kita juga harus siap melaksanakan dan membuktikan konsekuensi daripada klaim tersebut, yaitu dengan mendemonstrasikan karakter, cahaya Kristus dalam kehidupan. Dunia mempunyai hak melihat siapa kita, konsisten tidak dengan yang kita katakan, kalau kaum Injili mengklaim dirinya benar, tetapi di dalam praktek tidak mempunyai kelebihan dengan mereka yang liberal, 'What's the use'?. Kalau perpecahan demi perpecahan terjadi dalam gereja-gereja Injili, bukanlah itu menjadi bahan tertawaan dari mereka yang non Injili. Tidak ada Zaman lain di mana manusia begitu apatis, muak terhadap kemunafikan, baik dalam pemerintah maupun gereja-gereja. Tetapi juga tidak ada Zaman yang sungguh merindukan kebenaran yang transparan dalam kehidupan, maka ini merupakan suatu tantangan sekaligus kesempatan bagi kaum Injili. Kiranya tulisan singkat ini bisa memberi manfaat bagi para pembaca, dan Tuhan dipermuliakan.

 DAFTAR KEPUSTAKAAN

Brown, Colin. Philosophy and the Christian Faith. London: Inter-Varsity, 1974.

Conn, Harvie M. Contemporary World Theology. Grand Rapids: Baker, 1973.

Gaisler, Norman L. Christian Apologetics Grand Rapids: Baker, 1982.

Gundry and Johnsons, eds. Tensions in Contemporary Grand Theology. Chicago: Moody Press, 1979.

Henry, Carl F.H. ed. God, Revalation, and Authority, vol. I. Texas: Word Books, 1976.

Schaeffer, Francis A. The God Who is There. Illinois: Inter-Varsity, 1968.

______. He is There and He is not Silent. Wheaton: Tyndale, 1972.

______. Escape from Reason. Illinois: Inter-Varsity, 1968.

Thielicke, Helmut. The Evangelical Faith: The Relation of Theology to Modern Thought Forms. Grand Rapids: Eerdmans, 1974.



TIP #10: Klik ikon untuk merubah tampilan teks alkitab menjadi per baris atau paragraf. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA