Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 1 Tahun 1998 > 
FEMINISME: SUMBANGSIH DAN KRITIK 
Penulis: Insriatmi Paimoen
 PENDAHULUAN

Pembicaraan tentang feminisme bukanlah hal yang baru, baik di kalangan pejuang hak-hak wanita pada umumnya, maupun di kalangan Kristen. Gerakan feminisme mulai membuahkan hasil nyata sekitar tahun 1960-an.

Kini, hampir di semua bidang wanita telah diperkenankan memangku jabatan yang dulu hanya di jabat oleh kaum pria. Gerakan feminisme sendiri timbul karena ketidakpuasan terhadap perlakuan kaum pria yang tidak adil, semena-mena, dan tidak manusiawi terhadap wanita. Hal yang sama sering juga dilakukan oleh kaum wanita sendiri. Memang sejarah penindasan kaum wanita berlangsung begitu lama dan merata. Karena itu, sudah waktunya masyarakat yang didominasi kaum pria harus siap dikoreksi dan mengkoreksi diri.1281 Dengan demikian akan terjadi keadilan, keseimbangan, dan kemitraan antara pria dan wanita. Saling bersentuhan dan berdampingan dalam kehidupan, mereka akan saling menopang.

 1. FEMINISME

Feminisme, seperti banyak isme-isme lainnya, tidak mengambil dasar konseptual teoritis dari suatu rumusan tunggal. Feminisme tidak dapat didefinisikan secara abstrak. Agaknya, memang abstraksi tidak dapat menampung semua fenomena pergumulan wanita di sepanjang waktu. Sebab, feminisme harus dipahami baik berdasarkan realitas kultural dan sejarah yang konkret, maupun tingkat pendidikan, kesadaran, dan sebagainya.

Feminisme abad ke-17 (ketika untuk pertama kalinya kata ini digunakan) dan feminisme tahun 1980-an memiliki makna yang sama. Tapi feminisme juga dapat diungkapkan secara berbeda baik di berbagai bagian dunia maupun di suatu negeri tertentu. Ungkapannya berbeda-beda juga: ungkapan kaum wanita dengan perbedaan tingkat pendidikan, kesadaran, dan sebagainya. Bahkan di antara para wanita yang boleh dianggap segolongan pun terdapat berbagai aliran dan perdebatan, terutama yang berkaitan dengan akar historis dari permasalahan yang mereka gumuli, yakni patriarkhi atau dominasi kaum pria. Mereka juga berbeda mengenai tujuan akhir perjuangan kaum wanita: terciptanya suatu masyarakat tanpa penghisapan, pembebasan dari pengkotakan berdasarkan kelas atau kasta, ataukah pembebasan dari prasangka (yang biasanya didasarkan atas perbedaan jenis kelamin). Hal ini diungkapkan oleh dua wanita berkebangsaan India dan Pakistan, yaitu Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, dalam buku mereka "Feminisme dan Relevansinya".1282 Dalam pada itu, memang kaum wanita di negara-negara seperti Bangladesh, India, Nepal, dan Srilanka diperlakukan lebih buruk daripada kaum wanita di negeri kita Indonesia.

Di Indonesia, feminisme telah membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Feminisme dipahami dalam konteks budaya Indonesia yang tetap mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, misalnya tata krama dan kesusilaan dalam pergaulan antara pria dan wanita. Di lingkungan kaum pejuang wanita Indonesia, masih tetap dipertahankan bahwa perempuan mempunyai tugas utama, yaitu sebagai pengurus rumah tangga dan pendidik anak demi masa depan keluarga, generasi penerus, dan bangsanya.1283 Kaum wanita telah menduduki pelbagai jabatan penting pemerintahan, baik di bidang politik maupun sosial kemasyarakatan. Namun harus diakui bahwa di sektor-sektor tertentu masih ada diskriminasi terhadap kaum perempuan, misalnya upah buruh wanita lebih kecil dibandingkan dengan pria, dan perlakuan terhadap ibu-ibu rumah tangga yang harus mencari nafkah, sementara tanpa upah mereka juga mengatur rumah tangga dan mengurus anak. Padahal, para suami dapat mencari kesenangan dengan wanita lain dari hasil kerjanya.

Hal ini terjadi di kalangan masyarakat bawah, yakni mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Di situ penindasan terhadap isteri, oleh suaminya sendiri, merupakan hal yang biasa. Seakan wanita-wanita malang itu tersentuh oleh perlindungan hukum! Tidak jarang para suami, yang berpamitan kepada istri dan anak-anak di kampung untuk mencari pekerjaan di kota dan berjanji sebulan sekali mengirimkan uang ke kampung untuk keperluan keluarga, mengingkari janji dan kewajiban mereka. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun, tidak kunjung datang beritanya. Jangankan uang yang pernah dijanjikan, suratnyapun tak pernah singgah di pangkuan istri dan anak-anaknya. Serta merta istri dan anak-anaknya yang sudah sangat rindu kepada suami dan ayah, menyusulnya: dengan menjual harta yang masih tersisa dengan harapan akan dapat bertemu dengan kekasih mereka di kota. Mereka telah berhari-hari berada di kota, tapi tidak dapat menemukan suami dan ayah dari anak-anaknya, sampai hidup mereka telantar dan akhirnya dipulangkan kembali oleh Dinas Sosial. Tetapi kalaupun dapat menemukan suaminya, ternyata sang suami telah mempunyai perempuan lain beserta anak-anak dari hasil kumpul kebo mereka. Tentu hal ini membuat hati sang istri perih seperti tersayat-sayat sembilu. Betapa hancur hati sang istri menerima perlakuan seperti itu! Sebab itu gerakan feminisme jangan memperjuangkan hak kaum wanita di kelas menengah ke atas saja, tetapi juga di kalangan kelas bawah, yang betul-betul masih jauh dari cita-cita perjuangan kaum wanita kita.

Gerakan feminisme dalam arti positif harus tetap dikobarkan sampai kaum wanita kita benar-benar diperlakukan secara manusiawi dan terhormat. Di kalangan wanita karier, kadang-kadang karier seorang wanita yang telah memiliki anak harus dikorbankan demi anak-anaknya. Hal seperti ini merupakan hal yang masih dapat diterima oleh semua pihak. Hal itu sering terjadi oleh karena kesadaran ibu muda itu sendiri yang menginginkan agar anak-anaknya tidak diasuh oleh baby sitter atau pembantu.

Di kalangan masyarakat menengah ke atas, kebanyakan para suami yang kariernya menanjak terus selalu diberi kesempatan oleh istrinya untuk lebih maju. Mereka diberi kesempatan menempuh pendidikan yang lebih tinggi untuk mengantisipasi persaingan yang semakin ketat. Sementara itu, para istri tidak mempunyai kesempatan itu karena harus mengurus anak-anak dan rumah tangga. Di sini masih terjadi diskriminasi antara laki-laki dan perempuan. Kalaupun banyak ibu yang pada akhirnya mengalah demi masa depan anak-anak dan keutuhan rumah tangga, karena keegoisan suami mereka hanya akan memikul tanggungan hidup yang lebih berat. Lebih jauh dapat ditafsirkan bahwa lumrah agaknya bila laki-laki harus lebih maju, sementara kaum wanita harus siap berkorban untuk suaminya, demi kemajuan suaminya. Alasannya klise: kalau suami maju, martabat istri pun akan turut terangkat, sementara anak-anaknya akan mendapat kesempatan mengecap pendidikan yang lebih baik dan ekonomi rumah tangganya akan meningkat. Seluruh keluarga akan dapat menikmati hidup yang lebih baik, lebih sejahtera dan nyaman!

Perlu diingat memang banyak istri yang menganut ibuisme, yakni menjunjung tinggi keibuan dan mengagungkan Partiarkhi.1284 Dalam batas yang wajar, tampaknya hal ini masih dapat dibenarkan. Tetapi harus tetap diingat, bahwa seorang istri bukan hanya ingin menumpang hidup, menumpang nama, dan menumpang popularitas di balik keagungan suaminya. Istri pun ingin mandiri, ingin menjadi orang yang mampu mengaktualisasikan dirinya, walaupun tidak selalu harus setingkat dengan suaminya. Ia juga ingin dihargai bukan karena suaminya, tetapi karena dirinya sendiri sebagai manusia yang dapat berkarya dan memberi sumbangan yang berarti bagi masyarakatnya.

Hal-hal di atas juga perlu mendapat perhatian yang memadai dari para pejuang feminisme. Jangan sampai masih ada diskriminasi di bidang pendidikan dan kepemimpinan antara laki-laki dan perempuan.

 2. FEMINISME DAN PANDANGAN ALKITAB

Tempat bagi wanita dalam keluarga, masyarakat, dan Gereja telah mendapat perhatian khusus para ahli dan masyarakat pada awal abad ke-20 ini. Kalau orang Kristen memahami konsep Alkitab tentang wanita, pasti tidak perlu ada gerakan feminisme dalam masyarakat Kristen, khususnya dalam Gereja. Alkitab telah memaparkan kedudukan perempuan yang layak dan posisi yang proporsional dan profesional.

Di tengah masyarakat Yahudi, kedudukan wanita masih tetap direndahkan, bahkan disamakan dengan budak dan orang berdosa. Wanita adalah manusia yang tidak sempurna. Tapi menurut Alkitab tidak demikian. Alkitab selalu menyebut wanita adalah perempuan; ini yang berkaitan dengan tugas dan kewajibannya, sebagai mitra penguasa bersama dengan laki-laki; di samping itu juga memiliki peran reproduktif, "ibu dari semua yang hidup" (Kej 3:22).

Menurut Kejadian 1:26-27, manusia telah diciptakan oleh Allah sebagai gambar-Nya. Dilihat dari proses penciptaan dunia ini, manusia mempunyai sejarah dan proses penciptaan yang berbeda dengan ciptaan Allah lainnya. Bahkan Kejadian menyaksikan bahwa manusia diciptakan menurut gambar Allah. Dari ungkapan ini, dapat ditafsirkan bahwa eksistensi dan identitas tersebut berkaitan erat dengan kekuasaan yang dimiliki, juga dengan pikiran dan sifat-sifat yang ada di dalam tubuh manusia. Namun yang lebih dalam dan jauh dari hal-hal ini adalah hubungannya yang tersembunyi di antara manusia dan Khaliknya. Dari proses penciptaan dapat dilihat hal-hal yang khusus, seperti Allah menghembuskan nafas-Nya ke dalam hidungnya (Kej 2:7). Hal ini jelas menunjukkan hubungan yang sangat pribadi, mendalam dan rahasia, yang sulit diterjemahkan dalam bahasa manusia.1285 Dalam Kejadian 1, Allah tidak membedakan manusia antara laki-laki dan perempuan keduanya diciptakan oleh Allah dalam keadaan sama derajat, sejajar, dan sama nilai di hadapan Allah. Tidak ada yang lebih penting dan kurang penting, tidak ada istilah yang satu lebih tinggi daripada yang lain. Bahkan tidak ada penjelasan bahwa laki-laki lebih berkuasa daripada perempuan dan sebaliknya. Kepada manusia laki-laki dan perempuan Allah memberikan tugas untuk berkuasa atas ciptaan Allah yang lain. Maka kaum laki-laki dan perempuan perlu bekerjasama serta melakukan segala tugas yang dipercayakan oleh Allah kepada mereka. Dalam Kejadian 2, penciptaan laki-laki dan perempuan diberi penjelasan yang lebih rinci. Perempuan diciptakan oleh Allah dari tulang rusuk laki-laki, perempuan juga diciptakan untuk laki-laki. Tujuan Allah menciptakan perempuan adalah menjadikan penolong bagi laki-laki. Walaupun demikian sekali-kali perempuan tidaklah lebih rendah daripada laki-laki.

Tujuan ke depan penciptaan perempuan ialah menyempurnakan seluruh ciptaan Allah. Dapat dimengerti bahwa Allah menciptakan perempuan dengan kemampuan khusus, sehingga laki-laki dan perempuan akan hidup selaras dan saling melengkapi. Kejadian 2 menyatakan bahwa sebelum menciptakan perempuan, Allah telah melarang manusia memakan buah pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Ini tidak berarti bahwa perempuan tidak mengetahui larangan Allah tersebut.1286 Alkitab menjelaskan juga bahwa sesudah manusia jatuh ke dalam dosa, mereka (laki-laki dan perempuan!) diusir dari taman Eden, tempat di mana sebelumnya mereka mengalami hidup yang harmonis, baik dengan Allah maupun hubungan suami istri pertama di dunia ini. Perempuan mendapat ganjaran atas pelanggarannya, yakni mengalami susah payah di saat ia mengandung dan kesakitan saat melahirkan anak. Tetapi perempuan seperti itu masih tetap birahi terhadap suaminya (Kej 3:16). Inilah permulaan kisah di mana laki-laki tampak "berkuasa" atas perempuan. Tetapi perjanjian akan adanya kelepasan, kebebasan, dan keselamatan juga diberikan oleh Allah melalui perempuan (Kej 3:15).

Perkembangan selanjutnya dalam Perjanjian Lama mencatat bahwa ada beberapa wanita yang "dipercayai oleh Allah" maupun masyarakat untuk menjadi pemimpin. Mereka berperan baik di bidang politik maupun kerohanian. Walaupun struktur bangsa Israel tidak memungkinkan wanita berperan secara aktif apalagi tampil ke depan sebagai pemimpin; bagi Allah tidaklah demikian. Allah tetap pada prinsip bahwa pria dan wanita sama di hadapan-Nya, sehingga Ia mengangkat kembali martabat perempuan di khalayak bangsa Israel. Di tengah-tengah bangsa pilihan, Allah telah menampilkan para wanita sebagai pemimpin. Misalnya:

MIRYAM. Keluaran 2:3-4 mengisahkan tentang seorang gadis pemberani yang menjaga adiknya yang masih bayi di tepi sungai Nil. Dengan lantang ia mengusulkan kepada putri Firaun agar mencari seorang pengasuh dan penyusu untuk si bayi Musa. Pada saat dewasa, bersama dengan Harun dan Musa adik-adiknya, ia menjadi pemimpin (Mi 6:4), dan bergelar nabiah (Kel 15:20).

DEBORA. Menurut Hak 4:4, ia adalah seorang nabiah sekaligus hakim yang memberi nasihat dan keadilan kepada umat Israel. Ia sangat termasyhur bukan hanya dalam hal keadilan, tetapi juga karunia rohani sebagai nabiah (lihat Hakim-hakim pasal 4). Debora adalah seorang pemimpin yang sangat berwibawa. Barak, panglima perang itu, tidak berani maju jika Debora tidak ikut maju ke medan perempuan. Memang bukan Debora yang langsung memimpin perang, tetapi karena dialah Barak menjadi berani. Jadi, bukankah kepemimpinan Debora telah membuktikan bahwa kemitraan antara kaum pria dan wanita bersifat saling melengkapi?

HULDA. Dalam 2Raj 22:14, 2Taw 34:22 disebutkan seorang nabiah yang sangat dihormati pada zaman Raja Yosia. Ia dengan berani memberitakan baik hukuman Allah alas Yerusalem, maupun pengampunan Allah bagi raja dan rakyatnya. Hulda betul-betul berwibawa di hadapan raja, para pemimpin Yehuda lainnya, serta rakyat di Yerusalem. Singkatnya, Hulda tampil sebagai pemimpin rohani yang sangat disegani dan dihormati.

ESTER. Ia adalah seorang ratu yang cantik jelita, gadis yatim piatu anak angkat Mordekhai (Est 2:7). Dalam proses pemilihannya menjadi ratu pengganti Wasti, ia juga mengalami pendidikan dan pelatihan yang tidak mudah. Dalam kapasitasnya sebagai permaisuri raja Ahasyweros, ia tetap mengasihi bangsanya, orang Yahudi yang pada waktu itu menjadi tawanan Persia. Tatkala bangsanya menghadapi ancaman yang mengerikan, ia tampil sebagai pembela dan pahlawan pembebas walaupun nyawanya sebagai taruhannya (Est 7:6).

Di dalam Perjanjian Baru kita bertemu dengan beberapa wanita yang tampil sebagai pemimpin dan juga sebagai pelayan jemaat. Antara lain: Lidya, Priskila, Febe, dan masih banyak lagi nama-nama perempuan yang tercatat sebagai pendukung pelayanan, baik pada masa Kristus juga pada masa Rasul Paulus. (Kis 16:15; 18:2; Rm 16:13; 2Tim 4:19; Luk 8:1-3).

Kenyataan ini membuktikan bahwa Allah tidak pernah membedakan derajat pria dan wanita. Bahkan kalau kita mau jujur, Juruselamat sendiri siap lahir melalui rahim seorang wanita, diasuh dan dididik oleh seorang wanita. Bahkan berita kemenangan atas kematian, yakni kebangkitan-Nya yang menggemparkan itu, diberitahukan untuk pertama kali kepada seorang wanita. Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa PB memberi tempat yang layak pada wanita, walaupun pengaruh keyahudian masih terasa sangat kental di dalamnya. Rasul Paulus menegaskan kembali di dalam Galatia 3:28-29, bahwa martabat dan harkat manusia itu sama di hadapan Tuhan. Karya penebusan Kristus membuat perbedaan derajat antara pria dan wanita dihapuskan. Kristus datang menjadi penebus dan penyelamat bagi laki-laki dan perempuan. Dengan demikian pengajaran PB sudah jelas. Kita tidak boleh meragukannya lagi. Jika orang Kristen sudah memahami pengajaran Alkitab secara benar tentang wanita, maka tidak akan ada lagi perdebatan di antara kita sendiri.

Penahbisan terhadap wanita di dalam Gereja mula-mula telah menjadi topik yang sangat hangat. Hal ini juga telah menjadi isu perdebatan pada pertengahan abad ke-20. Agaknya Roma 16:1 mengindikasikan Febe sebagai seorang wanita yang ditahbiskan (didoakan dengan penumpangan tangan) dan langsung terlibat dalam pelayanan jemaat. Penahbisan wanita menjadi pendeta penuh memang sempat menjadi bahan perdebatan di berbagai denominasi gereja. Bahkan sampai saat ini ada beberapa denominasi gereja yang belum menahbiskan wanita menjadi pendeta penuh dengan banyak alasan. Untuk menjadi majelis, penatua, dan diaken tidak pernah ada masalah.

Di lingkungan GKMI (Gereja Kristen Muria Indonesia, anggota PGI yang ke-29), baru ditahbiskan dua orang pendeta wanita setelah gereja tersebut berdiri di Indonesia selama 75 tahun. Perlu diketahui bahwa di lingkungan gereja-gereja mainline lainnya telah banyak dilaksanakan penahbisan kependetaan terhadap diri wanita yang dianggap memenuhi syarat. Walaupun demikian bukan berarti wanita yang sudah ditahbiskan itu berubah dan bersikap seperti pria. Sebaliknya, sudah sepatutnya pendeta wanita tetap feminin dan tampil sebagai pribadi yang memiliki naluri keibuan.

 3. SUMBANGSIH DARI FEMINISME

Mengupayakan dan memperjuangkan feminisme dalam batas-batas yang wajar dan bermanfaat bagi kaum wanita merupakan sumbangsih yang tak ternilai harganya. Dengan nilai-nilai feminisme yang positif, masyarakat bahkan para pemegang kekuasaan struktural tidak lagi bertindak semena-mena terhadap kaum wanita.

Di negeri kita, feminisme lebih dipahami dengan istilah emansipasi wanita. Upaya memperjuangkan emansipasi wanita memang telah membuahkan hasil. Wanita-wanita tempo dulu gigih memperjuangkan emansipasinya dalam arti pembebasan diri dari kekolotan dan keterbelakangan seperti yang dilakukan oleh R.A Kartini, Dewi Sartika, dan Maria Walanda Maramis. Mereka sangat menentang penjajah Belanda yang mempertahankan sistem pemerintahan dan struktur masyarakat yang sarat dengan diskriminasi, termasuk terhadap kaum wanita.1287 Syukurlah pada zaman kemerdekaan ini emansipasi wanita tidak lagi menjadi masalah. Wanita Indonesia telah diberikan peluang yang sangat banyak untuk dapat maju, sehingga tidak ada lagi alasan untuk tidak berprestasi bersama kaum pria. Namun tetap diakui bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh kaum wanita pada penghujung abad ke-20 ini belum selesai. Jangan mandeg sampai di sini, dan jangan lekas puas, tetapi harus teras memacu diri untuk lebih maju.

Gerakan feminisme dapat memberikan sumbangsih terhadap kaum wanita, dalam memperjuangkan hak-hak yang sama dengan kaum pria. Mendapat perlindungan hukum bagi kaum wanita dari pelecehan yang dilakukan suaminya atau para laki-laki merupakan manfaat yang ideal: tidak ada lagi pelecehan seksual yang sering terjadi terhadap wanita. Para pelaku pemerkosaan terhadap wanita dewasa dan di bawah umur akan diberi hukuman yang berat. Perlakuan terhadap buruh wanita di sektor industri akan lebih baik dan sama dengan kaum pria; tidak akan terjadi diskriminasi lagi.

Bagi wanita yang berpendidikan tinggi dan dapat berprestasi harus tetap diberi peranan optimal dengan peluang yang ada. Dalam MPR dan DPR pada dewasa ini, keanggotaan masih didominasi kaum pria. Kaum wanita hanya mendapat porsi 10%, padahal jumlah penduduk wanita dibanding pria lebih banyak wanita. Belum banyak wanita yang menjadi menteri dan gubernur, hanya ada satu bupati.1288 Wanita menjadi lurah tentunya sudah tidak asing lagi bagi kita, tetapi itupun tidak banyak jumlahnya. Di lembaga tinggi negara dan posisi-posisi tertentu, dominasi tetap ada pada kaum pria, dengan alasan wanita itu cengeng, sangat sensitif, kurang tegas, dan banyak alasan yang lain.

Para wanita harus dapat mempersiapkan generasi penerus dari sejak dini, sehingga kelak tidak akan tertinggal jauh dengan kaum pria. Bila dilihat dari segi intelektualitas kaum wanita tidak kalah dengan kaum pria. Bahkan dari segi prestasi di sekolah-sekolah umum, jumlah murid wanita yang mendapatkan nilai tinggi lebih banyak daripada murid pria. Statistik telah menunjukkan bahwa makin banyak wanita bekerja di negara industri maju, seperti dikatakan oleh Rena Bartos dengan sebutan "Revolusi Bisu" (Silent Revolution), yang dikutip oleh Marta Tilaar dalam buku "Perempuan Indonesia" Pemimpin Masa Depan (hal 67). Di Amerika pada tahun 1995, 55% wanita Amerika adalah pekerja, sedangkan di Jepang (1985) 49%; di Kanada.(1981) 52%; di Inggris (1981) 47%; di Australia (1981) 46%; dan di Italia (1981) 33%. Angka-angka ini teras meningkat.1289 Belum dihitung ibu-ibu rumah tangga yang tidak tercatat sebagai wanita yang bekerja, yang tentu saja memiliki nilai ekonomis. Misalnya ibu-ibu rumah tangga yang memiliki home industry, usaha di rumah yang menghasilkan yang dapat menunjang roda ekonomi keluarga: toko, warung, jasa boga rasa, menerima kost, bengkel mobil, pengelola ladang dan sawah, sampai pada para pengumpul dan penjual barang bekas.

Bagaimana di Indonesia? Berbagai data menunjukkan bahwa revolusi bisu itu juga terjadi di Indonesia dengan kendala-kendalanya yang khas sebagai negara yang sedang berkembang. Antara tahun 1988-1989 terjadi kenaikan tenaga kerja wanita dari 32.65% menjadi 37% dan diproyeksikan menjadi 38.8% dalam tahun 1993, serta menjadi 40.2% dalam tahun 1998. Data tahun 1980 dan 1985 menunjukkan kenaikan prosentase tenaga kerja wanita profesional dari 3,27% menjadi 3,90%. Begitu pula pada wanita yang bekerja pekerja kantor, dari 1,4% menjadi 1,91%, wanita pelayan toko 18,71% menjadi 20,90%, sedangkan tenaga manajer wanita tetap 0,03%. Angka-angka kenaikan tersebut cukup menggembirakan, namun masih kurang jika dibandingkan dengan pria. Misalnya pada tahun 1984 jumlah pegawai negeri wanita 746.000 orang atau 27,43% dari seluruh pegawai negeri. Pada tahun 1989 prosentase ini meningkat menjadi 31,38% atau terdapat 1,1 juta pegawai negeri wanita dari seluruh 3,6 juta pegawai negeri.

Revolusi bisu ini tentunya ditopang oleh terbukanya kesempatan bagi kaum wanita serta ketrampilan yang dimiliki oleh kaum wanita itu sendiri. Makin banyak wanita yang mendapat kesempatan mengecap pendidikan tinggi; dengan demikian mereka dibekali dengan ilmu dan ketrampilan yang dibutuhkan di bidang-bidang pekerjaan yang akan dilakukan. Peningkatan sumber daya wanita yang berkualitas makin meningkat di segala bidang. Maka feminisme menjadi sumbangsih bagi kaum wanita: masyarakat tidak lagi meremehkan wanita dengan semaunya sendiri. Wanita tidak lagi menjadi konco wingking (teman di belakang), maksudnya, dalam kebudayaan Jawa, wanita ditempatkan di belakang. Segala keputusan, baik atau buruk, suamilah yang berhak memutuskan, tanpa konsultasi dengan istri. Konco wingking derajatnya sedikit lebih tinggi dari pembantu. Yang membedakan pembantu dan konco wingking adalah pembantu tidak boleh tidur dengan "bapak" sedangkan istri harus tidur dengan bapak dan memberi anak untuk dan demi terus berlangsungnya keturunan bapak. Dengan pemahaman feminisme yang benar maka hal-hal itu tidak lagi terjadi dalam kehidupan masyarakat. Gadis-gadis pun tidak lagi "di pingit," disembunyikan di dalam kamar yang tidak boleh seorangpun bertemu kecuali ibunya, ayahnya, atau inang pengasuhnya, seperti pada zaman R.A Kartini, khususnya pada saat menjelang perkawinan yang sudah diatur oleh orang tua. Si gadis hanya harus memberi anggukan kepala tanda setuju tanpa diminta pendapatnya atau dipertemukan dengan calon pengantin pria sebelumnya maupun diberi kesempatan untuk berkenalan. Sekarang tampaknya tidak ada lagi perlakuan seperti itu terhadap gadis-gadis kita.

Wanita telah diberi hak untuk memutuskan pilihannya dan jalan hidupnya sendiri tanpa ada tekanan dari pihak tertentu. Wanita Indonesia diberi peluang seluas-luasnya untuk berprestasi di tengah-tengah bangsanya. Seperti baru-baru ini terjadi pada masa kampanye sebelum pemilu 1997, para wanita tampil memukau di panggung-panggung kampanye dari ketiga OPP. Ada yang memang politikus sejati, ada juga yang karena suaminya politikus dan ia terlibat menjadi "jurkam." Fenomena ini tidak terjadi pada masa kampanye tahun 1992. Hal ini menunjukkan adanya kemajuan kaum wanita: mereka berani tampil sejajar sebagai mitra dengan politikus pria. Bahkan dari para wanita tersebut telah ada yang menjabat sebagai ketua OPP. Wanita kita sudah sangat mandiri dan percaya diri, tidak canggung bepergian bersama dengan rekan-rekannya untuk berjuang demi kemenangan partainya, walaupun suami tidak mendampinginya. Jika hal seperti ini dapat terjadi, tentunya telah adanya saling pengertian. Para suami menopang karier istrinya. Bagi suami yang memberi kepercayaan kepada istrinya, patutlah ia dihargai dan di contoh oleh suami-suami yang takut disaingi oleh para istri mereka.

Masih di sekitar kampanye menjelang pemilu 1997.10 Dalam kampanye dialogis, para jurkam wanita dari ketiga OPP telah mengetengahkan topik tentang wanita, dan mereka berjanji akan memperjuangkan hak-hak dan nasib wanita di MPR dan DPR. Para politikus wanita berjanji akan memperjuangkan nasib buruh wanita, perlindungan hukum yang lebih baik bagi wanita dan anak-anak. Demikianlah hasil-hasil emansipasi wanita (feminisme konteks Indonesia). Setiap wanita mempunyai hak dan kewajiban, serta kesempatan yang sama dengan pria dalam pembangunan nasional.

 4. KRITIK TERHADAP FEMINISME

Sejak lahir, wanita memiliki kodrat yang membedakannya dari kaum pria. Sebagai bangsa Timur, wanita Indonesia mempunyai sifat kodrati yang anggun dan santun. Ia hidup menurut segala tata cara dan tata krama. Secara tradisional wanita menekuni peranannya di dalam ruang lingkup keluarga sebagai pendamping suami serta ibu rumah tangga yang baik, mengasuh serta mendidik putra-putri agar menjadi generasi penerus yang lebih bermutu. Tentu saja peranan sebagai istri dan ibu rumah tangga adalah peranan yang sangat penting. Wanita-wanita modern masa kini masih tetap memegang teguh peranan yang telah menjadi bagian dari dirinya Ditambah dengan tanggung jawab untuk membina generasi muda, berarti ia bertanggung jawab terhadap negara dan bangsanya. Dengan cara itu ia turut aktif membangun bangsanya. Maka sebagai kritik, penulis tidak setuju dengan feminisme liberal, yang tidak lagi menjunjung tinggi nilai dan kodrat wanita. Uraian di atas bukan ingin melemahkan hasil-hasil yang telah dicapai wanita kita, tetapi ingin menempatkannya pada proporsi yang seharusnya. Feminisme liberal yang dianut oleh wanita modern melahirkan sikap seperti laki-laki, terutama melalui revolusi berpakaian. Mereka berpakaian model laki-laki, rambut di cepak, lebih senang bergaul dengan laki-laki, merokok, minum minuman keras, dan sebagainya. Mereka tidak lagi tertarik kepada pria, tetapi lebih tertarik kepada wanita, bahkan menjurus pada lesbianisme. Alasan mereka tidak ingin menikah dengan laki-laki adalah supaya tidak dikuasai oleh kaum laki-laki.

Yang lebih ekstrim lagi, mereka ingin tetap mempunyai anak tetapi tidak mau menikah, yaitu dengan cara menyuntikkan sperma laki-laki yang tidak dikenal ke dalam rahimnya. Mereka ingin memiliki anak sendiri dan berusaha mendapatkan perlindungan hukum. Mereka juga tidak lagi mengerjakan pekerjaan wanita, seperti memasak, mengurus rumah tangga, menyulam, tertarik kepada bunga, dan hal-hal yang bersifat feminin.

Beberapa contoh ini sama sekali bukanlah tujuan semula dari feminisme, karena tujuan feminisme adalah memperjuangkan hak-hak dan kewajiban yang sama dengan kaum pria, bukan memutarbalikkan kodrat kewanitaan yang diciptakan Allah - kodrat yang membedakan wanita dengan pria. Kodrat itu menyebabkan wanita berbeda dalam hal fungsi - bukan dalam hal harkat dan martabat.

 SERUAN PENUTUP

Bersyukurlah hai kaumku, wanita Indonesia yang telah mencapai cita-cita kita. Kini kita telah terlepas dari belenggu kekolotan dan keterbelakangan. Majulah hai kaumku, pintu telah terbuka lebar untukmu: jangan sia-siakan kesempatan ini. Banyak peluang telah tersedia bagiku dan bagimu: berkaryalah dan buktikanlah kepada dunia bahwa kita bukan kaum yang lemah, cengeng, dan mudah menyerah. Berkaryalah bagi bangsamu, hormati dan kasihilah suamimu, didiklah anak-anakmu menjadi manusia yang berkualitas demi masa depan bangsa.

Tapi ingatlah bahwa kita ini tetap wanita - yang tetap mempunyai kodrat kewanitaan - dan Tuhan tidak pernah merubah kita menjadi pria. Kita harus tetap menjunjung tinggi nilai-nilai budaya kita sebagai wanita Indonesia. Wanita yang santun, anggun, memiliki tata krama, dan tetap menghargai nilai kebudayaan kita. Para wanita yang mengecap kemajuan, jangan lupa kepada kaum kita yang tertindas. Berusahalah peduli dan menolong mereka dengan berbagai usaha yang dapat kita lakukan!



TIP #06: Pada Tampilan Alkitab, Tampilan Daftar Ayat dan Bacaan Ayat Harian, seret panel kuning untuk menyesuaikan layar Anda. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA