Resource > Jurnal Pelita Zaman > 
Volume 16 No. 2 Tahun 2001 
 EDITORIAL

Tumbangnya rezim orde baru dan munculnya orde reformasi diharapkan dapat membawa perubahan bagi Indonesia. Bukan hanya perubahan dalam dunia politik, terlebih penting perubahan dalam bidang ekonomi, sosial, maupun keamanan. Namun harapan-harapan itu sampai sekarang belumlah terwujud. Buktinya: maraknya perang antar suku yang di picu oleh agama - agama dianggap sebagai biang kekacauan yang ada di Indonesia. Perusakan tempat ibadah dan sarana sosial lainnya, yang dulu banyak menggunakan massa, kini lebih modern menggunakan bom. Karena itu, untuk menyoroti permasalahan ini, JPZ edisi ini bertemakan: Agama dan Negara.

Untuk membahas tema tersebut, Supriatno dalam Agama, Negara, dan Civil Society mencoba mengulas posisi agama Kristen atas negara dan kontribusinya atas masyarakat sipil. Dalam ulasannya, hendaklah agama Kristen menjadi agama sejati - agama akan kuat jika mengambil jarak atas kekuasaan. Dengan demikian agama mempunyai kewibawaan, karena tidak terikat kepentingan kekuasaan atau negara.

Lain halnya dengan Yakob Tomatala. Kepemimpinan Kristen dan Pengaruhnya di Abad XXl adalah judul artikelnya yang hendak menegaskan bahwa para pemimpin Kristen harus dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai garam dan terang kepada dunia. Untuk itu, seorang pemimpin Kristen harus: terpanggil oleh Allah dengan integritas kepemimpinan yang lengkap untuk memimpin, diteguhkan oleh Allah dengan kapasitas kepemimpinan yang tangguh untuk memimpin, dan dijamin oleh Allah dengan kapabilitas kepemimpinan yang penuh untuk memimpin.

Lalu, apa yang mesti gereja perbuat? Demikianlah kira-kira pertanyaan yang dapat kita petik dari artikel G. Seto Harianto yang berjudul Situasi Sosial Politik Indonesia serta Implikasinya bagi Gereja. Jawabnya adalah gereja harus terus meningkatkan tugas dan fungsinya yang meliputi fungsi profetis, soteriologis, edukatif, pengawasan sosial, transformatif, dan pemupuk persaudaraan.

Untuk menambah wawasan teologis, JPZ edisi ini pun menurunkan beberapa artikel lain, yaitu: Yesus Menderita Menurut Choan Seng Song (tulisan Harianto GP), Kerugma yang Memudar (tulisan Nindyo Sasongko), Peranan Roh Kudus Terhadap Doa orang Percaya (tulisan Yohanes Effendi Setiadarma). Dan seperti biasa, JPZ juga memuat resensi buku yang dibuat oleh Robbyanto Notomihardjo dan konsultasi teologi yang diasuh oleh Henry Efferin menjawab tentang pentingnya doktrin pada masa sekarang.

Semoga JPZ semakin menjadi berkat bagi kita semua. Amin.

 AGAMA, NEGARA, DAN CIVIL SOCIETY: SEBUAH SERPIHAN PENUTURAN SEORANG KRISTEN1693
Penulis: Supriatno
 KEPEMIMPINAN KRISTEN DAN PENGARUHNYA DI ABAD XXI
Penulis: Yakob Tomatala
 SITUASI SOSIAL POLITIK INDONESIA DAN IMPLIKASINYA BAGI GEREJA1706
Penulis: G. SETO HARIANTO

Umat Kristen mengakui bahwa manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan citraNya. Karena itu, manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang paling mulia, yang dilengkapi dengan kehendak yang bebas. Manusia diciptakan sebagai makhluk pribadi sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia memiliki individualitas yang dapat mengarah pada lahirnya egoisme. Sebagai makhluk sosial, pada dasarnya manusia tak mungkin berbahagia tanpa kehadiran dan kebersamaannya dengan manusia lain.

Dengan kehendak yang bebas, manusia dapat menciptakan konflik karena dominasi egoismenya sehingga terjadilah situasi "homo homini lupus", manusia menjadi serigala bagi manusia yang mengatur hubungan antar manusia, dan antara manusia dengan kelompok, atau antar kelompok manusia.

Atas dasar pemahaman tersebut, politik dapat dijelaskan sebagai setiap kegiatan yang melibatkan manusia dan atau kelompoknya dalam hubungannya dengan kekuatan dan kekuasaan di mana kelompoknya dalam hubungannya dengan kekuatan dan kekuasaan di mana konflik terjadi. Konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan dalam suatu kondisi sosial dan ekonomi tertentu. Dengan demikian politik juga berarti upaya menjalankan kekuasaan atas masyarakat sesuai kondisi sosial dan ekonomi yang aktual.

Persoalannya adalah apakah politik dapat dilihat secara sederhana sebagai upaya untuk melakukan kompromi dan mengakomodasikan segenap kepentingan agar pemerintah suatu rezim tidak diganggu, ataukah politik harus merupakan upaya perubahan sosial ke arah tercapainya cita-cita hidup bermasyarakat dan bernegara?

Apabila politik diabdikan bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat dan negara, maka isu politik yang terutama adalah masalah ledakan penduduk kemiskinan struktural dan pengangguran, penurunan kualitas lingkungan hidup, peningkatan kualitas pendidikan, jaminan rasa aman, penghapusan segala bentuk diskriminasi, penegakan HAM dan hal-hal yang menyangkut peningkatan kesejahteraan masyarakat lainnya.

Dengan demikian politik bukanlah penipuan dan manipulasi kepentingan masyarakat yang penuh intrik dan ambisi pribadi yang tanpa belas kasihan.

Lahirnya era reformasi di picu oleh terselenggaranya pemerintah dan praktik politik yang korup, represif, dan diskriminatif serta sarat dengan pengutamaan kepentingan pribadi dan kelompok.

Sejak Sidang Umum MPR Tahun 1999 proses reformasi untuk demokrasi telah berlangsung lebih dari satu setengah tahun. Selama waktu tersebut, situasi dan kondisi politik, sosial, dan ekonomi terus bergolak; dan yang paling memprihatinkan adalah bahwa terdapat kecenderungan ke arah kondisi yang bahkan lebih buruk dari masa orde baru.

Beberapa penyebab utamanya adalah pertama, runtuhnya nilai-nilai, etika, dan moral selama kurun waktu orde baru. Kedua, masih kuatnya pengaruh dan keterlibatan kekuatan rezim orde baru yang terus berusaha menguasai penyelenggaraan negara. Ketiga, obsesi dan ambisi kekuasaan yang telah lama terpendam dari kelompok-kelompok tertentu yang tercermin pada perilaku tokoh dan elitenya. Keempat, hancurnya perekonomian nasional sebagai akibat utang luar negeri yang amat besar dan penyelenggaraan negara yang sarat KKN. Kelima, kondisi ketidakadilan dan pelanggaran HAM yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dan dalam berbagai segi kehidupan.

Setidaknya terdapat empat kelompok besar yang terus berusaha mengambil peranan yang menentukan dalam tampuk pemerintahan, yaitu: pertama, PDI Perjuangan: yang memperjuangkan haknya sebagai pemenang Pemilu 1999. Kedua, Partai Golkar: yang hendak menyelamatkan diri dari beban "dosa rezim orde baru". Ketiga, TNI, khususnya Angkatan Darat: yang terpojok oleh hujatan akibat kesakihan selama orde baru. Keempat, Poros Tengah: yang telah lama berambisi menjadi pewaris kekuasaan orde baru.

Sulit dicegah bahwa dalam keempat kelompok tersebut menyusup anasir dan kepentingan rezim orde baru yang telah menanamkan pengaruh kekuasaannya selama lebih dari 30 tahun. Tokoh rezim orde baru yang berambisi dan sekaligus ingin melindungi dirinya dari tuntutan akibat KKN, berusaha masuk (atau dimasukkan?) ke partai yang menentukan. Mereka inilah yang terus mendorong terciptanya situasi pertentangan dan benturan baik horizontal maupun vertikal guna menciptakan peluang kembalinya kekuasaan dan kenikmatan yang pernah mereka nikmati.

Peluang untuk itu memang cukup besar karena selain adanya kondisi obyektif yang serba runyam sebagai warisan rezim orde baru, dengan segala keterbatasan KH. Abdurahman Wahid telah dipaksakan menjadi presiden demi mengganjal Megawati Soekarnoputri. Harapannya adalah bahwa KH. Abdurahman Wahid akan mudah dijadikan sebagai "boneka" yang selalu menuruti kemauan "inisiatornya". Akan tetapi ternyata KH. Abdurahman Wahid memiliki prinsip dan agendanya sendiri dan tidak pernah mau dikendalikan dan di dikte, akibatnya benturan demi benturan terjadi dan makin menyengsarakan masyarakat.

Sikap terbuka, spontan, dan demokratis dari Presiden KH. Abdurahman Wahid dimanfaatkan untuk menciptakan friksi yang semakin melebar antara presiden dan DPR. Dengan dukungan dana yang sangat besar (ex KKN orde baru) dibentuk publik opini bahwa KH. Abdurahman Wahid tidak cukup didukung oleh pembantu-pembantunya yang negarawan dan loyal. Banyak di antara "orang dekat" presiden justru memanfaatkan keterbatasan presiden untuk kepentingan pribadinya sendiri, kalau perlu dengan mengkhianati kepercayaan dan seseorang yang memang tidak berdaya karena hambatan fisik yang dideritanya.

Penerbitan Memorandum I DPR pada tanggal 1 Februari 2001 sebagai tindak lanjut hasil Pansus Penyelidikan Dugaan Penyalahgunaan Dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunei merupakan bentuk anarki parlemen karena dipaksakan tanpa mengindahkan etika dan aturan politik. Ambisi kekuasaan yang luar biasa bahkan telah mendorong sementara elite politik untuk mempercepat penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR guna menjatuhkan presiden. Hanya karena takut melanggar konstitusi, yang berarti akan berhadapan dengan seluruh rakyat Indonesia, niat mempercepat penyelenggaraan Sidang Istimewa terpaksa terhambat.

Pada Rapat Badan Musyawarah DPR tanggal 16 Maret 2001 berhasil dipaksakan perpendekan masa reses DPR, sehingga yang semula berlangsung dari tanggal 2 April 2001 hingga tanggal 14 Mei 2001 diperpendek hanya sampai tanggal 24 April 2001. Perpendekan masa reses tersebut dimaksudkan untuk mendukung penerbitan memorandum yang diajukan oleh enam Fraksi DPR pada tanggal 19 Maret 2001. Keenam fraksi tersebut adalah Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi PPP, Fraksi Reformasi, Fraksi PBB, dan Fraksi PDU. Meskipun keenam fraksi tersebut tampaknya kompak, namun patut diduga bahwa masing-masing memiliki maksud dan agendanya sendiri-sendiri. Apabila dilihat dari sisi kekuatan politik di DPR. jelas perilaku mereka tak mungkin dicegah karena merupakan mayoritas. Akan tetapi patut disayangkan lemahnya etika dan moral telah mendorong mereka untuk juga menggunakan kekuatan massa demi tercapainya maksud mereka. Demonstrasi massa anti presiden ternyata mendorong timbulnya perlawanan dari massa pendukung presiden, dan kejadian ini dapat mengarah pada terjadinya konflik horisontal yang dapat menimbulkan korban. Pertanyaannya adalah apakah ada yang menghendaki terjadinya situasi khaos? Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dipahami berbagai akibat dari situasi konflik politik tersebut. Akibat-akibat tersebut adalah, pertama, timbulnya gejolak sosial yang mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat sehingga, kedua, pemulihan ekonomi nasional terhambat atau bahkan gagal, akibatnya ketiga, timbul gejolak sosial yang makin besar karena pengangguran dan kelaparan, sehingga keempat, salah atau tidak salah, presiden dipaksa mundur, atau kelima, tampil satu "kekuatan represif yang harus menegakkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pertanyaan kedua yang perlu dijawab adalah mengapa presiden tidak segera mundur? Ada beberapa hal yang perlu diantisipasi dan diperhatikan, pertama, mundurnya presiden atas desakan politik para anarkis akan berarti presiden mengakui kesalahan yang tidak diperbuatnya. Pada sisi lain akan juga berarti pembenaran tindakan anarki parlemen. Kedua, naiknya wakil presiden menggantikan presiden melalui anarki parlemen akan menjadi presiden dan pengulangan situasi karena rendahnya sikap mental, etika, dan moral politik para elite politik. Pada gilirannya Indonesia akan menjadi sebuah "bahana Republik". Dengan demikian, asumsi bahwa bila presiden segera mundur situasi akan membaik, merupakan sebuah ilusi.

Ketiga, mundurnya Presiden Soeharto yang tidak didukung oleh satu kekuatan pengganti yang kuat, solid, dan konseptual telah menjadi bukti bahwa kekuatan politik partai-partai memang belum siap mengambil tanggung jawab atas keutuhan dan kesejahteraan rakyat dan negara Indonesia.

Prinsip demokrasi yang telah dicoba dikembangkan oleh Presiden KH. Abdurahman Wahid, tanpa dukungan "permainan politik" yang handal, ternyata tidak mampu mencegah upaya lawan politiknya untuk terus mendesaknya turun dari jabatan kepresidenan. Karena lemahnya posisi presiden, kontrol terhadap kebijakan menjadi begitu besar tersebar ke kalangan pemimpin partai. Tidak sulit bagi mereka untuk memperlambat, bahkan mematikan inisiatif kebijakan pemerintah. Setiap orang yang ingin mencari perlindungan dari tindakan pemerintah dapat melakukan "bargain" dengan pimpinan fraksi dan atau pimpinan komisi. Dan biasanya mereka diselamatkan karena pengaruh ataupun kekuatan politik lembaga legislatif yang sangat dominan.

Kombinasi ambisi kekuatan dengan perasaan ketakutan dan ketidaksabaran yang begitu besar telah mendorong dilakukannya percepatan Sidang Istimewa MPR. Dasar yang digunakan adalah bahwa karena MPR merupakan lembaga tertinggi negara yang memegang kedaulatan rakyat. Maka, apapun bisa dilakukan dan dianggap sah-sah saja. Ini jugalah yang digunakan oleh rezim orde baru selama lebih dari 30 tahun untuk membenarkan tindakannya.

Sidang Istimewa MPR telah menetapkan Megawati Soekarnoputri sebagai Presiden RI dan H. Hamzah Haz sebagai Wakil Presiden RI. Demi kepentingan rakyat, bangsa, dan negara pemerintahan baru ini harus didukung dengan satu syarat bahwa pemerintahan ini mampu mendorong proses reformasi gelombang kedua karena reformasi gelombang pertama telah gagal.

Dalam situasi dilematis seperti yang tengah dihadapi rakyat dan negara Indonesia sekarang ini, maka perlu segera dilakukan tindakan. Tindakan-tindakan tersebut adalah, pertama, menghimpun dan menggalang kekuatan politik yang "masih waras" yang mampu menempatkan kepentingan rakyat dan negara di atas kepentingan pribadi dan kelompok, untuk bersama-sama menata kembali dan menyusun agenda dan program serta kebijakan reformasi.

Kedua, agenda, program, dan kebijakan reformasi tersebut harus didasarkan pada sikap mawas diri untuk mengakui dan memperhitungkan kelebihan dan kelemahan masing-masing sehingga dapat dibangun satu kekuatan sinergik guna menghadapi kekuatan destruktif yang kini berkembang di parlemen.

Ketiga, segera merampungkan amandemen konstitusi yang juga berhubungan dengan upaya mengeliminasi munculnya siasat dan jurus politik para elite yang dengan enteng mengatasnamakan konstitusi, reformasi, dan demokrasi. Cita-cita reformasi menuju demokrasi dan pemerintahan yang bersih selamanya akan berhenti sebagai slogan dan retorika belaka apabila penyelesaian konflik hanya didasarkan pada persepsi subyektif kekuasaan di satu pihak dan kekuatan massa di pihak lain.

Keempat, melakukan rekonsiliasi nasional dengan tetap menjaga dan menegakkan rasa keadilan masyarakat.

Dalam situasi politik nasional seperti yang digambarkan di atas, pertanyaan kita selaku umat Kristen, yang pertama-tama adalah mengapa gereja selalu dijadikan sasaran perusakan, pembakaran, bahkan pemboman, dan hingga kini jumlahnya sudah lebih dari 600 buah gereja? Apakah peristiwa pembakaran itu merupakan wujud fanatisme buta atau manifestasi dari semacam bigotry? Ataukah peristiwa itu merupakan suatu "rekayasa politik" yang sengaja diciptakan untuk menimbulkan efek teror dan dengan demikian "ketaatan sipil" (civil obedience) tetap terpelihara.

Masyarakat bukanlah sekedar kumpulan manusia yang berdiri sendiri dan hidup secara soliter. Manusia, sebagai makhluk sosial, hidup dalam kelompok masyarakat untuk bekerjasama dalam rangka mencapai tujuan bersama. Setiap interaksi sosial yang berlangsung dalam jangka waktu tertentu hingga dapat menunjukkan pola-pola pengulangan hubungan perilaku disebut proses sosial, yang terdiri atas proses sosial simbiosis dan proses sosial kontradiksi.

Fenomena kerusuhan sosial di Indonesia dalam bentuk tindak kekerasan menunjukkan bahwa proses sosial yang terjadi adalah proses sosial kontradiksi. Proses sosial kontradiksi terjadi karena budaya dan tradisi demokrasi di kalangan masyarakat Indonesia memang belum berakar kuat, bahkan tercemar selama lebih 30 tahun. Demokrasi di Indonesia harus dilihat secara komprehensif tidak hanya dari sisi pluralisme politik, tetapi juga pluralisme keberagamaan dan etnisitas. Pluralisme politik harus berjalan seiring dengan pluralisme sikap keberagamaan, etnis dan golongan serta penghayatan dan ketaatan terhadap hukum.

Perusakan, pembakaran, dan pemboman gereja merupakan manifestasi dan munculnya konflik yang mengancam pluralisme keberagamaan, yang antara lain di picu oleh, pertama, agama dikenal bersifat "ambivalen", dapat berfungsi integratif atau berfungsi disintegratif, karena kecenderungan absolutisme agama, ekspansi agama, dan Jaya penetrasi agama terhadap kebudayaan setempat (agama menjadi sistem kebudayaan ketika wahyu itu di respon oleh manusia dan mengalami proses transformasi dalam kesadaran dan sistem kognisi manusia). Kedua, idiom agama di manipulasi untuk kepentingan politik sesaat bagi kepentingan individu atau kelompok tertentu. Ketiga, sikap penolakan orang Kristen terhadap pemberlakuan Syariat Islam dalam segenap aspek kehidupan. Keempat, kecemburuan sosial karena pada umumnya orang Kristen dianggap golongan mampu. Kelima, kurangnya pemahaman terhadap budaya lokal sehingga melahirkan proses sosial yang kontradiktif.

Pertanyaan pokok sekarang adalah apakah yang harus dilakukan oleh gereja (umat Kristen) menghadapi situasi dan kondisi rakyat dan negara Indonesia yang kini telah mirip dengan apa yang disebut oleh Nabi Mikha, "Celakalah aku ... orang saleh sudah hilang dari negeri, dan tiada lagi orang jujur di antara manusia. Mereka semua mengincar darah, yang seorang mencoba menangkap yang lain dengan jaring. Tangan mereka sudah cekatan berbuat jahat; pemuka menuntut, hakim dapat disuap; pembesar memberi putusan sekehendaknya, dan hukum mereka putar balikkan" (Mik 7:2-3)?

Secara teologis, gereja adalah satu institusi sakral yang dibangun sendiri oleh Allah, yang menjadi tubuh Kristus dan Kristus sendiri menjadi kepalanya.

Walaupun gereja itu satu institusi sakral, tetapi gereja itu berada di dunia karena Kristus di utus untuk menyelamatkan dunia. Dengan demikian langsung atau tidak langsung, gereja mengemban mandat yaitu mandat evangetistik dan mandat kemasyarakatan untuk menjadi terang dan garam dunia (Mat 5:13-16).

Karena manusia adalah makhluk sosial, maka gereja memahami bahwa kehidupan umat manusia itu terikat oleh kesatuan historis, kesatuan antropologis, kesatuan biologis, kesatuan iman, dan kesatuan sosiologis.

Oleh karena itu dan guna terus menumbuhkan dan memelihara terselenggaranya proses sosial yang simbiosis, gereja harus terus meningkatkan tugas dan fungsinya yang meliputi fungsi profetis, soteriologis, edukatif, pengawasan sosial, transformatif, dan pemupuk persaudaraan.

Memahami permasalahan sosial politik Indonesia yang kita cintai ini memang sulit, tetapi menempatkan diri dan mengambil peranan dalam proses solusinya lebih sulit lagi. Kita boleh terjebak pada generalisasi; semakin seseorang terjebak pada generalisasi, semakin kurang dia bekerja. Sebaliknya, semakin dalam dia terlibat dengan detil, semakin banyak dia bekerja. Dan yang paling penting adalah bahwa mengabaikan detil adalah melakukan kekerasan terhadap kerja, dan penghancuran kesempurnaan.

Dengan demikian, kita juga dapat menghindarkan diri dari proses "menghalalkan segala cara". Suatu hasil tanpa dukungan proses yang baik dan benar ibarat rumah di atas pasir.

Kita yang kecil ini hendaknya memiliki harga diri sebagai "umat tertebus", berani konsekuen melaksanakan ajaran Yesus Kristus. Kita tidak perlu menjadi penakut menghadapi segala kebusukan yang saat ini terjadi. Hati kita seharusnya berkobar-kobar seperti para rasul, ketika Roh Kudus turun atas mereka. Api Roh Kudus itu akan menyulut semangat kita untuk membatas segala kekerasan dengan kebajikan. Segala penindasan tidak boleh membuat umat Allah menjadi "bunglon" dan mencari keselamatannya sendiri.

 YESUS MENDERITA MENURUT CHOAN SENG SONG
Penulis: Harianto GP
 KERUGMA YANG MEMUDAR: PANDANGAN RUDOLF KARL BULTMANN TERHADAP TEOLOGI LUKAS - KISAH PARA RASUL
Penulis: Nindyo Sasongko
 PERANAN ROH KUDUS TERHADAP DOA ORANG PERCAYA: STUDI SURAT-SURAT PENGGEMBALAAN
Penulis: Yohanes Effendi Setiadarma
 TINJAUAN BUKU

Judul Buku: The Church and Culture: New Perspective in Missiological Anthropology. American Society of Missiological Series, No. 12. Penulis: Louis J. Luzbetak, S.V.D. with a foreword by Eugene Nida. Maryknoll, Penerbit: New York: Orbis Books, 1988. Jumlah Hal.: xx + 464.

 KONSULTASI TEOLOGI: APAKAH DOKTRIN ITU MEMANG BEGITU PENTINGNYA?
Penulis: Henry Efferin

Pertanyaan:

Apakah doktrin itu memang begitu pentingnya? Terutama bagi orang sekarang yang cenderung pragmatis, banyak orang Kristen yang tidak terlalu suka hal-hal yang "rumit". Mereka beranggapan bahwa masalah doktrin itu urusannya para hamba Tuhan atau teolog yang profesional.

Jawab:

Seorang teolog besar, Karl Barth, setelah menulis seri dogmatikanya lebih dari 10 volume itu, akhirnya mengatakan satu kalimat bahwa yang terpenting dari kesemuanya ini hanya satu: Jesus loves me this I know, cause the Bible tells me so. Kalimat ini bisa menimbulkan anggapan dari orang percaya bahwa yang terpenting bukan doktrin, cukup asal kita tahu bahwa Yesus mengasihiku. Memang banyak orang Kristen yang berpikir bahwa doktrin itu sering kali bukannya membangun, malahan "mengancam" kesederhanaan dan kepolosan iman. Hakekat Injil adalah "action", yaitu tindakan yang konkrit bukan sekedar berteori atau membesarkan kepala. Keberatan lain yang diajukan terhadap penelaahan doktrin ialah kaitannya yang erat dengan dogma gereja. Dogma itu selalu berkonotasi suatu sistim kepercayaan yang dipaksakan berdasarkan otoritas lembaga gereja sehingga justru berakibat negatif terhadap kebebasan ungkapan iman orang percaya. Yang lebih celaka ialah perpecahan gereja sering kali timbul karena perdebatan doktrinal yang terkadang bagi orang awam sulit dimengerti, mengapa para tokoh gereja itu mempunyai mindset yang begitu "denominationalism".

Keberatan-keberatan di atas harus diakui cukup absah adanya. Dalam hal ini kita harus seimbang, di satu sisi menghindari ekstrim yang terus menerus meributkan persoalan-persoalan doktrinal yang minor, di lain segi juga jangan sampai mengabaikan masalah doktrin. Di dalam Alkitab ada cukup banyak ayat yang menekankan pentingnya pengajaran, "sampai kita semua telah mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang anak Allah, ... sehingga kita bukan lagi anak-anak, yang diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia..." (Ef 4:13-14; lihat juga 1 Kor 14:20; Ibr 4:13-14). Di dalam bahasa Inggris perlu dibedakan antara "childlike faith" dan "childish faith", yaitu iman seperti anak-anak (kepolosannya) yang berbeda dengan iman yang kekanak-kanakan. Jelas setiap orang perlu bertumbuh dalam pengajaran yaitu pemahaman doktrin, dengan kata lain setiap orang dalam arti luas adalah "teolog" yaitu orang yang belajar memahami "theos". Orang yang sederhana pun dalam kecenderungannya juga berteologi. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah Anda adalah "good theologian" atau "poor theologian".

Mengerti doktrin adalah satu keniscayaan dalam proses pertumbuhan seseorang. Dalam sejarah gereja, akar dari perumusan-perumusan doktrin atau pengakuan-pengakuan iman timbul karena pergumulan melawan bidat yang sudah sejak awal kekristenan itu sendiri (mis: gnosticism, docentism, arianism, dll.). Bagaimana seseorang dapat mengenali bidat kalau ia sendiri tidak dilengkapi dengan pemahaman doktrin yang benar? Hal itu sama dengan seorang kasir atau petugas keuangan perlu dilengkapi [dengan pengetahuan tentang uang asli dan uang palsu palsu] sehingga ia tahu dan bisa membedakan antara uang asli dan uang palsu. Doktrin juga dibutuhkan karena Alkitab bukanlah sebuah buku jadi yang bisa langsung menjadi pegangan, melainkan sebuah bahan mentah yang perlu diolah secara sistimatis dan menyeluruh dan ini adalah tugas perumusan doktrin. Kalau tidak, sulit bagi orang percaya untuk mengenali iman mereka dengan lebih dewasa, apa yang sebetulnya mereka percayai. Terkadang tidak sedikit orang Kristen yang sistim kepercayaannya saling kontradiksi satu sama lain tanpa ia sadari. Last but not least, doktrin sangat diperlukan karena pemahaman akan doktrin berkaitan langsung dengan world view maupun kehidupan praktis seseorang. Misalnya, bagaimana kita mengenali Allah dalam Yesus Kristus yang kita sembah? Apakah kita mengenali sebagai hakim yang kejam, atau yang acuh terhadap sejarah manusia, atau sebagai Allah yang peduli dan penuh rahmat, kesemuanya ini tentunya sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita sehari-hari. Pandangan seseorang terhadap doktrin akhir zaman misalnya sangat mempengaruhi sikap hidup dia. Seseorang penganut premilleanism cenderung pesimis melihat perkembangan dunia. Sebaliknya, penganut postmilleanism cenderung lebih optimis. Ini membuktikan bahwa doktrin adalah hal yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan orang percaya.

Namun sebagai catatan, perlu diingat bahwa kesadaran akan pentingnya doktrin jangan sampai "kebablasan". Dalam hal ini perlu dibedakan antara doktrin yang primer dan sekunder. Misalnya doktrin mengenai penciptaan jelas adalah hal yang primer, namun berapa lama waktu yang dipakai untuk penciptaan apakah secara harfiah enam hari atau berproses adalah hal yang lebih sekunder. Percaya bahwa dosa sudah mencemarkan seluruh manusia adalah hal yang primer, namun Cara penjalaran dosa tersebut ada berbagai teori (creationism, traducianism) adalah hal yang lebih sekunder. Bahwa orang percaya harus dibaptis adalah hal yang primer, cara pembaptisan adalah hal yang sekunder. Kepercayaan terhadap kedatangan Kristus yang, kedua kali adalah hal yang primer, bagaimana detail kedatangan-Nya (pre-trib, mid-crib, atau post-trib) adalah doktrin yang lebih sekunder. Contoh-contoh ini bisa terus berlanjut, yang menjadi masalah sering kali para pemikir Kristen memutlakkan hal-hal yang sekunder sehingga terjadi perdebatan yang mengakibatkan perpecahan. Kita boleh memegang posisi tertentu dalam suatu doktrin, tetapi hendaklah itu diimbangi dengan semangat keterbukaan dan kerendahan hati untuk saling belajar. Dengan demikian kita bisa saling menghargai orang lain dari denominasi dan tradisi teologi yang berbeda dengan kita.

 KETERANGAN PENULIS

G. Seto Harianto anggota MPR-DPR RI, dan sebagai Sekjen Partai PDKB. Alumnus Unpar Bandung Jurusan Sospol.

Harianto GP dosen STT Bandung Literature and Bible Studies. Alumnus Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta Jurusan Jurnalistik, Jakarta (Drs.). Alumnus Institut Alkitab Tiranus (M.A.). Alumnus STT Bandung (M. Div.).

Henry Efferin pendeta di GKI Anugerah, Bandung. Alumnus SAAT Malang (B.Th.). China Evangelical Seminary Taiwan (M.Div). Menyelesaikan program M.Th. dan Ph.D. dalam bidang Sistematika di Trinity Evangelical Divinity School (USA) dan Trinity Intentional University (USA).

Nindyo Sasongko mahasiswa S1 tingkat akhir SAAT Malang.

Robbyanto Notomihardjo, alumnus STT Bandung (M.Div., 1995) serta pernah mengajar pada institusi yang sama dari tahun 1996-1998. Setelah menamatkan program Master of Art di bidang Teologia Sistematika dan Historika dari University of Dubuque Theological Seminary (1999), beliau mengambil program Ph.D. bidang Mission and World Religions di Luther Seminary, St. Paul, U.S.A

Supriatno pendeta di GKP Cirebon. Alumnus STT Duta Wacana Yogyakarta pada program S1 (S.Th.) dan S2 (M.Th.).

Yakob Tomatala pernah terjun dalam berbagai pelayanan: sebagai guru SPGAK-YPPGI Nabire, Irian Jaya/Papua; guru/direktur Sekolah Alkitab Kupang; Pembina Masyarakat Kristen Indonesia, Manila; Puket I STT Jaffray, Makassar; Dekan STT Jaffray Jakarta; Interim Pastor, Gereja Presbyterian Indonesia Fullerton, Presbitery - Los Rancos; Pelayan Umum Gereja Indonesia San Gabriel Valley, California, USA; Rektor Institut Teologi dan Kepemimpinan Jaffray, Jakata; Anggota Badan Pengurus Yayasan Lembaga Alkitab Indonesia; dan dosen "terbang" di beberapa STT. Alumnus Akademi Administrasi Niaga Negara, Ambon. Alumnus STT Jaffray (S.Th.). Alumnus Asian Theological Seminary, Manila (M.Div.). Alumnus Alliace Biblical Seminary, Manila (Master of Intercultural Studies). Alumnus Fuller Theological Seminary - SWM, Pasadena California (M.A. dan Doctor of Missiology). Alumnus Institute of Islamic Studies, Asia Pasific Theological Seminary, Baquia City, Philippines (Postdoctoral Studies).

Yohanes Effendi Setiadarma sebagai Litbank GPPS. Alumnus ITS Surabaya, Master of Building Science Los Angeles USA. Saat ini sedang studi program Master of Art In Pastoral Leadership di STAS Surabaya.



TIP #31: Tutup popup dengan arahkan mouse keluar dari popup. Tutup sticky dengan menekan ikon . [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA