Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 14 No. 1 Tahun 1999 > 
TINJAUAN BUKU 

A Future for Truth: Evangelical Theology in A Postmodern World, olei Henry H. Knight III. Nashville: Abingdon, 1997. Hal. 253.

Karya akademis ini pada mulanya banyak dibahas dalam kelas-kelas seminar maupun kuliah tentang teologia injili kontemporer. Knight amat menyadari akan pergumulan untuk menemukan dan memahami hakekat kebenaran pada zaman modern, terlebih dalam dunia pascamodern dewasa ini. Bagi Kekristenan persoalan kebenaran sudah termanifestasi dalam pribadi Yesus Kristus. Klaim akan keunikan dan partikularitasnya tidak lagi merupakan sesuatu yang memalukan. Hal ini tidak dapat lagi diseret ke hadapan tiang nalar akal budi demi meraih pengesahan benar atau salah, sebab tiada alasan universal untuk membuat pertimbangan semacam ini dalam dunia pascamodern. Padahal Kekristenan historis telah menyatakan secara terang-terangan bahwa Yesus Kristus yang adalah Tuhan sekaligus Juruselamat bukan hanya bagi kalangan sendiri, namun bagi seantero jagat dunia. Klaim seperti ini jelas menjadi sesuatu yang bermasalah bagi pascamodernitas. Lalu, apakah kebenaran kristiani masih memiliki suatu masa depan dalam dunia pascamodern? Penulis buku ini meyakini dengan mantap dan berharap mampu menunjukkannya mengapa. Akan tetapi pemaparannya tidak dalam gagasan apologetika klasik. Penulis tidak mencoba memberikan dasar-dasar rasional bagi iman, yang mana tidak kredibel dalam suatu dunia pascamodern bahkan tidak efektif sama sekali untuk meyakinkan kaum agnostik dan ateis di kalangan modernitas sekalipun. Maka ia menjelaskan bagaimana orang-orang Kristen tetap percaya akan suatu wahyu khusus; walaupun dianggap tidak lagi penting dan bermakna bagi penganut pascamodern, toh mereka harus berusaha setia memberikan pertanggungjawaban atas pengharapan iman mereka (sebagaimana layaknya dituntut dalam 1 Petrus 3:15) terhadap suatu dunia pascamodern.

Di dalam upaya memahami kebenaran Knight memakai tiga teori yang berbeda yakni teori koresponden, teori koheren dan teori pragmatis, namun lebih khusus berkenaan dengan yang pertama. Ini berarti penulis sedang menggagas suatu epistemologi realis, yang berargumen menentang idealisme secara kritis. Memang kebenaran itu bertalian dengan realitas, namun seringkali di dalam suatu cara tak langsung atau analogis.

Alur pemaparan pikiran penulis diawali dengan penjelasan perihal natur injili-isme dengan rumpun keluarga injilinya (Bab I - pasal 1), yang mana dengan jelas juga menghujuk pada posisinya selaku penganut setia dari tradisi John Wesley (pelopor mazab Wesleyan-Metodis). Bagian selanjutnya adalah mengenai pascamodernitas dan kebenaran Injil. Dalam hal mengamati lebih dekat teologi pada pertengahan dan akhir era modernitas (Bab 11 - pasal 2 dan 3) kebanyakan ia lebih memakai istilah terminologi intelektual ketimbang perubahan kultural. Sedangkan dalam bagian ini keterkaitannya dengan pascamodernisme bukanlah bersifat menolak maupun merangkul. Knight ingin mendengarkan dengan penuh hati-hati terhadap apa yang menjadi keprihatinan pascamodernisme serta menelaah secara kritis proposal yang diusulkan olehnya. Selanjutnya ia mulai meletakkan dasar terpenting bagi proposal konstruktif seluruh sisa isi buku ini, yakni mengenai kebangkitan dari Yesus yang tersalib pasal 4). Inilah butir paling khas dari pengakuan iman kristiani yang menopang serta memampukan umat Kristen memahami dunia mereka dan hidup dengan setia di dalamnya. Subjek materi tentang pewahyuan dan kebenaran Kitab Suci mendapatkan porsi sorotan yang krusial dalam Bab III. Sedikit berlainan dengan tekanan yang biasa diperjuangkan oleh para teolog kubu injili yakni perihal ineransi, penulis lebih memusatkan pada isu sentral apakah Kitab Suci itu benar secara proporsional. Memang di sini diakuinya bahwa proporsionalisme rasional saja tidaklah memadai (pasal 5). Oleh karena itu ia perlu menawarkan suatu alternatif pendekatan naratif (pasal 6). Dengan menguji teologia pasca liberal ia mencoba menunjukkan bagaimana bentuk-bentuk sastra naratif, metafor, dan non proporsional lainnya dapat merancang bangun kebenaran otoritatif di seputar Allah, penciptaan dan penebusan. Sementara itu ditunjukkan adanya jarak kesenjangan antara Kitab Suci dan alam kontemporer kita: artinya patut di kaji ulang masihkah teks yang dihasilkan pada konteks sejarah dan budaya kuno berbicara kepada manusia masa kini dengan berwibawa?! (pasal 7). Dalam Bab IV penulis mengupas tema umum mengenai karakter dan agensi atau perwakilan Allah dalam hal penebusan. Apa yang telah dilakukan oleh Allah dalam inkarnasi dan penebusan dibahas kembali sebagai perwujudan kasih-Nya (Pasal 8). Di bagian ini fokus pada kegiatan penyelamatan melalui kuasa penebusan-Nya pada era dewasa ini dilanjutkan lewat pendekatan interaktif. Misi Allah masih dapat diidentifikasi dengan Kerajaan Allah yang akan datang dan sekaligus berbarengan dengan kehadiran Kerajaan di dalam Yesus Kristus (Pasal 9). Kemudian pada akhirnya penulis menutup karya tulisnya dengan mempertimbangkan intensi dan aksi umat Allah dalam terang kehendak dan perbuatan Allah melalui Kristus dan Roh Kudus (Pasal 10).

Dengan sekilas membaca karya Knight ini, kita akan segera mendapatkan kesan bahwa ia adalah seorang akademisi yang benar-benar menguasai materi atau pokok isu yang dibahas. Gaya penulisannya lugas namun halus, singkat tapi kritis mengena langsung pada inti permasalahan serta memiliki dimensi kedalaman yang mengagumkan. Tidaklah mengherankan ataupun berlebihan bila koleganya Don E. Saliers mengomentari bahwa tulisannya ini jujur, meyakinkan akan cita rasa kematangan, kaya dengan referensi informatif yang luas sekaligus menyegarkan. Suara pandangannya perlu didengar, di kaji dan direnungkan oleh semua kalangan baik yang terbiasa maupun belum terbiasa dengan teologia injili serupa.

Sekalipun demikian, ada bagian-bagian tertentu dari buku ini yang cukup sukar dipahami, terutama oleh mereka yang masih awam betul dengan pascamodernitas. Misalnya dalam Bab tiga (halaman 53-69) sesudah penulis cukup berpanjang lebar mengupas runtuhnya dasar-dasar nilai modern dalam lima karakteristik berikut: (1) dari individualisme menuju komunitas; (2) dari fondasionalisme realis menuju non fondasionalisme; (3) dari keraguan metodologis menuju keyakinan tertradisi; (4) dari dualisme menuju holisme; serta (5) dari optimism menuju pesimisme, kemudian ia beralih menjelaskan pendekatan ultrakritis berupa kecurigaan metanaratif dibandingkan dengan pendekatan pascakritis berupa kritik atas kritikisme. Banyak proponen atau tokoh pascamodern yang diulas pandangannya. Antara lain ialah para pakar dekonstruksionis seperti Jacques Derrida dan Michel Foucault. neopragmatis Richard Rorty. lalu pencetus metanaratif Jean-Francois Lyotard dan bapak strukturalis Ferdinand de Saussure. Paul Ricoeur termasuk kelompok yang menerapkan pendekatan pasca kritis. Masih ada Ludwig Wittgenstein sang filsuf linguistik, dan Maclntyre penggagas komunitas moral. Di samping itu ada Michael Polanyi. seorang saintis yang belakangan menjadi filsuf. Di sinilah secara eksplisit penulis mengakui bahwa terdapat impak dari format pendekatan model terakhir yang mempengaruhi pemikirannya.

Agaknya tanpa dibekali dengan pengenalan yang memadai terhadap para tokoh beserta dengan pandangan pascamodern mereka, kita sulit mengikuti diskusi yang disodorkan dalam buku ini. Dalam rangka upaya mengatasi kesulitan ini kami anjurkan agar membaca terlebih dulu sebuah buku pengantar bercorak "komik" yang berjudul Mengenal Posmodernisme "For Beginners" (aslinya Postmodernism for Beginners) karya Richard Appignanesi dan Chris Garratt bersama Ziauddin Sardar dan Patrick Curry, terbitan Mizan, Bandung, cetakan III September 1998.

Dengan mengacu kepada posisi proposisional Carl F. H. Henry, penulis mengatakan bahwa pewahyuan secara konsekuen dapat digenggam oleh akal budi manusiawi tanpa iluminasi maupun pemahaman khusus yang mendalam (halaman 87-88). Rupanya ini merupakan konsekuensi dari pendekatan proposisionalis yang paling tragis. Tentu ada keberatan terhadap pernyataan ini. Barangkali dengan kapasitas rasional yang dimiliki oleh insan manusia rasional ciptaan Allah yang juga rasional, hal seperti ini lumrah dan masuk akal; namun setelah seluruh umat manusia jatuh dalam status berdosa, mampukah mereka memahami kehendak Allah tanpa campur tangan Roh Kudus, yang memimpin pada kebenaran sejati. Jelaslah bahwa pencerahan oleh Roh Kudus sama sekali tidak boleh diabaikan dalam menafsirkan kebenaran pewahyuan firman Allah sendiri. Bandingkan dengan beberapa ayat Alkitab ini - Yoh. 14:26; 16:13; 1Kor 1:10-16; 1Pts 1:20-21. Memang penulis kemudian menganggap serius upaya membebaskan akal budi dari efek-efek dosa. Apa yang dikerjakan oleh rasionalisme, sebagaimana mengutip kata-kata tepat dari McGarth, adalah membuat "kebenaran wahyu ilahi bergantung pada penghakiman akal budi manusia yang sudah jatuh." Di bagian ini Knight berargumen dengan benar bahwa apa yang dibutuhkan adalah suatu karya Roh Kudus yang meletakkan suatu dasar baru bagi akal budi melalui iman di dalam Yesus yang telah bangkit (halaman 91).

- Joachim Huang



TIP #15: Gunakan tautan Nomor Strong untuk mempelajari teks asli Ibrani dan Yunani. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA