Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 2 Tahun 1998 >  "TAKLUKKANLAH BUMI DAN BERKUASALAH..." > 
B. KUASA MANUSIA ATAS BUMI (KEJ. 1:28) 

Ayat yang menjadi fokus diskusi adalah Kej. 1:28 dalam madah penciptaan Priest.1342 Konteks ceritanya adalah sebagai berikut: Setelah Allah menciptakan langit dan bumi dan mengisinya dengan segala makhluk yang bergerak di cakrawala, dalam air, di udara dan di atas muka bumi, pada hari keenam direncanakanNya membuat manusia menurut gambar dan rupa Allah sendiri, agar manusia 'berkuasa' atas makhluk-makhluk yang lain itu. Dan demikian terjadi. Manusia diciptakan menurut gambar Allah, laki-laki dan perempuan, lalu diberkati Allah dengan kata-kata ini:

"Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu ({yunani}, kibsylrha, dari kata kerja kabbasy), berkuasalah (a r, redu, dari kata kerja raddah) atas ikan-ikan di taut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi." (Kej. 1:28b).

Tuhan digambarkan menyuruh manusia untuk "menaklukkan bumi dan berkuasa atas" semua makhluk hidup. Sejak Lynn White dkk. mengaitkan kerusakan lingkungan hidup justru dengan perintah Allah ini, dimulai suatu penelitian intensif tentang ay. 28 ini. Penelitian terbaru itu menyangkut dua segi: penafsirannya yang tepat, dan sejarah penafsirannya. Pertama-tama diselidiki ulang, bagaimana ayat ini seharusnya diartikan, khususnya kedua kata kerjanya yang keras, "taklukkanlah" dan "berkuasalah". Dan kedua, bagaimana ayat ini de fakto telah dimengerti oleh tradisi Yahudi dan Kristen sepanjang abad. Kita mulai dengan yang pertama.

1. Penafsiran Kej. 1:28 selama beberapa puluh tahun terakhir

Sebagai akibat tuduhan bahwa ayat 28 ini telah membuka jalan untuk eksploitasi bumi oleh ilmu dan teknologi modern, segera terbentuk konsensus baru tentang arti ayat 28 yang lebih positif, yang tidak mengizinkan manusia untuk memakai alam ciptaan secara tak terbatas untuk kepentingannya sendiri. Diambil jarak dari tafsiran yang keras dan negatif dalam buku-buku tafsir sebelumnya.1343 Kuasa atas bumi dan binatang mulai diartikan sebagai tugas positif Sang Pencipta yang juga Pemelihara; maka diartikan sebagai tanggung jawab seorang pengurus rumah tangga (stewardship). Akan tetapi pergeseran dalam eksegese itu tidak berjalan tanpa tantangan. Baiklah kita mengikuti perkembangan diskusi ini dalam tiga fase.

(1) Pada awal tahun 70-an James Barr dan Norbert Lohfink, tampak secara independen, mengusulkan pengartian yang lebih lunak tentang kata-kata kerja "taklukkanlah" dan "berkuasalah". Arti kedua kata kerja itu sebelumnya lazim ditentukan secara etimologis sebagai "menjejak-jejak" dan "menginjak-injak" (seperti dalam Yoel 3:13, dalam konteks memeras anggur).1344

James Barr yang menolak tafsiran yang terikat pada etimologi kata, berpandangan bahwa makna dua kata kerja tersebut harus diterangkan dengan memperhatikan konteks Kej. 1. Konteks dekat berbicara tentang berkat (ay. 28a)1345, dan pembagian makanan vegetaris antara manusia dan binatang (ay. 29-30, tanpa adanya pembunuhan untuk makan daging, hal mana baru diizinkan setelah terjadinya kemerosotan dan air bah, dalam Kej. 9:3).1346 Seluruh madah' penciptaan Kej. 1 ini berbicara tentang suatu dunia yang ditata secara harmonis dan dinilai baik, bahkan amat baik.1347 Dalam konteks positif Kej. 1 ini hal "berkuasa" (raddah) atas binatang tak mungkin diartikan sebagai perlakuan keras (seperti dalam Yoel 3:13), melainkan oleh Barr dimengerti - menurut gambaran ideal Raja Gembala di Timur Tengah Kuno - sebagai kegiatan manusia yang mengurusi binatang dengan baik-baik, sama seperti pemerintahan seorang raja gembala yang baik akan melindungi warganya dan memelihara wilayahnya.1348 Kuasa manusia atas ikan, burung dan binatang, menurut Barr, dijalankan dalam relasi damai yang serupa dengan keadaan damai firdaus yang digambarkan dalam Yes. 11:6-9. Juga kata "menaklukkan" (kabbasy) bumi dalam konteks Kej. 1 tidak dapat dimengerti menurut maknanya yang keras (menginjaki), tetapi diartikan Barr sebagai 'mengerjakan' bumi atau 'mengolah' tanah (tilling), sejajar dengan "mengusahakan dan memelihara" taman dalam Kej. 2:15-18.1349

Norbert Lohfink pun memberi arti positif kepada kedua kata kerja: yakni "mendiami" bumi (in Besitz nehmen) dan "menggembalakan" binatang (weiden). Ia menemukan dasar etimologis kata kerja `berkuasa'

(raddah) bukannya dalam Yoel 3:13, tetapi dalam kata bahasa Akkad redu(m), mendampingi, mengantar; lalu mengartikan Kej. 1:28 sebagai perintah untuk menggembalakan binatang di padang rumput.1350

Berdasarkan penjelasan Barr dan Lohfink ini banyak pengarang akan berbicara tentang manusia sebagai steward, pengurus yang diserahi tanggung jawab atas makhluk-makhluk lain di bumi.1351 Peranan manusia sebagai pengurus didukung juga oleh mereka yang mengaitkan kuasa manusia dengan gagasan manusia sebagai gambar dan rupa Allah,1352 hal mana diartikan sebagai wakil Allah, wazir atau kalifah. Sang wakil tentu diandaikan menjalankan tanggung jawabnya atas bumi dan segala makhluknya dengan keprihatinan yang sama seperti yang diperlihatkan oleh Allah sendiri.1353

Tujuan bersama dari pelbagai interpretasi yang searah ini adalah menegaskan bahwa Kej. 1:28 sesungguhnya sama sekali tidak memberi peluang untuk tindakan ataupun teknologi yang mengeksploitasi bumi dan mengancam makhluk hidup. Kalau dipahami secara tepat, sesuai dengan konteks Kej. 1 dan konteks ideologi raja di Timur Tengah Kuno, ayat ini sebaliknya mengungkapkan hubungan harmonis manusia dengan alam.

(2) Interpretasi lunak Kej. 1:28 yang menggambarkan manusia sebagai pengurus bumi dan segala makhluk dan menekankan relasi damai, akhir-akhir ini mendapat tantangan. Ideologi Raja Timur Tengah Kuno yang sering dipakai untuk mendukung gambaran harmonis itu, sesungguhnya ambivalen. Ada juga segi despotisme, kesewenang-wenangannya. Maka ay. 28 ini dianggap berbicara tentang "kenyataan ambivalen" manusia sebagai "pelindung yang agresif militan" atau "pemelihara yang juga harus membendung kekacauan", seperti juga Allah Pencipta terus menerus membendung ancaman khaos; berbicara tentang manusia yang "sebagai umbar Allah diberi kewenangan untuk melindungi maupun menaklukkan."1354

(3) Penafsiran dialektis Kej. 1:28 di atas, yang memindahkan tekanan antara dominion dan stewardship, oleh pihak ketiga dinilai sebagai varian-varian saja dari sebuah perspektif antroposentris yang tetap sama.1355 Bagaimana penafsiran dapat melepaskan diri dari konsentrasi pada kekuasaan manusia, entah itu sewenang-wenang atau bersifat kepengurusan yang prihatin.1356 Sebuah perspektif alternatif diusulkan dengan lebih memperhatikan Sabat yang mengakhiri cerita penciptaan pertama (Kej. 2:1-3). Sabbat berarti `berhenti', `menahan'. Pelbagai keterangan tentang kuasa manusia di atas semuanya diwarnai oleh aktivisme manusia. Justru paham kebudayaan yang hiperaktif ini telah memberi legitimasi kepada perkembangan sebuah teknologi dan `kemajuan' yang tanpa batas. Terlupa bahwa Sabat, `menahan', termasuk kebudayaan Allah. Apakah pengurus bumi yang adalah rekan kerja Allah, juga mampu mengikuti contoh Allah dalam `menahan diri, menahan kegiatannya', mengambil jarak dari aktivisme yang berlebihan dan manipulatif, lalu berada di tengah dunia dengan cara yang lebih kontemplatif?1357

2. Sejarah Penafsiran Kej. 1:28

Usaha penafsiran Kej. 1:28 di atas penting untuk kita sekarang, tetapi tidak dapat menjawab pertanyaan apakah ayat ini telah membuka peluang untuk perkembangan ilmu dan teknologi yang mengeksploitasi bumi. Pertanyaan itu hanya dapat dijawab dengan mengkaji kembali sejarah kebudayaan dan penafsiran mulai dari zaman kuno (konteks asli ayat tersebut) sampai kepada zaman modern (zaman ilmu, teknologi dan krisis ekologi).1358 Penelitian seluas itu melampaui bidang dan wewenang seorang penafsir Alkitab. Yang boleh diharapkan darinya adalah perhatian untuk sejarah interpretasi ayat tersebut. Bagaimana umat Yahudi dan Kristen dari abad ke abad mengartikan cerita-cerita penciptaan dan khususnya ayat 28 tersebut?

Beberapa pakar sejarah gereja dan teologi telah meneliti bagian-bagian dari sejarah interpretasi itu. Berdasarkan penelitian mereka, Heike Baranzke dan Hedwig Lamberty-Zeilinski1359 menarik beberapa kesimpulan mengenai pemahaman dan peran ayat ini pada masa kuno dan abad pertengahan. Di sin kami hanya dapat mencatat beberapa hal saja.

- Tafsir pada zaman kuno dan abad pertengahan yang cenderung tematis dan bukan tekstual, tidak biasa menghubungkan kuasa manusia dalam Kej. 1:28 dengan konteksnya, misalnya tema gambaran Allah (1:26-27), pembagian makanan vegetaris (1:29-30), atau hari Sabat (2:1-3), berbeda dengan tafsir modern. Kej. 1:28 biasanya dibahas bersama dengan Mzm. 8:6-9, yang lebih tegas lagi berbicara tentang kuasa manusia atas makhluk lain. Namun demikian, pemberian kekuasaan itu dikontraskan dengan pengalaman kekecilan dan ketidakberartian manusia di tengah dunia ciptaan Tuhan yang dahsyat (8:3,5), dan dengan demikian direlativir.

- Tafsir Kristen kuno atas Kej. 1:28 ada kalanya tampak antroposentris karena dilandasi keyakinan bahwa segalanya di dunia ini dipersiapkan Allah untuk manusia (sesuai dengan prinsip Stoa bahwa yang lebih rendah ada demi yang lebih tinggi). Bukan hanya binatang jinak dan tanaman yang dibudidayakan tetapi juga binatang liar dan yang berbisapun, bahkan bintang-bintang ada untuk melayani manusia.

- Namun efek kekuasaan manusia atas ciptaan itu dibatasi oleh dua hal: Pertama-tama, oleh kuasa Allah di atas segalanya. Manusia dilihat sebagai wakil Allah yang berada di bawah kedaulatan-Nya. Kedua, oleh paham dunia yang statis. Alam dipandang sudah lengkap dan tidak memberi peluang untuk teknik yang inovatif. Teknik-teknik yang menurut anggapan kuno sudah ditemukan di zaman purba (bdk. misalnya Kej. 4:20-22), tidak dilihat sebagai sarana untuk mengubah tata alam.

- Maka para penafsir kuno hampir tak menguraikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan manusia untuk menaklukkan bumi. Posisi kekuasaan manusia, yang dibahas dalam konteks antropologi (yang membicarakan kelebihan manusia, gambar Allah, sebagai makhluk yang dapat berpikir, berbicara, berjalan tegak, dll.), jarang dijelaskan ke arah aktivitas teknis atau kultural. Antropologi Yahudi - Kristen yang di satu sisi memperhatikan kuasa sebagai ciri hakiki manusia, di lain sisi kurang menunjukkan daya dorong ke arah pengubahan dunia (hal mana justru diandaikan oleh dakwaan Lynn White). Pembahasan kuasa manusia jarang disertai penggambaran konkrit bagaimana manusia mengurus dan mengerjakan dunia ciptaan. Pengubahan alam oleh manusia, penyempurnaannya oleh kebudayaan manusia, tidak dilihat sebagai implikasi dari kuasa manusia dalam Kej. 1:28, melainkan - secara ironis - dikaitkan dengan sebuah ayat yang sekarang ini sering dikemukakan sebagai koreksi terhadap Kej. 1:28, yakni Kej 2:15, "TUHAN Allah mengambil manusia itu dan menempatkannya dalam taman Eden untuk mengusahakan dan memelihara taman itu." Dengan bertolak dari ayat ini para rahib gereja barat mengembangkan etos kerja mereka. Perkembangan ini dimungkinkan karena dari perspektif Yahudi - Kristen yang eskatologis mereka menimba suatu konsep alam yang lebih dinamis, terbuka untuk perubahan. Manusia sebagai rekan kerja Allah (cooperator Dei) turut bekerja untuk membuat alam ciptaan menjadi lebih sempurna.1360

- Dalam perubahan masyarakat Eropa pada abad ke-12 dan 13, etos kerja para rahib dan konsep alam mereka yang dinamis mulai tersebar di masyarakat kota. Penyebaran itu bertepatan waktu dengan pandangan Hugo St. Victor, pemikir yang memasukkan mekanika ke dalam studi artes, dan yang meminta agar semua pekerjaan mengabdikan diri kepada pemulihan dunia yang keadaannya dirusak oleh kedosaan manusia. Dengan usaha yang demikian kuasa manusia atas bumi, yang telah hilang karena kejatuhan dalam dosa, akan diperoleh kembali.1361 Perkembangan ini akan kemudian membawa kepada perubahan dunia dengan bantuan teknik. Namun perlu manusia di atas semuanya diwarnai oleh aktivisme manusia. Justru paham kebudayaan yang hiperaktif ini telah memberi legitimasi kepada perkembangan sebuah teknologi dan `kemajuan' yang tanpa batas. Terlupa bahwa Sabat, `menahan', termasuk kebudayaan Allah. Apakah pengurus bumi yang adalah rekan kerja Allah, juga mampu mengikuti contoh Allah dalam `menahan diri, menahan kegiatannya', mengambil jarak dari aktivisme yang berlebihan dan manipulatif, lalu berada di tengah dunia dengan cara yang lebih kontemplatif?1357

Singkatnya, para peneliti sejarah interpretasi Kej. 1:28 tidak menemukan hubungan sebab menyebab yang jelas antara ajaran penciptaan Yahudi - Kristen serta visinya tentang kuasa manusia dengan perkembangan ilmu dan teknik modern.1362 Masalahnya barangkali tidak sesederhana seperti dibayangkan Lynn White. Banyak faktor lain perlu diselidiki. Misalnya, apakah kebudayaan Yunani yang dikatakan lebih menyegani pesona alam yang ilahi, sesungguhnya tidak menyumbang jauh lebih banyak kepada perkembangan ilmu-ilmu daripada kebudayaan Yahudi?1363

Kalau perkembangan ilmu dan teknik yang merusak Lingkungan hidup toh masih mau dikaitkan dengan visi Kristen, kiranya perlu diselidiki apakah cara visi Kristen dikembangkan pada zaman kemudian di Eropa, misalnya dalam teologi alam sejak akhir abad pertengahan, mungkin menjadi sumber perkembangan teknik yang merusakkan alam?1364 Tetapi hal itu jelas tidak dapat dibebankan kepada tradisi Yahudi atau Kristen awal.



TIP #22: Untuk membuka tautan pada Boks Temuan di jendela baru, gunakan klik kanan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA