Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 7 No. 1 Tahun 1992 > 
KEMATIAN YESUS KRISTUS 
Penulis: Yohan Candawasa183
 PENDAHULUAN

"Yesus mati pada usia sekitar 33 tahun". Kelihatannya tidak ada yang istimewa dengan pernyataan ini selain bahwa Yesus mati muda. Ia hanya mencapai setengah umur manusia rata-rata sekarang ini. Selain itu pernyataan ini adalah pernyataan rutin karena kematian merupakan pengalaman yang semua manusia akan alami. Dan kematian mengakhiri segalanya, sehingga tak ada apa-apa lagi yang bisa dibicarakan.

Sesungguhnya kenyataan ini menjadi berbeda jika yang kita bicarakan adalah kematian Yesus Kristus. Injil memuat sekitar sepertiga bagiannya untuk membicarakan kematian Yesus. W. Griffith Thomas menulis:

If we read the Gospels just as they stand, it is clear that the death of Jesus Christ was really in view almost from the outset of His earthly appearance.177

Rasul Paulus, yang menulis bagian terbesar PB, mempunyai penekanan yang serupa. Setelah beberapa waktu pelayanannya di Korintus ia meringkaskan pelayanannya dengan perkataan, "Kami memberitakan Kristus yang disalibkan" (1Kor 1:23), serta mengingatkan rekan-rekannya di sana, "Aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan" (1Kor 2:2). Di tempat lain ia menulis, "Tetapi aku sekali-kali tidak man bermegah, selain dalam salib Tuhan kita Yesus Kristus" (Gal 6:14).

Bahkan terlebih penting dari semua yang telah disebutkan di atas, Yesus sendiri juga menekankan kesentralan penyalibanNya. Dari waktu ke waktu Ia terus memperingatkan murid-muridNya tentang apa yang akan terjadi padaNya. Segera setelah peristiwa di Kaisarea Filipi di mana Petrus menyatakan Yesus adalah Mesias, Yesus mulai memberitakan kematianNya. Matius menulis, "Sejak waktu itu Yesus mulai menyatakan kepada murid-muridNya bahwa Ia harus pergi ke Yerusalem dan menanggung banyak penderitaan dari pihak tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga" (Mat 16:21). Penekanan pada "sejak waktu itu" (apotote) dibandingkan dengan frase serupa yang digunakan pada awal pelayanan Yesus (Mat 4:17) tampak menunjukkan kepada kita pentingnya bagian ini. Kematian sebagai tujuanNya semakin jelas ketika Petrus mencegahNya, Petrus malah ditengking Yesus. Pada peristiwa selanjutnya di mana Yesus dimuliakan, kita melihat sebuah peristiwa maha penting karena melibatkan dua tokoh besar PL. Inti di balik peristiwa ini adalah mengenai kematian Yesus. Tentang hal ini Yesus kemudian kembali memberitakan kepada murid-muridNya (Mat 17:22-23). Pada Matius 20 dalam perjalanan ke Yerusalem, dicatat di situ bahwa misi perjalanan itu adalah kematian (ay. 17-19). Dalam Lukas 13:32-33, dalam perjalananNya ke Yerusalem, orang Farisi mencoba mencegahNya karena Herodes akan membunuhNya. Yesus memberi jawaban bahwa memang itulah yang harus dialamiNya Ia harus mati di Yerusalem.

Penekanan yang sama kita dapati dalam Injil Yohanes di mana Yesus berulang kali membicarakan masalah "waktunya". Pada awal pelayananNya, Ia berkata, "SaatKu belum tiba" (2:4). Pada dua kesempatan terpisah (yang terjadi beberapa tahun kemudian di mana ancaman terhadapNya makin menggawat, tetapi belum menghasilkan apa-apa), Ia mengatakan, "sebab saatNya belum tiba" (7:30; 8:20). Tetapi beberapa hari sebelum kematianNya, kata-kata yang umum mewarnai Injil Yohanes ini berubah drastis. Ketika beberapa orang pengunjung Yunani ingin menjumpaiNya, Yesus berkata, "Telah tiba saatnya Anak Manusia dimuliakan". Kemudian ditambahkan, "Sekarang jiwaKu terharu dan apakah yang akan kukatakan? Bapa, selamatkanlah Aku dari saat ini? Tidak, sebab untuk itulah Aku datang ke dalam saat ini" (12:23, 27). Kemudian pada malam Ia ditangkap, Ia berdoa, "Bapa, telah tiba saatnya" (17:1). Segala yang lampau berubah menjadi pendahuluan. Dalam beberapa jam mendatang Ia akan dibunuh, tetapi kematianNya tidak mengakhiri karyaNya di dunia ini, melainkan menjadi puncak karyaNya.

Dengan demikian jika seseorang membaca Injil dan tidak menangkap topik tentang salib yang dibicarakan secara menonjol di dalamnya, hal itu berarti pembacaan kita terlalu dangkal. J. Stalker sendiri menyatakan dalam The Christology of Jesus bahwa:

The impression that Jesus referred but little to His own death is due to a superficial reading of the Gospels. A closer acquaintance with then reveals the fact that at no period of His ministry was the thought of His death foreign to Him, and that during the last year of His life it was an ever present and absorbing preoccupation.178

Hal senada juga dikemukakan oleh Griffith:

No one can even glance at the New Testament without realising that for all its writers the death of Christ had a profound and far-reaching significance.179

Maka tidaklah berlebihan bila Leon Morris menyatakan bahwa "Salib mendominasi Perjanjian Baru."180 Karenanya tidak seorangpun dapat luput melihat salib dalam PB.

Kenyataan di atas akan sangat terasakan sebagai sesuatu yang menonjol luar biasa jika kita pahami bahwa tidak satu budayapun di masa itu yang mempunyai pandangan yang positif terhadap salib. Salib merupakan kejijikan, kengerian, kerendahan, dan kebencian dalam kebudayaan Yunani, Romawi, maupun Yahudi.

Bagi kita yang sudah terbiasa memandang agung kisah kematian Yesus di atas kayu salib, akan sulit menyadari betapa kejam dan kerasnya kisah tersebut. Bagi pendengar dan pembaca abad pertama, kekejaman tersebut akan menjadi sangat jelas. Bagi dunia Hellenis, penyaliban merupakan kematian yang sangat hina dan mengerikan. Kita sebenarnya hanya sedikit saja mempunyai deskripsi rinci tentang aksi penyaliban pada masa Romawi. Kisah penyaliban dalam Injil merupakan kisah yang paling detail dari semua deskripsi yang ada di masa itu. Tak ada penulis kuno yang ingin berlama-lama dengan prosedur penyaliban yang mengerikan itu. Bahkan kata salib diperlakukan dengan rasa muak oleh penduduk Roma.181

Tidak ada referensi positif untuk penyaliban yang muncul dalam literatur-literatur zaman itu, bahkan sebagai kiasan sekalipun tidak ada. Kemungkinan satu-satunya yang merupakan kekecualian terhadap pernyataan di atas adalah salah satu bagian tulisan dari Republiknya Plato. Sejauh pengetahuan kita, penulis-penulis Kristenlah yang pertama kali yang menjadikan penyaliban sebagai tema tulisannya. Di dalam roman kuno yang populer, ketika para pahlawan dihukum mati dengan cara disalib, biasanya diakhiri dengan pembebasan pada detik-detik terakhir, atau diturunkan sebelum mereka mati. Salib dalam arti final hanya diperuntukkan bagi penjahat. Banyak cerita mengerikan dan penuh dengan kekejaman dengan mudah kita temukan dalam kisah-kisah kepahlawanan kuno, misalnya dalam Iliad atau dalam drama-drama seperti Agamemnon atau Oedipus. Tetapi kematian yang begitu tidak terhormat seperti penyaliban tidak pernah dianggap sebagai kematian yang pantas bagi figur pahlawan. Kebanyakan hanya diperuntukkan untuk kelas rendah dan budak. Penyaliban dipandang sebagai sebuah hukuman yang terlalu inhumane untuk warga Roma, tak peduli apapun tindak kriminal yang dilakukannya.

Bagi para cendekiawan kafir, proklamasi Kristus yang tersalib akan sangat mengganggu mereka karena bertentangan sekali dengan apa yang menjadi gambaran mereka tentang kepahlawanan. Kristus akan mereka tempatkan sebagai orang yang tidak penting oleh karena cara mati yang Ia alami. Bagi orang Roma, salib begitu rendahnya sehingga Cicero menulis, "Bahkan kata 'salib' harus tinggal jauh tidak hanya dari bibir mulut warga Roma, tetapi juga dari pikiran, mata dan telinga mereka."

Bagi orang Yunani yang mementingkan hikmat, salib adalah "kebodohan" (1Kor 1:23). Sedangkan, bagi orang Yahudi, Cara pandang mereka terhadap salib tentu berbeda. Apa yang membuat mereka bersikap ofensif terhadap salib tidaklah sama dengan alasan yang umum berlaku di dunia Hellenis. Bagi orang Yahudi yang sudah terbiasa sebagai bangsa terjajah, mengalami kebrutalan penjajah, dan banyak pahlawan mereka yang telah mati sebagai "penjahat", kesulitan yang utama terhadap salib adalah bahwa Yesus yang tersalib itu menyamakan diriNya dengan Mesias. Padahal, bagi mereka, Mesias dipahami sebagai tokoh yang membawa kemenangan atas musuh mereka dan bukan sebaliknya kalah dan dihina. Dari sudut pandang mereka ini, klaim messianik yang ditunjukkan melalui penyaliban justru menunjukkan bahwa Ia bukan mesias yang sesungguhnya. Apalagi bagi mereka penyaliban sama dengan kategori mati digantung, dan PL menyatakan, "...sebab seorang yang digantung [adalah] terkutuk oleh Allah" (Ul 21:23).

Melihat latar belakang ini tentu menjadi jelas bagi kita betapa anehnya apa yang Yesus bicarakan tentang salibNya, yang kemudian dilanjutkan oleh para rasul-rasul dan para pengikutNya. Jika tanpa sesuatu yang luar biasa maka tidak mungkin kematian Kristus di salib berani dijadikan tema utama pada zaman di mana semuanya membenci salib. Apakah yang luar biasa dengan salib Kristus?

Mengherankan sekali, jika umat manusia umumnya berpikir bahwa tujuan kehidupan ini adalah mencapai prestasi, Alkitab sebaliknya menyatakan bahwa apa yang menjadi tujuan dan prestasi tertinggi serta karya terpenting yang dicapai Yesus Kristus adalah mati.

Two thousand years later the universally recognized symbol of the movement he began is not a reminder of his unique conception, his sinless character, his matchless teaching or his remarkable miracles, but across -the cruellest instrument of execution known to the ancient world, and one which was banned nearly 1,500 years ago.182

 MENGAPA KEMATIAN?

Tidak seorangpun dapat membantah pernyataan bahwa kematian adalah universal, tak terelakkan. Kita tidak mempunyai kemampuan apapun untuk mencegah apalagi mengenyahkannya. Usaha terbesar yang manusia bisa lakukan hanyalah menunda kedatangannya. Tetapi; acapkali juga mempercepat kedatangannya. Tidak seorangpun bertanya, "Adakah kematian setelah kehidupan?" Pertanyaan yang sering kita tanyakan adalah mengapa. Mengapa setiap manusia harus menghadapi kematian, apa yang menyebabkannya? Umumnya kita mengkategorikan empat cara mati: eksekusi (legal dan illegal), bunuh diri, kecelakaan, dan kematian "alamiah". Tetapi semua ini tidak menjawab pertanyaan mengapa melainkan bagaimana. Jika pertanyaannya adalah "Mengapa manusia mati?", Alkitab memberi kita jawaban bahwa kematian disebabkan oleh dosa.

Kata "mati" pertama kali disebutkan dalam Alkitab pada bagian awal sekali, tetapi bukan dari awal sejarah manusia. Pada mulanya manusia, yang diciptakan menurut gambar Allah, hidup dalam kondisi moral dan rohani yang sempurna, tinggal dalam dunia yang sempurna, serta mempunyai persekutuan yang harmonis dengan Allah, Penciptanya. Tetapi kondisi ini adalah kondisi bersyarat, yaitu selama mereka taat kepada Allah. Untuk petunjuk ketaatan itulah Allah menempatkan pohon pengetahuan baik dan jahat serta memerintahkan, "Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati" (Kej 2:16-17). Inilah pertama kalinya manusia mendengar kata "mati".

Apapun alasan di balik adanya "pohon pengetahuan yang baik dan jahat", yang penting adalah Allah menempatkannya untuk menjadi petunjuk apakah manusia bersedia taat atau tidak kepadaNya. Ternyata manusia telah gagal untuk taat sepenuhnya kepada Allah, dengan menyerahkan dirinya kepada pencobaan si jahat (Kej 3:6).

Ketidaktaatan manusia membawa mereka kepada kematian. Kematian di dalam Alkitab tidaklah berarti terminasi, tetapi separasi. Alkitab menunjukkan bukan hanya kematian fisik (separasi roh dari tubuh), tetapi juga kematian rohani (separasi roh dari Allah). Dengan pemahaman seperti ini, kita dengan mudah mengerti akan apa yang Adam dan Hawa alami ketika mereka jatuh dalam dosa. Mereka mengalami kematian rohani; hubungan mereka dengan Allah hancur. Mendengar suara Allah tidak lagi membuat mereka keluar menyambutNya, melainkan lari bersembunyi dalam ketakutan (Kej 3:8). Tetapi itu belum semuanya: dari saat dosa pertama ini dilakukan, tubuh mereka menjadi takluk kepada sakit penyakit, kebusukan, dan kemerosotan. Kematian rohani dengan segera dialami sedangkan kematian fisik dapat dihindari.

Kisah ini bukan sekedar kisah purba, tetapi sebuah kisah yang terus-menerus relevan, karena Adam mewariskan natur, status dan karakter berdosanya kepada generasi manusia berikutnya. Kita berbagian dalam kesalahan dan kejatuhan Adam, karena Adam merupakan figur representatif umat manusia. Rasul Paulus menekankan kebenaran mengerikan ini dalam suratnya kepada jemaat Roma. Dikatakannya bahwa, "Dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa" (5:12). Penekanan yang sama kita jumpai pada ayat 15, 16 dan 18. Melalui dosanya, Adam telah menghancurkan semua orang yang diwakilinya, dan bukti kematian rohani manusia adalah tak terhindarkannya ia dari kematian fisik.

Kaitan antara dosa dan kematian sangat mudah kita jumpai di seluruh Alkitab (lih. mis. Yeh 18:20; Ams 11:19; Rm 6:23; Yak 1:15). Kaitan kedua hal ini disebut Alkitab sebagai "hukum dosa dan hukum maut" (Rm 8:2). Hukum ini merupakan hukum yang pasti. Kematian merupakan hukuman Allah yang adil dan tak terelakkan terhadap dosa manusia.

 KEMATIAN SUKARELA

Sekarang kita kembali kepada kematian Yesus Kristus. Jika kematian merupakan akibat dosa, dan Yesus tidak mempunyai dosa, maka jelaslah di dalam diriNya tidak ada "penyebab kematian" atau "hukum dosa dan hukum maut". Dan kenyataannya Yesus mati! Apa yang dapat kita jelaskan tentang hal tersebut dari terang Alkitab sendiri?

Jelas sekali bahwa Yesus tidak harus dan tidak perlu mati karena Ia tidak bersalah baik menurut tuduhan-tuduhan yang dilancarkan ketika Ia diadili, maupun di dalam seluruh hidupNya. Maka, kalaupun dalam hidupNya Ia mengalami pukulan, hinaan, dan akhirnya kematian melalui penyaliban, semua itu diterimaNya atas kerelaan kehendakNya sendiri. Ini menjadikan kematian Yesus sebagai satu-satunya kematian atas dasar kerelaan.

Memang dalam sepanjang sejarah ada orang-orang yang kehilangan nyawanya secara sukarela untuk sesuatu yang dikasihi atau diperjuangkannya. Bahkan tidak kurang orang-orang yang dengan sukarela membunuh dirinya sendiri. Persoalannya, tidak seorangpun di antara mereka yang memilih mati. Dalam kasus-kasus di atas yang terjadi hanyalah memilih cara, waktu, tempat, serta tujuan kematian mereka. Kematian bukan pilihan, tiap orang pasti akan mati, tidak peduli ia memilih atau tidak, rela atau tidak. Tetapi berbeda halnya dengan Kristus. Ia tidak harus mati, tidak usah mati, tetapi Ia memilih dalam kerelaanNya untuk mati. Dan kita mempunyai banyak petunjuk akan hal ini dari pelbagai panggung kehidupanNya.

Misalnya, dari peristiwa pemuliaanNya di Bukit, kita membaca, "Dan tampaklah dua orang berbicara dengan Dia, yaitu Musa dan Elia ... berbicara tentang tujuan kepergianNya yang akan digenapiNya di Yerusalem" (Luk 9:30-31). "KepergianNya" (exodus) yang dimaksud di situ adalah kematianNya. Menjadi mengherankan ketika dikatakan bahwa kematianNya merupakan tindakan untuk menggenapi tujuan kepergianNya. Kematian tidak akan terjadi atasNya, tetapi Ia yang menyerahkan diriNya. Penyerahan nyawa tersebut tidaklah dilakukan dengan bunuh diri; tetapi Ia secara sengaja mati demi menggenapi sesuatu. Di kemudian hari saat Ia menerangkan tujuan kedatanganNya ke dunia ini, Yesus berkata, "Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba-dombanya" (Yoh 10:11). Gambaran di sini bukanlah gambaran seorang gembala yang mempertaruhkan nyawanya sendiri demi melindungi domba-dombanya, karena Yesus melanjutkan perkataannya, "Tidak seorangpun mengambilnya dari padaKu, melainkan Aku memberikannya menurut kehendakKu sendiri" (10:18). Yesus tidak berkata bahwa Ia akan mempertaruhkan nyawaNya, tetapi dengan sukarela menyerahkan nyawaNya.

Ketika murid-muridNya meributkan ambisi mereka akan kedudukan, Yesus menegur mereka dan berkata bahwa, "Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawaNya menjadi tebusan bagi banyak orang" (Mrk 10:45). Yesus menyatakan bahwa Ia akan memberikan nyawaNya, sebuah tindakan sukarela menyerahkan hidupNya.

Ketika pada akhirnya Ia ditangkap, saat Petrus membelaNya, Tuhan Yesus tidak sekedar melarangnya tetapi berkata, "Kau sangka bahwa Aku tidak dapat berseru kepada BapaKu, supaya Ia segera mengirim lebih dari dua belas pasukan malaikat membantu Aku?" (Mat 26:53). Apabila Yesus ingin meloloskan diri dengan meminta pertolongan BapaNya, maka 72.000 malaikat akan dikirim untuk membebaskanNya (satu pasukan Romawi terdiri dari 6.000 orang). Di dalam PL kita membaca bahwa satu malaikat dapat membinasakan 185.000 serdadu Sanherib dalam satu malam. Jika menurut perhitungan tersebut, maka 12 pasukan malaikat akan dapat memusnahkan 13 juta orang (yang berarti melampaui jumlah seluruh populasi dunia pada waktu itu). Tetapi, kenyataannya Yesus memilih untuk tidak melakukannya.

Ketika Kristus meregang nyawa, Matius mencatat, "Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawaNya" (Mat 27:50). Di sini kita mendapatkan pengertian bahwa Yesuslah yang menyerahkan nyawaNya, sebagaimana yang telah dikatakanNya pada Yohanes 10. Dalam arti hurufiahnya adalah "Ia mengirimkannya", seperti seorang tuan mengirim seorang budaknya. Di dalam Alkitab secara spesifik disebutkan bahwa, "Tiada seorangpun berkuasa, menahan roh dan tiada seorangpun berkuasa atas hari kematian" (Pkh 8:8). Jika seorang manusia dapat menahan rohnya meninggalkan tubuhnya maka ia dapat menjadikan hidupnya kekal. Itulah Kristus. Ia merupakan perkecualian dari apa yang Pengkhotbah katakan. Ia berkuasa menahan dan melepaskan nyawaNya sendiri. Semua orang mati karena nyawanya diambil dan tak seorangpun dapat mengambilnya kembali. Tidak demikian dengan Kristus, Ia mati karena menyerahkan nyawaNya dan Ia berkuasa mengambilnya kembali. Itu dibuktikannya dengan kebangkitanNya dari antara orang mati. Oleh sebab itulah kematian Kristus bukanlah kematian orang lemah, gagal, bodoh, atau merupakan sebuah tragedi. Agustinus mengatakan, "He gave up his life because he willed it, when he willed it, and as he willed it."

 KEMATIAN YANG MENGGANTIKAN

Jika Yesus mati karena kerelaanNya sendiri, kita masih tetap belum menjawab bagaimana Ia bisa mati, jika kematian merupakan akibat dosa sedangkan Ia tidak berdosa. Pertanyaan ini membawa kita kepada kebenaran Alkitab lainnya, yaitu Yesus mati sebagai ganti dan mengambil tempat bagi orang lain. Dalam kematianNya Yesus bertindak sebagai substitusi, yaitu mengambil tempat yang seharusnya ditempati orang berdosa. Yesus sendiri berulangkali menyatakan hal itu (Mrk 10:45; Yoh 10:11; Mat 26:28). Rasul Paulus menyatakan hal serupa (Rm 5:6,8; 2Kor 5:21; 1Tes 5:10); demikian juga rasul Petrus (1Ptr 2:21, 24; 3:18), dan rasul Yohanes (1Yoh 3:16; 4:10). Sangat tepat jika Robert Clarke mengatakan, "In the New Testament the truth of substitution stands out so clearly it cannot be got rid of without getting rid of the book itself."184

 KEMATIAN YANG BERKARYA

Kematian Kristus tidak sekedar menggantikan orang berdosa, tetapi sekaligus merupakan kematian pengganti yang mengkaryakan perdamaian manusia dengan Allah. Rasul Petrus meringkaskannya dengan sangat baik bahwa, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah" (1Ptr 3:18). Apakah yang dimaksud dengan "membawa kita kepada Allah"

1. Pendamaian (Reconciliation)

J. Walvoord mendefinisikan pendamaian sebagai:

Tindakan pendamaian dalam keselamatan seorang yang percaya kepada Kristus adalah penerapan kematian Kristus kepada orang itu oleh kuasa Roh, yang mengubah statusnya dari orang yang dimurkai Allah menjadi orang yang diterima sepenuhnya oleh Allah. Hal ini mendamaikan manusia kepada Allah dengan mengangkat manusia sampai pada derajat Allah secara moral, dan oleh karena itu, artinya jauh lebih dalam dari pada pendamaian antar manusia di mana keselarasan antara ke dua pihak yang bermusuhan itu sering dicapai melalui kompromi.185

Karena manusia memberontak kepada Allah, ia menjadi musuhNya. Alkitab jelas mengisahkan bahwa, "Tuhan Allah mengusir dia [manusia] dari taman Eden supaya ia mengusahakan tanah dari mana ia diambil. Ia menghalau manusia itu dan di sebelah timur taman Eden ditempatkanNyalah beberapa kerub dengan pedang yang bernyala-nyala dan menyambar-nyambar, untuk menjaga jalan ke pohon kehidupan" (Kej 3:23-24). Manusia tidak hanya dihalau tetapi untuk menemukan jalan kembalipun dihalangi. Sejak itu selalu ada penghalang antara manusia dan Allah. Rasul Paulus dalam suratnya memberitahukan kepada jemaat Kolose, "Kamu yang dahulu hidup jauh dari Allah dan yang memusuhiNya dalam hati dan pikiran seperti yang nyata dari perbuatanmu yang jahat, sekarang diperdamaikanNya, di dalam tubuh jasmani Kristus oleh kematianNya, untuk menempatkan kamu kudus dan tak bercela dan tak bercacat di hadapanNya" (Kol 1:21-22); kebenaran yang sama dikemukakannya dalam surat Roma, "Sebab jikalau kita, ketika masih seteru, diperdamaikan dengan Allah oleh kematian AnakNya" (Rm 5:10). Ayat-ayat ini memberitahukan kita sekaligus dua hal: kita adalah seteru Allah dan Kristus menyelesaikannya bagi kita. Karena itu, pendamaian berarti penghapusan perseteruan antara dua pihak yang berselisih, dan itu dilakukan dengan kematian Kristus. Karenanya Kristus adalah "damai sejahtera kita" (Ef 2:14).

2. Peredam Murka Allah/Jalan Pendamaian (Propitiation)

Sarana pendamaian ini dijelaskan dengan lebih terang lagi dalam istilah lain yang erat hubungannya dengan pendamaian (reconciliation) yaitu propitiation.

Kata "pendamaian" atau "jalan pendamaian" muncul tiga kali: Roma 3:25; I Yohanes 2:2; 4:10. Pendamaian berarti "appeasing an offended person by meeting his demands for the removal of the offence, and as a result enabling the offender to win back his favour."186 Walvoord mendefinisikannya "kepuasan dari seluruh tuntutan Allah yang adil mengenai hukuman alas orang berdosa melalui tindakan penebusan oleh kematian Kristus. Jadi di sini dimaksudkan terhadap Allah."187 Memahami Allah hanya dari segi kebaikan, kasih dan penyayang akan membawa kita kepada pengenalan yang keliru tentang Dia. Alkitab menekankan juga akan "murka dan kepanasan amarahNya" (Ul 29:23), dan "Allah yang murka setiap saat" (Mzm 7:12). Dan kemarahan itu disebabkan karena dosa dan ketidaktaatan (Rm 1:18; Ef 5:6). A. W. Pink menuliskan bahwa, "there are more references to the anger, fury and wrath of God than there are to his love and tenderness."188

Walaupun begitu murka dan amarah Allah bukanlah kemarahan sembrono, tetapi kemarahan dan murka yang adil, pantas, benar, dan kudus sebagai reaksiNya terhadap dosa. Esensi tindakan Allah dalam murkaNya adalah memberikan kepada manusia apa yang mereka pilih sendiri, dalam segala implikasinya: tidak lebih dan tidak kurang. Apa yang Kristus lakukan dengan kematianNya tidak lain adalah menjadi jalan pendamaian, yaitu dengan memberi diriNya menerima murka Allah terhadap dosa-dosa manusia, sehingga Allah dipuaskan, dan dapat kembali berkenan kepada manusia.

3. Tebusan (Ransom) dan Penebusan (Redemption)

Dosa tidak hanya membawa manusia terbuang dari hadapan Allah dan ada di bawah murkaNya, tetapi juga membawa manusia masuk ke dalam perbudakan dosa (Yoh 8:34; Rm 6:16; 7:23), bahkan, ada di bawah perbudakan Iblis sendiri (Ef 2:1-3; 2Tim 2:26). Hal ini tidak memberi manusia kelonggaran untuk berdosa, sebagaimana yang diungkapkan oleh John Calvin bahwa, "They do nothing by constraint but are inclined with their whole heart to that to which Satan drives them. The result is that their captivity is voluntary."189

Hanya dengan menyadari posisi sedemikian, orang berdosa dapat memahami dan menghargai kata "tebusan" dan "penebusan" yang di karyakan Kristus melalui kematianNya. Tebusan adalah harga yang dibayar untuk melepaskan tawanan, sedangkan penebusan adalah membebaskan tawanan dengan membayar tebusan. Inilah yang Yesus maksudkan ketika Ia katakan bahwa maksud kedatanganNya adalah memberikan nyawaNya bagi tebusan banyak orang (Mrk 10:45). Ia membayar harga tebusan kepada keadilan Allah dengan kehidupanNya supaya kita dapat dibebaskan.

Walvoord mendefinisikan tebusan sebagai "harga yang dibayar oleh Kristus kepada Allah dalam memberikan penyelesaian perkara sehingga Allah merasa puas. Sedangkan penebusan berarti pembayaran harga yang dituntut oleh Allah yang suci bagi kelepasan orang percaya dari penindasan dan beban dosa. Pembayaran ini menyebabkan orang berdosa dibebaskan dari hukuman dan perbudakan dosa."13 Dengan demikian, baik tebusan maupun penebusan dicapai melalui pembayaran nyawa Kristus sendiri.

Rasul Petrus menuliskan, "Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus, yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat" (1Ptr 1:18-19). Dalam benak Petrus, Ia sedang mengingat perayaan Paskah tahunan, di mana seekor domba dibunuh dan dimakan untuk mengingat cara Allah melepaskan mereka dari perbudakan di Mesir selama 400 tahun. Gambaran yang sama akan muncul dalam benak para pembaca Yahudi. Yesus yang tanpa cacat mencurahkan darahNya untuk melepaskan orang lain dari penawanan dan perbudakan dosa. Dalam konsep inilah Yohanes pembaptis berkata, "Lihatlah Anak Domba Allah, yang menghapus dosa dunia" (Yoh 1:29). Lebih dari itu, penebusan melalui kematian Yesus juga mendatangkan kebaikan lainnya, yaitu pengampunan dosa (Ef 1:7). Manusia sebagai orang berdosa menerima pengampunan Allah sehingga ia dilepaskan dari bebannya untuk memulai suatu hidup baru.

4. Pembenaran (Justification)

Hukum Allah mempunyai tuntutan ganda terhadap manusia: pertama, sebagai ciptaan manusia harus taat sepenuhnya. Untuk itu, kita harus mengerti terlebih dahulu bahwa pembenaran merupakan istilah forensik. Istilah ini dipergunakan dalam pengadilan sebagai hasil akhir suatu pengadilan. Istilah tersebut merupakan suatu deklarasi hakim tentang terdakwa sebagai "tidak bersalah". Maka, dinyatakan benar oleh Allah berarti seakan-akan dalam pengadilan Allah menyatakan terdakwa tidak berbuat pelanggaran apapun terhadap hukumNya yang kudus, sempurna, benar dan baik (Rm 7:12,22). Dari pemahaman demikian, tidak satu manusiapun akan kedapatan benar di hadapan Allah, karena setiap manusia adalah pelanggar hukum Allah (Mzm 14:1-3), dan karenanya ada di bawah kutuk dan penghukuman Allah (Ul 27:26; Mzm 1:5 dst.). Apa yang manusia dapat lakukan untuk melepaskan diri dari hukum dan murka Allah tersebut? Dengan memelihara hukum Allah? Paulus menjawab, "tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat" (Gal 2:16). Menghadapi pelanggaran kita terhadap hukumNya, kita tidak mempunyai jalan apapun selain menunggu hukuman yang akan Allah timpakan kepada kita. Dalam kondisi seperti ini, Allah menganugerahkan Kristus kepada kita. Sebagai manusia Ia dilahirkan "takluk di bawah hukum Taurat" (Gal 4:4) dan dengan sempurna Ia mentaati perintah Allah (Yoh 4:34; 8:29), bahkan sampai matiNya (Flp 2:8). Dalam kematianNya Ia "menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita" (Gal 3:13). Dengan demikian dalam kematianNya dosa umatNya telah dihakimi (Rm 3:23-26) dan hukuman serta kutuk karena ketidaktaatan kita telah ditanggungNya di kayu salib bagi kita. Ia yang tidak mengenal dosa telah dibuatNya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah" (2Kor 5:21).

Kedua, karena pembenaran kita oleh Allah bukanlah sekedar Allah mengabaikan kesalahan kita, maka kebutuhan kita akan pembenaran hanya mungkin diberikan kepada kita jika kita memiliki kebenaran (righteousness) dan kekudusan karakter yang sempurna. Dalam hal inilah anugerah yang besar telah kita terima. Ketaatan penuh, kesempurnaan dalam memelihara Taurat, dan kebenaran Kristus di mata hukum Allah dijadikan milik kita melalui iman kita kepadaNya (1Kor 1:30; Flp 3:9).

Dalam Allah membenarkan orang berdosa dalam Kristus, Allah bertindak dengan adil, karena Ia tidak mengabaikan sama sekali dosa yang ada (Rm 3:25 dst.). Ia menghakimi dosa tersebut dan menghukumnya, dan itulah yang Kristus pikul dalam kematianNya di atas kayu salib. Allah hanya menerima orang berdosa atas dasar kebenaran sempurna yang ada pada Kristus, yang diberikan kepada orang berdosa dalam kesatuannya dengan Kristus karena imannya kepada Kristus.190

 PENUTUP

Demikianlah kita dapati bahwa kematian Kristus adalah unik. Ia tidak harus dan tidak perlu mati, tetapi justru Ia dalam kerelaanNya sendiri telah memilih kematian. Kematian menjadi karyaNya yang tertinggi, karena dalam kematianNyalah tujuan kedatanganNya ke dunia tergenapi. Dalam kematianNyalah manusia beroleh hidup yang kembali damai dengan Allah.

John Stott berkata:

Berita salib, baik sekarang maupun di masa Paulus merupakan batu sandungan bagi banyak orang dan kebodohan bagi orang lain, tapi membawa kedamaian jiwa kepada berjuta-juta manusia. Biarlah berita salib dianggap sebagai suatu kebodohan, kegila-gilaan, atau apapun, tapi berita salib itulah hikmat dan kebijaksanaan bagi kita. Tiada lain pengakuan bagi kita kecuali: manusia berdosa, Kristus suci, tetapi Allah menjadikan diriNya dosa ganti kita, supaya kita ini menjadi kebenaran Allah di dalam Dia.15

Hidup kita adalah hidup yang kita peroleh karena Yesus menyerahkan hidupNya bagi kita. Oleh karena itu seorang beriman adalah orang yang berkata seperti rasul Paulus, "Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diriNya untuk aku" (Gal 2:19-20).



TIP #22: Untuk membuka tautan pada Boks Temuan di jendela baru, gunakan klik kanan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA