Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 2 Tahun 1997 >  PERAN GEREJA DI INDONESIA MENYONGSONG ERA PERDAGANGAN BEBAS > 
FUNDAMENTAL EKONOMI POLITIK RI 

Indonesia dengan sumber daya alam, luas geografis dan jumlah penduduk banyak dinilai mempunyai fundamental yang baik untuk jangka panjang, betapapun kita semua mengeluh dan merasa minder atau ketinggalan dibanding nation state lain. Istilah fundamental ini berkaitan dengan bursa yang juga mengenal istilah itu untuk menjelaskan profit suatu perusahaan apakah sehat, kuat dan mempunyai prospek jangka panjang yang baik atau tidak harus dibedakan dari gejolak sesaat yang bisa berubah cepat. Menanggapi gejolak tgl 27 Juli 1996 (penggusuran Megawati) dan tgl 21 Juli 1997 (krisis valas), banyak pengamat kuatir akan berdampak pada investasi dan arus modal asing.

Namun beberapa pengamat justru mengatakan bahwa panik serta reaksi negatif di bursa dan terhadap kurs Rupiah yang bersifat temporer ini tidak akan mempengaruhi fundamental ekonomi politik RI. Justru orang yang cerdik akan memanfaatkan peluang untuk memborong saham yang anjlok yang pasti akan naik lagi di masa depan. Sebab fundamental ekonomi politik RI tidak akan berubah drastis walaupun terjadi perubahan politik. Banyak pengamat mengatakan bahwa jika presiden diganti, maka akan ada perubahan kebijakan politik ekonomi yang bisa mengganggu bisnis. Saya sudah berulang kali menyatakan kepada media dan investor asing, bahwa siapapun yang menjadi presiden Indonesia, dari partai atau golongan manapun tidak akan mungkin merubah fundamental ekonomi politik RI. Yang saya maksudkan fundamental ekonomi politik RI adalah sistem pasar bebas, jaminan hak individu dan swasta untuk bergerak dalam mekanisme persaingan pasar sehat. Arus modal asing yang dijamin dan dilindungi oleh hukum termasuk kemungkinan mengadukan pemerintah Indonesia ke depan mahkamah pengaduan sengketa investasi (ICSID). Fundamental ini tidak akan mungkin diubah oleh siapapun yang menjadi presiden. Tidak akan ada Fidel Castro Indonesia, Ayatollah Khomeini Indonesia atau Kim Il Sung dan SLORC Indonesia yang akan meng-go to hell modal asing, persetan bantuan asing, pinjaman asing dan Bank Dunia serta PMA. Peta politik global telah membuktikan bahwa tidak ada satu negarapun bisa membangun secara terisolasi, autarkis dan menutup diri terhadap arus investasi modal asing. Negara dengan sistem tertutup seperti Myanmar justru sedang berusaha keras memasuki sistem yang terintegrasi dengan pasar global. Fidel Castro walaupun anti AS, tapi sekarang sudah mengundang modal asing dan mantan penjajah lama Spayol untuk membangun hotel wisata sumber devisa. Jadi, sebetulnya kekuatiran dan was-was bahwa perubahan politik di Indonesia akan mengacaukan ekonomi dan mengganggu bisnis adalah kekuatiran yang tidak berdasar.

Tapi kalau dibakar seperti tgl 27 Juli kan merupakan resiko yang mengerikan, karena itu lebih baik tidak perlu masuk ke Indonesia, buat apa cari penyakit, demikian barangkali pendapat sebagian kalangan bisnis. Ya, kalau mengalami musibah 27 Juli memang tergolong force majeur, tapi itu bisa terjadi dimana saja termasuk di Atlanta ada bom mengacau Olympiade. Di New York, World Trade Center bisa di bom oleh teroris dan pesawat TWA diledakan di udara. begitu pula di Tokyo bisa muncul bom gas beracun. Semua ini memang bisa didalihkan dan relevan, walaupun tetap sulit untuk menerima alasan analogi seperti itu. Karena itu, memang untuk negara berkembang seperti Indonesia, resiko politik dianggap masih tetap lebih besar ketimbang berbisnis di negara yang sudah lebih mapan sistem politiknya. Gejolak sosial politik setiap saat bisa meledak menjadi kerawanan terhadap bisnis seperti insiden di Medan dimana seorang pengusaha terbunuh dan korban material gedung dan mobil pada insiden 27 Juli. Resiko huru-hara seperti ini memang lebih sering terjadi di negara berkembang ketimbang negara maju. Walaupun tidak tertutup kemungkinan meledaknya kerusuhan rasial seperti yang terjadi di Los Angeles tahun 1992. Begitu pula dengan insiden Tiananmen, sempat membekukan arus investasi dari AS dan Eropa. Namun Jepang berjalan terus dan karena mereka secara cerdik terjun ke RRC segera setelah Tiananmen, mereka justru menikmati keunggulan ketimbang mereka yang menyusul belakangan karena takut dampak Tiananmen. Insiden politik di negara berkembang memang merupakan klausule force majeur. Tapi fundamental ekonomi politik bisnis kemudian akan tetap menunjukkan potensi dan peluang bisnis jangka panjang yang konstan.

Jadi, masalah perubahan politik di Indonesia misalnya, walaupun mungkin tidak akan berjalan lancar seperti bulan madu, dan barangkali selalu penuh gejolak, akan tetap teratasi untuk normal kembali kepada fundamentalnya. Yang dikuatirkan ialah keadaan abnormal, fenomena ketegangan sosial dan ancaman ledakan sosial menjelang dan di sekitar pemilihan Presiden pada Sidang Umum MPR Maret 1998. Pemerintah tentu tidak ingin ketegangan dan situasi abnormal berlangsung berkelanjutan sebab itu justru akan membahayakan survivalnya pemerintah.

Selain masalah struktur global yang ditimbulkan oleh acuan dari luar seperti WTO, social clause, AFTA dst., pengusaha Indonesia masih juga menghadapi kendala berupa birokrasi Indonesia yang terkadang tidak memberi iklim sejuk kepada bisnis. Inkonsistensi peraturan bisa membuat corplan berantakan dan tidak relevan, seperti misalnya kebijakan Mobnas yang membuat grogi beberapa prinsipal mobil asing yang tadinya ingin mengadakan investasi besar-besaran. General Motors memilih Thailand sebagai pusat investasi Asia Tenggara dengan investasi US $ 750 juta dan berharap akan masuk ke Indonesia dengan memanfaatkan fasilitas AFTA 2003. Selain yang bersifat policy, ada lagi kendala high cost dari struktur pembiayaan yang juga mengurangi daya saing. Dikaitkan dengan kebocoran, ICOR dan social clause, ada yang mengatakan bahwa high cost untuk pungli sebetulnya bisa disalurkan untuk kenaikan UMR. Karena pekerja lebih berhak memperoleh imbalan lebih besar ketimbang dana disalurkan untuk "backing dan pungli yang tidak jelas juntrungannya serta tidak berkontribusi secara langsung." Dalam proses produksi sudah harus terliput tax resmi dan gaji resmi pegawai negeri, secara ideal dan konvensional. Tapi dalam praktek birokrasi memerlukan imbalan masyarakat untuk bisa survive dan ini mengakibatkan cost per unit barang Indonesia kurang bisa bersaing karena ada faktor high cost yang menambah beban dan biaya tanpa imbalan konkret apapun. Inilah yang disebut Prof. Sumitro, kebocoran dan pemborosan yang mencapai 30% dan karena itu ICOR kita relatif lebih tinggi dari negara tetangga. Untuk mencapai pertumbuhan 1% GDP, kita membutuhkan input yang lebih besar sementara dana pemerintah semakin terbatas dan menciut. Inilah yang mendorong fenomena baru, privatisasi dan internasionalisasi BUMN melalui pasar modal BEJ maupun Wall Street yang juga merupakan sumber bisnis lukratif bagi perusahaan sekuritas. Jadi, tampaknya sektor infrastruktur ini memerlukan investasi langsung maupun portofolio dan proses swastanisasi akan mendongkrak kapitalisasi BEJ.

Secara keseluruhan, daya saing Indonesia memang kurang baik dibanding negara lain yang di pantau oleh WEF dan IMD. Walaupun ranking kita menurut WEF melejit dari no. 30 tahun 1996 menjadi no. 15 tahun 1997 tapi WEF, menurut Syahrir, tetap mencatat korupsi di Indonesia sebagai salah satu yang tertinggi dan terburuk di dunia. Sedang IMD memelorotkan ranking kita dari no. 34 di tahun 1995 menjadi no. 41 di tahun 1996 dan hanya membaik ke no. 39 di tahun 1997. Kita tentu tidak perlu marah-marah dengan penilaian WEF dan IMD, tapi kita jadikan pegangan untuk mawas diri dan memperbaiki semaksimal mungkin. Sebab ranking semacam itu memang bisa fleksibel seperti ranking Trasparancy International. Tahun 1995, kita ditempatkan menjadi juara korupsi no. 1 di dunia, tapi tahun 1996 sudah membaik menjadi no. 10 sedang juaranya direbut oleh Nigeria. tahun 1997, yang baru diumumkan minggu lalu, kita berada di no. 46 atau nomor tujuh dari bawah dengan Nigeria tetap sebagai juara korupsi sedunia. Sebaliknya, suatu koalisi 11 lembaga pemikir dalam buku Economic Freedom of the World 1975-1995 justru menempatkan Indonesia sebagai negara dengan sistem ekonomi yang relatif liberal. Sementara World Bank sejak tahun 1994 sudah meramalkan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu dari lima besar ekonomi dunia pada tahun 2020. Ramalan ini dikutip ulang oleh Menteri Ginanjar pada seminar The Jakarta Post tgl 2 Agustus 1996.

Fundamental ekonomi politik RI yang masih tetap diwarnai oleh kolusi dan korupsi pada pelbagai tingkat dan skala ekonomi, telah mengakibatkan Indonesia termasuk dalam negara yang dijangkiti Asian Disease menurut Paul Krugman. Pakar ekonomi MIT ini sejak tahun 1994 menulis tentang Mitos Keajaiban Asia, karena Asia hanya maju dengan intervensi negara, proteksi industri dan tenaga kerja murah berlimpah. Lebih banyak perspirasi ketimbang inspirasi. Karena itu serangan Mahathir terhadap Soros juga ditanggapi oleh banyak pakar dan media massa Barat sebagai arogansi Mahathir untuk mengakui kelemahan fundamental ekonomi negara berkembang yang di kungkung oleh kolusi dan rekayasa mark up dan proteksi yang tidak kompetitif. Ekonomi Jepang yang dilanda krisis kredit macet 43 trilyun Yen dan zero interest state, serta bangkrutnya Chaebol Korea, Hanbo dan KIA serta diseretnya putra Presiden Kim Young Sam ke pengadilan atas tuduhan korupsi, membuktikan kebenaran teori Paul Krugman tentang the Asian Disease.



TIP #06: Pada Tampilan Alkitab, Tampilan Daftar Ayat dan Bacaan Ayat Harian, seret panel kuning untuk menyesuaikan layar Anda. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA