Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 13 No. 1 Tahun 1998 >  HUBUNGAN AGAMA - NEGARA DALAM PERSPEKTIF NEGARA PANCASILA > 
MUTUALISTIS 

Sepanjang sejarah peradaban, agama dan negara merupakan dua kekuatan yang paling besar dalam kehidupan manusia. Hanya untuk dua hal inilah (untuk agama dan untuk negara) orang bersedia mengorbankan sampai ke jiwanya. Yang satu sebagai `martir' atau `syuhada'. Yang lain sebagai `patriot'.

Oleh karena itu tidak mengherankan, bahwa di dalam sejarah kita menyaksikan betapa hubungan antara keduanya ditandai oleh rivalitas/kompetisi dan kolusi. Bila pola rivalitas yang terjadi, maka yang satu ingin meniadakan yang lain. Sedang pada pola kolusi, keduanya ingin saling memanfaatkan atau memperalat yang lain. Baik pola rivalitas maupun pola kolusi, keduanya mencelakakan serta destruktif sifatnya. Rivalitas menghasilkan konflik yang tak berkesudahan, sedang kolusi merenggut kebebasan dari manusia.

Ketika para pendiri republik ini memilih Pancasila dan merumuskan UUD 1945, maka secara sadar mereka dengan tegas tapi arif menolak dua kemungkinan berbahaya itu. Dengan menerima Pancasila sebagai dasar negara, mereka menolak baik rivalitas maupun kolusi antara agama dan negara. Rivalitas hendak dicegah dengan menjalin hubungan kemitraan sejajar yang mutualistis. Sedang kolusi hendak dicegah dengan melindungi otonomi serta integritas masing-masing, tanpa boleh dicampuri atau disubordinasikan oleh yang lain. Sungguh suatu warisan yang tak ternilai harganya, yang wajib kita pelihara! Sayangnya sejarah membuktikan, betapa godaan untuk bergeser ke arah yang lain terus-menerus merupakan bahaya yang laten. Ada godaan politik untuk memanfaatkan agama, dan godaan agama untuk memanfaatkan politik. Godaan berkolusi! Sampai batas tertentu, kecenderungan saling memanfaatkan adalah sesuatu yang manusiawi belaka. Namun, ini harus diwaspadai, khususnya kalau itu terjadi antara dua kekuatan yang maha raksasa dan maha dahsyat, seperti agama dan negara.

Ketika negara diperalat oleh agama, maka ia tidak mungkin berfungsi sepenuhnya sebagai negara. Ia tak mungkin - sebagaimana yang menjadi fungsinya - mengayomi dan melindungi setiap dan semua warga negara dengan adil, tanpa anak emas maupun anak tiri. Yang akan dihasilkan adalah sebuah negara (semi) totaliter yang eksklusif dan diskriminatif. Ini bukan negara Pancasila! Di sisi lain, ketika sadar atau tanpa sadar, agama menjadi alat politik, agama juga segera kehilangan baik jati diri maupun fungsinya yang luhur sebagai agama. Ia akan sekadar menjadi alat pemberi legitimasi bagi kekuasaan negara. Tak mungkin lagi menjadi transenden! Tak mungkin lagi melaksanakan fungsi kritis dan tugas profetisnya! Agama yang kehilangan daya transendental dan fungsi kritisnya ibarat garam yang kehilangan asinnya!

Padahal masyarakat akan paling diuntungkan, apabila negara berfungsi penuh sebagai negara, dan agama berfungsi penuh sebagai agama. Masing-masing taat asas dan setia kepada fungsi dan jati dirinya. Penggumpalan kekuasaan yang tidak etis dan menyengsarakan manusia akan dapat dihindarkan, apabila masing-masing mempunyai keleluasaan untuk melaksanakan fungsi kritisnya, dan berusaha mencapai konsensus-konsensus yang menguntungkan seluruh masyarakat.

Satu lagi. Fungsi kritis itu tidak hanya dilaksanakan terhadap yang lain, tetapi juga terhadap diri sendiri. Potensi ini diberikan Tuhan kepada manusia, yaitu potensi untuk melakukan self-transendenee dan auto kritik. Ketika kemampuan untuk melakukan kritik diri ini tidak pernah dimanfaatkan, maka baik negara maupun agama akan segera menjadi usang dan lapuk, kehilangan relevansi dan kredibilitasnya. Dan kehilangan ini sering ditebus dengan penggunaan kekuatan dan kekuasaan yang semena-mena.

Itulah sebabnya di dalam praktek kita kadang-kadang melihat sosok negara yang bagaikan raksasa yang angkara murka, atau wajah agama yang penuh dendam dan haus darah. Amat bertentangan dengan klaim yang mereka buat, bahwa negara adalah untuk menegakkan keadilan, dan agama untuk mewujudkan kebenaran. Bila ini terjadi, tahulah kita, mereka sedang kehilangan relevansi dan kredibilitasnya. Mereka sedang kehilangan kemampuannya untuk melakukan kritik diri. Karena itu, mereka menjadi kekuatan yang demonis, tidak manusiawi, apalagi ilahi.



TIP #07: Klik ikon untuk mendengarkan pasal yang sedang Anda tampilkan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA