Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 2 Tahun 1998 > 
MERAYAKAN HIDUP BERSAMA 
Penulis: Joas Adiprasetya

Masih sahkah membicarakan idealisme bersama untuk membangun bangsa dengan ingatan yang tertancap pada reruntuhan bangunan gedung dan perumahan penduduk setelah medio Mei 1998? Masih sahkah membicarakan peran teologi dan agama (Kristen) dalam pembangunan bangsa, dengan ingatan pada gagapnya gereja terlibat dalam kehidupan perempuan etnis Tionghoa yang telah terenggut kemanusiaannya?

Pertanyaan yang ingin saya jawab melalui tulisan ini kurang lebih begini: Apakah artinya kehadiran komunitas kristiani dalam sebuah kebersamaan yang majemuk dari bangsa ini? Bagaimana kebersamaan ini dapat dirayakan dan apa pula yang menjadi dasar bersama (common ground) bagi kelangsungan hidup bersama ini? Apakah sesungguhnya arti sesama bagi saya?

 I. AMBIGUITAS HIDUP MODERN

"Every great work of civilisation is at the very same time a work of barbarism." Kalimat Walter Benjamin tersebut sebenarnya sedang menggugat pandangan dunia modern yang ambigu, khususnya dengan pameo "kembali pada subjek" (turn to the subject); di satu sisi ia memang berniat emansipatoris, dengan desakannya pada kehidupan demokratis dan modem; namun di sisi lain ia pun menjebak manusia pada kesewenangan. Modernisme telah menyuguhkan suatu hidangan seragam dalam peradaban manusia, tanpa sajian beragam dari banyak entitas. Kebenaran dikuasai oleh satu budaya lokal yang diglobalisasikan dan menguasai budaya-budaya lokal lainnya.

Kita mencatat pada aras global, bagaimana menjadi anak muda modern berarti memakai jeans cowboy, berarti makan ayam goreng Kentucky, berarti menghabiskan waktu bersama MTV, berarti mengikatkan diri dengan internet, berarti memboroskan energi otak dengan menghafalkan semua pemain NBA.

Maka muncul beberapa istilah untuk mencirikan gejala ini: McWorld (Barber: McDonald's, Macintosh, McGyver, dan Mc-Mc lainnya), Californianization (Ohmae), McDonaldization (Ritzer), atau juga Coca Colonization (Schreiter)

Pada aras nasional, kita pun mencatat, suatu masyarakat yang dijawanisasikan, suatu masyarakat yang menyukai penyeragaman, suatu masyarakat yang menuturkan secara ideal emansipasi antar agama dan antarras namun yang secara real mensahkan bahkan mengerjakan diskriminasi.

Pada aras gerejawi, kita tak mungkin melupakan kecenderungan pejabat gereja untuk mengutuk semua pemahaman iman anggota jemaat yang "melenceng," umat yang menuntut perubahan warna ibadah digembalakan secara khusus, anggota yang menemukan tapak spiritualitas yang lain di sidik atas nama "Ajaran Resmi Gereja."

Satu entitas sungguh-sungguh sudah menjadi patron bagi entitas lain dan entitas yang majemuk dianggap berkualitas lebih rendah ketimbang yang lainnya. Dan karenanya pantas disakiti dan dilecehkan. Bangsa kits memang tak pernah mau belajar dengan sungguh apa artinya perbedaan dan menerima realitas itu dengan dewasa. Bahkan kita cuma mau belajar bagaimana caranya menyeragamkan kenyataan hidup bersama yang beragam. Ketika penyeragaman menjadi sukar terjangkau karena perbedaan yang terlanjur menyolok (rasial atau agamawi atau sosio ekonomis) maka harus ada yang dikorbankan demi kelangsungan proses penyeragaman dan penyamaan itu tadi.

 II. MENGHARGAI WAJAH SANG LAIN

Yang kita perlukan sekarang adalah sebuah cara pandang baru yang mengakui perbedaan sebagai kekayaan, yang merayakan keberagaman secara bersama-sama. Kita mencatat munculnya postmodernisme sebagai bagian dari cita-cita semacam ini. Maka, tepat apa yang ditegaskan oleh David Tracy, "The real face of postmodernity, as Emmanuel Levinas sees with such clarity, is the face of the other, the face that commands "Do not kill me," the face that insists, beyond Levinas; do not reduce me or anyone else to your grand narrative" (David Tracy, Theology and the Many Faces of Postmodernity, h. 108). Tracy, di satu sisi, memang ingin menolak sisi barbar dari hidup modern, namun di sisi lain, ia ingin pula menyatakan bahwa dunia postmodern yang sedang kita hadapi jelas menuntut suatu sikap penerimaan terhadap wajah-wajah dari yang lain (the others).

Modernitas telah berhasil mendidik manusia dalam sebuah kehidupan rasional menuju kemajuan dan kemandirian. Namun ia gagap dan gagu ketika harus berhadapan dengan kemajemukan. Maka wajah ambigu modernitas semakin gamblang ketika wajah majemuk dunia semakin menguat pula. Rasionalitas menjadi instrumen untuk dipakai sebagai alat melegitimasi penindasan, sebagaimana dikritik oleh Jurgen Habermas misalnya.

Tracy dengan sengaja mengutip pemikiran Emmanuel Levinas, yang memang secara mendasar ingin mempersoalkan arti kehadiran orang lain (the others) yang berbeda dalam hidup bersama. Bagi Levinas, yang mengaku banyak dipengaruhi oleh pemikiran filosofis Yahudi (khususnya yang disistematisasi oleh Martin Buber dan Franz Rosenzweig), filsafat Barat (modern) selalu memperjuangkan totalitas, yaitu keseluruhan yang berpangkal pada ego sebagai pusatnya. Filsafat telah menjadi egologi!

Dalam magnum opusnya, Totality and Infinity, Levinas mengajukan "Yang Tak Berhingga" untuk mendobrak tendensi totalistis modernisme. Yang Tak Berhingga itu - secara radikal - dijumpai dalam Yang Lain. Dalam hal ini Levinas memakai terminologi khas: Wajah! Aku berjumpa dengan orang lain dan aku menjadi orang lain pula bagi mereka. Maka di sini perjumpaan intersubjektif menjadi perjumpaan etis. Wajah orang lain menyapa saya, mengusik saya, mengundang respon saya. Aku hadir untuk sesama tanpa boleh ada tuntutan bahwa sesama harus pula hadir untuk aku. Singkatnya, hubungan intersubjektif - dari perspektif diriku! - selalu bersifat asimetris dan bukan berdasarkan prinsip resiprositas.

Orang lain (Wajah) itu tak mungkin diselami sepenuhnya. Ia adalah tamu, pendatang, orang asing. Dalam bahasa keagamaan Levinas menyatakan bahwa orang asing itulah "para janda dan yatim piatu," mereka yang tersingkir dan rentan. Kepada merekalah kita harus bertanggung jawab. Tanggung jawab sebagai tuntutan etis yang harus dilakoni memaksa kita pula untuk tidak mengasimilasi orang lain dalam pemahaman dan sistem pemikiran kita. "The face of the Other resists my power to assimilate the Other into knowledge; it resists possession..." Jika kita menunggu untuk memahami orang lain, maka itu sudah terlalu terlambat.

Dengan demikian, fundamentum bagi etika terletak pada tanggung jawab satu sama lain - dalam perjumpaanku dengan Wajah orang lain, atau dalam bahasa Levinas, dalam situasi muka dengan muka (face to face situation). Pada ladang semacam ini tanggung jawab lahir.

Bersamaan dengan itu Levinas mengajukan kritik atas filsafat modern yang berawal dari pemikiran Yunani. Baginya, filsafat Yunani dan modern memandang dunia real sebagai kenyataan yang harus dipahami dan diselidiki, namun bukan kenyataan yang teralami. Orang lain disikapi bukan sebagai wajah yang harus dikasihi, namun sebagai orang lain yang dipahami dan dihisabkan dalam sebuah sistem institusional. Dan karenanya tak lagi personal. Tak ada lagi kisah hidup yang dapat dituturkan. Manusia menjadi makhluk anonim, tanpa nama, bukan lagi manusia yang berbeda dan beragam, namun sama, sejenis dan seragam, dalam dunia totaliter. Mereka dijebak dalam sebuah sistem yang memberi nasihat, "Jangan berani untuk menjadi berbeda." Tak ada tempat bagi perbedaan dalam sistem semacam ini. Tak ada Wajah orang lain dalam dunia real yang dipahami. Persis sama seperti kisah suci tentang kisah Yesus yang harus fisika pemikiran Barat ditelanjangi dari tempat persembunyiannya. Derrida dengan ini tidak bermaksud menghancurkan (desctruction) metafisika, seperti yang dicita-citakan oleh fenomenologi Heidegger, namun membongkar (deconstruction) metafisika. Secara runtut Nicholas Rescher pernah mensketsakan pendirian dasar dekonstruksi sebagai berikut:

1. Teks apa pun mengakui beragam interpretasi atau konstruksi.

2. Konstruksi yang beragam ini sama-sama bermanfaat: tak satu pun definitif, secara unik benar; bahkan tak satu pun lebih meyakinkan daripada yang lain.

3. Interpretasi apapun dari sebuah teks adalah teks yang lain.

4. Dengan demikian, setiap interpretasi dari sebuah teks harus meruntuhkan dirinya sendiri ke dalam kemajemukan varian (yang bersama-sama bermanfaat).

Kita melihat adanya kesesuaian antara pendirian 1 dan 3, bahwa rupanya terdapat kemajemukan (pluralitas) interpretasi atas teks. Kemudian, pendirian 2 menandaskan bahwa setiap interpretasi sama-sama bermanfaat sekaligus sama-sama tidak memadai. Juga pada pendirian 4 kita melihat diteguhkannya relativisme tekstual secara utuh. Dengan prinsip pluralitas dan relativitas interpretasi ini sebenarnya kita melihat potensi besar dekonstrusi untuk mengerjakan proses destabilisasi atas hirarki fondasional yang sepertinya tak tertanyakan (final). Selubung logika fondasional lantas ditelanjangi dan "makna final" itu akhirnya dapat direlativir dengan makna-makna lain. Dengan kata lain, dengan memakai kata-kata Lee Kyoo-Eun, "deconstructive logic can function as an operative force by which the marginalized are to be liberated from the centered." Gagasan operasional Derrida ini akhir-akhirnya berdampingan erat dengan kritik Lyotard atas apa yang dinamakan Grand Narratives atau Kisah Agung, yang telah mengasingkan naratif-naratif kecil dan lokal.

 IV. AGAMA-AGAMA DAN ETIKA PEMBEBASAN

Bersamaan dengan itu muncul disputasi hebat dengan memasalahkan arti keberagaman agama-agama di dunia. Kekristenan yang telah betah dengan sebuah dunia tunggal yang homogen, kini harus berjumpa dengan agama lain dan dengan demikian dituntut mengambil sikap reflektif atas kehadiran mereka. Untuk itu berbagai paradigma theologia religionum bermunculan. Kita mencatat tiga paradigma utama, yaitu eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme.

Saya tidak membahas secara rinci ketiga paradigma ini, tetapi cukup untuk memberikan sebuah penilaian umum, bahwa ketiga paradigma tersebut nyata-nyatanya tak mampu memberi respon memadai terhadap kenyataan pluralitas agama-agama. Yang satu terlalu arogan dengan sikap ilmiah yang terlalu a priori (eksklusivisme), yang lain tak mampu bersikap konsisten dalam menerjemahkan makna universalitas kasih Allah sekaligus partikularitas Kristus (inklusivisme), yang terakhir pun tak mampu meneguhkan secara utuh keunikan iman kristiani (pluralisme).

Ketidakmampuan ketiga paradigma ini dibarengi dengan kenyataan global yang makin mendesak untuk ditanggapi, yaitu tendensi kebangkrutan kemanusiaan. Peperangan, kerusakan lingkungan hidup, devaluasi makna hubungan keluarga, serta setumpuk soal-soal global lain, akhirnya berujung pada turunnya nilai kemanusiaan itu sendiri. Malah ironisnya, semua ini tak jarang dilegitimasi oleh nilai-nilai religius. Oleh karena itu yang diperlukan sekarang adalah sebuah sikap beragama yang menyentuh langsung pada persoalan-persoalan nyata dunia. Singkatnya, dibutuhkan sebuah sebuah etik bersama yang muncul dari agama-agama yang sekaligus berwajah liberatif. Kita punya agenda bersama, yaitu menemukan dasar etis yang berwajah ganda: [1] etik yang dimiliki semua agama, yang kemudian dapat menjadi sikap moral yang secara mendasar diakui oleh agama-agama; serta [2] etik yang fungsional dan liberatif, etik yang membebaskan dan yang menempatkan kemanusiaan, the humanum, sebagai kriterium utamanya.

Kegagalan theologia religionum selama ini terletak pada ketekunannya pada diskursus yang cuma bersifat akademis, dogmatis, serta sekedar menjadi proyek resmi pemerintah. Dibutuhkan segera sebuah theologia religionum yang berwajah etis, menyentuh langsung persoalan hidup bersama. Dengan kesadaran inilah saya mengajak kita semua beralih pada isu utama tulisan ini: Etik Global (Global Ethic)!

 V. GLOBAL ETHIC: ETIK YANG MENGHARGAI PERBEDAAN DAN KEBERSAMAAN

Parlemen Agama-agama Dunia yang diadakan pada tahun 1993 di Chicago, yang juga menjadi perayaan 100 tahun parlemen serupa di kota yang sama, agaknya menjadi tonggak kenangan dalam sejarah perjumpaan antar iman global, karena dalam parlemen inilah dokumen Toward a Global Ethic, An Initial Declaration (selanjutnya disingkat Global Ethic) di lansir dan ditandatangani oleh hampir seluruh wakil agama-agama dan tradisi-tradisi keagamaan sedunia. Dokumen Global Ethic dapat dilihat di internet: http://rain.org/~origin/gethic/ atau http://astro.temple.edu/~dialogue/Center/kung.htm.

Dokumen ini memakai kata etik (ethic) daripada kata etika (ethics), karena disadari bahwa etik lebih menunjuk pada sebuah sikap moral yang mendasar (a basic human moral attitude). Dalam proses perumusannya disadari beberapa hal yang bukan menjadi ciri dokumen ini:

1. Global Ethic bukanlah reduplikasi dari Declaration of Human Rights (1948). Dalam Global Ethic, agama menjadi dasar pijak perumusan dokumen, sedangkan dalam Declaration of Human Rights, agama hanya menjadi satu dari sekian banyak bahasan. Lebih lanjut, disadari bahwa etik (ethic) jauh lebih luas maknanya daripada hak (rights). Sekalipun bukan merupakan sebuah reduplikasi, namun Global Ethic bisa dipandang sebagai sebuah dukungan etis bagi Declaration of Human Rights.

2. Global Ethic bukanlah sebuah deklarasi politis. Sekalipun 'bukan menjadi sebuah deklarasi politis, namun Global Ethic memiliki juga relevansi pada level politis (bahkan ekonomis, sosial, kultural dan ekologis) dan mendukung upaya-upaya bagi tata politis yang adil.

3. Global Ethic bukanlah sebuah uraian moralistis. Sekalipun bukan menjadi sebuah uraian moralistis, namun Global Ethic berusaha memberikan dasar-dasar etis bagi pemecahan-pemecahan masalah-masalah moral yang riil.

4. Global Ethic bukanlah sebuah dokumen filosofis. Ia tidak memakai paradigma filosofis tertentu, sekalipun kita sudah melihat dokumen ini dalam kerangka roh zaman postmodernisme.

Lebih jauh ada beberapa sifat yang harus dipahami dari Global Ethic:

1. Global Ethic masuk dalam level etis yang paling mendasar, nilai-nilai yang mengikat, serta sikap-sikap dasariah yang paling fundamental. Global Ethic dengan demikian tidak pertama-tama berurusan dengan detil aturan legal dan hak-hak yang terkodifikasi.

2. Global Ethic harus menjadi sebuah konsensus agama-agama, namun juga mereka yang tidak terhisab dalam satu tradisi iman tertentu. Ciri ini penting dikedepankan karena Global Ethic sama sekali tidak bermaksud mengarah pada terbentuk satu agama tunggal yang bersatu (a unified religion), namun sebaliknya Global Ethic muncul sebagai konsensus dari semua agama yang ada, di mana masing-masing berupaya memberikan sumbangannya.

3. Global Ethic harus bersifat otokritis. Artinya, ia bukan saja mengalamatkan pesannya pada "dunia" namun juga pada "agama-agama" itu sendiri. Hal ini penting mengingat agama pada dirinya bersifat paradoksal, yaitu di satu sisi ia berpotensi mengupayakan kemanusiaan sejati, namun di sisi lain ia berpotensi pula melegitimasi segala bentuk ketidakadilan dan perendahan nilai kemanusiaan.

4. Global Ethic terkait dan berpijak pada kenyataan dan isu konkret. Dari awal hingga akhir, dunia yang disapa oleh dokumen ini harus dipahami "sebagaimana ia ada" (as it really is) dan bukan pertama-tama pada "sebagaimana ia seharusnya ada" (as it should be). Namun demikian, dipahami juga bahwa apa yang ideal itu tetap menjadi arah hidup bersama yang diupayakan bersama dengan beranjak dari apa yang real.

5. Global Ethic harus dapat dipahami secara umum. Itu berarti, argumen-argumen teknis dan jargon ilmiah disingkirkan. Semuanya harus diungkapkan dengan bahasa yang mudah dipahami dan mudah pula diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Sedikitnya para pembaca surat kabar biasa dapat memahaminya.

6. Global Ethic harus memiliki pendasaran religius. Sekalipun ia dialamatkan pula bagi mereka yang tak beragama, namun dokumen ini menyakini bahwa sebuah etik semestinya memiliki keterkaitan dengan - menurut istilah Paul Tillich - The Ultimate Concern, apapun nama yang dikenakan oleh masing-masing tradisi. Bahkan pada saat yang sama Global Ethic dapat dipandang oleh setiap agama dari dalam masing-masing tradisi yang ada. Dengan pola lingkaran konsentris menjadi jelas bahwa Global Ethic tidak berusaha mengingkari entitas keagamaan masing-masing.

Secara ringkas Global Ethic berawal dari isu dan soal nyata yang dihadapi seluruh komunitas dunia. Ia bukan sebuah perumusan etik yang sama sekali baru, karena pada dasarnya semua agama telah memilikinya. Karena itu menarik bahwa dalam dokumen etik yang dimaksud bersumber dari maxim indah yang muncul dalam hampir - jika tidak mau dikatakan semua - agama dunia, yaitu Aturan Emas (Golden Rule).

Baha'i: "Blessed is he who preferreth his brother before himself." (Baha'u'Ilah, Tablets of Bahha'u'llah, 71)

Buddhism: "Hurt not others in ways that you yourself would find hurtful." (Udana-Varga, 5: 18)

Christianity: "All things whatsoever ye would that men should do to you, do ye even so to them." (Matthew 7:12)

Confucianism: "Do not unto others what you would not have them do unto you." (Analect 15:23)

Hinduism: "This is the sum of duty: do naught unto others which would cause you pain if done to you." (Mahabharata 5:1517)

Islam: "No one of you is a believer until he desires for his brother that which he desires for himself' (Sunnah)

Jainism: "In, happiness and suffering, in joy and grief, we should regard all creatures as we regard our own self." (Lord Mahavira, 24`h Tirthankara)

Judaism: "What is hateful to you, do not to your fellow man. That is the law. all the rest is commentary." (Talmud, Shabbat 31 a)

Native American: "Respect for all life is the foundation." (The Great Law of Peace)

Sikhism: "Don't create enmity with anyone as God is within everyone" (Guru Arjan Devji 259, Guru Granth Sahib)

Zoroastrianism: "That nature only is good when it shall not do unto another whatever is not good for it own self." (Dadistan-i-Dinik, 94:5)

Dokumen secara ringkas mengakui bahwa Aturan Emas itu tak mau tidak menunjuk pada etik utama: Kemanusiaan bersama!

Selanjutnya terdapat empat poros utama yang dianggap dapat mengarahkan sikap etis dalam kehidupan bersama. Untuk lebih mudah, saya akan mencoba membagankan keempat poros utama tersebut sekaligus mengintrodusir skema utama dokumen (lihat halaman terakhir artikel ini).

 VI. KESIMPULAN

1. Upaya kita bersama untuk membangun bangsa memang menjadi makin rumit dan sulit, apalagi dengan holocaust nasional yang kita alami bersama. Dekonstruksi atas tatanan politis yang dicitakan (baca: reformasi) telah menjadi destruksi besar-besaran (baca: deformasi).

2. Di tengah duka itu, tetap saja kita tak boleh berdiam diri. Apa yang saya sedang sajikan ini sebenarnya pun menjadi sebuah sumbangan pemikiran untuk (kembali) membangun bangsa kita. Rasanya kita harus sungguh-sungguh kembali pada dasar hidup bersama yang didasari kemanusiaan.

3. Kita membutuhkan sebuah etik yang mendasar, yang menjadi konsensus semua agama di Indonesia (bukan hanya 5 agama), yang ternyata pula telah disepakati secara global. Etik yang sungguh memberi dasar bagi perjuangan pembebasan dari semua tiran yang tak manusiawi dan yang tak memanusiakan manusia; suatu etik yang liberatif.

4. Dalam hal ini pula rasanya kita perlu melakukan sebuah kajian menyeluruh mengenai kaitan Pancasila dan Etika Global. Apakah sungguh Pancasila sudah menjadi sebuah common ground yang memberi kemungkinan bagi sebuah etik yang dapat disepakati bersama sekaligus fungsional, atau malah ia menjadi sebuah ideologi yang melegitimasi ketidakbenaran yang melecehkan kemanusiaan?

5. Dari pemikiran Levinas kita disegarkan untuk melihat bahwa masing-masing kita tak hidup sendirian. Ada orang lain, ada wajah lain, wajah yang tak serupa dengan wajah kita masing-masing, yang membentuk sebuah komunalitas hidup yang tak seragam namun beragam. Maka, jelas bagi kita dituntut sebuah sikap hidup yang bertanggung jawab: Aku ada demi mereka. Demi kemanusiaan itu sendiri!

6. Dengan itu pula sikap teologis yang arogan terhadap agama-agama lain harus secara teguh kita, tinggalkan. Juga sebuah sikap tak acute pada perbedaan harus kita kikis. Kita berbeda dan karena itu kita punya alasan untuk bersama-sama. Kita tetap sebangsa bukan karena kita sama dan seragam. Kita sebangsa karena kita berbeda dan dalam perbedaan itulah Allah menempatkan kita bersama dalam satu ruang hidup yang satu: Indonesia!

7. Akhirnya, benarlah apa kata Starets dalam Karamazov Bersaudaranya Dostoyevski, "Saya lebih bersalah dari siapa pun!"

 SEBAGIAN PUSTAKA PILIHAN

Beversluis, J. (peny.). A Sourcebook for Earth's Community of Religions. Grand Rapids/New York: CoNexus Press/Global Education Associates, 1995.

Boyne, R. & Rattansi, A. (peny.). Postmodernisme and Society. London: MacMillan, 1990.

DeSmet, R. "Modernity and Postmodernity" Indian Theological Studies 30, 1993.

Lee Kyoo-Eun. "Abstract" dari disertasinya, Deconstructive Logic in Derrida's Philosophy. Seoul: Ewha Womans University, 1993.

Levinas, E. Totality and Infinity. Pittsburgh: Duquesne University, 1969.

Lyotard, J. The Postmodern Condition: A Report on Knotivledge. Minneapolis: University of Minnesota Press, 1984.

Smith, S.G. The Argument to the Other; Reason beyond Reason in the Thought of Karl Barth and Emmanuel Levinas. California: Scholars Press, 1983.

Tracy, David. "Theology and the Many Faces of Postmodernity" Theology Today 1994.

Wittgenstein, L. Philosophical Investigations. Oxford: Blackwell, 1953.

http://rain.org/~origin/gethic/

http://www.ed.uiuc.edti/COE/EPS/PES-Yearbook/97_pre/peters.html

http://astro.temple.edu/~dialogue/Center/kung.htm

A GLOBAL ETHIC

The Declaration of the Parliament of the World's Religions

1. No new global order without a new global ethic

2. A fundamental demand: Every human being must be treated humanely

- "What you do not wish done to yourself, do not do to others" (Golden Rule)

3. Four irrevocable directives

- A culture of non-violence - "There is no survival for and respects for life: "You humanity without global shall not kill" - "Have peace!" respect for life!"

- A culture of tolerance and a - "There is no global peace life of truthfulness: "You without global justice!" shall not lie"- "Speak and act truthfully!"

- A culture of solidarity and a - "There is no global justice just economic order: "You without truthfulness and shall not steal" - "Deal humaneness!" honestly and fairly!"

- A culture of equal rights - "There is no authentic and partnership between humaneness without a living men and women? "You shall together in partnership!" not commit sexual immorality" - "Respect and love one another!"

4. A Transformation of consciousness



TIP #26: Perkuat kehidupan spiritual harian Anda dengan Bacaan Alkitab Harian. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA