Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 14 No. 1 Tahun 1999 > 
PASCAMODERNISME DAN KEYAKINAN INJILI 
Penulis: Henry Efferin
 I. APA ITU PASCAMODERNISME?

Pascamodernisme (postmodernism) adalah suatu tantangan yang paling utama bagi Kekristenan pada akhir abad ke-20 ini. Sebagaimana awalan "pasca" yang diberikan di sini, maka para pemikir, khususnya di Barat, mengatakan bahwa kita sekarang sudah melewati zaman modern yang berlangsung mulai dari abad pencerahan (the enlightenment) sampai tahun 1960-an. Para pemikir lain seperti sejarawan Arnold Toynbee, berpendapat bahwa Perang Dunia I merupakan saat berakhirnya zaman modern. Modernisme mempunyai ciri-ciri khas antara lain: percaya kepada kemampuan rasional, "beriman" terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan metode empiris, juga menekankan pada obyektivitas pemikiran manusia. Manusia pada era modern mempunyai pandangan yang optimis terhadap kemajuan-kemajuan yang akan dicapai oleh manusia. Mereka mengira bahwa dunia akan menjadi semakin baik melalui pendidikan dan ilmu pengetahuan. Tetapi setelah Perang Dunia I & II, optimisme ini telah dihancurkan. Karenanya kita mengatakan bahwa manusia memasuki era pascamodern yang ditandai dengan pandangan yang pesimis terhadap kemajuan manusia, disintegrasi kebudayaan dan sikap relativisme terhadap kenyataan dalam dunia.

Secara umum, ada 4 hal yang menjadi ciri khas dari era pascamodern:

1. Hal atau peristiwa tidak mempunyai arti yang intrinsik pada dirinya, yang ada hanyalah penafsiran yang terus menerus terhadap realitas dan dunia ini.

2. Penafsiran-penafsiran tersebut membutuhkan penelitian sesuai dengan konteksnya, sedangkan kita adalah bagian dari konteks itu sendiri.

3. Penafsiran tidak tergantung kepada faktor obyektif dari teks atau pengarangnya, melainkan tergantung kepada pandangan relatif dari penafsir itu, konsep nilainya atau minatnya.

4. Bahasa tidaklah netral melainkan relatif dan dipakai untuk menyampaikan suatu ideologi atau nilai-nilai tertentu.

Sebagaimana yang terlihat dari pembahasan di atas, pascamodernisme adalah suatu sikap menyeluruh, asumsi dan pandangan dunia (worldview) terhadap realitas yang ada. Mereka yang hidup pada zaman modern dan pascamodern mempunyai pendekatan dan kritik yang berbeda terhadap Kekristenan. Manusia modern menyerang Kekristenan karena mereka beranggapan bahwa itu bukan kebenaran. Sedangkan manusia pascamodern menyerang Kekristenan karena orang Kristen beranggapan bahwa merekalah satu-satunya yang memiliki kebenaran. Kita melihat adanya pendekatan yang berbeda di sini. Berdasarkan kepercayaan mereka terhadap pemikiran yang obyektif dan "meta-narrative"1 yang sekular, manusia modern beranggapan bahwa Kekristenan bukanlah kebenaran, modernismelah yang benar. Sedangkan manusia pascamodern tidak percaya adanya meta-narrative, yang ada hanyalah les petits histoires (cerita-cerita yang kecil). Jadi pascamodernisme dapat menerima selama Kekristenan hanyalah salah satu kebenaran di antara kebenaran-kebenaran lainnya.

Evaluasi Umum terhadap Pascamodernisme

Suatu paham yang baru selalu ada sisi positif dan negatifnya. Dari segi positifnya, pascamodernisme memberikan peluang kepada orang Kristen untuk berpegang pada pandangan dunia mereka. Dengan kata lain, pada zaman pascamodern ini orang Kristen juga mempunyai hak untuk membagikan keyakinan mereka, namun tidak bisa memutlakkannya atau memaksakannya kepada orang lain. Dari satu sisi, ini berarti bahwa orang Kristen lebih dapat didengar suaranya daripada waktu modernisme mendominasi.

Orang Kristen juga setuju dengan kritik dari pascamodernisme terhadap idealisme zaman pencerahan, terutama terhadap meta-narrative sekularisme yang begitu diagungkan seolah-olah humanisme adalah satu-satunya jawaban terhadap seluruh persoalan manusia. Pascamodernisme secara tepat menunjukkan keterbatasan otak manusia yang diidolakan pada zaman modern. Orang Kristen sejak dahulu kala sudah menyadari bahwa rasio manusia yang tercemar oleh dosa itu bukan segala-galanya. Kebenaran itu lebih besar daripada sekadar kebenaran intelektual. Pascamodernisme juga menyerang ide zaman pencerahan bahwa pengetahuan itu adalah baik pada dirinya sendiri. Namun Perang Dunia I & II telah membuktikan bahwa pengetahuan di tangan manusia yang bengkok ini bisa menjadi suatu alat berbahaya yang menghancurkan, bukannya membangun.

Yang terakhir, pascamodernisme juga mengingatkan kita akan pemikiran manusia yang selalu terkondisi oleh konteks sejarah dan budayanya masing-masing. Setiap orang adalah produk kebudayaannya. Orang Kristen perlu berhati-hati di dalam membuat klaim dogmatik, seolah-olah sebuah hasil pemikirannya adalah suatu kebenaran yang lintas budaya dan berlaku sekali untuk selama-lamanya. Hal ini sering dilakukan pada zaman modern yang menganggap pemikiran subyektif seseorang sebagai suatu yang obyektif adanya.

Sekalipun demikian, ada juga banyak sisi negatif dari pascamodernisme. Penolakan pascamodernisme terhadap meta-narrative juga berlaku untuk Kekristenan termasuk klaimnya sebagai kebenaran yang mutlak. Hal ini terutama didapati pada salah satu bentuk paham pascamodernisme yang dipopulerkan oleh Derrida dan Rorty, yaitu yang dikenal dengan "dekonstruksionisme." Mereka menolak sama sekali adanya kebenaran yang satu dan universal, karenanya manusia dibiarkan di dalam kondisi penafsirannya masing-masing, yang satu dengan lain bisa saling bertentangan. Berlawanan dengan hal ini, orang Kristen percaya bahwa ada suatu kebenaran yang mutlak dan menyeluruh di dalam Yesus Kristus sebagai pusat segala sesuatu (Kol. 1:16-17).

 II. PASCAMODERNISME DAN TEOLOGI

Pascamodernisme tentunya menciptakan krisis dalam teologi. Kalau kita mengikuti pendapat Toynbee bahwa pascamodern dimulai pada Perang Dunia I, maka teolog pascamodern yang pertama adalah Karl Barth. Dia begitu dikecewakan oleh profesor-profesor liberalnya yang mendukung Kaisar. Karl Widhelm II dalam pernyataan perangnya. Karenanya, buku Barth Romerbrief merupakan suatu usaha dengan sadar untuk memutarbalikkan agenda liberalisme, terutama pandangannya yang optimis terhadap sifat dasar manusia dan kecenderungan naturalismenya. Sebagaimana kita ketahui, liberalisme pada abad ke-19 sangat menggandrungi teori evolusi. Karena itu, mereka cenderung melihat hubungan manusia dengan Allah sebagai suatu kesinambungan bukannya suatu yang terpisahkan. Jadi penyataan (wahyu) khusus tidak diperlukan. Yang dimaksud sebagai penyataan oleh kaum liberal adalah suatu proses natural melalui penghayatan kesadaran seseorang. Hal ini merupakan pengaruh Schleiermarcher yang menjadikan teologi semakin menjurus ke imanenisme. Untuk menentang semua ini, Barth memproklamirkan bahwa Allah mempunyai perbedaan kualitas yang tidak terbandingkan dengan manusia (infinite qualitatively different). Tidak ada suatu kesamaan secara hakekat antara manusia dan Allah. Penyataan sepenuhnya bergantung pada penerobosan Allah ke dalam sejarah manusia yang tidak bisa di prediksi dan menciptakan "encounter" (pertemuan) dengan manusia melalui FirmanNya. Sekalipun demikian, Barth hidup pada zaman yang jauh dari krisis ideologi yang dialami oleh generasi pascamoderisme pada akhir abad ke-20 ini. Barth sendiri masih produk dari zaman pencerahan; dia menolak modernisme dengan menggunakan asumsi-asumsi modernisme seperti eksistensialisme dan paham kritik sejarah. Saya sependapat dengan pandangan Hans Kung di dalam bukunya Theology for the Thirtd Millenium bahwa paling banyak Barth hanya bisa disebut sebagai "inisiator" menuju ke paradigma pascamodernisme di dalam teologi. Karenanya, kalau kita mau meneliti paradigma teologi pascamodernisme, maka lebih tepat kalau yang dijadikan model adalah teolog-teolog pada paruh kedua abad ke-20 ini.

David Griffin dalam artikelnya "Various Theologies in the Postmodern Era" membagi 4 tipe dari teologi pascamodernisme:2)

- deconstructionist postmodernism

- liberationist postmodernism

- constructive postmodernism

- conservative postmodernism

Namun dalam konteks tulisan ini, maka saya akan memakai tipologi sendiri khususnya dalam menyoroti metodologinya. Jadi ada 3 pola pendekatan sebagai reaksi terhadap pascamodernisme yang saya sebut sebagai: "akomodasi,""sintesis" dan "kontra" pascamodernisme.

1. Akomodasi

Pendekatan ini mencoba mengakomodasikan teologi kepada pola berpikir dari generasi pascamodern ini. Sebuah contoh yang menonjol dari pola ini adalah yang dikemukakan oleh David Tracy di dalam bukunya Blessed Rage for Order. Tracy membedakan beberapa model teologi, yaitu ortodoks, liberal, neo ortodoks, radikal, dan proposal Tracy sendiri yang disebut "model revisiorus."3 Bagi Tracy seorang teolog revisionis tidak mempunyai prakomitmen terhadap suatu tradisi gereja tertentu ataupun pengakuan-pengakuan iman dari aliran tertentu. Dengan demikian berteologi adalah suatu upaya pengenalan terhadap Allah yang senantiasa terbuka (open ending inquiry). Menurut Tracy, satu-satunya komitmen yang ada dari seorang teolog adalah terhadap pemahaman sekular.

Yang diartikan Tracy sebagai pengukuhan akan nilai dasar dari eksistensi manusia adalah kehidupan sekarang dan di sini. Ia menyebut metodologinya sebagai "korelasi." Suatu istilah yang mengingatkan kita kepada metode dari Paul Tillich, yaitu korelasi antara pengalaman manusia dan iman Kristen. Tetapi Tracy mengkritik metode korelasi dari Tillich yang terlalu menitikberatkan iman Kristen daripada pengalaman manusia. Dengan kata lain, pengalaman manusia bagi Tillich lebih berfungsi sebagai sarana mengemukakan pertanyaan sedangkan jawabannya didapat dari iman Kristen. Tracy memutarbalikkan titik berat ini, jadi iman Kristenlah yang perlu mendapatkan peneguhan dari pengalaman manusia; inilah pola berpikir pascamodernisme.

Di dalam bukunya yang lain Analogical Imagination, Tracy kembali menegaskan bahwa berteologi di dalam budaya pluralisme memerlukan suatu pengakuan terhadap nilai pluralisme itu sendiri sebagai titik awal.4 Hal ini berlaku haik di dalam lingkaran Kekristenan sendiri dengan tradisi yang berbeda-beda, maupun juga di luar lingkaran Kekristenan yaitu terhadap agama-agama lain. Jadi kita melihat suatu usaha Tracy yang dengan sadar mengakomodasikan teologi ke alam pemikiran dari pascamodernisme.

2. Sintesis

Pendekatan di sini adalah suatu usaha untuk mencari jalan tengah, yaitu sintesis antara tradisi Kristen dan juga memanfaatkan sumbangsih dari pascamodernisme. Ada dua contoh yang akan saya kemukakan.

2.1. George Lindbeck

Di dalam bukunya The Nature of Doctrine, Lindbeck membahas tiga tipe teologi. Yang pertama ialah pendekatan yang bersifat "pengungkapan pengalaman" (experiential-expressive) yang merupakan ciri dari teologi liberal.5 Pandangan ini lebih mengutamakan pengalaman agamawi seseorang daripada masalah doktrin. Kelemahan pendekatan ini yang dilihat oleh Lindbeck ialah sulitnya membuktikan kebenaran teori ini. Bagaimana mungkin membuktikan adanya pengalaman agamawi yang sama yang dirasakan oleh setiap orang? Agama adalah suatu pandangan dunia yang utuh di mana sulit untuk memisahkan antara doktrin dan pengalaman. Kecuali seseorang sanggup mengisolasikan pengalaman agamawinya dan membuktikan bahwa doktrin atau unsur-unsur agama yang lainnya adalah pengungkapan dari pengalaman tersebut, kalau tidak maka teori ini sulit untuk dipertahankan.

Model teologi lain yang juga ditolak oleh Lindbeck ialah pendekatan secara 'kognitif' atau "proposisional" yang merupakan corak dari teologi ortodoks. Menurut Lindbeck, pendekatan ini cenderung harafiah dan menitikberatkan faktor intelek. Pendekatan yang dikemukakan oleh Lindbeck sendiri disebutnya sebagai "budaya bahasa" (cultural-linguistic). Lindbeck membandingkan agama dengan bahasa; doktrin sebuah agama berfungsi seperti tata bahasa yang membimbing, memberikan peraturan dan batasan pada sebuah bahasa. Agama juga dapat dibandingkan dengan suatu kebudayaan yang merupakan suatu pola gaya hidup yang menyeluruh yang mempengaruhi cara berpikir, tingkah laku dan pandangan seseorang terhadap realitas. Ini adalah suatu usaha sintesis dari Lindbeck yang mencoba memelihara keunikan Kekristenan tetapi juga memasukkan pendekatan pascamodernisme ke dalam teologi. Kesulitan dari pendekatan ini ialah kecenderungan untuk membatasi kebenaran pengajaran Kekristenan dalam komunitas Kristen sendiri, karena hal itu merupakan "budaya" Kristen.

2.2. Stanley Grenz

Grenz adalah teolog dari kalangan Injili yang juga mencoba memanfaatkan sumbangsih dari pascamodernisme. Di dalam bukunya Revisioning Evangelical Theology, Grenz menghimbau para teolog Injili untuk melakukan pendekatan berteologi yang baru dalam era pascamodern ini.6 Menurut Grenz, kaum Injili perlu meninggalkan pola berteologi yang terpaku pada pengakuan-pengakuan iman (creed-based) kepada pendekatan yang difokuskan pada kebutuhan rohani (spiritual-based). Dengan kata lain, mengubah model proposisional ke model spiritual. Bagi Grenz, tujuan berteologi bukanlah menyusun secara sistematis "kebenaran-kebenaran obyektif" yang terdapat di dalam Alkitab, melainkan mewujudkan visi rohani dari komunitas Kristen. Karenanya Grenz juga banyak menggunakan pendekatan naratif di dalam hermeneutikanya. Sebagai teolog Injili, tentunya Grenz tidak bermaksud mengesampingkan kebenaran-kebenaran mutlak yang ada di dalam Alkitab seluruhnya. Tetapi ia menempatkan fungsi teologi yang terutama sebagai pengungkapan dari komunitas Kristen. Demikian juga Alkitab adalah buku komunitas Kristen. Kalau kita amati, pada akhirnya pendekatan Grenz mirip dengan Lindbeck. Banyak teolog Injili yang lain menganggap Grenz cenderung mengabaikan pentingnya klaim kebenaran Kristiani yang bersifat universal.

3. Kontra Pascamodernisme

Ada teolog-teolog Injili lainnya yang menempuh arah yang berbeda dengan yang dilakukan Grenz, yang saya sebut sebagai "kontra pascamodernisme," misalnya Carl F. H. Henry. Khususnya di dalam 2 artikel yang ditulisnya yaitu "Narrative Theology: An Evangelical Appraisal" dan "Postmodernism: The New Spectre," Henry menolak pemikiran pascamodernisme yang menjurus kepada relativisme yang radikal dan jelas bertentangan dengan klaim kebenaran Kristiani. Henry menegaskan ulang perlunya meyakini inspirasi yang obyektif dari Allah dan ketidakbersalahan Alkitab (the inerrancy of the Bible). Jadi Henry menghimbau kaum Injili untuk berani mempertahankan model proposisional dari teologi ortodoks dan menekankan pentingnya konsistensi secara logis sebagai tes klaim kebenaran Kristiani. Sebagian teolog Injili yang lebih muda tidak dapat menerima pendekatan Henry yang dianggap sebagai warisan dari pola berpikir zaman pencerahan.

Selain itu, ada bahaya dari metode Henry yang menempatkan penyataan Allah di bawah kriteria logika manusia.

 III. SEBUAH USULAN METODOLOGIS UNTUK MENGHADAPI TANTANGAN PASCAMODERNISME

Ada tiga wilayah yang perlu dipikirkan oleh kaum Injili secara metodologis pada era pascamodernisme ini, yaitu epistemologi, penyataan dan Alkitab, hermeneutika.

1. Epistemologi

Tantangan pertama yang ditimbulkan oleh pemikiran pascamodernisme adalah di bidang epistemologi. Bagaimana kita bisa berbicara mengenai kebenaran terhadap generasi ini? Kelvin Jones di dalam artikelnya "Formal Foundation: Toward an Evangelical Epistemology in the Postmodern Era" mengemukakan proposal yang menarik. Jones menekankan fondasi formal atau prinsip-prinsip formal dari mental manusia. Berdasarkan prinsip-prinsip formal ini mental manusia sanggup untuk mengadaptasi realitas dalam dunia ini. Ada 7 prinsip atau kemampuan formal dari mental manusia:7)

1. prinsip keberadaan (being); menyadari eksistensi seseorang dan ide tentang berada atau tidak berada.

2. prinsip identitas (identity); mengidentifikasikan suatu obyek tertentu, karakteristiknya, dan ini menjadi dasar untuk pengindividuan.

3. prinsip abstraksi (abstraction); kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menarik kesimpulan, dan berpikir secara logis.

4. prinsip sebab akibat (causation); kemampuan untuk menghubungkan sebab suatu peristiwa dan mengkaitkannya di dalam relasi sebab akibat.

5. prinsip ruang (spatiality); ini merupakan dasar geometri dan kemampuan untuk menangkap 3 dimensi dari ruang.

6. prinsip urutan waktu (temporality); kemampuan untuk mengikuti dan berpikir sesuai dengan suatu urutan yang terdahulu dan terbelakang.

7. prinsip moralitas (morality); dasar dari pola berpikir untuk membedakan yang benar dan salah.

Berdasarkan hal-hal di atas, Jones berkeyakinan bahwa setiap manusia normal mempunyai kapasitas ini sebagai dasar untuk menangkap suatu kebenaran yang obyektif. Yang diserang oleh para pemikir pascamodern sesungguhnya adalah proposisi material dari suatu ide. Dengan pengertian ini, kita tahu bahwa manusia mempunyai kapasitas untuk berpikir secara obyektif dan sekaligus kita bisa berhati-hati di dalam memutlakkan suatu proposisi material.

Model epistemologi ini sangat membantu di dalam mengerti kebenaran dan obyektivitas. Pascamodernisme cenderung melihat realitas itu sebagai sesuatu yang dinamis bukannya statis, terutama di dalam hal kebenaran yang berhubungan dengan agama yang biasanya diungkapkan dengan bahasa simbolis atau analogis. Memang benar bahwa bahasa agamawi itu bersifat analogis, tetapi ada keselarasan ide dari analogi-analogi tersebut. Misalnya pernyataan bahwa "Allah adalah Bapa surgawi kita" mengandung kebenaran analogis bahwa Allah itu bersifat melindungi, memperhatikan dan sebagainya. Sifat-sifat yang bertentangan dengan karakteristik tersebut dapat dikatakan tidak benar atau salah. Selain itu, Alkitab juga menyatakan bahwa Yesus adalah "jalan dan kebenaran dan hidup" (Yoh. 14:6). Dia juga mengklaim bahwa pengajaran-Nya adalah kebenaran dan kita akan dibimbing mengenal kebenaran (Yoh. 16:4-15). Namun di lain segi, Alkitab juga mengingatkan bahwa kita masih dalam proses, apa yang kita lihat sekarang tidak lebih adalah gambaran yang samar-samar di dalam cermin (1Kor. 13:12).

Ini merupakan suatu keseimbangan yang baik, di satu sisi manusia mempunyai kemampuan untuk mengenal kebenaran, di lain sisi manusia perlu berhati-hati agar tidak mudah memutlakkan pandangan pribadi tertentu. Hal ini berhubungan erat dengan persoalan obyektivitas. Apa yang dimaksud dengan obyektif? Kalau yang dimaksud dengan obyektif adalah keterlepasan sama sekali antara subyek dengan obyeknya, maka manusia tidak mempunyai obyektivitas yang demikian karena suatu pengetahuan itu selalu merupakan hasil interaksi antara subyek dengan obyek. Dalam hal ini pascamodernisme benar bahwa manusia selalu dipengaruhi oleh kebudayaannya, bahwa pemikiran seseorang itu selalu diwarnai oleh latar belakang, pendidikan, minat pribadi seseorang dan sebagainya. Sekalipun demikian, bukannya tidak akan ada obyektivitas sama sekali. John Feinberg di dalam kritiknya terhadap buku van Huysteen yang berjudul Theology and the Justification of Faith, mengatakan bahwa di dalam skema pengelompokkan secara kategoris, dimungkinkan untuk menyimpulkan suatu ketetapan umum di luar pengalaman seseorang. Misalnya ide tentang seekor anjing, seseorang dapat mengidentifikasikan seekor anjing karena adanya kesepakatan umum mengenai karakteristik seekor anjing. Seseorang tidak dapat, karena minat pribadinya, menyebut anjing sebagai kucing. Jadi pengesahan publik dari data yang dikemukakan memungkinkan seseorang mengidentifikasikan suatu obyek tertentu sebagai anjing, dalam pengertian ini sesuatu bisa dikatakan obyektif. Di dalam teologi Kristen, pengesahan dari komunitas Kristen sangat penting untuk mencapai obyektivitas. Alister McGrath di dalam bukunya The Genesis of Doctrine mengemukakan yang disebut "hermeneutika komunitas."8 Jadi tradisi yang diteruskan turun-temurun memainkan peran yang vital dalam teologi Kristen. Orang Kristen dapat mendeteksi suatu pengajaran dan konsep nilai tertentu dengan membandingkannya dengan tradisi.

Sebagai kesimpulannya, komunitas Kristen yang berpegang pada nilai gereja yang bersejarah pada umumnya setuju pada kerangka dasar dari pengajaran Kristen dan doktrin-doktrin utamanya. Namun ada isu-isu sekunder di dalam berteologi di mana dalam Kristen perlu terbuka untuk berdiskusi dan mengevaluasi ulang di dalam terang pengalaman dan bukti-bukti baru yang senantiasa berkembang.

2. Penyataan dan Alkitab

Di dalam alam pemikiran pascamodernisme ini obsesi dari teologi tradisional mengenai penyataan yang proposisional perlu dievaluasi. Ada banyak macam penyataan yang telah dikemukakan untuk mengakomodasi pengalaman manusia sekarang. Avery Dulles di dalam bukunya Models of Revelation membahas 5 macam model penyataan.9 Di dalam konteks kita, saya hanya akan menyoroti beberapa model. Salah satunya yaitu yang disebut "penyataan sebagai sejarah." Salah satu tokoh yang mengemukakan pandangan ini ialah G. E. Wright. Baginya, yang dimaksud dengan penyataan ialah tindakan atau perbuatan Allah di dalam sejarah, seperti pemanggilan Abraham, eksodus, dan klimaksnya yaitu karya Allah melalui inkarnasi. Dalam pengertian ini, Alkitab ialah catatan mengenai karya Allah di dalam sejarah. Yang disebut dengan sifat-sifat Allah ialah kesimpulan yang ditarik melalui perbuatan-perbuatan Allah tersebut. Sebetulnya konsep penyataan dari Neo-ortodoks termasuk di dalam kategori ini. Namun tekanan yang diberikan biasanya pada aspek "pertemuan" (encounter) di mana Allah yang transenden menerobos masuk ke dalam sejarah umat manusia. Hakekat dasar model ini ialah penyataan itu sesuatu yang dinamis bukan statis. Penyataan itu sesuatu yang "terjadi" bukannya sesuatu yang "adalah" (something that happens not something that is). Pada waktu mereka berbicara mengenai penyataan yang dimaksudkan adalah lebih kepada proses dari penyataan itu bukannya produk dari penyataan itu.

Model yang lain ialah penyataan sebagai "pengalaman di dalam" (inner experience). Yang dimaksud ialah penyataan diartikan sebagai pengalaman di dalam diri seseorang di mana ia merusakkan kedalaman atau keajaiban Allah. Jadi Alkitab dan doktrin Kristiani adalah ungkapan atau refleksi dari pengalaman ini. Model ini sangat populer di kalangan penganut pluralisme agama, karena berdasarkan pendekatan ini doktrin menjadi kurang penting, yang utama ialah pengalaman di dalam diri seseorang terhadap "Yang Mutlak." John Hick misalnya, lebih senang menyebut Allah sebagai "Kenyataan Akhir" (the ultimate reality) karena istilah ini lebih bisa mengakomodasi berbagai macam "allah" dari agama lain. Seorang pluralis dari India yang bernama Stanley Samartha mengemukakan "Sang Misteri" sebagai pusat dari semua pengalaman agama. Konsep penyataan yang demikian ini sulit untuk bisa diterima oleh kalangan Injili. McGrath menunjukkan dengan tepat bahwa pengalaman agamawi seseorang adalah explicandum bukan explicans adalah sesuatu yang perlu ditafsirkan bukannya penafsir.10 Namun saya ingin menyarankan bahwa kaum Injili bisa memanfaatkan sumbangsih dari Wright dan Barth di dalam doktrin penyataannya. Penyataan adalah apa yang Allah lakukan dalam sejarah, tetapi juga ada unsur proposisional. Karena suatu peristiwa tanpa ada penjelasannya bisa membawa kepada berbagai macam penafsiran. Penyataan juga personal, namun "pertemuan" (encounter) tanpa mengetahui obyeknya adalah suatu pengalaman yang kosong. Jadi doktrin penyataan yang biasa dianut oleh kaum Injili bisa diperkaya oleh sumbangsih-sumbangsih ini.

Karena penyataan juga bersifat proposisional, maka sewajarnya bahwa Alkitab adalah catatan dari penyataan Allah. Berdasarkan keyakinan orang percaya bahwa catatan tersebut dapat disandari dan benar adanya, maka Alkitab adalah firman Allah. Di dalam era pascamodern ini lebih baik aspek Alkitab yang perlu ditonjolkan adalah dapat dipercayainya Firman Tuhan tersebut (truthfulness) dari pada ketidakbersalahannya (inerrancy) yang memberikan konotasi Alkitab sebagai sesuatu yang statis, harafiah dan tepat sampai ke setiap detailnya (precision isnt). Hal lain yang perlu dikembangkan adalah doktrin iluminasi. Jadi peran Roh Kudus di dalam memberikan penafsiran yang dapat memenuhi tantangan pengalaman manusia saat kini perlu lebih ditekankan. Terkadang prinsip Sola Scriptura sering diartikan dengan kurang tepat, seolah-olah berteologi cukup dengan didasari Alkitab, melakukan eksegese dan menarik kesimpulan yang diperoleh secara "Alkitabiah" untuk menjawab setiap persoalan manusia segala zaman. Saya percaya bahwa berteologi di alam pascamodern ini membutuhkan interaksi terbuka yang terus-menerus antara Alkitab dengan faktor-faktor lain seperti tradisi, pengalaman dan akal manusia. Jadi Alkitab jangan diartikan sebagai satu-satunya sumber otoritas orang percaya tetapi sebagai sumber utama yang berotoritas di dalam kehidupan iman pengikut Kristus.

3. Hermeneutika

Pascamodernisme juga membawa tantangan yang berat di dalam bidang hermeneutika. Para ahli penafsir Alkitab generasi terdahulu selalu berpegang pada pedoman penafsiran yang berpusatkan pada sang penulis (author-centered) atau pada teksnya (text-centered). Dengan kata lain mereka percaya bahwa maksud penulisan itu bila diketahui secara obyektif dari teks yang ada atau paling tidak makna teks itu sendiri secara obyektif dapat diketahui. Tetapi para pemikir pascamodernisme seperti Deridda menganggap bahwa mustahil bisa mengetahui maksud yang sebenarnya dari penulis Alkitab. Yang ada hanyalah pandangan relatif yang bercampur dengan minat pribadi dari sang penafsir.11 Pandangan ini tentunya merupakan tantangan berat bagi kaum Injili yang selalu percaya bahwa menafsir itu adalah mencoba mengerti maksud yang sebenarnya dari pengarang tersebut. Ini juga didasarkan pada asumsi tentang pengajaran inspirasi dan iluminasi. Paulus mengatakan bahwa Allah memberikan penyataan kepada kita (1Kor. 2:10), dan pemikiran manusia yang telah diperbarui sanggup untuk menangkap kebenaran Allah di dalam kehidupan kita (Kol. 3:10). Yesus juga mengatakan bahwa Roh Kudus akan memimpin kita untuk mengerti pengajaran Yesus (Yoh. 14:15-27). Namun sekali lagi, hal ini perlu diimbangi dengan peringatan Alkitab yang lain bahwa perspektif kita terbatas untuk mengerti kebenaran itu sepenuhnya (1Kor. 13:12; Ul. 29:29). Kesimpulannya, kita adalah manusia yang diciptakan menurut gambar Allah dan dapat menyelami kehendak-Nya sampai tahap tertentu; namun manusia juga telah berdosa dan merupakan ciptaan terbatas yang mencoba mengerti yang tidak terbatas itu. Beberapa saran yang dikemukakan para teolog untuk mengatasi kebuntuan ini:

- D. A. Carson di dalam bukunya The Gagging of God mengakui beban budaya yang ada di dalam setiap pengungkapan manusia, bahkan ungkapan yang sederhana seperti "Yesus adalah Tuhan" bisa mempunyai pengertian yang berbeda-beda bagi telinga yang mendengarnya. Tetapi ia percaya bahwa idenya masih bisa dikomunikasikan walaupun secara lintas budaya. Contoh yang diberikannya diambil dari matematika yang disebut dengan Asymptote. Suatu garis melengkung bisa didekatkan kepada garis lurus sedemikian rupa sehingga hampir menyatu, tetapi tidak bisa melebur total.12 Dengan kata lain sang penafsir itu bisa mendapatkan pengertian yang cukup akurat (walaupun tidak sempurna) dari maksud pengarang melalui pemahaman yang terus menerus dari budaya, latar belakang dan pola berpikir penulis Alkitab.

- Gadamer mengajukan suatu proses yang disebut "menjaga jarak" (distanciation) dan "peleburan horizon" (fusion of horizon) untuk mengetahui maksud dari pengarang. Jadi melalui proses yang terus menerus dengan menjaga jarak melebur ke dalam horizon pengarang diharapkan terciptanya suatu pemahaman yang cukup tepat dari makna penulis Alkitab.13

- Grant Osborne di dalam bukunya Hermeneutical Spiral memberikan usulan lain yang disebut sebagai "proses seperti spiral." Dengan terus menerus mengajukan pertanyaan yang tepat dan mencari jawaban yang memadai maka selangkah demi selangkah penafsir bisa masuk ke dalam perspektif dari pengarang.14

Sebagai kesimpulan, pascamodernisme memunculkan tantangan tetapi sekaligus kesempatan bagi kaum Injili. Kita perlu secara seimbang menerima aspek positif dan menolak aspek negatif dari arus ini. Tujuan akhirnya ialah melayani generasi ini dengan lebih baik namun dengan tetap setia terhadap penyataan di dalam Tuhan Yesus Kristus.



TIP #02: Coba gunakan wildcards "*" atau "?" untuk hasil pencarian yang leb?h bai*. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA