Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 15 No. 1 Tahun 2000 > 
TINJAUAN BUKU 
Penulis: Nicholas Kurniawan

Judul buku disertasi: Communicating Christ in Animistic Contexts. Penulis: Gailyn Van Rheenen.1554 Michigan: Baker Book House, 1991. Jumlah Halaman: 342 halaman.

 RINGKASAN ISI BUKU

Penulis membagi buku ini menjadi tiga bagian besar dan ditutup dengan satu kesimpulan. Masing-masing bagian ini ditulis, secara mendalam dan menyeluruh.

A. Pengenalan terhadap Animisme

Bagian pertama ini mengupas secara mendalam tentang animisme ditinjau dari worldview-nya. yang di dalam penguraiannya, penulis juga menyebutkan banyak kesalahan-kesalahan para misionaris dalam mengkomunikasikan Injil kepada kaum animis dan memberikan jalan keluar yang lebih baik.

1. Pengertian Animisme dan Pengaruhnya di Dunia Kekinian

Pengertian yang diungkapkan oleh penulis yaitu suatu definisi yang komprehensif tentang animisme, yaitu sebagai sistem kepercayaan bahwa keberadaan-keberadaan spiritual personal (personal spiritual beings) dan kekuatan-kekuatan spiritual impersonal (impersonal spiritual forces) memiliki kuasa atas kehidupan manusia. Dan sebagai konsekuensinya, manusia harus menemukan keberadaan dan kekuatan apa yang mempengaruhi mereka dalam rangka menentukan tindakan-tindakan masa depan dan secara terus menerus mendayagunakan kuasa itu.

Sebagai suatu aliran agama, paham ini tampak sudah punah, tetapi sebagai suatu sistem kepercayaan, justru animistik ini meluas secara luar biasa dan bersanding dengan agama-agama besar yang ada. Salah satu penyebab adalah karena ada begitu banyak pemeluk agama besar di dunia ini berasal dari latar belakang animisme.

2. Alat-alat untuk Mempelajari Worldview Animistik

Untuk mengkomunikasikan Injil kepada kaum animis ini, maka perlu menyadari perbedaan kultural dan mempelajari worldview-nya. yaitu dengan: pertama, mengamati masa-masa krisis yang dialami oleh seseorang, yaitu kematian dan kesakitan, ritus-ritus transisi, ajaran-ajaran asal dan mitos-mitos penduduk asli. Kedua, mengkontraskannya dengan cara mencari jawaban yang sesuai dengan maksud konteks kultural setempat. Ketiga, mempelajari metode-metode pengaturan dan kategori bahasa-bahasa tulisan dan lisan, maksudnya adalah dengan mengenali kategori linguistik yang berhubungan dengan kategori konseptualnya (ethnolinguistic).

3. Kosmik dan Duniawi

Dalam bagian ini, penulis mengemukakan dua kesalahan fundamental dari para misionaris, yaitu asumsi bahwa kategori kultural mereka: universal, sehingga menganggap kultur orang lain sama dengan kultur mereka dan mereka hanya melakukan komunikasi pada tingkat high religion daripada tingkat low religion.1555

Setelah itu, penulis menghimbau untuk adanya mentalitas belajar dari pihak misionaris dan mengatakan bahwa penyebab munculnya sinkretisme adalah karena kegagalan menangani isu-isu low religion. Dengan demikian, pelayanan misionaris dalam konteks animistik, perlu menyadari kebiasaan-kebiasaan dan low religion, mengkomunikasikan natur dan realitas peperangan rohani dan menghindari sinkretisme dengan penyajian berita yang holistik yang mengintegrasikan tema-tema high dan low religion.

4. Perubahan dalam Masyarakat Animistik

Dalam bagian ini. penulis memberikan tiga perspektif sebagai pengantar perubahan (konversi) dalam masyarakat animistik ke dalam kekristenan. Tiga perspektif ini berasal dan tiga disiplin ilmu yang berbeda antropologi (perspektif dari Anthony F.C. Wallace), sejarah ilmu pengetahuan (perspektif dari Thomas Kuhn), dan misiologi (perspektif dari Alan Tippett).

Pertama, gerakan revitalisasi dari Anthony P.C. Wallace. Wallace menulis sebagai antropolog agama dengan satu orientasi fungsional yang mengandung pemikiran bahwa peran budaya harus dipertemukan dengan kebutuhan fisik dan psikologis dan suatu masyarakat. Dari pemikiran inilah muncul gerakan realisasi yang dianggap perlu untuk menghasilkan perubahan dalam satu kelompok tertentu. Lima langkah yang merupakan siklus revitalisasi adalah: tahap yang kokoh (steady stage), periode stres individual yang meningkat (the period of increased individual stress), periode distorsi kultural (the period of cultural distortion), periode revitalisasi (the period of revitalisation), dan tahap baru yang kokoh (the new steady stage) dimana telah terjadi transformasi kultural yang sempurna dan sistem baru yang terbukti kemampuannya.

Gerakan ini memiliki beberapa kelemahan. Pertama, model yang ditawarkan ini duniawi (earthly) dan menekankan dinamika manusia tanpa melibatkan hal-hal yang ilahi, padahal animisme itu berkaitan erat dengan urusan kuasa-kuasa ilahi itu. Kedua, Wallace berasumsi bahwa semua sistem agama itu netral. tidak ada yang baik dan buruk, tidak ada yang etis atau tidak etis, tidak ada yang asli atau palsu. Semua sistem agama dipandang secara fungsional saja yaitu sebagai kerangka konseptual dan organisasional. Ketiga, Wallace berkonsentrasi kepada proses kultural saja dan meniadakan isi dari worldview yang terintegrasi di dalam kultur itu sendiri.

Kedua, perubahan melalui reinterpretasi data dan penyusunan paradigma baru dari Thomas S. Kuhn. Kuhn. menulis sebagai seorang filsuf dan sejarawan ilmu, percaya bahwa perubahan tidak akan terjadi karena informasi baru atau karena akumulasi fakta-fakta, tetapi paradigma baru yang dikembangkan untuk menafsirkan informasi lama dan yang baru diterima. Konsep paradigma Kuhn berpengaruh di dalam pembentukan konsep worldview dalam misiologi.1556 Perubahan paradigma ini dipandang Kuhn sebagai cara untuk terjadinya perubahan kultur. Namun, karena perspektif Kuhn tentang paradigma didasarkan pada beberapa presuposisi sekuler, maka ini tidak dapat diterima sebagai model perubahan dari animisme kepada Kristen.

Konsep reinterpretasi data dan pembentukan paradigma baru ini tetap masih memiliki kelemahan dalam upaya mewujudkan perubahan dalam masyarakat animisme untuk menjadi Kristen. Kelemahannya yang mendasar terletak pada perspektif Kuhn yang memandang pengetahuan sebagai sesuatu yang subyektif, padahal subyektifisme itu memiliki batas-batas tertentu. Selain itu kelemahannya terletak pada keterbatasan dari pendekatan emic1557 yang murni. Kuhn umumnya lebih memperhatikan perspektif emic karena ia mengasumsikan bahwa perubahan kebudayaan itu harus terjadi dari dalam kebudayaan itu sendiri dan bukan oleh pihak luar. Pendekatan Kuhn ini memberikan hanya sedikit ruang untuk: satu, Allah yang transenden terhadap kebudayaan. Dua, pesan-pesan Alkitab yang berasal dari luar budaya tertentu. Dan tiga. komunikator lintas budaya yang merupakan sumber eksternal dan paradigma-paradigma. Dengan kata lain seharusnya dalam perubahan animistik menuju pada Kristen tidak hanya menggunakan perspektif emic, tapi juga etic.

Ketiga, perubahan melalui perjumpaan kuasa (power encounter) dari Alan R. Tippett. Tippett, seorang misiolog menuliskan tentang perlunya para misionaris untuk tidak melakukan pendekatan hanya pada tingkat kognitif atau kosmik saja, karena kaum animis tidak prihatin tentang hal-hal itu. Mereka cenderung lebih mempertanyakan masalah sehari-hari seputar kuasa1558 sebagai pusat dari worldview seseorang, dan hal ini tidak dapat diremehkan begitu saja. Karena itu, konversi yang terjadi harus lebih dari sekadar pengiriman mereka kepada perspektif high religion. tetapi harus merupakan penolakan terhadap kuasa tradisional dalam konteks tertentu dan penerimaan akan Allah yang berdaulat. Berita yang kognitif dan metafisik harus berpasangan dengan kepercayaan yang hidup pada karya Allah yang berkuasa dalam dunia ini. Dasar pemikiran Tippett sangat biblikal, karena ada banyak contoh dari Alkitab seperti penemuan kuasa Tuhan melalui Nabi Elia dan dewa-dewa nabi baal. Juga kutipan tentang Yesus yang datang untuk menghancurkan segala kuasa setan (1 Yoh 3:8; Kol 2:15; Ef 6:12; 1 Yoh 5:19). Pandangan Tippett ini langsung saja mendapat respons positif dari misiolog Injili lainnya.1559 Perjumpaan Kuasa yang sejati ini menampilkan dua fungsi terpenting dalam menyajikan perubahan dalam masyarakat animisme, yaitu satu, memuliakan Allah sebagai Yang Berdaulat atas segala sesuatu dan dua, mengkonfrontasi elemen-elemen non Kristen dalam masyarakat daripada mengizinkan kuasa-kuasa lain yang bersifat takhayul yang kadang tidak terselidiki.

B. Berpikir Teologis dalam Konteks Animistik

Bagian kedua ini, penulis mulai menerapkan kerangka pikir teologisnya dalam melihat Animisme dan memandangnya dari sudut pandang Kristen. Ada dua hal yang dilakukan penulis dalam bab ini yaitu: pertama, mengkontraskan worldview Kristen dan animisme dan kedua, memperkenalkan Teologi Kerajaan sebagai langkah perkenalan perspektif Kristen kepada kaum animis.

1. Kekristenan dan Animisme: Pertentangan Worldview

Pengkontrasan worldview yang dilakukan penulis adalah dalam hal sinkretisme yang merupakan bahaya utama yang mudah terjadi dalam dunia agama. Penulis menggambarkan adanya sinkretisme baik di dalam sekularisme maupun animisme1560 dan perlunya gereja mengantisipasi sinkretisme itu yaitu dengan mengenali bagaimana sinkretisme itu muncul.

Inti dari bagian ini adalah perbandingan pandangan biblikal dengan kepercayaan animistik dengan mengambil contoh-contoh yang ada di Alkitab tentang praktik animis itu dan hal-hal yang berkaitan dengan masalah roh-roh, lalu mengupas tentang natur dari kuasa-kuasa menurut sudut pandang Alkitab, tentang Allah dan para dewa, baik di lingkungan politeistik, Mesir dan dalam Nyanyian Musa, dan ditutup dengan perbandingan natur Allah dan dewa-dewa itu. Baru dilanjutkan kepada pembahasan tentang Kristus dan kuasa jahat, lalu gereja dan pemerintah dan kuasa. Bagian ini ditutup kembali dengan saran bagi para misionaris.

2. Teologi Kerajaan: Memperkenalkan Animis dengan Perspektif Kristen

Dalam bagian ini, penulis membahas tentang natur individualistik dari teologi konversi, natur kosmik dari teologi kerajaan yang ditawarkan penulis sebagai pendekatan yang tepat dalam melayani kaum animis1561 dan usulan metafora dalam konteks animistik sesuai dengan metafora yang digunakan oleh Paulus dalam Roma dan Galatia, yaitu metafora penebusan (atonement).

C. Analisa terhadap Praktik-Praktik dan Kuasa-Kuasa Animistik

1. Praktisi Animistik

Bila dalam bagian sebelumnya, pembahasan lebih kepada hal-hal yang konseptual, maka bagian ketiga dari buku ini membahas hal-hal yang lebih praktikal. Penulis melakukan analisa terhadap praktik dan kuasa animistik dengan melakukan survei kepada para praktisi dengan dua perspektif yaitu etic (melihat dari kacamata luar budaya tersebut atau orang luar) dan emic (melihat dari kacamata pelaku budaya itu atau orang dalam). Para praktisi animistik terdiri dari: para imam (pemimpin agama), nabi (penubuat), orang pintar (shaman= personal diviner, orang yang ditentukan oleh satu keluarga sebagai sesepuh yang menjadi penasihat keluarga dalam hal membedakan roh-roh dan kuasa penyebab kesakitan, kematian dan malapetaka), dan medium (orang yang jadi perantara, dimana roh leluhur masuk melalui dia dan menyatakan sesuatu melalui dia). Kembali berkaitan dengan praktisi animistik ini, penulis menuturkan pentingnya para misionaris melakukan peranan sebagai pembelajar (melakukan studi komprehensif terhadap lingkungan yang baru), pembela kedaulatan Allah (pemberita supremasi Allah atas segala pemerintahan dan kuasa) dan katalisator dari sebuah gereja yang bertumbuh (menyatakan keyakinan bahwa orang dapat menata kehidupan mereka menurut firman Allah dan bekerjasama dengan mereka sebagai saudara dan bukan sebagai bapak).

2. Praktik Divinasi1562 (Pengilahian) Animistik

Divinasi dalam konteks animistik adalah penemuan kehendak roh-roh dan pekerjaan kuasa-kuasa spiritual yang impersonal atau suatu proses pengambilan keputusan oleh kaum animis dalam menentukan pengaruh kuasa-kuasa personal dan impersonal terhadap diri mereka sendiri. Cara yang digunakan adalah dengan: pertama. berupaya menemukan sumber-sumber penyebab dari suatu masalah sehari-hari yang muncul secara langsung, dan kedua, menentukan respons manusia yang tepat berdasarkan pengetahuan yang dicapai pada tingkat awal orang tersebut. Divinasi ini adalah suatu keharusan dalam konteks animistik. Langkah-langkah yang biasa dilakukan adalah dengan memetakan serangkaian aksi, memastikan penyebab ketidakberuntungan, menentukan cara-cara menghindari bahaya, memilih pemimpin-pemimpin untuk tugas-tugas, menemukan pihak yang bersalah.

Metode-metode divinasi yang biasa digunakan adalah dengan interpretasi ramalan-ramalan atau firasat, astrologi, teknik-teknik ritual, pengujian-pengujian, berhubungan dengan orang mati, interpretasi mimpi-mimpi, penglihatan. dan kerasukan. Alkitab sendiri memandang praktik-praktik divinasi (diterjemahkan dengan ramalan, Im 19:26) sebagai sesuatu yang dilarang, karena menentang Allah yang penuh kasih, misalnya dalam Im 19:31; Yes 8:19-20; Yeh 13:3, 7-8; Ul 18:20; Zak 10:1. Hal ini sejalan. dengan praktik divinasi dalam animistik yang bermotivasi untuk melawan Allah yang penuh kasih itu

3. Kekuatan Rohani yang Impersonal

Penulis menjelaskan tentang macam-macam kuasa impersonal yang hanya sebuah kekuatan, bukan suatu keberadaan, misalnya: satu, kekuatan impersonal yang baik hati, seperti BARAKA (=berkat) animistik, energi hidup universal di antara praktisi New Age. Dua, kekuatan impersonal yang digunakan untuk baik dan jahat, seperti Mana (di Melanesia) dan Bugota (di Sukuma, Tanzania). Tiga, kekuatan impersonal yang dengki, seperti Sihir dan Tenung (Witchcraft dan Sorcery). Dan empat, magis (guna-guna atau jampi-jampi): magis dan religi.

Kristen tidak mempercayai adanya kuasa-kuasa yang impersonal, tetapi memahami bahwa semua kuasa yang impersonal itu memiliki sumber berupa suatu keberadaan spiritual yang personal.

4. Keberadaan Spiritual yang Personal

Penulis membahas tentang keberadaan spiritual yang personal ini dengan menjelaskan prinsip-prinsip yang keliru berkenaan dengan keberadaan spiritual yang personal itu dalam konteks animisme, seperti: animasi (konsep bahwa keberadaan spiritual yang personal itu dapat mempengaruhi dan merasuki bagian-bagian dari alam, binatang-binatang atau manusia, metamorfosis (perubahan hidup menjadi bentuk lain oleh sihir atau tenung), kerasukan (roh yang kuat dapat merasuki suatu oknum yang rohnya lemah). Selanjutnya penulis memaparkan macam-macam keberadaan rohani personal dalam konteks animistik: pertama, keberadaan spiritual yang baik hati: Allah, Malaikat, orang kudus, roh-roh totemik. Kedua, keberadaan spiritual yang ambivalen: dewa-dewa dan roh-roh, nenek moyang atau leluhur dan hantu-hantu. Dan ketiga, keberadaan spiritual yang dengki: setan, roh jahat, dan Iblis.

D. Kesimpulan: Dosa dan Keselamatan dalam Kekristenan dan Animisme

Pada bagian akhir dari buku ini, penulis menjelaskan sekilas tentang konsep dosa dan keselamatan yang berbeda-beda, karena dilihat secara berbeda pula oleh konteks kultur tertentu, sehingga para misionaris perlu memperhatikan relasi yang jelas antara dosa sosial dan teologis dalam konteks yang berbeda itu dengan cara: pertama, mengkontraskan kemutlakan teologis dengan kerabat sosial. Kedua, menyelesaikan adat istiadat sosial dengan sangsi-sangsi teologis. Ketiga. memperkenalkan hal-hal teologis dengan istilah-istilah sosial. Dan keempat, memperhatikan langkah-langkah dalam mempelajari konsep tentang dosa dalam konteks yang berbeda, yaitu mengkontraskan perilaku moral dalam kultur setempat dengan standar Amerika, mempelajari rasio kultural setempat dalam menilai dosa serta membandingkannya dengan prinsip Alkitab.

Selanjutnya untuk konsep keselamatan, misionaris perlu menjelaskan tentang perbedaan konsep korban yang cukup rentan dalam dunia animistik dan meng-counter-nya dengan konsep korban dalam Kristen menurut Alkitab.

 ANALISIS KRITIS

Buku ini sangat baik dan bahkan tepat sekali dipakai sebagai buku wajib bagi para misionaris untuk pelayanan pengkomunikasian Injil kepada masyarakat animistik. Namun demikian, sebenarnya buku ini bukan saja tepat untuk dipakai dalam pelayanan kepada kaum animis, tetapi prinsip-prinsipnya tepat sekali dipakai sebagai pendekatan kontekstualisasi untuk konteks masyarakat yang lain. Hal ini disebabkan penulis mencoba menguraikan dengan begitu baik dan memperhatikan aspek-aspek yang holistik yang kadang-kadang tidak diperhatikan oleh para misionaris.

Analisis terhadap buku ini dilakukan dalam tiga aspek: pertama. analisis terhadap pemikiran penulis tentang animisme. Kedua. analisis terhadap metode kontekstualisasi yang ditawarkan untuk mengkomunikasikan Injil kepada mereka. Dan, ketiga, analisis dan pemikiran tentang penerapan metode tersebut dalam konteks dan masa tertentu, khususnya di Indonesia.

1. Analisis terhadap Pemikiran Penulis tentang Animisme dan Perkembangannya

Penulis melakukan penelaahan yang begitu mendalam dan menyeluruh tentang animisme. Ia melontarkan suatu pembahasan animisme bukan sekedar suatu aliran kepercayaan tertentu, tetapi sudah menjadi suatu sistem kepercayaan yang 'merasuk' ke dalam agama-agama besar yang ada di dunia ini. Hal ini secara positif membuka satu wawasan yang lebih luas bagi para pelaku kontekstualisasi khususnya dan pelayan Tuhan umumnya untuk lebih berhati-hati melihat 'susupan' pengaruh dari sistem animistik yang bergabung dengan ajaran-ajaran yang ada.

Secara obyektif dan tidak memihak, penulis telah berhasil menempatkan. diri sebagai kritikus misiologis yang baik. Ia bukan saja menguraikan apa isi dari aliran animistik itu, tetapi juga mencermati mengapa perkembangan sistem animistik itu berkembang luas, yaitu kurangnya perhatian dan ketiadaan jawaban dari pihak agama-agama besar (high religion) yang sudah melembaga di dunia ini terhadap masalah-masalah harian dalam kehidupan umat itu secara pribadi (yang kemudian berkaitan dengan low religion). Kritik ini sangat perlu diperhatikan dan di kaji serta ditindaklanjuti oleh para misiolog Kristen.

Penulis juga telah berhasil memberikan suatu metode penyelidikan worldview yang tepat yang sangat penting dilakukan oleh setiap misiolog dalam upaya kontekstualisasi. Metode ini secara singkat berbicara tentang tiga hal penting dalam mencermati worldview dari suatu konteks, yaitu: pengamatan, pengkontrasan, dan pembelajaran. Bukan saja dalam konteks animistik. tetapi metode penyelidikan worldview ini juga dapat diterapkan untuk konteks penerima Injil lainnya. Bila diperhatikan, maka ketiga langkah itu banyak bermunculan dalam buku ini, khususnya pada saat penulis memberikan input-input bagi para misionaris yang selalu ada di akhir pembahasan sebuah bagian atau topik.

2. Analisis terhadap Metode Kontekstualisasi yang Ditawarkan

Secara ringkas, metode kontekstualisasi yang ditawarkan dan yang telah dilakukan oleh penulis adalah metode yang menekankan suatu pengamatan cermat, pengkontrasan tajam dan pembelajaran mendalam yang aktif intensif dan holistik serta pengandalan diri pada kuasa Tuhan.

Maksud dari aktif intensif adalah pelaku kontekstualisasi terjun langsung ke dalam masyarakat, konteks penerima Injil itu, dan melakukan suatu pencermatan yang luar biasa, termasuk mengikuti gaya hidup dan aktivitas harian dari masyarakat tersebut dalam kurun waktu yang cukup lama dan terus menerus.

Maksud dari holistik adalah pelaku melakukan suatu tindakan yang menyeluruh: pertama, bukan sekedar memberikan perspektif yang kognitif dan konseptual, tapi justru masuk kepada inti esensial yang jadi ciri khas konteks penerima Injil (dalam hal ini adalah masalah kuasa yang jadi titik berat kaum animis). Kedua, bukan sekedar mempelajari worldview, tetapi mencermati kaitan antara worldview dengan para praktisinya. Ketiga, bukan sekedar memberikan fondasi teologikal, tetapi juga biblikal dan antropoligikal dalam proses kontekstualisasi. Dan keempat, bukan sekedar memaparkan pengertian-pengertian klasik dan pemikiran kontemporer, tapi juga diperkaya oleh pengalaman pribadi hidup bersama konteks penerima, sambil tetap berpegang pada otoritas Alkitab. Sehingga, lahirlah suatu karya yang seimbang dan kaya.

Maksud dari pengandalan diri pada kuasa Tuhan adalah penulis bukan sekedar menekankan metode usaha manusia, tetapi tampak sekali adanya pengandalan diri kepada kuasa Tuhan dalam upaya melakukan kontekstualisasi (misalnya pandangan power encounter yang merupakan pendekatan paling tepat dalam melakukan kontekstualisasi dalam konteks animistik).

3. Suatu Pemikiran tentang Penerapan Metode dalam Konteks Kini dan di Sini

Buku ini sangat berguna untuk konteks Indonesia yang jelas berlatarbelakangkan animisme sebagai agama tertua.

Sejauh ini, di Indonesia belum dilakukan suatu studi intensif yang sekaya buku ini, dengan pengalaman 'hidup bersama' dengan konteks animistik itu sendiri yang saya percaya masih ada di pedalaman-pedalaman bumi Indonesia. Buku ini sesungguhnya bisa menjadi suatu model untuk penelitian serupa dengan fokus pada konteks di pedalaman-pedalaman Indonesia yang tentunya belum pasti sama dengan konteks animistis di Kipsigis. Kenya. Walaupun penelitian yang dilakukan penulis dilakukan di wilayah Kipsigis. namun secara prinsip, apa yang diuraikan penulis dapat diberlakukan dalam konteks Indonesia.

Bila memperhatikan pandangan penulis yang mengatakan bahwa animisme telah menjadi sistem kepercayaan yang melebihi suatu agama tertentu, maka buku ini bukan saja berlaku untuk diterapkan dalam masyarakat pedalaman di Indonesia. Namun sangat tepat diberlakukan bagi konteks masyarakat animistik yang modern dengan segala perkembangannya, misalnya dengan adanya gerakan zaman baru, maraknya horoskop dan perdukunan yang justru melanda manusia modern di desa dan perkotaan di Indonesia.



TIP #30: Klik ikon pada popup untuk memperkecil ukuran huruf, ikon pada popup untuk memperbesar ukuran huruf. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA