Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 14 No. 1 Tahun 1999 >  MENYIKAPI KEKERASAN YANG DILAKUKAN NEGARA > 
II. SPIRAL KEKERASAN 

Seperti fokus bahasan kita, kekerasan yang dilakukan negara dan kemudian dibalas dengan kekerasan oleh rakyat yang merasa tertindas, ternyata tidak berdiri sendiri-sendiri. Helder Camara dari Brazil mencermati fenomena yang sering terjadi di negara-negara dunia ketiga bahwa kekerasan yang dilakukan kaum berkuasa melahirkan tindak kekerasan baru dan ini kemudian memancing tindak kekerasan baru dari yang pertama, demikian seterusnya sehingga terjadi rangkaian kekerasan yang disebutnya "spiral kekerasan."36 Camara melihat ada tiga tahap kekerasan yang disebutnya Kekerasan No 1, No 2, dan No 3.

Kekerasan No 1 adalah pemicu dan dilakukan oleh penguasa (basic atau established violence). Kekerasan ini lahir dari egoisme kelompok elite, yang demi mempertahankan status quo, tidak segan-segan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan dan perbuatan-perbuatan yang nyata-nyata menyusahkan rakyat banyak. Pembatasan demi pembatasan, pelecehan demi pelecehan, ketidakadilan demi ketidakadilan. Orang kecil hanya menatap masa depan dengan tidak berdaya, seolah-olah semua itu dialaminya sebagai suratan nasib.

Ada saatnya Kekerasan No 1 mendapat reaksi balik berupa kekerasan juga dan disebut Kekerasan No 2. Yang ini biasanya muncul dari dua kelompok masyarakat yakni orang yang benar-benar tertindas dan kaum muda. Mereka berontak melawan penindasan demi sebuah dunia yang lebih adil dan manusiawi. Derajat dan bentuk Kekerasan No 2 berbeda dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari bangsa yang satu ke bangsa lain. Kesamaan semua itu adalah dalam melihat ketidakadilan bukan bagai nasib yang harus diterima begitu saja. Ketidakadilan dan situasi ketertindasan tidak lain adalah ulah sekelompok kecil orang yang serakah dan haus kekuasaan. Maka mereka mengadakan perlawanan demi keadilan. Dalam hal ini biasanya kaum muda lebih tidak sabar melihat pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi. Mereka lebih kritis, memiliki idealisme, peka dengan ketidakadilan, menjunjung tinggi otentisitas, dan menjauhi kemunafikan.

Motivasi dari Kekerasan No 2 bisa dari ideologi atau agama. Maka dalam hal ini, penguasa memberi label politik kepada pembangkang yang memberi komitmen kepada suatu ideologi (mis. Marxisme) sebagai ekstrim kiri, sementara kepada mereka yang bermotivasi agama disebut ekstrim kanan (mis. Gerakan Aceh Merdeka). Tanpa melihat akar persoalan munculnya pembangkangan sipil dan tanpa mau tahu dengan kritik dari pelaku Kekerasan No 2, penguasa segera memberi para pembangkang label-label "subversif," penghasut,""mempolitisir agama,""komunis" atau di negara demokrasi dunia ketiga paling sedikit label "memberi jalan kepada komunisme."

Sewaktu Kekerasan No 2 berusaha melawan Kekerasan No 1 dalam rupa konflik terbuka di jalan-jalan atau perang gerilya seperti di Timor Timur, penguasa menjadi panik. Namun dalam usaha mempertahankan ketertiban umum (law and order), tidak ditempuh dialog terbuka dan dicari pemecahan konkret untuk akar masalah. Jalan kekerasan kembali dipakai. Maka lahirlah Kekerasan No 3 dengan berbagai bentuk. Untuk memperoleh informasi, penguasa mentolerir teror mental (telpon gelap, rumah diamat-amati), penculikan, siksaan fisik. Demonstran pro reformasi dikejar-kejar, tapi demonstran membela status quo dibiarkan. Rektor mengumumkan sekolahnya dalam keadaan darurat agar militer boleh masuk kampus. Pokoknya, atas nama ketertiban umum dan kebebasan yang bertanggung jawab, pemerintah dan kepanjangan tangannya melakukan berbagai cara represif.

Kekerasan No 2 di Indonesia paling menyolok terjadi pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi. Kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan mengatasnamakan stabilitas nasional dalam kenyataannya ternyata lebih untuk melestarikan penyimpangan penguasa ketimbang menegakkan hukum secara tanpa pandang bulu. Maka negara melakukan kekerasan dan korban-korban berjatuhan tanpa mengundang rasa bersalah dari pemerintah. Namun ternyata semakin otoriter pemerintah, semakin kuat pula perlawanan. Insiden Trisakti tidak membuat jera perlawanan mahasiswa, sehingga masih lahir insiden Semanggi.

Mengapa rakyat berani berkorban menjadi korban kekerasan berhadapan dengan bedil dan sepatu lars? Sebab ketidakadilan, sebagai akar dari kekerasan, masih merajalela. Menurut Camara, keadilan merupakan prasyarat mutlak damai sejati.

If there is some corner of the world which has remained peaceful, but with a peace based on injustices - the peace of a swamp with rotten matter fermenting in its depths - we may be sure that that peace is false. (Spiral of Violence, 33)

Maka meniadakan kekerasan harus lebih dulu menyelesaikan ketidakadilan.

Salah satu titik rawan ketidakadilan pada tahun ini adalah pemilu. Padahal pemilu sekarang menjadi taruhan kita untuk menyelesaikan pelbagai konflik kekerasan yang selama ini terjadi. Kalau pemilu tidak demokratis, masih penuh rekayasa, dan pemerintahan yang dibentuk tidak mendapat kredibilitas minimal dari masyarakat, bisa dipastikan bahwa tahun 1999 akan menjadi tahun yang mengerikan seperti tahun 1998.



TIP #21: Untuk mempelajari Sejarah/Latar Belakang kitab/pasal Alkitab, gunakan Boks Temuan pada Tampilan Alkitab. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA