Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 14 No. 1 Tahun 1999 >  PASCAMODERNISME DAN KEYAKINAN INJILI > 
II. PASCAMODERNISME DAN TEOLOGI 

Pascamodernisme tentunya menciptakan krisis dalam teologi. Kalau kita mengikuti pendapat Toynbee bahwa pascamodern dimulai pada Perang Dunia I, maka teolog pascamodern yang pertama adalah Karl Barth. Dia begitu dikecewakan oleh profesor-profesor liberalnya yang mendukung Kaisar. Karl Widhelm II dalam pernyataan perangnya. Karenanya, buku Barth Romerbrief merupakan suatu usaha dengan sadar untuk memutarbalikkan agenda liberalisme, terutama pandangannya yang optimis terhadap sifat dasar manusia dan kecenderungan naturalismenya. Sebagaimana kita ketahui, liberalisme pada abad ke-19 sangat menggandrungi teori evolusi. Karena itu, mereka cenderung melihat hubungan manusia dengan Allah sebagai suatu kesinambungan bukannya suatu yang terpisahkan. Jadi penyataan (wahyu) khusus tidak diperlukan. Yang dimaksud sebagai penyataan oleh kaum liberal adalah suatu proses natural melalui penghayatan kesadaran seseorang. Hal ini merupakan pengaruh Schleiermarcher yang menjadikan teologi semakin menjurus ke imanenisme. Untuk menentang semua ini, Barth memproklamirkan bahwa Allah mempunyai perbedaan kualitas yang tidak terbandingkan dengan manusia (infinite qualitatively different). Tidak ada suatu kesamaan secara hakekat antara manusia dan Allah. Penyataan sepenuhnya bergantung pada penerobosan Allah ke dalam sejarah manusia yang tidak bisa di prediksi dan menciptakan "encounter" (pertemuan) dengan manusia melalui FirmanNya. Sekalipun demikian, Barth hidup pada zaman yang jauh dari krisis ideologi yang dialami oleh generasi pascamoderisme pada akhir abad ke-20 ini. Barth sendiri masih produk dari zaman pencerahan; dia menolak modernisme dengan menggunakan asumsi-asumsi modernisme seperti eksistensialisme dan paham kritik sejarah. Saya sependapat dengan pandangan Hans Kung di dalam bukunya Theology for the Thirtd Millenium bahwa paling banyak Barth hanya bisa disebut sebagai "inisiator" menuju ke paradigma pascamodernisme di dalam teologi. Karenanya, kalau kita mau meneliti paradigma teologi pascamodernisme, maka lebih tepat kalau yang dijadikan model adalah teolog-teolog pada paruh kedua abad ke-20 ini.

David Griffin dalam artikelnya "Various Theologies in the Postmodern Era" membagi 4 tipe dari teologi pascamodernisme:2)

- deconstructionist postmodernism

- liberationist postmodernism

- constructive postmodernism

- conservative postmodernism

Namun dalam konteks tulisan ini, maka saya akan memakai tipologi sendiri khususnya dalam menyoroti metodologinya. Jadi ada 3 pola pendekatan sebagai reaksi terhadap pascamodernisme yang saya sebut sebagai: "akomodasi,""sintesis" dan "kontra" pascamodernisme.

1. Akomodasi

Pendekatan ini mencoba mengakomodasikan teologi kepada pola berpikir dari generasi pascamodern ini. Sebuah contoh yang menonjol dari pola ini adalah yang dikemukakan oleh David Tracy di dalam bukunya Blessed Rage for Order. Tracy membedakan beberapa model teologi, yaitu ortodoks, liberal, neo ortodoks, radikal, dan proposal Tracy sendiri yang disebut "model revisiorus."3 Bagi Tracy seorang teolog revisionis tidak mempunyai prakomitmen terhadap suatu tradisi gereja tertentu ataupun pengakuan-pengakuan iman dari aliran tertentu. Dengan demikian berteologi adalah suatu upaya pengenalan terhadap Allah yang senantiasa terbuka (open ending inquiry). Menurut Tracy, satu-satunya komitmen yang ada dari seorang teolog adalah terhadap pemahaman sekular.

Yang diartikan Tracy sebagai pengukuhan akan nilai dasar dari eksistensi manusia adalah kehidupan sekarang dan di sini. Ia menyebut metodologinya sebagai "korelasi." Suatu istilah yang mengingatkan kita kepada metode dari Paul Tillich, yaitu korelasi antara pengalaman manusia dan iman Kristen. Tetapi Tracy mengkritik metode korelasi dari Tillich yang terlalu menitikberatkan iman Kristen daripada pengalaman manusia. Dengan kata lain, pengalaman manusia bagi Tillich lebih berfungsi sebagai sarana mengemukakan pertanyaan sedangkan jawabannya didapat dari iman Kristen. Tracy memutarbalikkan titik berat ini, jadi iman Kristenlah yang perlu mendapatkan peneguhan dari pengalaman manusia; inilah pola berpikir pascamodernisme.

Di dalam bukunya yang lain Analogical Imagination, Tracy kembali menegaskan bahwa berteologi di dalam budaya pluralisme memerlukan suatu pengakuan terhadap nilai pluralisme itu sendiri sebagai titik awal.4 Hal ini berlaku haik di dalam lingkaran Kekristenan sendiri dengan tradisi yang berbeda-beda, maupun juga di luar lingkaran Kekristenan yaitu terhadap agama-agama lain. Jadi kita melihat suatu usaha Tracy yang dengan sadar mengakomodasikan teologi ke alam pemikiran dari pascamodernisme.

2. Sintesis

Pendekatan di sini adalah suatu usaha untuk mencari jalan tengah, yaitu sintesis antara tradisi Kristen dan juga memanfaatkan sumbangsih dari pascamodernisme. Ada dua contoh yang akan saya kemukakan.

2.1. George Lindbeck

Di dalam bukunya The Nature of Doctrine, Lindbeck membahas tiga tipe teologi. Yang pertama ialah pendekatan yang bersifat "pengungkapan pengalaman" (experiential-expressive) yang merupakan ciri dari teologi liberal.5 Pandangan ini lebih mengutamakan pengalaman agamawi seseorang daripada masalah doktrin. Kelemahan pendekatan ini yang dilihat oleh Lindbeck ialah sulitnya membuktikan kebenaran teori ini. Bagaimana mungkin membuktikan adanya pengalaman agamawi yang sama yang dirasakan oleh setiap orang? Agama adalah suatu pandangan dunia yang utuh di mana sulit untuk memisahkan antara doktrin dan pengalaman. Kecuali seseorang sanggup mengisolasikan pengalaman agamawinya dan membuktikan bahwa doktrin atau unsur-unsur agama yang lainnya adalah pengungkapan dari pengalaman tersebut, kalau tidak maka teori ini sulit untuk dipertahankan.

Model teologi lain yang juga ditolak oleh Lindbeck ialah pendekatan secara 'kognitif' atau "proposisional" yang merupakan corak dari teologi ortodoks. Menurut Lindbeck, pendekatan ini cenderung harafiah dan menitikberatkan faktor intelek. Pendekatan yang dikemukakan oleh Lindbeck sendiri disebutnya sebagai "budaya bahasa" (cultural-linguistic). Lindbeck membandingkan agama dengan bahasa; doktrin sebuah agama berfungsi seperti tata bahasa yang membimbing, memberikan peraturan dan batasan pada sebuah bahasa. Agama juga dapat dibandingkan dengan suatu kebudayaan yang merupakan suatu pola gaya hidup yang menyeluruh yang mempengaruhi cara berpikir, tingkah laku dan pandangan seseorang terhadap realitas. Ini adalah suatu usaha sintesis dari Lindbeck yang mencoba memelihara keunikan Kekristenan tetapi juga memasukkan pendekatan pascamodernisme ke dalam teologi. Kesulitan dari pendekatan ini ialah kecenderungan untuk membatasi kebenaran pengajaran Kekristenan dalam komunitas Kristen sendiri, karena hal itu merupakan "budaya" Kristen.

2.2. Stanley Grenz

Grenz adalah teolog dari kalangan Injili yang juga mencoba memanfaatkan sumbangsih dari pascamodernisme. Di dalam bukunya Revisioning Evangelical Theology, Grenz menghimbau para teolog Injili untuk melakukan pendekatan berteologi yang baru dalam era pascamodern ini.6 Menurut Grenz, kaum Injili perlu meninggalkan pola berteologi yang terpaku pada pengakuan-pengakuan iman (creed-based) kepada pendekatan yang difokuskan pada kebutuhan rohani (spiritual-based). Dengan kata lain, mengubah model proposisional ke model spiritual. Bagi Grenz, tujuan berteologi bukanlah menyusun secara sistematis "kebenaran-kebenaran obyektif" yang terdapat di dalam Alkitab, melainkan mewujudkan visi rohani dari komunitas Kristen. Karenanya Grenz juga banyak menggunakan pendekatan naratif di dalam hermeneutikanya. Sebagai teolog Injili, tentunya Grenz tidak bermaksud mengesampingkan kebenaran-kebenaran mutlak yang ada di dalam Alkitab seluruhnya. Tetapi ia menempatkan fungsi teologi yang terutama sebagai pengungkapan dari komunitas Kristen. Demikian juga Alkitab adalah buku komunitas Kristen. Kalau kita amati, pada akhirnya pendekatan Grenz mirip dengan Lindbeck. Banyak teolog Injili yang lain menganggap Grenz cenderung mengabaikan pentingnya klaim kebenaran Kristiani yang bersifat universal.

3. Kontra Pascamodernisme

Ada teolog-teolog Injili lainnya yang menempuh arah yang berbeda dengan yang dilakukan Grenz, yang saya sebut sebagai "kontra pascamodernisme," misalnya Carl F. H. Henry. Khususnya di dalam 2 artikel yang ditulisnya yaitu "Narrative Theology: An Evangelical Appraisal" dan "Postmodernism: The New Spectre," Henry menolak pemikiran pascamodernisme yang menjurus kepada relativisme yang radikal dan jelas bertentangan dengan klaim kebenaran Kristiani. Henry menegaskan ulang perlunya meyakini inspirasi yang obyektif dari Allah dan ketidakbersalahan Alkitab (the inerrancy of the Bible). Jadi Henry menghimbau kaum Injili untuk berani mempertahankan model proposisional dari teologi ortodoks dan menekankan pentingnya konsistensi secara logis sebagai tes klaim kebenaran Kristiani. Sebagian teolog Injili yang lebih muda tidak dapat menerima pendekatan Henry yang dianggap sebagai warisan dari pola berpikir zaman pencerahan.

Selain itu, ada bahaya dari metode Henry yang menempatkan penyataan Allah di bawah kriteria logika manusia.



TIP #12: Klik ikon untuk membuka halaman teks alkitab saja. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA