Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 1 Tahun 1998 >  FEMINISME: SUMBANGSIH DAN KRITIK > 
1. FEMINISME 

Feminisme, seperti banyak isme-isme lainnya, tidak mengambil dasar konseptual teoritis dari suatu rumusan tunggal. Feminisme tidak dapat didefinisikan secara abstrak. Agaknya, memang abstraksi tidak dapat menampung semua fenomena pergumulan wanita di sepanjang waktu. Sebab, feminisme harus dipahami baik berdasarkan realitas kultural dan sejarah yang konkret, maupun tingkat pendidikan, kesadaran, dan sebagainya.

Feminisme abad ke-17 (ketika untuk pertama kalinya kata ini digunakan) dan feminisme tahun 1980-an memiliki makna yang sama. Tapi feminisme juga dapat diungkapkan secara berbeda baik di berbagai bagian dunia maupun di suatu negeri tertentu. Ungkapannya berbeda-beda juga: ungkapan kaum wanita dengan perbedaan tingkat pendidikan, kesadaran, dan sebagainya. Bahkan di antara para wanita yang boleh dianggap segolongan pun terdapat berbagai aliran dan perdebatan, terutama yang berkaitan dengan akar historis dari permasalahan yang mereka gumuli, yakni patriarkhi atau dominasi kaum pria. Mereka juga berbeda mengenai tujuan akhir perjuangan kaum wanita: terciptanya suatu masyarakat tanpa penghisapan, pembebasan dari pengkotakan berdasarkan kelas atau kasta, ataukah pembebasan dari prasangka (yang biasanya didasarkan atas perbedaan jenis kelamin). Hal ini diungkapkan oleh dua wanita berkebangsaan India dan Pakistan, yaitu Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, dalam buku mereka "Feminisme dan Relevansinya".1282 Dalam pada itu, memang kaum wanita di negara-negara seperti Bangladesh, India, Nepal, dan Srilanka diperlakukan lebih buruk daripada kaum wanita di negeri kita Indonesia.

Di Indonesia, feminisme telah membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Feminisme dipahami dalam konteks budaya Indonesia yang tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, misalnya tata krama dan kesusilaan dalam pergaulan antara pria dan wanita. Di lingkungan kaum pejuang wanita Indonesia, masih tetap dipertahankan bahwa perempuan mempunyai tugas utama, yaitu sebagai pengurus rumah tangga dan pendidik anak demi masa depan keluarga, generasi penerus, dan bangsanya.1283 Kaum wanita telah menduduki pelbagai jabatan penting pemerintahan, baik di bidang politik maupun sosial kemasyarakatan. Namun harus diakui bahwa di sektor-sektor tertentu masih ada diskriminasi terhadap kaum perempuan, misalnya upah buruh wanita lebih kecil dibandingkan dengan pria, dan perlakuan terhadap ibu-ibu rumah tangga yang harus mencari nafkah, sementara tanpa upah mereka juga mengatur rumah tangga dan mengurus anak. Padahal, para suami dapat mencari kesenangan dengan wanita lain dari hasil kerjanya.

Hal ini terjadi di kalangan masyarakat bawah, yakni mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di situ penindasan terhadap isteri, oleh suaminya sendiri, merupakan hal yang biasa. Seakan wanita-wanita malang itu tersentuh oleh perlindungan hukum! Tidak jarang para suami, yang berpamitan kepada istri dan anak-anak di kampung untuk mencari pekerjaan di kota dan berjanji sebulan sekali mengirimkan uang ke kampung untuk keperluan keluarga, mengingkari janji dan kewajiban mereka. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, tidak kunjung datang beritanya. Jangankan uang yang pernah dijanjikan, suratnyapun tak pernah singgah di pangkuan istri dan anak-anaknya. Serta merta istri dan anak-anaknya yang sudah sangat rindu kepada suami dan ayah, menyusulnya: dengan menjual harta yang masih tersisa dengan harapan akan dapat bertemu dengan kekasih mereka di kota. Mereka telah berhari-hari berada di kota, tapi tidak dapat menemukan suami dan ayah dari anak-anaknya, sampai hidup mereka telantar dan akhirnya dipulangkan kembali oleh Dinas Sosial. Tetapi kalaupun dapat menemukan suaminya, ternyata sang suami telah mempunyai perempuan lain beserta anak-anak dari hasil kumpul kebo mereka. Tentu hal ini membuat hati sang istri perih seperti tersayat-sayat sembilu. Betapa hancur hati sang istri menerima perlakuan seperti itu! Sebab itu gerakan feminisme jangan memperjuangkan hak kaum wanita di kelas menengah ke atas saja, tetapi juga di kalangan kelas bawah, yang betul-betul masih jauh dari cita-cita perjuangan kaum wanita kita.

Gerakan feminisme dalam arti positif harus tetap dikobarkan sampai kaum wanita kita benar-benar diperlakukan secara manusiawi dan terhormat. Di kalangan wanita karier, kadang-kadang karier seorang wanita yang telah memiliki anak harus dikorbankan demi anak-anaknya. Hal seperti ini merupakan hal yang masih dapat diterima oleh semua pihak. Hal itu sering terjadi oleh karena kesadaran ibu muda itu sendiri yang menginginkan agar anak-anaknya tidak diasuh oleh baby sitter atau pembantu.

Di kalangan masyarakat menengah ke atas, kebanyakan para suami yang kariernya menanjak terus selalu diberi kesempatan oleh istrinya untuk lebih maju. Mereka diberi kesempatan menempuh pendidikan yang lebih tinggi untuk mengantisipasi persaingan yang semakin ketat. Sementara itu, para istri tidak mempunyai kesempatan itu karena harus mengurus anak-anak dan rumah tangga. Di sini masih terjadi diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun banyak ibu yang pada akhirnya mengalah demi masa depan anak-anak dan keutuhan rumah tangga, karena keegoisan suami mereka hanya akan memikul tanggungan hidup yang lebih berat. Lebih jauh dapat ditafsirkan bahwa lumrah agaknya bila laki-laki harus lebih maju, sementara kaum wanita harus siap berkorban untuk suaminya, demi kemajuan suaminya. Alasannya klise: kalau suami maju, martabat istri pun akan turut terangkat, sementara anak-anaknya akan mendapat kesempatan mengecap pendidikan yang lebih baik dan ekonomi rumah tangganya akan meningkat. Seluruh keluarga akan dapat menikmati hidup yang lebih baik, lebih sejahtera dan nyaman!

Perlu diingat memang banyak istri yang menganut ibuisme, yakni menjunjung tinggi keibuan dan mengagungkan Partiarkhi.1284 Dalam batas yang wajar, tampaknya hal ini masih dapat dibenarkan. Tetapi harus tetap diingat, bahwa seorang istri bukan hanya ingin menumpang hidup, menumpang nama, dan menumpang popularitas di balik keagungan suaminya. Istri pun ingin mandiri, ingin menjadi orang yang mampu mengaktualisasikan dirinya, walaupun tidak selalu harus setingkat dengan suaminya. Ia juga ingin dihargai bukan karena suaminya, tetapi karena dirinya sendiri sebagai manusia yang dapat berkarya dan memberi sumbangan yang berarti bagi masyarakatnya.

Hal-hal di atas juga perlu mendapat perhatian yang memadai dari para pejuang feminisme. Jangan sampai masih ada diskriminasi di bidang pendidikan dan kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan.



TIP #07: Klik ikon untuk mendengarkan pasal yang sedang Anda tampilkan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA