Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 14 No. 1 Tahun 1999 >  PASCAMODERNISME DAN KEYAKINAN INJILI > 
I. APA ITU PASCAMODERNISME? 

Pascamodernisme (postmodernism) adalah suatu tantangan yang paling utama bagi Kekristenan pada akhir abad ke-20 ini. Sebagaimana awalan "pasca" yang diberikan di sini, maka para pemikir, khususnya di Barat, mengatakan bahwa kita sekarang sudah melewati zaman modern yang berlangsung mulai dari abad pencerahan (the enlightenment) sampai tahun 1960-an. Para pemikir lain seperti sejarawan Arnold Toynbee, berpendapat bahwa Perang Dunia I merupakan saat berakhirnya zaman modern. Modernisme mempunyai ciri-ciri khas antara lain: percaya kepada kemampuan rasional, "beriman" terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan metode empiris, juga menekankan pada obyektivitas pemikiran manusia. Manusia pada era modern mempunyai pandangan yang optimis terhadap kemajuan-kemajuan yang akan dicapai oleh manusia. Mereka mengira bahwa dunia akan menjadi semakin baik melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan. Tetapi setelah Perang Dunia I & II, optimisme ini telah dihancurkan. Karenanya kita mengatakan bahwa manusia memasuki era pascamodern yang ditandai dengan pandangan yang pesimis terhadap kemajuan manusia, disintegrasi kebudayaan dan sikap relativisme terhadap kenyataan dalam dunia.

Secara umum, ada 4 hal yang menjadi ciri khas dari era pascamodern:

1. Hal atau peristiwa tidak mempunyai arti yang intrinsik pada dirinya, yang ada hanyalah penafsiran yang terus menerus terhadap realitas dan dunia ini.

2. Penafsiran-penafsiran tersebut membutuhkan penelitian sesuai dengan konteksnya, sedangkan kita adalah bagian dari konteks itu sendiri.

3. Penafsiran tidak tergantung kepada faktor obyektif dari teks atau pengarangnya, melainkan tergantung kepada pandangan relatif dari penafsir itu, konsep nilainya atau minatnya.

4. Bahasa tidaklah netral melainkan relatif dan dipakai untuk menyampaikan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu.

Sebagaimana yang terlihat dari pembahasan di atas, pascamodernisme adalah suatu sikap menyeluruh, asumsi dan pandangan dunia (worldview) terhadap realitas yang ada. Mereka yang hidup pada zaman modern dan pascamodern mempunyai pendekatan dan kritik yang berbeda terhadap Kekristenan. Manusia modern menyerang Kekristenan karena mereka beranggapan bahwa itu bukan kebenaran. Sedangkan manusia pascamodern menyerang Kekristenan karena orang Kristen beranggapan bahwa merekalah satu-satunya yang memiliki kebenaran. Kita melihat adanya pendekatan yang berbeda di sini. Berdasarkan kepercayaan mereka terhadap pemikiran yang obyektif dan "meta-narrative"1 yang sekular, manusia modern beranggapan bahwa Kekristenan bukanlah kebenaran, modernismelah yang benar. Sedangkan manusia pascamodern tidak percaya adanya meta-narrative, yang ada hanyalah les petits histoires (cerita-cerita yang kecil). Jadi pascamodernisme dapat menerima selama Kekristenan hanyalah salah satu kebenaran di antara kebenaran-kebenaran lainnya.

Evaluasi Umum terhadap Pascamodernisme

Suatu paham yang baru selalu ada sisi positif dan negatifnya. Dari segi positifnya, pascamodernisme memberikan peluang kepada orang Kristen untuk berpegang pada pandangan dunia mereka. Dengan kata lain, pada zaman pascamodern ini orang Kristen juga mempunyai hak untuk membagikan keyakinan mereka, namun tidak bisa memutlakkannya atau memaksakannya kepada orang lain. Dari satu sisi, ini berarti bahwa orang Kristen lebih dapat didengar suaranya daripada waktu modernisme mendominasi.

Orang Kristen juga setuju dengan kritik dari pascamodernisme terhadap idealisme zaman pencerahan, terutama terhadap meta-narrative sekularisme yang begitu diagungkan seolah-olah humanisme adalah satu-satunya jawaban terhadap seluruh persoalan manusia. Pascamodernisme secara tepat menunjukkan keterbatasan otak manusia yang diidolakan pada zaman modern. Orang Kristen sejak dahulu kala sudah menyadari bahwa rasio manusia yang tercemar oleh dosa itu bukan segala-galanya. Kebenaran itu lebih besar daripada sekadar kebenaran intelektual. Pascamodernisme juga menyerang ide zaman pencerahan bahwa pengetahuan itu adalah baik pada dirinya sendiri. Namun Perang Dunia I & II telah membuktikan bahwa pengetahuan di tangan manusia yang bengkok ini bisa menjadi suatu alat berbahaya yang menghancurkan, bukannya membangun.

Yang terakhir, pascamodernisme juga mengingatkan kita akan pemikiran manusia yang selalu terkondisi oleh konteks sejarah dan budayanya masing-masing. Setiap orang adalah produk kebudayaannya. Orang Kristen perlu berhati-hati di dalam membuat klaim dogmatik, seolah-olah sebuah hasil pemikirannya adalah suatu kebenaran yang lintas budaya dan berlaku sekali untuk selama-lamanya. Hal ini sering dilakukan pada zaman modern yang menganggap pemikiran subyektif seseorang sebagai suatu yang obyektif adanya.

Sekalipun demikian, ada juga banyak sisi negatif dari pascamodernisme. Penolakan pascamodernisme terhadap meta-narrative juga berlaku untuk Kekristenan termasuk klaimnya sebagai kebenaran yang mutlak. Hal ini terutama didapati pada salah satu bentuk paham pascamodernisme yang dipopulerkan oleh Derrida dan Rorty, yaitu yang dikenal dengan "dekonstruksionisme." Mereka menolak sama sekali adanya kebenaran yang satu dan universal, karenanya manusia dibiarkan di dalam kondisi penafsirannya masing-masing, yang satu dengan lain bisa saling bertentangan. Berlawanan dengan hal ini, orang Kristen percaya bahwa ada suatu kebenaran yang mutlak dan menyeluruh di dalam Yesus Kristus sebagai pusat segala sesuatu (Kol. 1:16-17).



TIP #34: Tip apa yang ingin Anda lihat di sini? Beritahu kami dengan klik "Laporan Masalah/Saran" di bagian bawah halaman. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA