Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 14 No. 1 Tahun 1999 > 
MENYIKAPI KEKERASAN YANG DILAKUKAN NEGARA 
Penulis: Yonky Karman

Kekerasan sebenarnya bukan barang baru. Praktek kekerasan sudah seumur peradaban manusia. Generasi kedua manusia menurut Alkitab memiliki kisah kakak membunuh adik. Yang membuat perbincangan tentang kekerasan sekarang menjadi urgen adalah karena kita dibuat terhenyak oleh praktek-praktek kekerasan yang sadis sepanjang tahun yang baru lalu: tragedi Trisakti, Semanggi, Banyuwangi, Ketapang, Kupang, Sambas, dan Ambon. Belum lagi dengan penculikan para aktivis oleh aparat pemerintah pada masa Orde Baru serta pelanggaran HAM (hak-hak asasi manusia) lainnya. Berdasarkan: fakta-fakta yang menyedihkan ini, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta menjadikan tahun 1998 sebagai Annus Horribilis, tahun yang mengerikan.

Tulisan berikut akan membahas sejenis kekerasan yang dilakukan oleh negara (state violence) yang umumnya terjadi di negara-negara yang kehidupan demokratisnya masih belum berkembang. Jenis kekerasan ini perlu mendapat perhatian sendiri, karena kekerasan model lain mudah diidentifikasi dan mudah dibawa ke sidang pengadilan. Tapi kekerasan yang dilakukan negara dalam suasana yang belum demokratis, hampir-hampir lewat begitu saja. Kita sudah hampir lupa kasus penembakan seputar insiden Trisakti, sepertinya itu kecelakaan kecil.

Pertama-tama, perlu dijernihkan dulu arti kekerasan dan sejauh mana itu boleh dan tidak boleh dipakai. Kedua, baru kita masuk ke dalam problem dari kekerasan yang dilakukan oleh negara kepada warganya. Ketiga, kita akan melihat posisi dan peran agama dalam terjadinya tindak kekerasan, terlebih menyikapi perkembangan di Indonesia yang amat memprihatinkan belakangan ini. Akhirnya, tindakan apa, saja yang harus dilakukan untuk meredam menjalarnya tindak kekerasan.

 I. PENGERTIAN KEKERASAN

Kekerasan (Ing. violence, dari Lat. violare "memakai kekuatan") artinya pemakaian kekuatan untuk melukai, membahayakan, merusak harta benda atau orang secara fisik maupun psikis. Dalam definisi ini harap digarisbawahi pengertian pemakaian kekuatan yang membahayakan pihak lain.

Secara filosofis, fenomena kekerasan merupakan sebuah gejala kemunduran hubungan antarpribadi, di mana orang tidak lagi bisa duduk bersama untuk memecahkan masalah.33 Hubungan yang ada hanya diwarnai dengan ketertutupan, kecurigaan, dan ketidakpercayaan. Dalam hubungan seperti ini, tidak ada dialog, apalagi kasih. Semangat mematikan lebih besar daripada semangat menghidupkan, semangat mencelakakan lebih besar daripada semangat melindungi. Memahami tindak-tindak kekerasan di Indonesia yang dilakukan orang satu sama lain atau golongan satu sama lain dari perspektif ini, terlihat betapa masyarakat kita sekarang semakin jauh dari menghargai dialog dan keterbukaan. Permasalahan sosial biasa bisa meluas kepada penganiayaan dan pembunuhan. Toko, rumah ibadah, kendaraan yang tidak ada sangkut pautnya dengan munculnya masalah, bisa begitu saja menjadi sasaran amuk massa.

Secara teologis, kekerasan di antara sesama manusia merupakan akibat dari dosa dan pemberontakan manusia. Kita tinggal dalam suatu dunia yang bukan saja tidak sempurna, tapi lebih menakutkan, dunia yang berbahaya. Orang bisa menjadi berbahaya bagi sesamanya. Mulai dari tipu muslihat, pemerasan, penyerangan, pemerkosaan, penganiayaan, pengeroyokan, sampai pembunuhan. Menghadapi kenyataan ini, ada dua bentuk perlawanan yang dilakukan sejauh ini dengan bernafaskan ajaran cinta damai.

A. PASIFISME

Golongan pasifis menolak segala bentuk pemakaian kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Dunia mengenal beberapa pejuang anti kekerasan. Dari India ada Mahatma Gandhi dengan ajarannya yang disebut Ahimsa - Satyagraha. Perhatikan cuplikan semangat Ahimsanya.

Silahkan gusur dan bongkar rumah kami!
Silahkan pukuli kami sekeras Anda bisa!
Silahkan giring kami sampai ke parit-parit jalan,
dan kami akan menanggung semua penderitaan yang Anda timpakan!
Kami tidak akan membalas.
Namun dengan cinta dan hati gembira kami tidak patuh dengan
hukum Anda yang tidak adil. Kami siap masuk penjara.

Lewat sikap ini Gandhi mengobarkan perlawanan rakyat kepada pemerintah yang lalim (civil disobedience). Sekalipun banyak korban berjatuhan, namun gerakan Gandhi boleh dikatakan berhasil karena Gandhi menjadikan sikap anti kekerasan bukan sekadar pilihan hidup seperti baju yang dapat dikenakan atau ditanggalkan sesuka hati, melainkan itu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari hati nurani. Bagi Gandhi, sikap anti kekerasan tidak cuma slogan, tetapi energi hidup yang dahsyat. Begitu yakinnya Gandhi terhadap kekuatan hidup dari sikap anti kekerasan, sehingga ia pernah berkata, "Apabila praktek Ahimsa menjadi universal, maka Tuhan akan memerintah di dunia seperti yang dilakukanNya di Surga."

Pemikiran Gandhi ini memberi inspirasi bagi pencinta damai di seluruh dunia. Salah seorang yang amat dipengaruhinya adalah almarhum Dr. Marthin Luther King, Jr., yang memimpin aksi damai di Amerika Serikat pada tabun 1960-an. Ia memperjuangkan hak-hak warga Amerika kulit hitam dengan jalan damai. Menurutnya, lawan bukan harus dihancurkan, melainkan harus diyakinkan. Melawan tapi tanpa kekerasan, itulah bentuk praktek kasih menurut Martin Luther King, Jr. Suratnya yang ditujukan kepada kaum rasis kulit putih dari sel penjaranya di Georgia mencerminkan keyakinan itu.

Berbuatlah sekehendak hati kalian. Kami akan tetap mengasihi juga. Lemparkanlah bom ke rumah kami ... kami akan tetap mengasihi. Pasti kami mampu mengatasi kalian dengan semangat kami. Pada suatu hari kami pasti bebas.

Mungkin sikap ini sebanding dengan judul buku dari Thomas Merton Non-Violence in Peace and War. Etika non-violence (tanpa kekerasan) ini juga diikuti oleh Uskup Timor Timur Belo.34

Namun dalam kenyataannya, acap kali tidak mudah untuk menerapkan perjuangan tanpa kekerasan. Dalam pidato Uskup Belo ketika menerima hadiah Nobel pada tanggal 10 Desember 1996, ia menyatakan kekagumannya kepada Mahatma Gandhi dan Martin Luther King, Jr., karena keduanya menggunakan cara-cara tanpa kekerasan. Namun di situ juga ia mengeluh sebab sekalipun dunia mengecam perjuangan dengan kekerasan, pada saat seorang memilih jalan tanpa kekerasan, sedikit sekali orang memberi perhatian.

B. DAMAI DENGAN KEKERASAN

Namun ada juga pandangan lain, yang di mata penulis lebih realistis, yang percaya bahwa mustahil selama dunia masih seperti ini, kekerasan dinafikan sama sekali. Dalam pemahaman ini, pemakaian kekerasan hanya dibenarkan dalam situasi yang ekstrim, dalam keadaan sangat terpaksa.35 Contohnya, ketika orang harus membela diri dari ancaman tindak kekerasan yang berbahaya dari orang lain.

Contoh lain dari pemakaian kekerasan secara massal dan yang paling banyak memakan korban adalah perang. Ada perang yang dibenarkan (just war) dan perang yang tidak dibenarkan (unjust war). Perang tidak bisa dibenarkan, kalau masyarakat sipil dijadikan sasaran sebagai korban eksploitasi kekuatan militer seperti tameng hidup dalam perang Irak melawan Amerika. Perang juga tidak dibenarkan kalau itu demi menundukkan, mengalahkan, dan menjajah pihak lain. Bisa dikatakan bahwa Perang Salib oleh Kristen pada abad 12-13 tidak dibenarkan, karena pasukan dari kerajaan-kerajaan Kristen di Eropa Barat pergi ke Palestina untuk membebaskan tempat-tempat suci yang dikuasai kaum Muslim dengan tujuan akhir di tempat itu nanti didirikan pemerintahan Kristen. Juga tidak dapat dibenarkan perang yang dilakukan milisi Serbia Bosnia terhadap golongan Muslim Bosnia pada abad ini. Itu sebabnya Mahkamah Internasional di Den Haag pada awal Juli 1996 mengeluarkan perintah penangkapan atas penjahat perang Radovan Karadzic dan Jenderal Ratko Mladic.

Perang dibenarkan kalau kedaulatan dan kehormatan suatu bangsa terancam dan sudah ditempuh segala cara oleh pihak-pihak yang bersengketa, namun menemukan jalan buntu. Kalau begitu, dengan terpaksa orang harus membela negaranya dari penindasan. Mengambil bagian dalam perang seperti ini adalah wujud bakti kepada nusa dan bangsa. Pada umumnya, orang Kristen bisa mentolerir pemakaian kekerasan yang bersifat defensif demi menjaga kelangsungan hidup yang terancam oleh kekerasan lain.

 II. SPIRAL KEKERASAN

Seperti fokus bahasan kita, kekerasan yang dilakukan negara dan kemudian dibalas dengan kekerasan oleh rakyat yang merasa tertindas, ternyata tidak berdiri sendiri-sendiri. Helder Camara dari Brazil mencermati fenomena yang sering terjadi di negara-negara dunia ketiga bahwa kekerasan yang dilakukan kaum berkuasa melahirkan tindak kekerasan baru dan ini kemudian memancing tindak kekerasan baru dari yang pertama, demikian seterusnya sehingga terjadi rangkaian kekerasan yang disebutnya "spiral kekerasan."36 Camara melihat ada tiga tahap kekerasan yang disebutnya Kekerasan No 1, No 2, dan No 3.

Kekerasan No 1 adalah pemicu dan dilakukan oleh penguasa (basic atau established violence). Kekerasan ini lahir dari egoisme kelompok elite, yang demi mempertahankan status quo, tidak segan-segan untuk menerapkan kebijakan-kebijakan dan perbuatan-perbuatan yang nyata-nyata menyusahkan rakyat banyak. Pembatasan demi pembatasan, pelecehan demi pelecehan, ketidakadilan demi ketidakadilan. Orang kecil hanya menatap masa depan dengan tidak berdaya, seolah-olah semua itu dialaminya sebagai suratan nasib.

Ada saatnya Kekerasan No 1 mendapat reaksi balik berupa kekerasan juga dan disebut Kekerasan No 2. Yang ini biasanya muncul dari dua kelompok masyarakat yakni orang yang benar-benar tertindas dan kaum muda. Mereka berontak melawan penindasan demi sebuah dunia yang lebih adil dan manusiawi. Derajat dan bentuk Kekerasan No 2 berbeda dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari bangsa yang satu ke bangsa lain. Kesamaan semua itu adalah dalam melihat ketidakadilan bukan bagai nasib yang harus diterima begitu saja. Ketidakadilan dan situasi ketertindasan tidak lain adalah ulah sekelompok kecil orang yang serakah dan haus kekuasaan. Maka mereka mengadakan perlawanan demi keadilan. Dalam hal ini biasanya kaum muda lebih tidak sabar melihat pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi. Mereka lebih kritis, memiliki idealisme, peka dengan ketidakadilan, menjunjung tinggi otentisitas, dan menjauhi kemunafikan.

Motivasi dari Kekerasan No 2 bisa dari ideologi atau agama. Maka dalam hal ini, penguasa memberi label politik kepada pembangkang yang memberi komitmen kepada suatu ideologi (mis. Marxisme) sebagai ekstrim kiri, sementara kepada mereka yang bermotivasi agama disebut ekstrim kanan (mis. Gerakan Aceh Merdeka). Tanpa melihat akar persoalan munculnya pembangkangan sipil dan tanpa mau tahu dengan kritik dari pelaku Kekerasan No 2, penguasa segera memberi para pembangkang label-label "subversif," penghasut,""mempolitisir agama,""komunis" atau di negara demokrasi dunia ketiga paling sedikit label "memberi jalan kepada komunisme."

Sewaktu Kekerasan No 2 berusaha melawan Kekerasan No 1 dalam rupa konflik terbuka di jalan-jalan atau perang gerilya seperti di Timor Timur, penguasa menjadi panik. Namun dalam usaha mempertahankan ketertiban umum (law and order), tidak ditempuh dialog terbuka dan dicari pemecahan konkret untuk akar masalah. Jalan kekerasan kembali dipakai. Maka lahirlah Kekerasan No 3 dengan berbagai bentuk. Untuk memperoleh informasi, penguasa mentolerir teror mental (telpon gelap, rumah diamat-amati), penculikan, siksaan fisik. Demonstran pro reformasi dikejar-kejar, tapi demonstran membela status quo dibiarkan. Rektor mengumumkan sekolahnya dalam keadaan darurat agar militer boleh masuk kampus. Pokoknya, atas nama ketertiban umum dan kebebasan yang bertanggung jawab, pemerintah dan kepanjangan tangannya melakukan berbagai cara represif.

Kekerasan No 2 di Indonesia paling menyolok terjadi pada masa Orde Baru dan Orde Reformasi. Kekerasan yang dilakukan oleh negara dengan mengatasnamakan stabilitas nasional dalam kenyataannya ternyata lebih untuk melestarikan penyimpangan penguasa ketimbang menegakkan hukum secara tanpa pandang bulu. Maka negara melakukan kekerasan dan korban-korban berjatuhan tanpa mengundang rasa bersalah dari pemerintah. Namun ternyata semakin otoriter pemerintah, semakin kuat pula perlawanan. Insiden Trisakti tidak membuat jera perlawanan mahasiswa, sehingga masih lahir insiden Semanggi.

Mengapa rakyat berani berkorban menjadi korban kekerasan berhadapan dengan bedil dan sepatu lars? Sebab ketidakadilan, sebagai akar dari kekerasan, masih merajalela. Menurut Camara, keadilan merupakan prasyarat mutlak damai sejati.

If there is some corner of the world which has remained peaceful, but with a peace based on injustices - the peace of a swamp with rotten matter fermenting in its depths - we may be sure that that peace is false. (Spiral of Violence, 33)

Maka meniadakan kekerasan harus lebih dulu menyelesaikan ketidakadilan.

Salah satu titik rawan ketidakadilan pada tahun ini adalah pemilu. Padahal pemilu sekarang menjadi taruhan kita untuk menyelesaikan pelbagai konflik kekerasan yang selama ini terjadi. Kalau pemilu tidak demokratis, masih penuh rekayasa, dan pemerintahan yang dibentuk tidak mendapat kredibilitas minimal dari masyarakat, bisa dipastikan bahwa tahun 1999 akan menjadi tahun yang mengerikan seperti tahun 1998.

 III. AGAMA DAN KEKERASAN

Di atas telah disinggung bahwa penghayatan religius bisa memotivasi perlawanan rakyat terhadap penguasa lalim. Kenapa agama yang pada dasarnya mempromosikan welas asih bisa berdampingan dengan kekerasan?37

Dalam, prakteknya, agama tidak otomatis melahirkan kedamaian. Ada agama yang terlembaga sedemikian rupa sehingga sudah dijinakkan oleh pemerintah dan perannya cuma menjadi stempel untuk membenarkan kebijakan-kebijakan pemerintah dengan segala pelanggaran HAM-nya. Peran agama yang mendukung penindasan dan ketidakadilan tentu saja mendapat protes dari pemeluk agama yang tidak menerima kalau agama dihayati sebagai candu masyarakat, yang membuat orang terasing dari kehidupan nyata. Mereka ingin agar agama sesuai dengan cita-cita luhurnya berperan dalam mengangkat harkat kemanusiaan yang terpuruk oleh ketidakadilan. Maka dalam kalangan umat Kristiani ada teologi pembebasan (Amerika Latin, suku Dalit di India, orang Kristen Palestina).

Contoh yang menarik adalah dalam rapat pertama dari Dewan Penegakan Keamanan dan Sistem Hukum yang dicurigai banyak kalangan sebagai Bakorstanas dalam bentuk lain. Pada rapat itu dibahas tentang perlunya Ratih. Dewan ini beranggotakan antara lain semua unsur agama di Indonesia, kecuali Katolik. Tadinya Konferensi Wali gereja Indonesia dimasukkan begitu saja oleh pemerintah, namun lembaga itu segera bersikap dan menarik diri dari keanggotaan (Komisi Nasional HAM juga). Dalam hal ini, sikap KWI adalah cukup bijaksana karena ternyata Dewan ini sangat berkepentingan dengan Ratih yang penerimaannya oleh masyarakat masih sangat kontroversial. Betul bahwa gereja tidak boleh memihak salah satu partai politik dan ia juga tidak boleh masa bodoh dengan kehidupan politik. Namun apakah betul gereja akan memberikan sumbangsihnya yang positif dan maksimal dengan berada dalam lingkaran kekuasaan?

Sekarang kita sudah melihat bahaya dari penggunaan simbol-simbol agama dalam upaya menggolkan tujuan politik perorangan maupun kelompok. Pada gilirannya ini akan mengancam persatuan bangsa, minimal integrasi bangsa secara internal. Betapa mengerikannya pertikaian di Ambon yang sudah merembet kepada masalah SARA. Dalam keadaan demikian, orang takut pada orang lain dan jalan pintasnya, kembali kepada kelompok agamanya masing-masing. Namun efeknya, orang yang ada di luar kelompoknya dimusuhi.

Melihat tesis Camara tentang spiral kekerasan, umat Kristiani kiranya perlu mempertimbangkan jalan damai yang tidak sama sekali menafikan kekerasan, karena realitas dunia berdosa tetap membutuhkan pedang penguasa yang sah untuk menindak kejahatan. Sikap Kristiani untuk menolak kekerasan dalam keadaan biasa bersumber pada kesadaran akan luhurnya martabat manusia yang diciptakan menurut rupa Allah, sehingga ia tidak boleh diinjak-injak oleh tirani massa atau kekuasaan.

Sadar akan keluhuran martabat manusia memunculkan kasih yang tulus kepada sesama. Kasih seperti ini tidak keluar dari kelemahan dan ketakutan, tapi dari kekuatan kebenaran. Kasih seperti ini mampu meredam kebencian dengan kebaikan. Sekarang di Indonesia, orang semakin lemah untuk menghayati dan menghargai kemajemukan dalam bermasyarakat dan berbangsa. Perbedaan agama bisa menjadi hal yang serius. Lihat eksodus besar-besaran dari Ambon. Padahal sejarah telah mencatat bahwa pertikaian antarkelompok yang didasari oleh perbedaan agama dalam masyarakat paling berpotensi untuk memecah belah bangsa, bahkan bangsa tersebut bisa masuk ke dalam jurang kehancuran yang sangat mengenaskan seperti Bosnia.

 IV. AKSI DAMAI PRO KEADILAN

Sudah sejak lama gereja-gereja di Indonesia terutama dari kalangan injili tidak mau tahu dengan politik. Mereka lebih suka menyumbang materi kepada pemerintah dari pada melakukan koreksi-koreksi kritis. Namun sejak Mei lalu, terlebih dalam kasus Ketapang, Kupang dan Ambon, mata gereja tidak boleh menjauh dan tidak mau tahu dengan politik bangsa di dalamnya ia hidup. Apalagi sekarang bangkit politik aliran yang mau mengedepankan satu agama dan memarjinalkan peran umat agama-agama lain dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Masihkah kita berdiam diri dan membiarkan pihak lain (bukan Tuhan!) menentukan masa depan kita? Untuk itu, pilihan kita bukan peristiwa Kupang. Pilihan kita menurut Camara adalah Aksi Damai Pro Keadilan (ADPK). Aksi ini akan lebih jelas bila dijabarkan dalam beberapa butir berikut.

1. ADPK bukan dan tidak boleh menjadi partai politik. ADPK juga bukan milik seseorang, suatu agama, atau suatu partai. Ia harus independen. Karena itu, ia harus lintas agama, ras, dan partai. ADPK menjalin jaringan kerja dengan gerakan-gerakan lain yang memiliki kepedulian yang sama yakni meredam kebencian dan meniadakan khaos. Minimal untuk informasi. Lebih baik lagi, apabila lebih dari itu seperti menandatangani surat pernyataan dan keprihatinan bersama. Setelah kita masuk, kita akan terkejut ternyata, berbagai golongan orang. memiliki kepedulian yang sama meliputi orang kaya, profesional, akademisi, tokoh agama, militer, purnawirawan (orang yang dulunya menyetujui kekerasan memakai senjata namun sekarang sudah insaf), politisi, wartawan. Mereka semua tidak bisa mentolerir kekerasan berdarah. Mereka melihat alternatif untuk kekerasan.

2. Bila keterlibatan gereja sebagai lembaga dinilai terlalu riskan, biarlah anggota gereja yang banyak mengetahui hal-hal ini didukung untuk terlibat dengan backup penuh dari gereja. Jadi, saudara-saudara itu tidak mengatasnamakan gereja namun gereja memonitor kegiatan mereka di luar gereja yang berhubungan dengan perjuangan menegakkan keadilan. Kalau ada apa-apa dengan mereka, gereja perlu memperlihatkan tanggung jawabnya. Mungkin komisi yang cocok adalah Komisi Oikumene dan Kemasyarakatan (Oikmas).

3. ADPK bisa hidup dalam atmosfir minimal pemerintah menghormati kebebasan pers agar informasi kebenaran mudah di akses khalayak luas. Sekarang kita sedang menikmati kebebasan pers yang sangat luar biasa, sesuatu yang hampir tak terbayangkan dalam era Orde Baru. Momentum ini harus dipelihara dan gereja harus pro terhadap kebebasan pers.

4. Bila terjadi insiden pelanggaran HAM yang diketahui dengan jelas (mis. anggota gereja menjadi korban penjarahan, gedung gereja dirusak), bereaksilah.

5. Bila ada orang ADPK ditangkap, rekan-rekan lain bisa menyatakan solidaritasnya dengan mendatangi tempat mereka ditahan. Jadikanlah itu suatu berita nasional maupun internasional.

Demikianlah, beberapa gagasan partisipasi Kristiani dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Minimal gereja mendoakan agar pemilu yang akan datang betul-betul jujur dan adil, sehingga siapapun yang menang akan diterima. Untuk itu, umat Kristiani secara perorangan maupun lembaga harus menolak dan menolak usaha-usaha rekayasa dalam pemilu yang tidak demokratis. Kita semua berharap agama kebenaran sejati yang tidak memerlukan legitimasi kekuatan manusia, pada saatnya akan muncul untuk menguatkan banyak orang.

Dewasa ini di sana sini ada suara pesimis yang meragukan bahwa pemilu tahun ini tidak akan membawa dampak perubahan ke arah yang lebih baik. Kita memang tidak mau terlalu optimis, namun salah juga kalau belum apa-apa sudah pesimis. Akhirnya, mengutip Camar lagi dalam konteks yang lain.

When we dream alone, it is just a dream.

When we dream together, it's the dawn of reality.

(Apabila kita bermimpi sendirian, itu baru mimpi.

Apabila kita bermimpi bersama, itulah awal realitas)

Marilah kita masing-masing bermimpi untuk Indonesia yang lebih demokratis, damai, dan makmur, karena mimpi bersama adalah awal dari realitas yang dimimpikan.



TIP #27: Arahkan mouse pada tautan ayat untuk menampilkan teks ayat dalam popup. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA