Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 15 No. 1 Tahun 2000 >  TEKSTUALITAS DAN INTRATEKSTUALITAS DALAM HERMENEUTIKA POSTLIBERALISME > 
BEBERAPA KOMENTAR 

Tetapi beberapa komentar dapat diajukan kepada model hermeneutika intratekstual ini. Hermeneutika yang seharusnya teologis, telah menjadi hermeneutika yang terlalu formal. Misalnya, dalam hal tekstualitas, pandangan kaum postliberal, khususnya dalam Lindbeck, teks itu telah menjadi suatu sistim tertutup yang diisi hanya oleh penanda (signitiers).

Pertanyaan-pertanyaan penting mengenai histories, referensi, dan antologi dieksklusifkan karena dianggap, pertama, tidak sesuai dengan karakter naratif suatu kisah realistic, dan kedua, tidak mencerminkan kesetiaan teologis yang bersifat intratekstual. Teks yang menjadi self-refrential dan otonom.1508 Dalam hal ini, beberapa teolog postliberal, walaupun mengakui diri dan diakui sebagai pelanjut-pelanjut dari konsep Barth mengenai tekstualitas, sesungguhnya hanya menerima secara parsial konfirmasi Barth terhadap "the strange new word within the Bible" tersebut.

Salah satu kritik tajam kepada Lindbeck datang dari sejawatnya di dalam kubu postliberalisme, yakni Ronald Thiemann. Dia mengatakan Lindbeck terlalu berfokus pada teks dan tekstualitas dalam artian formal, dan terlalu sedikit berbicara mengenai hal-hal teologis, bahkan hampir tidak berbicara tentang Allah. Karena itu menurut Thiemann, bahaya dari pendekatan fokus hermeneutika demikian adalah pembicaraan tentang teks menggantikan wacana tentang Allah. Teks berdiri di tempat dimana seharusnya Allah yang berdiri.1509 Hal ini dapat terjadi peda program teologi dan hermeneutika Lindbeck karena kurangnya perhatian pada konsep wahyu atau penyataan melalui teks. Barth memang menekankan tekstualitas, tetapi kembali mengutip Thjemann, tanpa doktrin penyataan, suatu doktrin yang sangat sentral dalam Barth, segala wacana tentang tekstualitas, intratekstualitas, dan self-interpreting teks menjadi mubazir dan kehilangan kekuatan teologisnya.1510 Bahkan Brevard S. Childs yang sangat mengutamakan tekstualitas, mengkritik Lindbeck pada poin penting tersebut. Dia mengatakan "Lindbeck dengan yakin mengutip frase Karl Barth tentang 'the strange new word eithin the Bible', seolah-olah Barth sedang membayangkan sebuah komunitas iman yang ditarik masuk ke dalam semesta ciptaan Alkitab. Hal ini sesungguhnya tidak sesuai dengan maksud Barth. Bagi Barth, yang terutama, Alkitab menyaksikan suatu realitas di luar teks, yakni Allah, dan melalui teks Alkitab, pembaca dikonfirmasikan dengan Firman Allah yang adalah Yesus Kristus."1511

Yang penting dari kritik ini adalah bahwa teks, dalam hal ini teks Alkitab bukanlah suatu entitas tertutup yang bersifat self-refrential dan otonom. Dan karena itu realitas tidak dapat di reduksi menjadi teks. Kritik yang sama dapat ditujukan kepada kalangan penganut konsep wahyu preposisional yang menghadapi bahaya mereduksi wahyu ilahi menjadi semata-mata menjadi pernyataan-pernyataan proposisional. Keyakinan bahwa teks Alkitab adalah Firman Tuhan tidak mengurangi fakta bahwa teks itu tidak menunjuk kepada dirinya sendiri. Teks itu mendapatkan wibawa dan otoritas bukan semata-mata (dan terutama) karena teks tersebut dapat membangun suatu dunia simbolik yang koheren. Dan bukan pula Karena ia diterima sebagai suatu teks normatif oleh satu komunitas. Kebenaran dari teks (the truth of statement) tergantung sepenuhnya pada referensi, yakni kesetiaan dan ketepatan dalam menunjuk kepada suatu realitas ontologis (the truth of being). Thomas Torrance mengemukakan hal ini dengan cara berikut.

Pernyataan-pernyataan Alkitab adalah benar, bukan karena pernyataan-pernyataan itu menangkap kebenaran di dalam diri mereka sendiri, tetapi Karena mereka menunjuk kepada kebenaran di luar mereka. Pernyataan-pernyataan itu benar dalam artian mereka secara setia menunjuk kepada kebenaran - karena itulah pernyataan-pernyataan Alkitab perlu dimengerti dan ditafsirkan menurut realitas yang mereka tunjuk, bukan sebaliknya.1512

Penulis yang sama, dalam buku yang lain, pernah menulis sebuah kalimat (yang rupanya agak sulit diterjemahkan tanpa kehilangan kekuatan dan keindahan kalimat tersebut) tentang kemustahilan mereduksi being ke dalam pernyataan. "No more than you can picture in a picture how a picture pictures what it pictures. without reducing everything to a picture, can you state in statements how statements are related to being without reducing everything to statements"1513

Pada dasarnya, hermeneutika intratekstual yang dikembangkan oleh postliberalisme menggeser terlalu jauh fokus teologis sehingga kecenderungan menjadi hermeneutika formalistic tidak dapat dihindarkan. Bila referensi, antologi, dan juga historisitas menjadi unsur-unsur yang terlalaikan, maka tidak heran bila makna esensial tekstualitas menjadi hilang. Bila diterapkan dalam suatu komunitas yang nyata, yang berlandaskan hidup bukan hanya pada suatu sistim semiotic, tetapi juga pada keyakinan dan kebenaran, maka kecenderungan formalistic itu, agar dapat menjadi praktis, akhirnya menjadi pragmatis.

Hal ini jelas terlihat dalam program teologi postliberal dalam wacana mereka tentang kebenaran Linbeck, misalnya, pada satu pihak memang menekankan teks atau sistim semiotic, tetapi pada pihak lain, dalam proses hermeneutika, teks rupanya bukan suatu identitas obyektif yang stabil. Ia tidak direlatifkan oleh obyek referensinya (sebagaimana di dalam Barth atau Torrance), tetapi dalam Linbeck, ia direlatifkan oleh disposisi pembaca atau pengajar teks. Dalam memunculkan makna dan kebenaran. peranan pembaca sangat definitif. Dalam konteks inilah, teologi postliberal, dalam tradisi Wittgensteinian dan Austinian, menekankan kebenaran sebagai pervormative truth atau apa yang Linbeck sebut sebagai intrasystemic truth.1514 Wacana ini tidak lagi memandang kebenaran sebagai sesuatu yang substantif dan ontologis, tetapi, lebih dalam pengertian kategori dan pragmatic. Pernyataan Kristen dianggap benar bila pernyataan itu, pertama, koheren dengan kategori-kategori sistim semiotic atau the web of beliefs komunitas Kristen, dan kedua, koheren dengan the form of life atau total relevant context dari komunitas tersebut, yakni sistim praktis yang telah "menumbuh" dalam komunitas itu. Pernyataan Christus est Dominus, misalnya, bagi Linbeck adalah kalimat tanpa makna dan bahkan tanpa kebenaran bila diteriakkan pleh seorang prajurit perang salib ketika ia sedang memenggal kepala musuhnya. Dalam konteks perbuatan tersebut, yang jelas kontradiktif dengan konsep ketuhanan Kristus dalam narasi kekristenan, pernyataan Christus est Dominus adalah salah. Secara kategorial, kalimat itu benar, tetapi secara intrasistimik, kalimat itu salah.1515 Dalam satu kalimat yang sangat kuat, dia mengatakan bahwa pernyataan religius "acquires the prepositional truth of ontological correspondence only insofar as it is a performance, an act or deed, which helps create that correspondence".21

Bila pengertian ini ditarik cukup ekstrim, maka pengertian intratekstualitas dalam postliberalisme menjadi semacam pembenaran bagi peran komunitas untuk memberi makna dan kebenaran pada teks. Hal ini dapat terjadi karena teks tidak mendapatkan kekuatan dari realitas atau ontologi yang ditunjuk. Teks memang tidak stabil dalam menangkap kebenaran, tetapi ia dapat menjadi penunjuk (signifer) kepada kebenaran (signified). Pada Barth. tidak ada kekuatiran apakah teks, yang adalah bahasa manusia. mampu berkorespondensi dengan ontologi yang bersifat ilahi. Korespondensi ini dapat tercipta bukan karena disposisi komunitas Kristen, tetapi karena wahyu ilahi di dalam Yesus Kristus.

Kategori wahyu inilah yang tidak terdapat dalam kebanyakan teolog postliberal, sehingga perbincangan tentang teks, pada satu pihak, menjadi sangat otonom dan self-referential, dan pada pihak lain, menjadi kehilangan kekuatan ontologis teologis dan tergantikan oleh suatu nuansa yang dekat pada teologi natural. Maka Barth dapat berkata bahwa kebenaran Injil tidak terkondisikan oleh kesaksian manusia. "It would be the truth even if it had no witness....It is the truth even though its human witnesses fail. It does not live by Christians, but Christians by it".1516 Hermeneutika yang setia pada teologi Kristen bukan saja menerima teks Alkitab sebagai teks kanonikal yang mampu membentuk satu sistim semiotic yang dapat menjadi "tata bahasa" bagi kehidupan religius Kristen, tetapi hermeneutika yang terutama memandang melalui teks tersebut kepada obyek referensinya, dan menemukan Allah Tritunggal yang mewahyukan diri-Nya. Dengan Allah itulah, dan bukan dengan teks tentang Allah itu, kita dapat hidup, bergerak, dan berada.



TIP #24: Gunakan Studi Kamus untuk mempelajari dan menyelidiki segala aspek dari 20,000+ istilah/kata. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA