Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 16 No. 1 Tahun 2001 > 
GAGASAN PLURALISME AGAMA: TINJAUAN SEJARAH DARI INDONESIA MERDEKA SAMPAI KINI DAN TAWARAN DIALOG KEBENARAN AGAPHE 
Penulis: Harianto GP
 PENDAHULUAN

Pada tahun 1945 ketika Perang Dunia II belum berakhir Indonesia berada di ambang pintu gerbang kebangsaan. Semua orang umumnya sepakat bahwa Indonesia harus bebas dan merdeka.1578 Karena itu semua agama-agama yang ada di Indonesia - Hindu, Buddha, Islam, dan Kristen - saling bekerja sama untuk membangun kemerdekaan Indonesia.

Para pimpinan gereja-gereja - seperti Dr. Mulia, Dr. Leimena,1579 Dr. Tambunan, dan lainnya, baik awam maupun pendeta, yang pikiran teologi dan politiknya telah mendewasa di tahun-tahun 30-an - memusatkan perhatian mereka pertama-tama pada prinsip-prinsip yang akan membimbing Negara Indonesia yang baru itu dengan tujuan agar kebebasan beragama dan kesamaan hak serta kesamaan kesempatan untuk semuanya warga negara dijamin, tanpa membeda-bedakan kepercayaan atau pun keturunan.1580 Tepatnya, 1 Juni 1945, merupakan landasan sejarah kehidupan "pluralisme" di Indonesia. Tanggal itu Bung Karno mencetuskan Pancasila untuk pertama kalinya. Pancasila dirumuskan oleh Bung Karno dengan susunan sebagai berikut:5) pertama, kebangsaan Indonesia (nasionalisme). Kedua, internasionalisme, atau peri kemanusiaan. Ketiga, mufakat, atau demokrasi. Keempat, kesejahteraan sosial: dan kelima, Ketuhanan. Pancasila ini dapat diperas menjadi tiga sila (Trisila),1581 yaitu: satu, socio-nationalisme, Tiga, socio-democratie; dan tiga, ketuhanan.

Trisila itu disempurnakan oleh Soekarno dan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, dan nilai Ketuhanan menjadi bagian sila pertama Pancasila: "Ketuhanan Yang Maha Esa". Dengan dicetuskannya proklamasi kemerdekaan Indonesia, maka terbentuklah pula sebuah negara yang bernama Negara Republik Indonesia. Segera setelah itu disusun pula sebuah Undang-Undang Dasar (UUD) yang dinamakan UUD 1945 yang di dalam pasal pembukaannya terdapat Pancasila, sebagai landasan ideal negara dan falsafah serta ideologi bangsa. Atas dasar Pancasila inilah lahirlah toleransi agama dalam negara yang baru dibentuk itu.

Siapakah Tuhan dalam sila Pancasila? Tuhan dari "Kami bangsa Indonesia" yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Jadi, bangsa Indonesia adalah suatu bangsa yang terdiri dari suku bangsa Minang, Jawa, Batak, Dayak. Ambon, Bugis dan lain-lainnya, termasuk pula keturunan Tionghoa yang beragama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kaharingan. Marupa, kepercayaan yang hidup dan terikat pada suatu daerah tertentu, yang pada waktu proklamasi kemerdekaan dilakukan, merasakannya juga sebagai pernyataan kemerdekaan dirinya sendiri, yang ingin bersatu di dalam apa yang disebut "Kami bangsa Indonesia ...."1582

Memang beberapa orang Kristen yang ikut terlibat dalam menata keagamaan pada saat negara Republik Indonesia melangkahi ke kehidupannya tetapi yang cukup menonjol adalah sosok Tahi Bonar Simatupang yang lahir di Sumatera Utara, 28 Januari 1920, tahun 1948-1949 sebagai wakil Kepala Staf Angkatan Perang RI dan 1950-1954 sebagai Kepala Staf Angkatan Perang RI, dan 1954-1959 sebagai Penasihat Militer di Departemnen Pertahanan. T.B. Simatupang yang berpandangan partikular Calvinis ini berpendapat:

Tugas orang Kristen berarti ketaatan kepada Tuhan dalam keadaan, waktu dan tempat tertentu itu. Ini berarti dua hal: Pertama, bersama-sama dengan orang-orang yang bukan Kristen mempergunakan berbagai-bagai cabang ilmu pengetahuan untuk memahami kekuatan-kekuatan yang menggerakkan sejarah dan yang membawa perubahan-perubahan dalam cara berpikir dan cara hidup manusia dan masyarakat. Kedua, orang-orang Kristen berusaha untuk dengar-dengaran kepada apa yang dikatakan oleh Tuhan kepada mereka dalam keadaan dan waktu di mana mereka hidup dengan membaca Alkitab yang mengisahkan bagaimana Tuhan berbicara terhadap orang-orang yang hidup dalam waktu, keadaan dan tempat yang lain.1583

Tapi, tidak hanya orang Kristen yang mempunyai tugas seperti di atas, melainkan semua orang: bagi Simatupang bahwa semua agama menghadapi tantangan untuk mengadakan pembaharuan dalam pemikiran serta bentuk-bentuk dan cara-cara pelayanannya. Dengan demikian agama-agama itu pada satu pihak dapat memberikan sumbangan yang sebesar-besarnya dalam pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila menuju tinggal landas. Sedangkan pada pihak lain agama-agama itu tidak menjadi kerdil dan tersingkir melainkan tetap merupakan faktor yang kreatif dan kritis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam proses industrialisasi menuju masyarakat yang malu, adil, makmur dan lestari berdasarkan Pancasila. Oleh sebab itu dengan saling menghormati integritas masing-masing maka percakapan (dialog) dan kerja sama, kewajiban membangun masa depan bersama sangat diperlukan di tahun-tahun yang akan datang.1584 Untuk itu tentu harus ada pembaharuan di kalangan umat-umat beragama dengan memberikan perhatian tidak hanya kepada masalah-masalah "akhirat" tetapi juga kepada masalah-masalah "pra akhirat", seperti kemanusiaan, keadilan, perdamaian, kelestarian dan seterusnya.1585

Perbedaan dalam persepsi teologis adalah hal yang secara realistis harus diterima sebagai pernyataan dalam percakapan antara para penganut dari agama-agama yang berlainan. Sebab setiap agama mempunyai persepsi teologisnya yang khas. Sekiranya tidak ada perbedaan dalam persepsi teologis, maka akan ada satu agama saja. Dialog tidak bermaksud untuk meniadakan perbedaan dalam persepsi teologis, melainkan agar dengan sikap memahami dan saling menghormati perbedaan-perbedaan itu, dapat dikembangkan dasar-dasar dan cara-cara bagi kerja sama yang seefektif mungkin."

Konsep "Pluralisme" yang ditawarkan Simatupang baru tahap awal dan belum masuk secara mendetail ke dalam nilai-nilai agama misalnya: bagaimana Injil harus didialogkan dengan agama lain? 11) Bagaimana Keselamatan harus dibagikan dengan agama lain? Sejauh mana dialog nilai-nilai agama bisa dikompromikan? Di sini penulis mencoba mencari jawabannya melalui tinjauan sejarah pluralisme di Indonesia. Setelah itu, penulis menawarkan dialog "Kebenaran Agaphe" sebuah alternatif dialog antara agama-agama.

 GAGASAN PLURALISME

A. WB. Sidjabat

Bulan Mei 1950 merupakan tonggak penting dalam sejarah gerakan oikumene di Indonesia. Pada saat itu beberapa gereja di Indonesia secara sadar dan sengaja bersama-sama mencanangkan sebuah tekad untuk "pembentukan gereja yang esa di Indonesia". Tekad itu tidak sekedar mereka tulis di atas kertas, namun dituangkan melalui sebuah wadah usaha bersama yang diberi nama "Dewan Gereja-gereja di Indonesia" (DGI). Sejak lahirnya, DGI merupakan wadah dari gereja-gereja di Indonesia dan wadah milik gereja-gereja di Indonesia, dengan satu sasaran tujuan dan usaha yang gamblang: pembentukan gereja yang esa di Indonesia.1586 Lalu 20 Mei - 10 Juni 1955 DGI mengadakan konferensi mengenai "Kewarganegaraan yang Bertanggung Jawab" di Sukabumi. Merumuskan bagaimana menjadi warganegara yang baik jemaat Allah. Persoalannya masih interen dalam gereja.

Masa 1956-1967 merupakan masa kelahiran para teolog-teolog doktoral di Indonesia. Tapi, dari beberapa orang itu, yang tertarik memikirkan toleransi agama adalah Walter Bonar Sidjabat1587 yang menulis disertasi Toleransi Agama dan Iman Kristen pada Princeton Theological Seminary di tahun 1960. Kesimpulannya bahwa toleransi agama itu harus didekati baik dari sudut pandangan teologi maupun dari sudut pandangan sosio phenomenologi; bahwa ada dasar toleransi agama-agama di dalam kekristenan dan di dalam Islam dan bahwa meningkatnya perhatian teologi di antara orang Islam akan dapat menghasilkan beberapa penyesuaian struktur keagamaan Islam pada zaman modern.1588 Dengan latar belakang partikular Calvinis W.B. Sidjabat berpendapat:

Pancasila, memberikan ruang untuk adanya toleransi agama, dan hal ini dibuktikannya melalui tafsirannya terhadap sila pertama daripada Pancasila, yakni sila Ketuhanan yang Maha Esa. Pancasila mengandung unsur toleransi agama secara positif (pindah agama) dan kemerdekaan beragama. Namun toleransi ini terbatas karena tidak memberikan peluang bagi adanya politheisme, atheisme dan nihilisme.1589

Toleransi berarti endurance atau ketabahan, yang bukan hanya menunjuk pada sikap membiarkan orang lain hidup di sekitar kita tanpa larangan dan penganiayaan. Toleransi dalam artian seperti ini khususnya dalam bidang agama, menunjuk pada kerelaan dan kesediaan untuk memasuki dan memberlakukan agama lain dengan penuh hormat dalam suatu dialog yang seakrab mungkin. Dialog seperti ini, bukanlah monolog bilateral yang di dalamnya. salah satu pihak berbicara pada pihak lain tentang kebenaran agamanya, tanpa perlu dipengaruhi oleh pendapat lain dalam dialog tersebut. Dialog yang sebenarnya adalah kesediaan untuk mendengar dari kedua belah pihak, namun tanpa jatuh ke dalam sinkretisme, skeptisisme dan relativisme.1590

Sidjabat menekankan istilah "Toleransi Positif" orang-orang Kristen tidak boleh memaksakan kehendaknya kepada orang lain, karena sama seperti Yesus di Golgota. Dia pun harus bersaksi dalam kerendahan. Di sini tuntutan Allah kepada manusia seperti yang terdapat dalam Torat dan Injil. Injil tidak meniadakan Torat, tetapi memenuhinya dan dalam keduanya ada tuntutan Allah agar manusia taat kepada kasih setia-Nya yang nyata di Golgota bagi keselamatan semua manusia. Karena itu, "Toleransi Positif, yang di dalamnya kemerdekaan beragama tanpa batas diberikan pada semua agama dan pada semua ajaran.

Melihat Yesus Kristus dalam pluralisme, Sidjabat berpendapat:

Allah menjadikan manusia menimbulkan intoleransi pada orang lain hanyalah karena kesalahpahaman. Memang orang lain tidak mengerti bahwa Yesus adalah Allah yang menjadi manusia karena adalah batu sentuhan. Bukan hanya orang lain tapi cara berpikir orang Kristen pun tidak akan mengerti rahasia ini. Terkecuali kalau Allah sendiri menyatakan diri-Nya dalam hati, pikiran dan hidup kita semua sebagai manusia barulah kita mengerti rahasia itu dan intoleransi menjadi toleransi. Inilah kebenaran Allah, yang kita pun sebagai saksi tidak dapat mengklaim sebagai kepunyaan kita. Agar toleransi yang benar dapat terjadi hendaknya kita menghindari klaim bahwa kita mempunyai kebenaran. Ini berarti pula kita tidak bersaksi tentang superioritas agama Kristen terhadap agama-agama lain, tetapi bersaksi tentang Kristus yang telah mati dan bangkit bagi semua orang.1591

Orang awam maupun Pendeta bersama-sama hendaknya bersaksi tentang kematian dan kebangkitan Yesus Kristus di dalam hidup sehari-hari, di kantor, pelabuhan, kebun, lapangan, laboratorium, laut dan udara, ya bahkan di luar angkasa sekalipun.1592 Dasar bersaksi atau dialog bagi orang Kristen, yaitu:20) pertama, inti dari dialog adalah Injil Kristus. Kedua, yang diwujudkan sehari-hari iman Kristen adalah pemberian Allah. Ketiga, tindakan manusia sesuai dengan peraturan Roh Kudus sebagai kesatuan iman. Keempat, pengharapan akan akhir zaman. Kelima, hubungan antara orang-orang Kristen dan non Kristen dalam kasih dan saling mengampuni. Keenam, keselamatan hanya melalui kematian Yesus.

B. Dari Sidang Raya Dewan Gereja Indonesia dan Akibat Peristiwa G 30 S PKI

Sementara dari Sidang Raya ke Sidang Raya. Gereja-gereja sedunia banyak menyinggungi "pluralisme", tetapi baru tahu 1961 dalam Sidang Raya Dewan Gereja Sedunia di India, topik ini dijadikan agenda pembicaraan. Sejak itulah Gereja-gereja semakin membuka wawasan, bahkan Gerakan Oikumene mencakup seantero kehidupan yang ada di dunia ini, tidak hanya sebatas hubungan antara denominasi gereja, tetapi juga menyangkut agama-agama lain.1593

Kemelut politik di dalam negeri sebagai akibat dan reaksi terhadap peristiwa G 30 S PKI pada tahun 1965 mempunyai masyarakat harus mempunyai agama. Dalam kondisi ini perkembangan Perkabaran Injil maju pesat. Pihak Islam menuding bahwa umat Kristen sedang melakukan kristenisasi secara besar-besaran di Indonesia. Dengan alat utama harta benda dan yang membantu suksesnya usaha itu adalah kemiskinan rakyat dan kebodohan bangsa Indonesia pada umumnya.1594 Tapi, baru 1967 merupakan titik kritis bagi gereja-gereja Indonesia untuk memahami secara teologis Alkitabiah hubungannya dengan golongan masyarakat yang menganut agama lain.

Menjelang Sidang Raya DGI 1967 telah terjadi serangkaian pembakaran dan pengrusakan terhadap bangunan Gereja di Sulawesi Selatan dan juga Jakarta. Dimulailah dialog antara umat beragama di Indonesia untuk menata hubungan serta menciptakan kerukunan demi keutuhan bangsa dan masa depan bersama sebagai masyarakat dan negara Indonesia yang bersatu.1595 DGI - yang berubah menjadi PGI - didirikan Mei 1950 tetapi mempunyai kesadaran akan pluralisme pada tahun 1967. Ketuanya waktu itu berurutan: Dr. Mulia, Dr. J. Leimena, Dr. A.M. Tambunan sedangkan Pendeta W.J. Rumambi dan Pendeta Simon Marantika menjabat sebagai sekretaris umum pertama dan kedua.

Sejak itu setiap tahun Balitbang PGI (Badan Penelitian dan Pengembangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) melakukan studi dan seminar perihal realitas agama-agama dan jawaban teologis yang tepat terhadap kenyataan pluralisme tersebut.

Di Manado misalnya, 25 Juli 1969 telah dibentuk Badan Kerja Sama Antar Umat beragama (BKSAUA) berdasarkan keputusan Gubernur Kepala Daerah Provinsi Sulawesi Utara Nomor 91/KPTS/1969. Tujuannya adalah agar pelaksanaan kehidupan bersama dan penyebaran agama yang diakui oleh pemerintah berjalan sesuai dengan Pancasila tanpa menimbulkan ekses pertentangan agama yang dapat menganggu keamanan, ketenteraman, dan ketertiban masyarakat. Dijelaskan juga dalam SK tersebut bahwa tugas pokok BKSAUA adalah mempertebal dan memantapkan tata hidup bertoleransi agama dan kerja sama antar umat beragama serta mensukseskan segala program pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Kemudian, di Jakarta, sejak bulan Oktober 1979, sudah enam kali pertemuan dilaksanakan, yang kemudian bermuara dengan pembentukan Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang secara formal dikukuhkan melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 25 tahun 1980 tanggal 30 Juni 1980.1596

Kemudian demi untuk menjaga stabilitas Nasional dan tegaknya kerukunan antar umat beragama, pada 1 Agustus 1978 dikeluarkan SK Menteri Agama RI H. Alamsyah Ratu Perwira negara tentang pedoman penyiaran Agama yang lebih dikenal dengan SK Menteri Agama No. 70 tahun 1978. Bunyinya bahwa penyiaran agama tidak dibenarkan untuk: (a) Ditujukan terhadap orang dan atau orang-orang yang telah memeluk sesuatu agama lain. (b) Dilakukan dengan menggunakan bujukan/pemberian materiil, uang, pakaian dan seterusnya. (c) Dilakukan dengan cara-cara penyebaran - pamflet, buletin. majalah dan seterusnya. (d) Dilakukan dengan cara-cara masuk keluar dari rumah ke rumah orang yang telah memeluk agama lain dengan dalih apapun.

Beberapa hari kemudian, yaitu tanggal 15 Agustus 1978 dikeluarkan lagi SK Menteri Agama tentang bantuan Luar Negeri kepada lembaga Keagamaan di Indonesia, dikenal dengan SK Menteri Agama No. 77 tahun 1978. Tetapi, pihak Kristen dan Katolik tidak bisa menerima dan meminta SK itu untuk dicabut dan dikembalikan kepada semula dengan alasan: (a) Pembatasan kebebasan penyiaran agama kepada semua orang adalah bertentangan dengan kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD '45 dan dipertegas oleh Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. (b) Pengotakan daerah-daerah menurut agama adalah bertentangan dengan hakekat Negara Kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila dan wawasan nusantara yaitu satu tanah air. (c) Harus dijamin hubungan yang wajar antara negara Pancasila dengan lembaga keagamaan dalam masyarakat, termasuk gereja; yang selain berakar dalam masyarakat Indonesia, mempunyai dimensi Universal. (d) Kedua keputusan tersebut disangsikan dasar hukumnya.

Di sinilah terjadi tegang antara Kristen, Islam, dan pemerintah. Akhirnya pada 2 Januari 1979 dikeluarkan SK Menteri Agama bersama dengan Menteri Dalam Negeri tentang tata cara pelaksanaan penyiaran agama dan bantuan luar negeri kepada lembaga-lembaga di Indonesia yang dikenal dengan SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1979.

C. Victor I. Tanja

Victor Immanuel Tanja25 lahir 31 Mei 1936 di Sawu, NTT. S-1 STT Jakarta (1964), M.Th. Christian Theologycal Seminary, Indianapolis, Indiana, USA (1974), S-3 Ph.D. Hartford, Connecticut, USA (1979).

Dengan posisi yang tidak - apakah ia partikular. inklusif atau pluralis - Victor Tanja mempunyai beberapa pemikiran mengenai pluralisme yang cukup menonjol. Misalnya mengenai iman dan pluralisme, ia berpendapat bahwa iman atau kepercayaan berakar pada pengalaman sejarah, dan pluralitas agama menjadi dasar sejarah bagi terciptanya semangat dan dinamika dalam agama-agama untuk mampu menjawab isu-isu kontemporer.

Pluralitas berarti adanya saling hubungan dan ketergantungan di antara hal-hal yang berbeda. Pluralitas mengacu kepada adanya kebersamaan dan keutuhan. Pluralitas menuju terciptanya sebuah etika global.1597 Setidaknya ada tiga tugas dalam gerakan kerja sama antara umat beragama, yaitu: pertama, pertobatan dari sifat berseteru dan dengki yang jelas menganggu hubungan baik antara agama sejak berabad-abad. Kedua, para penganut agama seharusnya tidak takut menelanjangi penyalahgunaan agama. Ketiga, penelahan seharusnya diberikan kepada pencarian sebuah etika global.

Memberikan jawaban yang didambakan orang-orang yang pesimis dan optimis terhadap masa depannya menjadi mempunyai masa depan. Sikap hidup yang realistis, ditingkatkan, dan diperbaharui. Di sini, kita memerlukan ekspresi keagamaan yang baru, sekaligus ibadah keagamaan yang baru. Dengan demikian, akan terbentuk citra tentang manusia yang menganut berbagai tradisi agama. Manusia itu mendiamkan sebuah kota global yang terletak di atas bukit.1598

Lebih dalam lagi Victor berbicara dengan kemungkinan Alkitab sebagai pluralisme. Ia mengatakan:

Alkitab adalah sumber iman Kristiani itu dan nyata. Alkitab tersebut berbicara tentang Allah dalam hubungan-Nya dengan sejarah. Allah menciptakan langit dan bumi sekaligus juga berarti bukan hanya Allah sebagai pembuat sejarah, tetapi juga Allah mau dikenal dalam hubungan sejarah, dalam hubungan dengan ciptaan-Nya atau dalam hubungan hidup. Hubungan hidup berarti pula hubungan yang menghidupkan atau hubungan kasih. Dengan demikian, iman Kristiani itu sama sekali tidak berbicara tentang alam gaib dan menolaknya. Sedangkan keselamatan adalah keselamatan dalam sejarah bersama Allah karena sejarah adalah kepunyaan Allah. Dengan melaksanakan karya-karya yang menumpang hidup itulah maka tanda-tanda keselamatan itu dihayati dan disaksikan. Dalam hubungan ini maka kematian berarti masuki suatu proses kehidupan yang terus-menerus yang di dalamnya Allah berbuat hal-hal yang besar dan ajaib.1599

Jadi sini, iman Kristen tidak berbicara tentang kelestarian atau kekekalan jiwa dalam bentuk arwah dalam alam gaib, tetapi sebaliknya berbicara tentang kematian sebagai hubungan dalam tubuh rohani yang baru yakni suatu tubuh (organ) yang selalu hidup dalam persekutuan dengan Allah.

D. Eka Darmaputera

Eka Darmaputera1600 lahir 16 November 1942 di Mertoyudan, Magelang. Emiretus pendeta Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, dan mempunyai latar belakang Calvinis. S-1 di STT Jakarta (1966), Ia memperoleh gelar Doktor (1982), di Boston College and Andover Newton Theological School (AS) dengan disertasi Pancasila and The Search for Identity and Modernity in Indonesian Society. Menurut Eka Darmaputera:

Dialog tidaklah berarti menyembunyikan kebenaran. Tidak pula mengkompromikan kebenaran. Tetapi mencari kebenaran bersama. Bersama-sama mencari yang paling benar, paling baik dan paling tepat. Bersedia memberi, tanpa memaksa. Bersedia menerima, tanpa terpaksa. Bukankah ini sesuatu keadaan yang paling dapat dipertanggungjawabkan secara etis? Jadi, ada pandangan bahwa etika Kristen hanya berlaku untuk orang Kristen, atau Etika Islam hanya berlaku untuk orang Islam, secara fundamental harus kita tolak, oleh karena ia menjurus pada relativisme dan subyektivisme. Di mana masing-masing kelompok berjalan sendiri-sendiri menurut prinsip, norma dan aturan permainannya masing-masing.

Tapi, Eka lebih tajam dan jelas untuk kedetailan gerakan pluralisme yang berbicara mengenai Alkitab dan berteologia kontekstualisasi. Dia cukup tegas dalam bersikapnya sebagai seorang partikular Calvinis yang mendekati inklusif, sebagai berikut:

Saya percaya Alkitab adalah Firman Allah, sesungguhnya baru menyentuh sebagian saja dari seluruh kebenaran! Belum berbicara mengenal seluruh kebenaran! Belum berbicara mengenai seluruh kenyataan yang menyangkut Alkitab! Oleh karena itu, anjuran saya: jangan buru-buru menguras emosi dan energi hanya untuk mempertahankan kebenaran yang sepotong ini! Alkitab adalah firman Allah. itu sama sekali tidak berarti bahwa Alkitab adalah identik dengan firman Allah, atau bahwa firman Allah adalah identik dengan Alkitab! TIDAK!1601

Di sini Eka terpengaruh terhadap Karl Barth. Bahkan lebih jelas lagi ia mengingatkan bahwa Alkitab dan Firman Allah adalah dua pengertian yang berbeda. Tidak identik. Eka percaya dengan segenap hati bahwa Alkitab adalah firman Allah. namun itu tidak berarti bahwa ia percaya "firman Allah identik dengan Alkitab." Alkitab adalah firman Allah dalam pengertian bahwa Alkitab memberi kesaksian tentang FIRMAN ALLAH yang sesungguhnya, yaitu Logos, Yesus Kristus. Alkitab itu diwahyukan oleh Allah sendiri, maka Alkitab menjadi sumber legitimasi. Firman Allah secara teologis adalah Yesus Kristus, bukan Alkitab. Jadi, orang Kristen bukanlah menggumuli apa yang Alkitab katakan, tetapi menggumuli apa yang Allah mau katakan melalui Alkitab kepada kita, kini dan di sini. Ada firman di dalam firman. Ada kanon di dalam kanon. Seluruh Alkitab adalah firman Allah. namun tidak semua yang tertulis di dalam Alkitab adalah firman Allah yang mengikat semua orang percaya di sepanjang zaman.1602

Sedangkan untuk "Teologi Kontektualisasi", Eka berpendapat bahwa teologi kontekstualisasi adalah teologi itu sendiri. Artinya, teologi hanya dapat disebut sebagai teologi apabila ia benar-benar kontektual. Mengapa demikian? Oleh karena pada hakekatnya, teologi tidak lain dan tidak bukan adalah upaya untuk mempertemukan secara dialektis, kreatif serta eksistensial antara "teks" dengan "konteks": antara "kerygma" yang universal dengan kenyataan hidup yang kontektual. Secara lebih sederhana dapat dikatakan, bahwa teologi adalah upaya untuk merumuskan penghayatan imam Kristen pada konteks ruang dan waktu yang tertentu.1603

Teologi juga harus memperhatikan tradisi karena tradisi adalah sumber kesaksian tentang upaya umat Kristen untuk memahami kehendak Allah di sepanjang zaman. Di sini, Eka berpendapat bahwa Allah tidak berhenti berfirman setelah Ia menyatakan kehendak-Nya melalui Alkitab. Eka mengatakan:

Di sinilah. menurut keyakinan saya, kesalahan fatal dad fundamentalisme. Kesalahannya tidak terletak pada sikapnya yang amat memperhatikan Alkitab, melainkan pada sikapnya seolah-olah Allah berhenti berfirman di situ.1604 Kerumitan di dalam teologi kontekstualisasi adalah bagaimana kita menghubungkan yang universal dan yang partikular. Di sini saya tidak mungkin dan tidak mampu memberikan jawaban. ... Tapi, yang jelas-jelas salah ialah mereka [para dogmatikus] tidak mau mengakui bahwa ada masalah di sini. Pada satu pihak. adalah mereka yang hanya mau memperhitungkan yang universal dan kemudian secara semena-mena mencangkokkan pada yang partikular. Salah, oleh karena pada hakekatnya yang universal itu selalu ada dalam bentuk partikular. Pada pihak lain, adalah mereka yang dengan semangat menggebu-gebu hanya memperhatikan yang partikular dan mengabaikan dimensi yang universal. Ia salah, oleh karena Allah yang berfirman pada zaman ini tidak lain dan tidak bukan adalah Allah yang sama yang telah berfirman sepanjang zaman.1605

E. Kepedulian Dialog Islam - Kristen

Pada 1984 dalam Konperensi Nasional Gereja. Masyarakat dan Negara yang diselenggarakan oleh DGI, 20-25 Agustus 1984, dirasakan adanya keperluan untuk mengembangkan dialog antara Kristen dan Islam, terutama dialog mengenai peranan agama Islam dalam pergerakan kemerdekaan dan pembangunan. Dialog ini diwujudkan dalam bentuk proyek antar agama. Melalui proyek itu dilakukan percakapan antar agama guna memperoleh pemecahan bersama segala persoalan pembangunan bangsa. Di samping itu dibahas pula tentang bagaimana agama-agama hadir dalam dunia modern dan pesan-pesan apakah yang dapat disampaikan kepada dunia modern mengenai kemanusiaan, kualitas manusia, keadilan, kesejahteraan, kebenaran dan lain sebagainya.1606

Ternyata kesadaran dialog tidak saja dilakukan oleh PGI, tetapi lembaga-lembaga independen pun mulai lahir dan melibatkan diri. Tanggal 10 Agustus 1992 di Yogyakarta misalnya, lahirlah Institut Dialog Antar Iman di Indonesia (Institut Dian),1607 Dian muncul dari kesadaran untuk merefleksikan realitas dinamika kehidupan masyarakat yang plural dan pengalaman-pengalaman empiris, khususnya yang berhubungan dengan tempat, fungsi dan relevansi agama-agama dalam masyarakat. Tokoh-tokoh Dian adalah Eka Darmaputera dan Th. Sumartana.

Dian didirikan dengan maksud dan tujuan:

Institut ini bekerja demi menjalin kerja sama dan dialog antar iman. Tidak bekerja atas nama dan atas kepentingan institusi atau denominasi agama tertentu secara eksklusif. Menghargai partisan pemikiran keagamaan dan menjunjung tinggi kepercayaan setiap agama dengan segala kemajemukannya. Tidak berpijak pada pandangan teologi tertentu kecuali teologi yang bisa menerima dan tidak menolak dialog antar iman.

Institut ini sebagai forum di mana gagasan-gagasan keimanan didialogkan bersama agar bisa saling merangsang dan menumbuhkan pemikiran baru yang lebih eksplisit tentang soal kemanusiaan demi kedamaian dan kesejahteraan warga masyarakat, bahkan umat manusia seluruhnya.

Institut ini memberi tempat dan kesempatan kepada siapa saja terutama generasi muda untuk melatih kemampuan keterbukaan masing-masing dalam debat pikiran, gagasan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kenyataan dinamis hubungan antara agama dan masyarakat.1608

Persoalan pluralisme tampaknya sangat menarik. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) melihat betapa pentingnya dialog itu. Sehingga tanggal 31 Agustus - 4 September 1993, UKSW bekerja sama dengan IAIN Semarang, serta Mahidol University, Bangkok. Thailand mengadakan ceramah Seminar Internasional mengenai Agama dan Lingkungan.1609

 TEOLOGIA RELIGIONUM

A. Th. Sumartana

Agaknya proses yang selama ini terjadi masih jauh dan keadaan ideal, di mana agama-agama memberikan perhatian yang serius terhadap kebutuhan untuk saling menyayangi dan menyantuni satu dengan yang lain. Kita baru dalam fase yang sangat awal untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran yang bersifat inklusif. Di mana pemeluk agama yang satu menerima pemeluk agama yang lain selaku bagian dad kehidupan masyarakat yang sama-sama beriman kepada Tuhan yang Maha Esa. Selama ini agaknya belum terbentuk forum di mana terjadi perundingan-perundingan antara pemimpin agama untuk melakukan langkah bersama guna mengatasi persoalan-persoalan bersama di masyarakat. Belum terbentuk sebuah "konsensus minimal" yang menjadi basis bagi hubungan antara agama sebagai sebuah forum guna melangkah bersama sebagai kekuatan nyata agama-agama guna melakukan pembaruan di masyarakat.1610

Begitu yang dipikirkan oleh Th. Sumartana. Maka, pada 1999 melalui Tim Balitbang PGI muncul pemikir pluralisme yang cukup mengagetkan dalam perkembangan pluralisme itu sendiri. Th. Sumartana mempopulerkan konsep "Theologia Religionum"1611 di Indonesia. Theologia Religionum bertolak dengan sadar dan iman Kristen. Ini membedakan Theologia Religionum dari ilmu agama yang hanya mengumpulkan fakta; sekalipun melalui pembedaan ini ilmu agama hendak diselidiki secara kritis mengenai perspektifnya. Jadi, yang dimaksud "Theologia Religionum" adalah penilaian dan interpretasi tentang gejala agama dan agama-agama bukan Kristen.1612 Di sini Th. Sumartana mengambil posisi sebagai seorang pluralis, berbeda dengan teolog-teolog sebelumnya yang hanya berbicara pluralisme agama tetapi mereka mempunyai kaki partikular. Jadi, boleh dikatakan bahwa Th. Sumartana adalah pluralis pertama yang muncul dalam dunia pluralisme agama-agama di Indonesia.

Dalam menyambut hal ini. Eka Darmaputera berpendapat bahwa sesungguhnyalah, pemikiran baru mengenai Theologia Religionum ini akan mempunyai konsekuensi terhadap seluruh bangunan teologi kita: antropologi, kosmologi, soteriologi, kristologi, misiologi, ekklesiologi, ya semuanya!1613 Dan itu memang dibuktikan oleh Th. Sumartana sebagai berikut:

Sekarang ini dibutuhkan teologia agama-agama (Theologia Religionum) adalah upaya refleksi teologis untuk menempatkan pluralisme sebagai pusat perhatian dan pusat persoalan. Kenapa? Ada empat jawabnya: pertama, apresiasi Aktif: kita perlu memulai dengan kesadaran tentang kekurangan dan keterbatasan yang ada pada diri kita dalam seluruh tradisi yang kita kenal selama ini guna merumuskan makna teologis dari agama-agama dan agama kita sendiri. Kedua, titik tolak Trinitas: didasarkan pada totalitas ajaran keimanan Kristen. Meletakkan tekanan yang besar pada aspek universal, tanpa melupakan segi-segi keunikannya. Kata lain, keunikan agama tidak disanggah, akan tetapi ia dilihat dalam perspektif universalnya - ajaran mengenai universal agamanya. Trinitas - Tuhan Bapa, Anak, dan Tuhan Roh Kudus. Dalam teologi agama-agama, sementara kita sisihkan dulu Roh Kudus. Kristologi tidak dirumuskan dalam konteks pluralisme. Di sini kita butuh teologi pluralisme bukan kristologi. Ketiga, soteorologi: keselamatan ada pada agama-agama. Kita tidak berbicara tentang teologi atau kristologi agama-agama, tetapi pneumatologi agama-agama, di mana di dalamnya dan melalui pengakuan itu kita menerima agama-agama selaku kehadiran. Roh yang menyelamatkan.1614 Keempat, self understanding, teologi agama-agama terbuka untuk semua agama. Semua agama perlu membuat versi theologia religionum sendiri yang terbuka dan positif.1615

Sumartana1616 lahir 15 Oktober 1944 di desa Karangkobar. Banjar Negara, Jawa Tengah. S-1 STT Jakarta (1972), dan Studi Dialog Agama-agama di Geneva (1972-1973). S-3 (Ph.D) Misiologi dan Perbandingan Agama di Vrije Universiteit Amsterdam dengan disertasi Mission at the Cross Road.

Sumartana mengatakan bahwa pluralisme bukan sekadar multiplikasi kepelbagian, bukan hanya ekstensif kualitatif. Pluralisme masa sekarang, jenis, bentuk, dan isinya berbeda dengan pluralisme yang kita alami di masa lampau. Pluralisme masa lampau menuntut suatu respons kerukunan, koeksistensi, dan keserasian hidup dari kelompok-kelompok agama di masyarakat. Pluralisme sekarang bersifat sangat aktif. Kalau kita tidak mempedulikannya, maka kita akan digilasnya. Pluralisme di masa sekarang terjadi karena tiap-tiap kelompok itu sudah mengalami proses emansipasi sedemikian rupa sehingga setiap bagian itu sudah melakukan emansipasi bersama, dan tampil bersama secara setara. Tidak orang bisa bilang bahwa suatu pihak tak punya hak untuk tampil.

B. Ioanes Rakhmat

Ioanes Rakhmat lahir 13 Mei 1959, pendeta Gereja Kristen Indonesia Jawa Barat, dosen bidang PB dan Bahasa Yunani di STT Jakarta. Mulai tahun 1992 menempuh S-2 di STT Jakarta. Anggota Komisi Teologi BPK Gunung Mulia. Kini, ia sedang studi S-3 di Kampen, Belanda.

Tidak berlebihan bila disebut Ioanes banyak terpengaruh oleh konsep Knitter. Ia banyak mengembangkan dasar pemikiran Knitter. Contohnya Ioanes setuju dengan pendapat Knitter bahwa pluralistik - yang disebut model teosentris atau liberal:

Semua agama mempunyai nilai yang sama. Tidak ada satu agama pun yang memuat seluruh pernyataan Allah atau Ilahi. Semua agama ambil bagian dalam keterbatasan manusiawi. Ada banyak jalan menuju keselamatan. Kita semestinya membuka diri dalam dialog untuk sesama manusia. Tidak mungkin mencari kebenaran dan tidak mungkin mengenal diri atau agama diri sendiri, kecuali jika mengenal agama sesama manusia juga. Bisa berbicara tentang keunikan Yesus Kristus, tetapi keunikan yang dimaksudkan adalah sesuatu yang relatif: sama seperti isteri bersifat unik buat suami, sama seperti Buddha bersifat unik buat seorang Budhist, begitu juga Kristus bersifat unik buat mereka yang percaya kepada-Nya.1617

Tidak hanya berpikir jalan keselamatan ada dalam agama-agama, tetapi Ioanes juga berpendapat firman Allah di luar Alkitab. Di sini jelas, Ioanes mengambil posisi sebagai seorang pluralis. Lebih-lebih ketika berpendapat mengenai Firman Allah. Ioanes mengatakan bahwa ada firman Allah dan kasih karunia-Nya di luar tradisi dan sejarah Yahudi - Kristen dan di luar Alkitab. Kasih karuniaNya inilah yang menggerakkan setiap orang yang mau mengenal-Nya untuk melakukan kehendak-Nya, untuk berbuat baik. Firman dan kasih karunia-Nya yang menjangkau semesta alam inilah yang mendorong manusia untuk memberi tanggapan historis kepada Allah. Wujud sosial historis tanggapan manusia ini berupa agama-agama dan kitab-kitab suci. Lebih lanjut dikatakan:

Apa bentuk sarana penerimaan dan penyampaian firman Allah di luar Alkitab ini? Bisa bermacam-macam. Selain sarana tulisan yang berupa kitab-kitab suci keagamaan, bisa juga sarana-sarana lainnya. Bisa berupa alam ciptaan dan segala sesuatu yang berlangsung di dalamnya. Bisa berupa hati nurani. Bisa berupa tradisi-tradisi suci keagamaan lain. Dan, taat asas dengan itu, bisa melalui nabi-nabi dan tokoh-tokoh keagamaan lain yang pernah dan akan lahir di dunia ini, yang memulai tradisi-tradisi keagamaan dunia ini dengan memberitakan keakbaran dan rahmat Allah. Dan, jangan dilupakan, bisa melalui ilmu pengetahuan yang juga merupakan bentuk kasih karunia dan kiprah penyelenggaraan Allah kepada manusia untuk memelihara dan mempertahankan ciptaan-Nya, manusia dan alam semesta.1618

Bagi Ioanes bahwa apapun jenis tulisan dalam Alkitab, semua kitab di dalamnya hanya punya satu kebenaran, yaitu kebenaran pewahyuan dari Allah sendiri, sebagai kitab yang "dinafasi oleh Allah" sendiri adalah sesuatu yang menyesatkan. Karena, meskipun diakui bahwa yang menulis Alkitab itu manusia di dalam dunia dan kebudayaannya, tetapi sama sekali manusia, dunia dan kebudayaannya itu tidak mempengaruhi isi wahyu Allah yang diterimanya.1619

Ioanes sependapat dengan Panikkar bahwa kalau kita mempertahankan Kristus Yesus sebagai "Kebenaran akhir" dan tidaklah dapat digantikan dengan totalitas kebenaran atau pendapat-pendapat yang menjiwai agama-agama lain, timbul persoalan, maka dialog diperlukan sekali. Tanpa dialog, kekristenan hanya akan menjadi semacam "ideologi" bagi sekelompok eksklusif orang-orang yang menamakan dirinya sebagai orang Kristen.1620

Jadi, bagi Ioanes, berteologi adalah tidak bisa dilakukan oleh gereja sendiri. Karena krisis keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan dewasa ini adalah masalah, tantangan dan ancaman sejagat, maka dalam rangka gereja berteologi, ia harus berteologi secara oikumenis dan dalam dialog dengan segenap orang yang mencari dan melaksanakan kehendak Allah, dan yang menaruh keprihatinan yang sama atas permasalahan, penderitaan dan keterhilangan dunia ini. Memikul panggilan ini membuat gereja harus memahami ulang siapa dirinya di tengah pluralitas keagamaan dalam dunia masa kini. Parokhialisme dan institusionalisme gereja sebagai yang Allah harus digantikan oleh oikumenisme dan universalisme.1621 "Umat Perjanjian yang membawa terang bagi bangsa-bangsa" harus sudah dipahami dengan lebih terbuka dan inklusif. "Umat Perjanjian" di sini tidak monolitik.1622

C. Weinata Sairin

Weinata lahir tanggal 23 Agustus 1948 di Jakarta. S-1 STT Jakarta (1973), M.Th. STT Jakarta (1989) dengan tesis "Muhammadiyah dan Asas Pancasila: Pemahaman mengenai Gerakan Islam yang Besar di Indonesia dan Upaya Pengkajian Analitis Sekitar Respons Muhammadiyah terhadap Undang-undang No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan". Ia pendeta GKI. Pasundan di Jemaat Cimahi, Bandung, Sekretaris Umum Sinode Gereja Kristus Pasundan (1978), dan Wakil Sekretaris Umum PGI (1989-1994, 1994-1999).

Melihat dari beberapa pemikirannya. Weinata menempatkan diri sebagai seorang inklusif tapi masih "meragukan". Ia berpendapat:

Kerukunan antara umat beragama adalah satu-satunya pilihan, maka gereja-gereja beserta dengan seluruh warganya harus teras bertekad untuk mengusahakan, memelihara dan mengembangkan kerukunan antara umat beragama di negeri kita. Kerukunan kita cita-citakan bukanlah sekadar rukun, asal rukun, rukun sesaat dan temporer, melainkan suatu kerukunan yang benar-benar otentik dan dinamis. Dengan kerukunan yang otentik, dimaksudkan bukanlah kerukunan yang diusahakan hanya oleh karena alasan-alasan praktis, pragmatis dan situasional, tetapi semangat kerukunan yang benar-benar keluar dari hati yang tulus dan murni, yang didorong dan merupakan refleksi dari keimanan yang dalam, sebagai wujud serta aktualisasi dari ajaran agama yang kita yakini. Dengan kerukunan yang dinamis, dimaksudkan bukan sekadar kerukunan yang berdasarkan kesediaan untuk menerima eksistensi yang lain dalam suasana hidup bersama tetapi tanpa saling menyapa, melainkan kerukunan yang didorong oleh kesadaran bahwa walaupun berdoa semua kelompok agama mempunyai tugas dan tanggung jawab bersama yang satu: mengusahakan kesejahteraan lahir batin sebesar-besarnya bagi semua orang (bukan hanya umatnya sendiri), dan oleh karena itu mesti bekerja sama, bukan hanya sama-sama bekerja.1623

Weinata melihat agama yang menganut doktrin eksklusif perlu membuka diri untuk menjadi inklusif, alasannya sebagai berikut:

[Pertama], agama-agama dibebaskan dari belenggu kesendiriannya, dari sikapnya yang eksklusif yang selama ini mungkin lekat dengan kesendiriannya. Agama-agama tidak boleh berhenti pada pementingan diri sendiri, pada egoisme kelompok. Ada permasalahan yang jauh lebih penting dan mengasarkan dari sekadar pementingan diri, dan eksklusivisme itu. Masalah yang penting dan mendasar itu adalah bagaimana pembangunan nasional yang dilaksanakan bangsa kita, yaitu pembangunan yang merupakan penjabaran semua sila dari Pancasila tetap memiliki landasan moral, etik dan spiritual, sehingga pembangunan tersebut tidak mengerdilkan kepribadian dan identitas bangsa.1624 [Kedua], dialog tidak berarti merelatifkan kebenaran Injil atau menuju ke sinkretisme. Dialog bukanlah pengganti atau identik dari misi, namun melalui dialog kesaksian Kristiani bisa diungkapkan.1625 [Ketiga], paskah, kebangkitan Yesus dari kematian adalah tanda yang menunjuk akan kepedulian Yesus terhadap ratapan manusia yang terkapar tanpa harapan dalam keterbelengguan dosa. Paskah, sebab itu tidak boleh hanya dikurung dalam kekristenan yang eksklusif. Paskah harus menjadi perayaan yang inklusif, yang punya bias terhadap kehidupan masyarakat luas. Kedalaman penghayatan akan makna Paskah harus bisa dikonfirmasikan dalam kepedulian kita terhadap mereka yang menderita, mereka yang miskin, mereka yang tercecer dan tersingkir. Paskah adalah juga berita pembebasan yang Allah gelar dalam keterbelengguan manusia oleh rantai dosa.1625

D. Kesimpulan

Bila dilihat perkembangan konsep pluralisme T.B. Simatupang sampai ke Weinata Sairin, maka bisa disimpulkan ada tiga konsep pluralisme sebagai berikut: Pertama, konsep pluralisme dengan posisi doktrin partikular yang berlatar belakang Calvinis adalah T.B. Simatung dan W.B. Sidjabat, sedangkan Eka Darmaputera partikular mendekati inklusif1626 yang berlatar Calvinis dan ada pengaruh dan Karl Barth. Inti ajaran adalah perlu dialog antara umat beragama, tetapi dialog Kristen adalah bersaksi mengenai kelahiran, kematian, dan kebangkitan Yesus Kristus.

Kedua, posisi pluralis adalah Th. Sumartana dan Ioanes Rakhmat. Inti ajaran adalah Alkitab bukan satu-satunya firman Allah dan keselamatan bukan satu-satunya Yesus Kristus tetapi agama-agama lain mempunyai keselamatan masing-masing.

Ketiga, posisi inklusif tetapi masih "meragukan". Weinata Sairin mengajarkan pentingnya dialog antara umat beragama. Dialog terbuka, tetapi Injil yang diberitakan tidak terjerumus dalam sinkritisme. Justru Injil membantu mereka yang menderita, miskin, dan tersingkir.

Keempat, posisi yang "tidak jelas", adalah Victor I. Tanja. Dia hanya mengajarkan Alkitab adalah sumber iman Kristen itu dan nyata. Alkitab tersebut berbicara tentang Allah dalam hubungan-Nya dengan sejarah. Allah menciptakan langit dan bumi sekaligus juga berarti bukan hanya Allah sebagai pembuat sejarah, tetapi juga Allah mau dikenal dalam hubungan sejarah, dalam hubungan dengan ciptaan-Nya atau dalam hubungan hidup.

 DIALOG KEBENARAN AGAPHE

Dalam menghadapi pluralisme agama-agama, maka penulis menawarkan dialog "Kebenaran Agaphe". Dialog ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: dialog "Kebenaran" sifatnya tidak bisa kompromis, dan dialog "Agaphe" sifatnya bisa kompromis asalkan Alkitabiah. Dan untuk lebih mengetahui dialog "Kebenaran Agaphe". sebagai berikut:

A. Pengertian Dialog

Dialog bertujuan untuk memberi wawasan pengertian keagamaan masing-masing. Dialog bagi orang Kristen adalah dialog "pesan kematian Kristus di kayu salib". Dialog kebenaran dan memberitakan ketaatan iman seseorang dalam suatu bentuk. Dialog ini bukan berdebat, tetapi saling memberi masukan saja. Dialog itu "sharing" mengenai kasih karunia, yang perlu didengarkan, dipelajari, dan didiskusikan.

Penulis setuju dengan rumusan Departemen Agama RI Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat (Kristen) Protestan mengenai dialogis sebagai berikut:

Dialog pertama sekali berarti percakapan antara dua atau lebih yang pada dasarnya berkeluarga. Sebagai para saksi tentang panggilan dan kebenaran, kita semua adalah berkeluarga walaupun sebagai penganut agama dan kepercayaan yang berbeda. Dalam dialogis ini identitas Kristiani kita tidak boleh menjadi kabur. Justru karena menyadari sebagai orang Kristen atau pengikut Kristus maka umat Kristen dimampukan untuk mengasihi Allah dan tetangganya (Mat 22:37-40). Sebab di sinilah dialog kehidupan terjadi secara utuh. Dalam dialog selalu terjadi adanya pro dan kontra, namun bukan pro dan kontra itu yang penting, yang lebih utama adalah dialog itu sebagai bentuk yang paling tepat untuk bersaksi.1627

Seperti Yesus memuridkan 12 murid-Nya, dan para murid memuridkan banyak murid lainnya. Mat 10:5; Luk 10:3 mengatakan "pergilah": ini adalah salah satu bagian dari tugas "berdialog" itu.

Murid-murid berdialog kepada sesama manusia - dialog dengan orang tidak percaya. Karena itu, dialog adalah bagian kegiatan orang-orang Kristen yang dilakukan setiap hari dan di mana saja orang Kristen berada - berdialog di pasar, sedang menunggu bus, atau sedang menunggu seseorang.

B. Dialog Kebenaran

Dialog Kebenaran adalah sharing mengenai kebenaran Allah, bukan kebenaran manusia. Bagi orang Kristen kebenaran adalah ajaran Alkitab itu sendiri. Rm 2:12, "Semua orang yang berdosa tanpa hukum taurat akan binasa tanpa hukum taurat; dan semua orang yang berdosa di bawah hukum Taurat akan dihakimi oleh hukum taurat." Dalam Yoh 18:37 dikatakan bahwa Yesus datang ke dalam dunia ini supaya Dia bersaksi tentang kebenaran.

Kebenaran Allah adalah kebenaran yang dilandaskan keselamatan manusia, dan hanya melalui Yesus Kristus - manusia percaya kepada-Nya sebagai Juru Selamat - maka manusia itu hidup dalam kebenaran yang sesungguhnya. Apa yang dikatakan Alkitab itulah kebenaran Allah, sebab kebenaran itu adalah Allah itu sendiri, dan kebenaran itu adalah ketaatan.

Begitu juga Yesus adalah kebenaran itu sendiri karena Yesus itu adalah Allah sendiri. Jadi, kalau Allah mendemontrasikan kasih-Nya kepada manusia melalui Yesus berarti Allah itu juga memberikan kebenaran itu dalam Yesus. Kebenaran Yesus adalah Dia datang menjadi saksi kebenaran Allah. Yoh 1:18, "Tidak seorang pun yang pernah melihat Allah; tetapi Anak Tunggal Allah, yang ada di pangkuan Bapa, Dialah yang menyatakan-Nya." Di sini, Yesus tidak hanya dikomunikasikan Firman Allah secara langsung, tetapi Dia adalah Firman Allah itu sendiri. Dia adalah iman orang Kristen.

Jadi, dialog "Kebenaran Allah" tidak kompromis. Ketika dialog selesai maka kelanjutannya adalah partner dialog itu akan "menerima" atau "menolak". "Menerima" berarti Yesus Kristus menjadi Juru Selamatnya dan ia mendapat jaminan hidup kekal, tetapi bila ia "menolak" berarti seseorang sudah mendengar kesaksian keselamatan melalui Kristus.

C. Dialog "Agaphe"

Dialog "agaphe" (kasih Allah) adalah apa yang diajarkan Yesus bahwa kita harus hidup di tengah masyarakat, berkomunikasi dengan masyarakat, bahkan menolong atau membagi kasih Allah kepada siapa saja. Di sini, orang Kristen mendemokan kasih Allah kepada semua orang dan apa pun agamanya. Yesus mengajarkan kita agar kita mengasihi sesama manusia. Kita juga mengasihi orang-orang agama lain Kasih yang diberikan Allah kepada kita dalam Kristus memanggil kita menerima tetangga kita dan mengajak mengenal nilai-nilai kasih Allah yang luar biasa itu.

Proses pengenalan kasih Allah bukan berarti seseorang harus berpakaian sama seperti orang Kristen. merubah nama menjadi ciri nama orang Kristen, atau mengikuti irama keagamaan orang Kristen. Karena perubahan bukan berarti memanipulasi pemikiran manusia menjadi evangelism misalnya. Evangelism adalah cara hidup dan pemberitaan Firman, tetapi perubahan 9 adalah cara respon terhadap Firman Allah dalam pribadinya yang membuat seseorang itu mempunyai pendirian (sikap) yang nyata bersekutu yang benar dengan Allah.

Jadi. "agaphe" bisa kompromis selama etika yang dirumuskan bersama -- antara umat beragama - sesuai dengan kebenaran Alkitabiah. "agaphe" ini membuat orang Kristen mau bekerja sama dengan siapa saja dan tidak melihat agama apa saja untuk melakukan hal-hal yang baik - menolong orang miskin, menjadi warga negara yang baik, membangun moral negara, ikut berperang bila negara memintanya, menjaga keamanan lingkungan, menjaga kebersihan lingkungan dan sebagainya asalkan Alkitabiah.

D. Dialog Kebenaran Agaphe adalah Misi Amanat Agung

Meskipun orang Kristen mau bekerja sama dengan siapa saja tidak memandang agama apa saja tetapi ia tetap hidup dalam kerangka misi Amanat Agung -- dalam PL Allah mengharapkan bangsa Israel menjadi teladan ketaatan Allah sehingga bangsa-bangsa lain datang kepada-Nya (Mzm 96:2-3,10; 67:2-5) sedangkan dalam PB orang Kristen sebagai saksi Allah dan pemberita Injil ke seluruh dunia (Mat 28:18-20; Mrk 16:15-18; Luk 24:46-49; Kis 1:7-9; Yoh 20:11-23; Kis 1:8).

Dalam dialog "Kebenaran Agaphe", orang Kristen hanya mempunyai tugas melakukan nilai-nilai kebenaran Allah dengan sebenar-benarnya dan nilai-nilai "agaphe" seteladan-teladannya seperti apa yang telah dilakukan Yesus sebagai teladan hidup, baik dalam doktrin maupun moral. Sedangkan pekerjaan selanjutnya, agar seseorang atau partner dialog itu berubah menjadi Kristen biar Allah yang bekerja.

E. Kesimpulan

Jadi, dialog "Kebenaran Agaphe" adalah dialog yang tidak kompromis bila berbicara mengenai doktrin keselamatan, otoritas Alkitab, dan kanon tertutup, tetapi dialog yang kompromis bila berbicara mengenai untuk melakukan hal-hal yang baik - menolong orang miskin, menjadi warga negara yang baik, membangun moral negara, ikut berperang bila negara memintanya, menjaga keamanan lingkungan, menjaga kebersihan lingkungan, dan sebagainya asalkan Alkitabiah.

 KESIMPULAN

Memang lahirnya Pancasila memperjelaskan keberadaan agama-agama di Indonesia harus saling dihormati dan menghormati. T.B. Simatupang, seorang yang bukan teolog tetapi berlatar partikular Calvinis mencoba terlihat dalam dialog agama-agama meski baru dalam tarap awal. Tetapi, pemikiran-pemikirannya sangat berpengaruh bagi perkembangan agama-agama di Indonesia, khusus bagi para teolog Indonesia. Dan, kemudian muncul W.B. Sidjabat, seorang teolog, yang juga berlatar belakang sama dengan T.B. Simatupang, partikular Calvinis, berbicara dan terlibat banyak mengenai toleransi agama-agama di Indonesia.

W.B. Sidjabat merupakan tonggak kelahiran para teolog Kristen yang terlibat dalam dialog agama-agama di Indonesia. Lalu, disambut oleh DGI yang semula hanya mempersatukan gereja-gereja di Indonesia tetapi melihat ketegangan Islam - Kristen -- sejak G 30 S PKI diberantas tahun 1965 - karena terjadi pembakaran dan penganiayaan gereja, maka DGI ikut melibatkan dirinya dalam dialog agama-agama.

Teolog selanjutnya yang muncul dalam arena dialog ini adalah Victor Tanja tetapi sayang posisinya apakah dia sebagai partikular, inklusif atau pluralis tidak jelas. Tapi, Victor mempunyai peran yang penting dan disambut positif oleh orang-orang Islam. Selanjutnya adalah Eka Darmaputera, yang berlatar partikur Calvinis yang mendekati inklusif tetapi ada pengaruh Karl Barth, adalah teolog yang sangat lantang dan dihormati oleh orang-orang Islam. Dan sejak itulah, maka diperlukan lebih jelas wadah dialog agama Islam - Kristen di Indonesia. Baik pemerintah dan kedua agama ini, saling mencari kesempatan untuk mengembangkan dialog agama dalam segala wadah.

Th. Sumartana adalah seorang pluralis, yang lebih dengan keterbukaan yang selebarnya, memproklamirkan Theologia Religionum yang mulai merubah seluruh bangunan teologi partikular dan inklusif, khususnya Yesus bukan satu-satunya jalan keselamatan, keselamatan ada pada agama-agama lain, di luar Alkitab ada Firman Allah, dan doktrin-doktrin soteriologi kristologi lainnya. Dan apa yang dilakukan oleh Th. Sumartana didukung oleh Ioanes Rakhmat, seorang pluralis, yang banyak nampak banyak dipengaruhi oleh pemikiran Knitter dan Panikkar. Jadi, dialog Islam - Kristen tidak saja diwakili oleh para teolog Kristen berposisi particular, tetapi juga para teolog berposisi pluralis.

Penulis melihat pentingnya dialog agama didominasi oleh partikular. Untuk itu penulis, yang berposisi sebagai partikular, menawarkan dialog agama-agama dengan konsep "Dialog Kebenaran Agaphe". Di mana dialog "Kebenaran Agaphe" adalah dialog yang tidak kompromis bila berbicara mengenai doktrin keselamatan, otoritas Alkitab, dan kanon tertutup, tetapi dialog yang kompromis bila berbicara untuk melakukan hal-hal yang baik - menolong orang miskin, menjadi warga negara yang baik, membangun moral negara, ikut berperang bila negara memintanya, menjaga keamanan lingkungan, menjaga kebersihan lingkungan, dan sebagainya asalkan Alkitabiah.



TIP #16: Tampilan Pasal untuk mengeksplorasi pasal; Tampilan Ayat untuk menganalisa ayat; Multi Ayat/Kutipan untuk menampilkan daftar ayat. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA