Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 2 Tahun 1998 > 
ETIKA AMSAL SALOMO 
Penulis: A. A. Sitompul
 PENDAHULUAN

Artikel ini mencoba untuk menyajikan sumber etika yang relevan bagi manusia Indonesia masa kini. Tentu kita sering menjumpai pertanyaan mengenai apakah etika atau perilaku yang terdapat pada masa Alkitab, khususnya dalam Perjanjian Lama, dapat diterapkan, pada masa kini. Apakah kita dapat menanamkan suatu karakter bangsa asing (bangsa Israel) kepada suatu umat yang terpisah kurun waktu lebih dari dua ribu tahun? Apakah titik tolak, norma, kriteria, pendekatan atau metodologinya? Di sini kita akan membahas dengan tuntas pertanyaan-pertanyaan di atas tadi dengan membahas etika Amsal Salomo dan kaitannya dengan kitab-kitab lain yang ada dalam Perjanjian Lama.

 I. ISTILAH ETIKA

Kata ini diambil dari bahasa Gerika EBoc atau tj6oS (untuk penggunaannya dalam Perjanjian Baru lihat Luk 1:9; 2:42; 22:39; Yoh 19:40; Kis 6:14; 15:1; 16:21; 21:21; 25:16; 26:3; 28:17; Ibr 10:25; dalam bentuk jamak lihat 1Kor 15:33), yang dapat diterjemahkan sebagai kelaziman, kebiasaan, atau adat istiadat. Pengertian modern tentang etika ternyata tidak sama dengan yang dimaksud oleh istilah dalam bahasa Yunani di atas. Pengertian modern dari etika, terutama etika Kristen, adalah pembahasan perilaku dan sikap yang baik serta langkah-langkah praktis agar manusia dapat mengembangkan suatu hidup yang penuh tanggung jawab di hadapan Allah yang berlaku di segala tempat dan waktu. Untuk lebih dekat dengan pengertian modern dari etika ini lebih cocok mempelajari istilah Ibrani musar (disiplin/pengajaran) atau derek (jalan, langkah) yang banyak ditemukan dalam kepustakaan hikmat Perjanjian Lama.1400

 II. TEMA DAN KESATUAN STRUKTUR

Banyak penafsir mencari tema yang mendasari seluruh Kitab Amsal. Ada yang mengusulkan judul pada awal kitab sebagai tema (Ams 1:7). Berdasarkan persamaan bilangan (numerical equivalents) dalam huruf Ibrani, P.W. Skehan membagi Kitab Amsal ke dalam tujuh bagian.1401 Sedangkan U. Skladny membagi komposisi Amsal ke dalam empat koleksi. Koleksi pertama berisi tiga sub tema (Ams 10-15): orang benar dan orang fasik, TUHAN dan raja, masalah-masalah ekonomi perdagangan kemasyarakatan. Tema koleksi pertama semata-mata mengenai kontras antara orang benar dan orang fasik di mana kategori benar dan fasik cenderung dilihat dari etika agama. Aspek pengetahuan dari hikmat kurang penting, karena penekanan lebih kepada kualitas perilaku (sittliche qualitaet). Maka pertanggungjawaban individu kepada masyarakat berdasarkan keadilan dan kebenaran. Wilayah kekuasaan raja dan ketergantungan pada raja juga dibatasi oleh keadilan dan kebenaran.

Koleksi kedua berisi empat sub tema (Amsal 16-22:16): TUHAN dan raja, orang benar dan orang fasik, orang berhikmat dan orang bodoh, perdagangan dan kemasyarakatan. Bila koleksi pertama lebih menekankan sikap dan nasib seseorang (Haltung-Schicksal Zusammenhang), koleksi kedua lebih mengacu kepada masalah keadilan hukum (juristische Termini) dan perilaku manusia yang konkret, akibat perbuatannya, dan kaitan sebab akibat dari suatu perbuatan (Tatfolge-Zusammenhang). Juga pada koleksi kedua memiliki lebih banyak nats dengan konteks atau lifesetting pendidikan (Unterweisung).

Pendidikan di Israel Kuno berasal dari keluarga, imam, nabi, sastrawan, dan kaum bijak, termasuk juga pendidikan istana di Yerusalem. Maka konteks amsal dapat ditelusuri dari klen atau keluarga, istana raja, sampai sekolah yang menyimpan peristiwa atau arsip Taurat. H.W. Wolff dan E. Gerstenberger melihat keberadaan Sippenethos (etos klen). Sedangkan C.R. Fontaine menekankan adanya gerakan hikmat dalam bentuk lisan di tengah-tengah masyarakat.1402 Meskipun demikian tidak dapat disangkal bahwa secara resmi semua hikmat dipelihara dalam istana kerajaan sejak Salomo dan sekaligus menjadi pedoman yang berlaku bagi setiap orang Israel.

Kelompok ketiga berisi tiga sub tema (Ams 25-27): alam perekonomian kemasyarakatan, orang berhikmat (cerdik) dan orang fasik (bodoh), TUHAN dan raja. Tema koleksi ketiga lebih pada etika petani (Bauernethik) yakni sikap terhadap orang-orang sederhana yang hidup dalam alam pertanian. Mereka adalah kelompok sosial yang rendah. Kehidupan mereka selalu diancam kelaparan dan pengungsian.

Koleksi keempat berisi empat sub tema (Amsal 28-29): kerajaan dan penguasa, orang benar dan orang jahat, kemasyarakatan dan perekonomian, TUHAN. Tema koleksi keempat menyangkut sikap hidup (Haltung-Schicksal Zusammenhang) orang kepada kaum miskin dan perilaku raja supaya sikap itu dikatakan benar (berhikmat). Maka koleksi ini banyak menyinggung masalah hukum dan sosial, petunjuk bagi pegawai kerajaan supaya mereka bersikap benar dan memerintah dengan arif. Menurut Skladny, koleksi keempat berisi rambu-rambu bagi pemerintahan (Regentenspiegel), sehingga ia berkesimpulan bahwa semua koleksi amsal tersebut berasal dari istana raja. Skladny memang lebih banyak meneliti koleksi-koleksi amsal, tetapi kurang memperhatikan amsal-amsal itu sendiri secara individual termasuk jenis sastranya. Akibatnya, ia tidak melihat bahwa banyak di antara amsal-amsal itu berasal dari rakyat namun demikian, Skladny telah menyajikan pengamatan yang menarik tentang Kitab Amsal yakni terlibatnya unsur-unsur ekonomi (Wirtschaft) dan masyarakat (Gesellschaft) dalam setiap koleksi. Amsal-amsal melayani masyarakat demi kesejahteraan hidup.

Donald K. Berry menyajikan tema besar dalam Kitab Amsal secara keseluruhan dan tema khusus dalam Ams 1-9 dan Ams 10-31.1403 Ada beberapa konsep moral yang penting. Pertama, konsep tentang dua jalan (baik dan jahat) yang merupakan bagian dari ajaran tentang pembalasan (retribution) yang menuntut perilaku etis. Tujuan ajaran ini adalah supaya orang memfokuskan diri kepada berkat (sesuai dengan hikmat, kebenaran dan kerajinannya) dan menjauhkan diri dari petaka atau penderitaan yang disebabkan oleh kebodohan, kejahatan dan kemalasan (bdk. Ams 15:9; 14:12; 19:23). Kedua, konsep takut akan TUHAN yang mengacu kepada iman. Di sini lebih ditekankan unsur pemahaman intelektual, karena orang yang bodoh/fasik adalah orang yang tidak memahami adanya Allah (bdk. Maz 14:1). Ketiga, ajaran untuk merenungkan amsal-amsal supaya manusia memperoleh pedoman moral yang benar. Pengajaran ini tidak mengambil bentuk imperatif, melainkan bentuk indikatif pemberitahuan. Untuk itu, amsal-amsal harus direnungkan. Keempat, Hikmat berisi nilai-nilai khusus yang lebih berarti daripada benda berharga apapun (Ams 16:16; 23:23; 24:3-4). Hidup yang memiliki hikmat membawa manusia kepada kepemilikan karakter tertentu di mana ia hidup dengan kesadaran apa yang benar dan salah (bdk. Ams 20:5; 19:8; 24:14). Hikmat dikontraskan dengan kebodohan. Perilaku yang berhikmat menjadi satu dengan kegiatan moral. Kerendahan hati, misalnya, berlaku bagi orang yang berhikmat dan tidak berlaku bagi orang yang congkak atau tinggi hati (bdk. Ams 10:23; 11:2; 13:10; 15:33; 21:30). Mengenai pasal 10-31, Berry mengkhususkan tiga tema: disiplin, relasi dalam keluarga dan raja. Menurut penulis, ketiga tema tersebut tidak hanya terdapat dalam pasal 10-31. Tentang disiplin dan relasi dalam keluarga juga dijumpai dalam pasal 1-9.

Dari survei di atas, tidak cukup kiranya hanya menyoroti kesimpulan atau tema koleksi Amsal seperti yang dilakukan oleh Skladny dan Berry. Juga kurang tepat mencari ungkapan "TUHAN" dalam koleksi Amsal seperti yang penelitian Whybray dimana sasaran pengamatannya adalah kolektor.1404 Padahal koleksi-koleksi kecil membentuk koleksi yang lebih besar.1405 Etika hikmat mempunyai banyak kaitan dengan unsur-unsur lain. Dalam nasal 10-22 kita tidak hanya menemukan kata "TUHAN" saja tetapi juga menemukan amsal-amsal tentang TUHAN bergabung dengan amsal-amsal tentang raja. Maka metode yang lebih baik untuk menentukan tema amsal adalah bukan meneliti amsal-amsal secara umum, tetapi diambil beberapa amsal saja seperti amsal yang berpasangan amsal1406 atau mencari konteks dan maksud amsal.1407

 III. HUBUNGAN ETIKA DENGAN IMAN

Dalam Amsal Salomo kita menemukan kaitan hikmat dengan iman kepada TUHAN (Yahwe) yang merupakan pembunyian dari tetragrammaton YHWH dan dibaca atau diucapkan adonai oleh orang Israel (LAI menerjemahkan YHWH itu dengan "TUHAN").

Nama YHWH bukan sekadar menunjuk kepada gagasan tentang allah yang dikenal secara umum di Palestina, termasuk di antara bangsa Kanaan. Walaupun kitab Amsal Salomo banyak memuat kesamaan (bukan sama!) dengan kitab Pengajaran Amenemope dari Mesir, sangat jelas legitimasi wahyu (revelation) atau otoritas kitab itu dalam Alkitab sebagai firman Allah. Teologi yang terkandung di dalamnya khas milik umat Allah, bukan diambil alih dari Amenemope, dari Raja Mesir atau dari dewa-dewanya. Sejak awal jelas sekali bahwa aliran hikmat di Israel mengakui dan mengasihi Allah YHWH. Hal ini dapat dipahami mengingat sudah lama ada perjanjian antara Allah dan umat-Nya. Nama YHWH dalam Amsal Salomo cukup banyak walau tidak terdapat pada setiap koleksi atau pasal, bahkan kehadiran nama Allah ini cukup signifikan dalam Amsal 10-29. Ini sekaligus memberi kontras antara hikmat dari Tuhan dengan hikmat sekuler.1408

Banyak peneliti mengaitkan hikmat dalam Perjanjian Lama dengan hikmat di luar Israel, misalnya dengan El atau Elohim di Ugarit (H.P. Muller, ThWAT 11, 940). Namun tidak dapat disangkal bahwa nama YHWH selalu berkaitan dengan iman umat yang sudah ada dan terpelihara dalam hikmat yang lebih tua. Hal itu diperkuat lagi dengan rumusan "takut akan YHWH", yang berulang kali ditemukan dalam Amsal Salomo. Di sana tidak disebut "takut akan Elohim/El", tetapi langsung berulang-ulang dipakai dengan istilah YHWH yang kemudian disalin oleh LAI dengan "TUHAN". Istilah percaya kepada TUHAN berkaitan dengan perilaku seperti dalam Amsal 3:5-6. Ayat 5 berbunyi "Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri". Ini bisa disebut sebagai iman. Lalu menyusul ayat 6 "Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu". Pemahaman vertikal iman kepada TUHAN sebagai Allah atas setiap orang dalam umat Israel dan ajakan "takut akan TUHAN" atau "setia kepadaNya" memotivasi orang untuk "berjalan dengan jujur." Ini merupakan unsur penting dalam etika Amsal Salomo (bdk. 14:2; 12:22).

 IV. UNSUR-UNSUR ETIKA AMSAL SALOMO

Unsur-unsur etika dalam Amsal Salomo terdiri dari hidup ideal, pengalaman, keterbatasan, prinsip sebab akibat, Allah Pencipta, Hikmat.

A. Hidup Ideal

Selain lukisan tentang hidup (panjang umur dan lanjut usia, Ams 3:2f; kekayaan, Ams 3:16; bdk. khususnya Ams 3:22; 4:10-13; 5:6; 6:23; 12:28; 14:27; 15:31; 19:23), cukup banyak juga gagasan tentang bagaimana memperoleh hidup yang sejati melalui kebenaran dan kasih (Ams 21:21), kerendahan hati dan takut akan YHWH (Ams 22:4; 10:27), kebenaran mulut (Ams 10:11; 13:3), memelihara perintah (Ams 19:16) dan pengajaran (Ams 13:14; 14:13).

B. Pengalaman

Hikmat dimaksudkan supaya manusia mampu masuk ke dalam kehidupan yang dapat dialami. Mengalami bukan semata-mata sesuatu yang empiris secara individual, tetapi diharapkan orang juga dapat memperoleh pengalaman-pengalaman orang lain. Pengalaman orang lain adalah guru yang berharga. Dari sini diharapkan orang mampu menentukan apa yang baik dan yang buruk, yang memberi hidup dan yang membinasakan. Antitesis ini ditonjolkan guna memudahkan pertimbangan dan pilihan tentang apa yang berguna. Menurut Amsal, kedua jalan ini terbentang di hadapan orang muda, padahal mereka belum berpengalaman. Karena itu, mereka membutuhkan ajaran hikmat dan disiplin hidup di dalamnya. Pengalaman yang ditemukan atau yang dipelajari manusia memang bukan jawaban yang final. TUHAN yang hidup dan yang mengatur dunia ini teras bekerja dan turun, tangan dalam kehidupan manusia, komunitas dan bangsa-bangsa.

Tekanan kepada pengalaman manusia membuat hikmat dalam Perjanjian Lama bersifat universal dan internasional. Dengan demikian, sebenarnya hikmat dalam Amsal Salomo tidak hanya berlaku bagi umat Israel, tetapi juga bagi semua orang yang mau melihat, mendengar dan belajar.1409 Tidak heran apabila dalam dunia Mesir juga ditemukan masalah yang menyangkut kehidupan seseorang dalam masyarakat dan nasihat-nasihat yang diajarkan untuk membina masyarakat.

Kelakuan (behavior) seseorang selalu terkait dengan konteks hidupnya. Maka pembaca Amsal harus merenungkan sebisa mungkin nats-nats yang pernah dialami orang-orang tempo dulu. Setelah menimbang-nimbang dan mempelajarinya, ia harus mengambil keputusan untuk melaksanakan yang baik, yang diperkenan TUHAN (bdk. Ams 3:27-35). Tugas manusia adalah menjalankan kebenaran, keadilan dan kasih setia.

C. Keterbatasan

Amsal 16 banyak melukiskan keterbatasan hikmat dan pengalaman manusia.

Manusia dapat menimbang-nimbang dalam hati, tetapi jawaban lidah berasal dari pada TUHAN. (ay 1)

Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi TUHANlah yang menguji hati. (ay 2)

Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya. (ay 9)

Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN. (ay 33)

Di sini kita diingatkan tentang keterbatasan manusia dalam ilmu, hikmat, dan pengalaman. Allah YHWH jauh melampaui akal, rencana dan hati manusia. Dialah yang memberi keputusan akhir. Karena itu, manusia diajak untuk lebih dahulu pasrah dan membiarkan TUHAN mencampuri urusan hidup termasuk harta benda, kehormatan dan sebagainya.

Serahkanlah perbuatanmu kepada TUHAN, maka terlaksana segala rencanamu. (ay 3)

Berbahagialah orang yang percaya kepada TUHAN. (ay. 20b)

D. Prinsip Sebab Akibat

Prinsip sebab akibat juga banyak ditemui dalam berperilaku (bdk. bentuk sebab akibat dalam Amsal 1-9 seperti 1:20-33; 2; 3; 4; 5; 6). Janganlah menjawab orang bebal, menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia. (26:4)

Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak. (26:5)

Siapa menggali lobang akan jatuh ke dalamnya, dan siapa menggelindingkan batu, batu itu akan kembali menimpa dia. (26:27)

E. Allah Pencipta

Dalam Amsal Salomo kita menemukan gagasan tentang TUHAN sebagai Pencipta manusia dan alam semesta. Pengamatan ini juga dikemukakan oleh P. Doll.1410 Ia menemukan bahwa dalam Amsal 10-29 Allah bertemu dengan manusia sebagai individu (lihat 14:31; 16:4; 17:5; 20:12; 22:2; 29:13). Gagasan tentang penciptaan alam semesta terdapat pada pasal 1-9.

Dengan hikmat TUHAN telah meletakkan dasar bumi, dengan pengertian ditetapkan-Nya langit, dengan pengetahuan-Nya air samudera raya berpencaran dan awan menitikkan embun. (3:19f)

Tuhan telah menciptakan aku sebagai permulaan pekerjaan-Nya, sebagai perbuatan-Nya yang pertama-tama dahulu kala. Sudah zaman purbakala aku dibentuk, pada mula Pertama, sebelum bumi ada. Sebelum air samudera raya ada, aku telah lahir, sebelum ada sumber-sumber yang sarat dengan air. Sebelum gunung-gunung tertanam dan lebih dahulu dari pada bukit-bukit aku telah lahir; sebelum Ia membuat bumi dengan padang-padangnya atau debu dataran yang pertama. Ketika Ia mempersiapkan langit, aku di sana, ketika Ia menggaris kaki langit pada permukaan air samudera raya, ketika Ia menetapkan awan-awan di atas, dan mata air samudera raya meluap dengan deras, ketika Ia menentukan batas kepada laut, supaya air jangan melanggar titah-Nya, dan ketika Ia menetapkan dasar-dasar bumi, aku ada serta-Nya sebagai anak kesayangan, setiap hari aku menjadi kesenangan-Nya, dan senantiasa bermain-main di hadapan-Nya; aku bermain-main si atas muka bumi-Nya dan anak-anak manusia menjadi kesenanganku. (8:22-31)

Israel mengaku TUHAN sebagai Pencipta langit dan bumi, yang memelihara dunia secara berkesinambungan (creatio continua, providentia). Manusia dapat melihat dan mempelajari jejak jejak Allah melalui tatanan dunia ciptaan. Tatanan ini dibutuhkan untuk keutuhan dan keharmonisan hidup.

Bagi Amsal pengetahuan mengenai Allah Sang Pencipta mempunyai implikasi sosial. Manusia harus saling membantu, solider terhadap sesama yang miskin, tertindas, lapar, dan sebagainya.

Siapa menindas orang yang lemah, menghina Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia. (14:31)

Tuhan membuat segala sesuatu untuk tujuannya masing-masing, bahkan orang fasik dibuat-Nya untuk hari malapetaka. (16:4)

Siapa mengolok-olok orang miskin menghina Penciptanya; siapa gembira karena suatu kecelakaan tidak akan luput dari hukuman. (17:5)

Telinga yang mendengar dan mata yang melihat, kedua-duanya dibuat oleh TUHAN. (20:12)

Orang kaya dan orang miskin bertemu; yang membuat mereka semua ialah TUHAN. (22:2)

Si miskin dan si penindas bertemu, dan TUHAN membuat mata kedua orang itu bersinar. (29:13)

Keenam contoh nats ini jelas mencerminkan perilaku umat Allah terhadap orang yang lemah (dal) dan miskin ('ebyon, ras). Lebih jauh ditegaskan bahwa tindakan seseorang - khususnya orang kaya (`asir), penindas (osek) dan dermawan (noten) bukan saja sekadar berkomunikasi, tetapi lebih dari itu, tindakan itu dalam prakteknya mempengaruhi hidup orang lain (secara positif bdk.: 28:27a; 22:7,9; 28:8b; 19:17a; 14:21b; secara negatif bdk. 14:31; 21:13).

Orang miskin (ras) dan orang kaya ('asir) menggambarkan dua status sosial yang berbeda. R.N. Whybray coba memberikan kategori kaya miskin dalam Amsal. Orang kaya adalah kelas pemilik harta benda, banyak makanan, ternak, perak dan emas, perhiasan, bahkan hak untuk berjual-beli, untuk memperoleh warisan, untuk memperoleh keuntungan dan untuk menanam modal. Status sosial mereka tinggi. Di lain pihak, orang miskin tidak memiliki hal-hal tersebut, karena status sosial mereka rendah.1411 Perbedaan status ini dapat memisahkan dan menimbulkan konflik dalam masyarakat. Menyikapi hal ini, perilaku umat harus bisa mengatasi kebencian (14:20) dan mempertemukan orang kaya dan miskin (22:2). Tanpa mempermasalahkan perbedaan ekonomi dan/atau status sosial, mereka masing-masing harus saling membantu, karena Allah sendiri memelihara semua orang baik yang kaya maupun yang miskin.

Masalah orang kaya dan miskin bukan hanya menyangkut status ekonomi. Keberadaan mereka dalam masyarakat berpengaruh dalam komunitas. Amsal bertutur tentang "orang yang miskin dibenci oleh semua saudaranya dan sahabat-sahabatnya" (19:7), sementara orang kaya justru mengalami yang sebaliknya (14:20). Rupanya ciri orang kaya ditentukan oleh harta benda atau kemakmurannya.

F. Hikmat

Unsur lain dalam etika Amsal adalah nasihat untuk memperhatikan Hikmat. Bentuk nasihat bisa imperatif positif (8:32-33), indikatif (8:36 "Siapa tidak mendapatkan aku, merugikan dirinya; semua orang yang membenci aku, mencintai maut"), dan larangan (8:33b).1412 Kata kuncinya adalah seruan Hikmat (8:32a "Dengarkanlah aku") supaya orang memelihara jalan jalannya (8:32b). Dan kepatuhan kepada Allah diperlihatkan dengan jalan memelihara jalan-jalan Hikmat.

Wejangan Hikmat tidak hanya memuat nasihat, di sana juga ditemukan perkenanan Allah kepada manusia yang mendapatkan Hikmat karena ia akan hidup (8:32-35 "berbahagialah ...."). Orang yang tidak mendapatkannya akan rugi dan menemukan maut (8:35-36). Di dalam Allah dan Hikmat, manusia bertemu dengan hidup itu sendiri. Di luar Allah dan Hikmat, maut. Etika hikmat adalah etika kehidupan, kehidupan yang diperkenan Tuhan (8:35b). Maka ada formula "kehendak-Nya" (rtswnw, 11.1b, 20b; 12:22b; 15:8b) dan "dikenan TUHAN" (rtswn, yphyh YHWH, 12:2a; bdk. 11:27 "siapa yang mengejar kebaikan atau mencari kehendak [yang baik]). Formula singkat lainnya tidak begitu khas, tetapi penuh arti adalah "jalan TUHAN" (10"29, "dipilih untuk TUHAN" (21:3), "takut akan TUHAN" dan "berjalan jujur" (14:2), "menyenangkan pada-Nya" (15:26), "tujuan TUHAN" (19:21). Di samping itu, ditemukan juga gagasan mengenai TUHAN yang membela perkara orang yang lemah dan yang ditindas dalam pengadilan (22:23; 23:11), karena Dia berperan sebagai Penebus bagi umat-Nya. Sifat Allah yang membalas setiap pekerjaan yang baik ini harus disadari betul oleh setiap orang (25:22; 24:17-18).

Formula "kehendak-Nya" dan yang mirip dengan itu berhubungan dengan eksistensi manusia seperti diungkapkan dengan istilah organ-organ tubuh atau panca indra (12:22; 11:20; bdk. 12:2; 15:26), keluarga (18:22; 19:14), hukum peradilan (22:23; 23:11), kebaktian (15:8; 21:3 bdk. 10:3; 10:29; 15:29), ekonomi (11:1b), bahkan dalam situasi konflik atau permusuhan (25:22; 24:17-18).

Sebagai kebalikan dari diperkenan TUHAN ditemukan formula yang berkisar pada kebencian TUHAN yang banyak ditemukan dalam pasal 1-9.

Enam perkara ini yang dibenci TUHAN, bahkan tujuh perkara yang menjadi kekejian bagi hati-Nya: mata sombong, lidah dusta, tangan yang menumpahkan darah orang yang tidak bersalah, hati yang membuat rencana-rencana yang jahat, kaki yang segera lari menuju kejahatan, seorang saksi dusta yang menyembur-nyemburkan kebohongan dan yang menimbulkan pertengkaran saudara. (6:16-19)

Dalam nats tersebut, kejahatan merupakan hal yang dibenci TUHAN dan seperti dalam kebajikan dalam hal hal ini organ-organ tubuh manusia (mata, mulut, lidah, tangan, hati, kaki) digambarkan sebagai tempat melekatnya kejahatan. Batin manusia yang korup dilukiskan dengan "bibir yang berdusta" (12:22), "hati yang congkak" (16:15; bdk. 15:25), "serong hati" (11:20, 14:2), "rancangan orang jahat" (15:26). Semuanya merupakan kekejian bagi TUHAN.

Organ-organ yang melanggar moral ini memunculkan kekejian dalam masyarakat. Dalam konteks hukum peradilan terjadi "pemutarbalikan hukum" (17:5). Dalam kebaktian muncul "keserakahan orang fasik" meskipun ia mempersembahkan korban dalam ibadahnya. Dalam bisnis ada neraca serong (11:1), dua macam batu timbangan atau takaran (20:10, 23). Ini juga merupakan kekejian bagi TUHAN, sebab timbangan atau neraca yang betul adalah milik TUHAN (16:11).1413 Pokoknya, "jalan orang fasik" (15:8-9; bdk 15:29, 28:9, 21:7) dibenci TUHAN.

Formula "kekejian bagi TUHAN" nampaknya sesuai dengan gagasan kitab Ulangan (Ul 17:1; 18:12; 25:13-16). Formula yang lebih umum, yakni "menghina atau mencela (kharaf) Penciptanya" (Ams 14:31; 17:5) berkaitan dengan hak asasi atau kemerdekaan manusia.

Siapa menindas (osyeq) orang yang lemah, mencela Penciptanya, tetapi siapa menaruh belas kasihan kepada orang miskin, memuliakan Dia. (Ams 14:31; bdk. 17:5)

Senada dengan ini adalah ungkapan "TUHAN itu jauh" (Ams 15:29), "keinginan orang fasik ditolak" (10:3), "dihukum-Nya" (12:2) dan "kebinasaan bagi orang yang berbuat jahat" (Ams 10:29).

Tema hikmat bukan saja berisi muatan etika, tetapi juga mempunyai nilai-nilai dasar. Nilai dasar hikmat tidak hanya menyangkut hal-hal spiritual tetapi juga kehidupan sekuler sehari-hari di dunia. Maka kurang tepat kalau orang hanya mengutip amsal yang memuat kata "TUHAN", lalu memberi label rohani pada amsal itu seolah-olah ada pemisahan yang tajam antara masalah sekuler dan spiritual. Pemisahan antara sekuler dan spiritual tidak ditemukan dalam pemikiran dan perilaku orang-orang dalam Perjanjian Lama (termasuk Amsal Salomo) sama seperti di dunia Timur termasuk di Indonesia. Kita dapat membedakan di antara keduanya dan menemukan yang satu mempengaruhi yang lain, tetapi tidak bisa memisahkannya. David Atkinson dengan teliti memfokuskan nilai-nilai hikmat sebagai berikut:

1. Takut akan TUHAN (bdk. Ams 1:7; 14:26; 15:16; 15:33)

2. Kasih dan kaitannya dengan iman, kemurahan hati, persahabatan, disiplin, termasuk juga dengan kebalikannya yakni membenci sesuatu dan menghindar dari sesuatu (bdk. Ams 3:12; 9:8; 12:1; 13:24 dengan Ams 11:25-26; 19:6; 11:13; 13:24; 14:21; 15:5; 17:9).

3. Keadilan dan kaitannya dengan memenuhi kebutuhan orang miskin, kebenaran dan integritas pribadi (bdk, Ams 10:7, 9; 11:1, 15; 12:22; 13:6; 14:31; 15:9, 26; 17:5, 20; 18:5; 19:28; 20:7, 10, 11, 23; 21:15; 22:28-29).

4. Watak sebagai kesempurnaan hidup.1414 Setiap orang yang mempelajari hikmat harus mengembangkannya ke dalam kesempurnaan hidup. Amsal harus dipraktekkan dalam hidup sehari-hari demi kebaikan dan kebenaran di hadapan Allah maupun manusia. Bruce C. Birch menekankan ciri khas etika hikmat yang menekankan pengetahuan pragmatis dan bukan pengetahuan teoritis.1415 Ciri khas etika hikmat itu mengacu kepada beberapa hal seperti sikap sederhana dan pengendalian diri (moderation and restraint), relasi seseorang dengan komunitasnya (form of communitarianism), dan keluwesan serta perhatian pada tindakan yang tepat (flexibility and concern for appropriate action).1416

5. Etika hikmat tidak cuma soal memperoleh nilai moral, pengalaman praktis, kelakuan yang baik, kerajinan, ketekunan, kebijaksanaan, tetapi juga soal mencapai hidup bahagia, aman, damai dan tertib dalam mematuhi Allah yang menciptakan dunia.

 V. PENERAPAN

Mungkinkah gereja sekarang dapat melaksanakan sikap dan perilaku dari Perjanjian Lama? Ada beberapa pendekatan yang dilakukan. Helmut Lamper mengkategorikan Amsal Salomo ke dalam Taurat yang dapat disarikan ke dalam sepuluh perintah Allah (dekalog).1417 Memang esensi masalah dalam amsal dapat dibandingkan dengan Taurat, namun tidak pernah jelas perintah Allah yang mana yang menjadi dasar suatu amsal. Yang jelas, amsal memang memiliki dasar wahyu (Ams 29:18 "Bila tidak ada wahyu, menjadi liarlah rakyat; berbahagialah orang yang berpegang pada hukum/Taurat"). Amsal, tidak seperti Taurat, adalah objek perenungan dari orang yang berhikmat, bukan dasar untuk pengambilan keputusan. Jadi, tidak cocok menyerupakan amsal dengan Taurat. Lebih lagi, bagaimana mengerti suatu amsal? Apakah amsal adalah suatu pernyataan yang sempurna tentang pengalaman? Ataukah pemahaman setiap amsal terbuka untuk dibicarakan?

J. Barton mengangkat prinsip kepatuhan kepada kehendak Allah yang sudah jelas dinyatakan (obedience to God's declared will) termasuk hukum alam (natural law) dan meneladani Allah (imitation of God).1418 Robert R. Wilson menekankan perlunya hermeneutika, otoritas Alkitab dan keragaman etika Alkitab.1419 Sedangkan E. Otto mengemukakan pentingnya peran hukum dan akibat dari perilaku moral.1420 Akhirnya, meskipun pemahaman tentang amsal akan terus berkembang, penerapan etika amsal akan menjadi Lebih mudah apabila unsur Taurat diperhatikan dan dibandingkan sambil didalami dengan tema-tema alkitabiah yang lain seperti kasih, iman, penebusan, persekutuan, kebebasan, kesejahteraan dan merenungkan mana yang masih relevan bagi kita dewasa ini.



TIP #13: Klik ikon untuk membuka halaman teks alkitab dalam format PDF. [SEMUA]
dibuat dalam 0.16 detik
dipersembahkan oleh YLSA