Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 7 No. 1 Tahun 1992 >  FINALITAS KRISTUS > 
KEBERATAN-KEBERATAN TERHADAP KLAIM KRISTIANI 

Keberatan-keberatan yang muncul menentang klaim Kristiani pada kemutlakan dan finalitas Kristus datang dari dua macam orang, yaitu dari Sekularisme modern, dan dari orang yang berkepedulian religius. Terhadap keberatan yang muncul dari Sekularisme modern, saya akan membahasnya dalam sebuah risalah lain yang berkenaan dengan permasalahan Allah dan manusia. Artikel ini akan memusatkan perhatian pada persoalan dengan orang yang berkepedulian religius.

Di antara orang-orang yang berkepedulian religius, ada dua macam kelompok lagi, yaitu orang Kristen dan yang bukan. Keduanya mengajukan keberatan terhadap klaim finalitas Kristus, walau dasar yang dipergunakannya berlainan. Bagi orang Kristen yang menentang klaim sedemikian, G. Cook153 memberi mereka ciri sebagai akibat pengaruh dari "keterkejutan atas similaritas (kemiripan)", di mana orang Kristen sendiri menemukan sejenis prinsip-prinsip moral dalam tulisan-tulisan non Kristen, seperti ekspresi etis negatif dari Confusius yang berlawanan dengan Aturan Emas (Golden Rule) dari Injil: "Jangan memperlakukan orang lain apa yang engkau tidak ingin orang lain memperlakukan engkau." Mereka juga menemukan gagasan inkarnasi dari Dewa Ishvara dalam pribadi Krishna di dalam tradisi Hindu yang tercatat dalam buku suci mereka Bhagawad Gita; demikian pula hal yang sama dijumpai misalnya tentang "persaudaraan sesama insan" (the brotherhood of all men) yang berasal dari orang Buddhis dan Islam, dan seterusnya. Cook menyimpulkan bahwa:

Pengenalan yang sedikit tentang agama-agama non Kristen sangat mudah membiakkan kebingungan. Menanggapi kesejajaran-kesejajaran yang dimaksud atau duplikasi jenis ini, orang Kristen dapat jatuh pada relativisme yang menyimpang. Hal ini sering menimbulkan sikap ketakacuhan religius hingga "perkawinan" menuju suatu agama sintetis yang universal. Maka, bereaksi terhadap istilah-istilah "keterkejutan atas kemiripan", orang-orang Kristen dapat mengalami ketidakenakan karena terkeratnya pemahaman tentang keunikan atau kemutlakan iman mereka.154

Dalam kelompok ini, di samping orang-orang Kristen biasa, termasuk pula para teolog dan profesor filsafat agama yang menyatakan agama hanyalah suatu gejala psikologis atau sosiologis, dan menganggap pengalaman-pengalaman religius ini hanyalah sebagai esensi dari ilusi. John Oman membaginya dalam tiga jenis:

1. Tipe Hegelian, yang menganggap agama sebagai suatu bentuk sains yang primitif atau antropomorfis.

2. Tipe Schleiermacher, yang menganggap agama sebagai suatu produk perasaan ketergantungan yang absolut dari manusia, dan

3. Tipe Kantian, yang melihat agama sebagai sesuatu yang timbul dari keharusan untuk mempertahankan nilai-nilai moral dan sosial.155

Akibat dari pandangan ini secara tak terelakkan mengarah pada sikap merelatifkan klaim atas kemutlakan dan finalitas Kekristenan. Hal ini akan menjadi lebih jelas manakala seseorang melihat bagaimana jalan pemikiran Aliran Penelitian Historis Agama. Cave menggambarkannya:

Aliran itu menjadi lebih aktif dalam kesarjanaan daripada dalam teologia, dan orang-orang terpelajarnya telah berupaya meniadakan kekhasan Kekristenan dengan mengatakan bahwa sebenarnya tekanan tentang kekhasan itu sendiri berasal dari pengaruh Rasul Paulus dan bangsa non Yahudi yang bertobat dari Kekafiran lingkungannya, serta khususnya bidat misteri yang mengajarkan tentang Allah "Yang mati dan bangkit".156

Kecenderungan untuk merelativisir keunikan Kekristenan nampak menjadi lebih dapat diterima selama semangat modernitas menonjol. Selagi dunia berada di tengah-tengah kancah perang, rupa-rupa bencana, konflik-konflik rasial dan etis, manusia menjadi lebih rela mengeritik iman mereka dengan amat pedas agar memperoleh apa yang disebut "keberadaan bersama secara damai". Menghadapi tantangan sedemikian, tanggung jawab kita yang mendesak adalah menemukan jawaban kita bagi sesama orang Kristen sebelum kita dapat memberikan jawaban kepada dunia. Jikalau Kristus adalah Tuhan dan Juruselamat, dan memang Dia demikian, apa yang dituntut oleh pengakuan sedemikian atas diri kita selaku orang Kristen yang terpanggil?

Sedangkan mengenai keberatan-keberatan yang timbul dari kelompok religius non Kristen, kita menghadapi tantangan yang lebih besar yang belum pernah ada sebelumnya. Jikalau di dalam beberapa abad yang silam, agama-agama non Kristen tampaknya mengambil posisi yang pasif dan defensif, dewasa ini mereka tampil seperti pasukan tentara dengan segala kekuatan dan komitmen pada keyakinan non Kristen mereka. Disertai dengan nasionalisme, patriotisme, atau ambisi-ambisi politis, mereka telah meraih kekuatan yang amat dahsyat yang menuntut pengakuan. Saat kebangunan dari agama-agama non Kristen telah tiba. Mereka bahkan mengklaim kemutlakan dan superioritas: orang Islam mengklaim finalitas dari Al Qur'an serta menyatakan bahwa ajaran dan teladan dari Mohammad melebihi Kekristenan dan Yesus; Hinduisme telah mengubah sikap defensifnya menjadi ofensif; orang Buddhis mengklaim bahwa Buddhisme bukan sekedar sebuah agama, Buddhisme adalah sebuah "aktualitas"; dan Confusianisme dipuji sebagai suatu "jalan hidup" yang jauh lebih praktis daripada Kekristenan.

Pada saat Kekristenan di Barat sedang merosot akibat pengaruh-pengaruh Humanisme dan Sekularisme, keunikan iman Kristen jelas kehilangan makna kepentingannya. Misi Kristiani berada di antara dilema mengirim atau tidak mengutus para misionaris pada waktu banyak negara menutup pintu mereka. Jikalau misi Kristiani hanya berupa suatu upaya untuk membudayakan orang-orang kafir yang "tak beradab", untuk membawa apa yang disebut peradaban Barat yang maju, maka di sana tiada lagi tempat bagi Kekristenan, karena banyak kebudayaan telah menyatakan superioritas peradaban mereka melebihi Barat. Ini tentu saja bukan masalahnya apabila dilihat dari titik pandang Alkitabiah. Ketika Kristus mengutus gereja dengan perkataan: "Karena itu pergilah, dan jadikanlah sekalian bangsa muridKu", praanggapan yang mendasari pengutusan itu adalah proklamasi bahwa "segala kuasa di sorga dan di bumi telah diberikan kepadaKu". Sekalipun kita menghadapi keberatan tertentu, finalitas dari otoritas Kristus tetaplah senantiasa. Hanya melalui suatu pemahaman yang benar tentang otoritas itu, seseorang akan bertahan dalam imannya pada klaim Kristus tersebut serta menyatakan pengakuan iman tersebut di hadapan tantangan apapun.



TIP #02: Coba gunakan wildcards "*" atau "?" untuk hasil pencarian yang leb?h bai*. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA