Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 2 Tahun 1998 >  MERAYAKAN HIDUP BERSAMA > 
V. GLOBAL ETHIC: ETIK YANG MENGHARGAI PERBEDAAN DAN KEBERSAMAAN 

Parlemen Agama-agama Dunia yang diadakan pada tahun 1993 di Chicago, yang juga menjadi perayaan 100 tahun parlemen serupa di kota yang sama, agaknya menjadi tonggak kenangan dalam sejarah perjumpaan antar iman global, karena dalam parlemen inilah dokumen Toward a Global Ethic, An Initial Declaration (selanjutnya disingkat Global Ethic) di lansir dan ditandatangani oleh hampir seluruh wakil agama-agama dan tradisi-tradisi keagamaan sedunia. Dokumen Global Ethic dapat dilihat di internet: http://rain.org/~origin/gethic/ atau http://astro.temple.edu/~dialogue/Center/kung.htm.

Dokumen ini memakai kata etik (ethic) daripada kata etika (ethics), karena disadari bahwa etik lebih menunjuk pada sebuah sikap moral yang mendasar (a basic human moral attitude). Dalam proses perumusannya disadari beberapa hal yang bukan menjadi ciri dokumen ini:

1. Global Ethic bukanlah reduplikasi dari Declaration of Human Rights (1948). Dalam Global Ethic, agama menjadi dasar pijak perumusan dokumen, sedangkan dalam Declaration of Human Rights, agama hanya menjadi satu dari sekian banyak bahasan. Lebih lanjut, disadari bahwa etik (ethic) jauh lebih luas maknanya daripada hak (rights). Sekalipun bukan merupakan sebuah reduplikasi, namun Global Ethic bisa dipandang sebagai sebuah dukungan etis bagi Declaration of Human Rights.

2. Global Ethic bukanlah sebuah deklarasi politis. Sekalipun 'bukan menjadi sebuah deklarasi politis, namun Global Ethic memiliki juga relevansi pada level politis (bahkan ekonomis, sosial, kultural dan ekologis) dan mendukung upaya-upaya bagi tata politis yang adil.

3. Global Ethic bukanlah sebuah uraian moralistis. Sekalipun bukan menjadi sebuah uraian moralistis, namun Global Ethic berusaha memberikan dasar-dasar etis bagi pemecahan-pemecahan masalah-masalah moral yang riil.

4. Global Ethic bukanlah sebuah dokumen filosofis. Ia tidak memakai paradigma filosofis tertentu, sekalipun kita sudah melihat dokumen ini dalam kerangka roh zaman postmodernisme.

Lebih jauh ada beberapa sifat yang harus dipahami dari Global Ethic:

1. Global Ethic masuk dalam level etis yang paling mendasar, nilai-nilai yang mengikat, serta sikap-sikap dasariah yang paling fundamental. Global Ethic dengan demikian tidak pertama-tama berurusan dengan detil aturan legal dan hak-hak yang terkodifikasi.

2. Global Ethic harus menjadi sebuah konsensus agama-agama, namun juga mereka yang tidak terhisab dalam satu tradisi iman tertentu. Ciri ini penting dikedepankan karena Global Ethic sama sekali tidak bermaksud mengarah pada terbentuk satu agama tunggal yang bersatu (a unified religion), namun sebaliknya Global Ethic muncul sebagai konsensus dari semua agama yang ada, di mana masing-masing berupaya memberikan sumbangannya.

3. Global Ethic harus bersifat otokritis. Artinya, ia bukan saja mengalamatkan pesannya pada "dunia" namun juga pada "agama-agama" itu sendiri. Hal ini penting mengingat agama pada dirinya bersifat paradoksal, yaitu di satu sisi ia berpotensi mengupayakan kemanusiaan sejati, namun di sisi lain ia berpotensi pula melegitimasi segala bentuk ketidakadilan dan perendahan nilai kemanusiaan.

4. Global Ethic terkait dan berpijak pada kenyataan dan isu konkret. Dari awal hingga akhir, dunia yang disapa oleh dokumen ini harus dipahami "sebagaimana ia ada" (as it really is) dan bukan pertama-tama pada "sebagaimana ia seharusnya ada" (as it should be). Namun demikian, dipahami juga bahwa apa yang ideal itu tetap menjadi arah hidup bersama yang diupayakan bersama dengan beranjak dari apa yang real.

5. Global Ethic harus dapat dipahami secara umum. Itu berarti, argumen-argumen teknis dan jargon ilmiah disingkirkan. Semuanya harus diungkapkan dengan bahasa yang mudah dipahami dan mudah pula diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Sedikitnya para pembaca surat kabar biasa dapat memahaminya.

6. Global Ethic harus memiliki pendasaran religius. Sekalipun ia dialamatkan pula bagi mereka yang tak beragama, namun dokumen ini menyakini bahwa sebuah etik semestinya memiliki keterkaitan dengan - menurut istilah Paul Tillich - The Ultimate Concern, apapun nama yang dikenakan oleh masing-masing tradisi. Bahkan pada saat yang sama Global Ethic dapat dipandang oleh setiap agama dari dalam masing-masing tradisi yang ada. Dengan pola lingkaran konsentris menjadi jelas bahwa Global Ethic tidak berusaha mengingkari entitas keagamaan masing-masing.

Secara ringkas Global Ethic berawal dari isu dan soal nyata yang dihadapi seluruh komunitas dunia. Ia bukan sebuah perumusan etik yang sama sekali baru, karena pada dasarnya semua agama telah memilikinya. Karena itu menarik bahwa dalam dokumen etik yang dimaksud bersumber dari maxim indah yang muncul dalam hampir - jika tidak mau dikatakan semua - agama dunia, yaitu Aturan Emas (Golden Rule).

Baha'i: "Blessed is he who preferreth his brother before himself." (Baha'u'Ilah, Tablets of Bahha'u'llah, 71)

Buddhism: "Hurt not others in ways that you yourself would find hurtful." (Udana-Varga, 5: 18)

Christianity: "All things whatsoever ye would that men should do to you, do ye even so to them." (Matthew 7:12)

Confucianism: "Do not unto others what you would not have them do unto you." (Analect 15:23)

Hinduism: "This is the sum of duty: do naught unto others which would cause you pain if done to you." (Mahabharata 5:1517)

Islam: "No one of you is a believer until he desires for his brother that which he desires for himself' (Sunnah)

Jainism: "In, happiness and suffering, in joy and grief, we should regard all creatures as we regard our own self." (Lord Mahavira, 24`h Tirthankara)

Judaism: "What is hateful to you, do not to your fellow man. That is the law. all the rest is commentary." (Talmud, Shabbat 31 a)

Native American: "Respect for all life is the foundation." (The Great Law of Peace)

Sikhism: "Don't create enmity with anyone as God is within everyone" (Guru Arjan Devji 259, Guru Granth Sahib)

Zoroastrianism: "That nature only is good when it shall not do unto another whatever is not good for it own self." (Dadistan-i-Dinik, 94:5)

Dokumen secara ringkas mengakui bahwa Aturan Emas itu tak mau tidak menunjuk pada etik utama: Kemanusiaan bersama!

Selanjutnya terdapat empat poros utama yang dianggap dapat mengarahkan sikap etis dalam kehidupan bersama. Untuk lebih mudah, saya akan mencoba membagankan keempat poros utama tersebut sekaligus mengintrodusir skema utama dokumen (lihat halaman terakhir artikel ini).



TIP #27: Arahkan mouse pada tautan ayat untuk menampilkan teks ayat dalam popup. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA