Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 2 Tahun 1997 > 
PERAN GEREJA DI INDONESIA MENYONGSONG ERA PERDAGANGAN BEBAS 
 PENGANTAR REDAKSI

Artikel bertajuk "Peran Gereja di Indonesia Menyongsong Era Perdagangan Bebas" ini terdiri dari dua bagian. Pertama, tinjauan makro tentang ekonomi global dan kesiapan Indonesia menghadapi era perdagangan bebas. Bagian ini merupakan bahan orasi ilmiah Drs. Christianto Wibisono. direktur Pusat Data Bisnis Indonesia. pada acara Wisuda Sarjana Teologia dan Master Divinity STT Bandung (29 Agustus 1997). Untuk menggali masalah tantangan dan peran gereja di Indonesia menyongsong era perdagangan bebas. pada bagian kedua. Pelita Zuman memuat hasil wawancara dengan Christianto Wibisono dan Pdt. Charles Christano MTh. gembala sidang Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) Kudus, yang juga hadir pada acara orasi ilmiah itu.

 ORASI ILMIAH CHRISTIANTO WIBISONO

Perkembangan sistem ekonomi politik global masih tetap memperlihatkan sisa-sisa nasionalisme ekonomi yang bukan hanya melekat pada negara berkembang, tetapi bahkan pada negara superpower AS yang sering tetap memperlihatkan arogansi kekuasaan terhadap negara lain ketika terjadi konflik dagang, misalnya dengan Jepang dan RRC.

Konflik dagang AS - Jepang dan AS - RRC terutama disebabkan oleh defisit neraca perdagangan AS - Jepang dan pembajakan copyright di RRC yang merupakan pelanggaran serius Intellectual Property Rihgts. Dalam kedua hal ini, AS lebih suka melakukan negosiasi bilateral dengan bargaining, gertak sambal, gebrak meja dan ancaman sanksi, ketimbang mengadu kepada WTO. Untungnya selalu dapat dicapai persetujuan menjelang dead line dan jalan buntu yang bisa berakibat perang dagang total antara AS dan kedua raksasa ekonomi politik itu.

Karena itu tidak perlu heran bila kita menghadapi gugatan AS juga dalam hal Mobnas. Di AS yang menjadi ketua AAMA (American Automobile Manufactures Association) adalah mantan Menteri Perhubungan Andrew Card, karena itu sikapnya juga agak arogan dalam mengultimatum pemerintah Indonesia untuk mengubah kebijakan Mobnas. Sementara ketika Menteri Perdagangan Mickey Kantor (tahun 1996) berada di Indonesia, beliau bersikap lebih diplomatis lunak tapi menyinggung sikap proteksionis Korea di bidang otomotif sebagai target ancaman tindakan balasan AS.

Kita sudah sering mengalami tekanan bilateral dari AS seperti kasus impor buah-buahan dan film. Menteri Perdagangan Arifin Siregar terpaksa berkompromi dengan pimpinan USTR Carla Hills yang walaupun wanita tapi cukup galak dan keras dengan mengancam akan mengenakan tambahan bea masuk untuk produk kayu lapis RI bila buah-buahan dan film AS tidak bisa masuk secara bebas ke Indonesia.

Baru-baru ini dalam sidang Menlu ASEAN di Malaysia, Menlu AS Madeleine Allbright tetap mengaitkan social clause dengan liberalisasi perdagangan. Social Clause mencakup tiga hal pokok, yaitu demokratisasi dan hak asasi manusia, kondisi dan jaminan sosial politik perubahan, serta korupsi dan kolusi. Sikap keras Allbright ini barangkali juga merupakan reaksi terhadap usulan Mahathir untuk merevisi Deklarasi HAM PBB yang dianggap menantang filosofi liberal Barat yang paling inti dan sakral. Sebenarnya dalam masalah social clause ini memang harus ditelusuri motivasinya apakah murni untuk hak asasi dan demokrasi atau juga terselip rivalitas dagang. Karena negara berkembang memang masih miskin, tentu buruhnya rela menerima upah lebih rendah dan kondisi seadanya. Yang penting survive, tidak mati kelaparan, mempunyai nafkah tetap dan jaminan periuk nasinya. Karena supply tenaga kerja cukup banyak melebihi demand sehingga secara "mekanisme pakar" memang buruh negara berkembang berada pada posisi lemah visavis majikan. Jika AS memaksa suatu UMR dengan ukuran sepihak yang "setara" dengan AS memang sulit bagi negara berkembang untuk memenuhinya. Sekalipun yang dimaksud AS bukan kuantitas finansial dan material, tapi hak-hak untuk mogok, serikat buruh bebas dst, itupun secara kualitatif memang masih agak jauh bisa diterapkan di negara berkembang. Memaksakan kondisi buruh negara berkembang harus menikmati fasilitas UMR (lahiriah) dan kebebasan (batin) memang merupakan gagasan luhur. Sebab itu memang cita-cita semua orang untuk bisa meraih pendapatan per kapita setinggi mungkin dan tetap menghormati harkat dan martabat manusia. Tapi kendala fundamental ekonomi makro suatu negara tentu tidak mungkin menyelenggarakan tingkat upah yang di luar kemampuan riil nation state tertentu.

Tentang masalah demokrasi, HAM dan korupsi, maka telah timbul konflik yang bersifat lintas peradaban seperti yang disebut Huntington dalam artikel menghebohkan di majalah Foreign Affairs tahun 1994. Menurut guru besar Harvard ini, setelah perang dingin beraksi dan komunikasi bangkit tidak berarti dunia akan menjadi surga bebas dari konflik. Huntington justru meramalkan konflik pada tingkat SARA global yang lebih gawat dan lebih mendasar antara tiga peradaban. Pertama, peradaban Barat yang dipengaruhi Yunani dan Yahudi serta kekristenan akan berhadapan dengan peradaban Islam dan peradaban Confucius. Kadang-kadang akan terjadi aliansi antara kedua peradaban non Barat, dengan contoh ekstrem misalnya Korea Utara dan Iraq.

Teori Huntington tentang konflik peradaban ini banyak dibantah oleh para pakar negara berkembang. Bukunya baru diterbitkan tahun 1996 berjudul The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order. Tapi lucunya ketika mendebat dan membantah, mereka justru terjebak pada paradigma yang dikemukakan Huntington. Malaysia misalnya, menolak teori Huntington tapi tahun 1995 justru mengadakan seminar khusus tentang Islam dan Confucius. Waperdam Anwar Ibrahim dengan demonstratif memperlihatkan kemahiran menulis huruf Tionghoa dan mengucapkan sekedar pidato dalam bahasa Mandarin. Jadi, ternyata provokasi Huntington yang dianggap ekstrem itu memang secara rill mewakili aspirasi dan gejolak yang ada di masyarakat. Seperti isu SARA di Indonesia, dilarang diperdebatkan tapi nyatanya tetap laten dan setiap saat bisa meledak di lapangan walaupun kita semua berpolitik burung onta, mencoba menutupi dan meniadakan secara naif. Jadi. pada tahap global akan terjadi konflik SARA antara kekuatan negara industri maju sistem kapitalitas liberal Barat dengan paham demokrasi dan ideologi individualisme dan pasar bebas yang kuat menghadapi sistem sosial politik berakibat Islam dan Confucius yang cenderung digmatik. otoriter. primordial dan irrasional, demikian menurut Huntington.

Mudah-mudahan Seminar Islam Kristen yang diselenggarakan oleh IAIN dan Hartford Theological Seminary di Jakarta. tgl 7-9 Agustus 1997 yang lalu bisa memberikan sumbangsih untuk dialog antar peradaban yang membayangi konflik dagang dan politik global pasca perang dingin. Sekalipun semua orang berpidato tentang liberalisasi global, tapi dibalik slogan muluk globalisasi era WTO ternyata primordialisme dan nasionalisme sempit (nation state) atau SARA universal seperti diskriminasi peradaban masih tetap berdampak pada percaturan politik ekonomi global.

Selain teori peradaban Huntington, di Barat sekarang juga sedang laku keras teori tentang Tribse dan Network dari kaum perantau. Debat tentang ini diawali oleh Joel Kotkin yang menulis buku Tribes tahun 1991. Menurut Kotkin, jaringan para perantau yang berdiaspora ke seluruh dunia merupakan fenomena kekuatan yang sukses di luar fenomena nation state. Kotkin menyebut jaringan Yahudi, kemudian Inggris yang sukses membentuk imperium dan menjajah ke seluruh pelosok serta melahirkan negara-negara baru dengan basis sosiokultural Anglo Saxon yaitu AS, Canada dan Australia. Jepang yang melanglang buana karena tidak mempunyai sumber daya alam di negaranya sendiri. Kemudian Tionghoa perantauan di luar Tiongkok daratan yang mempunyai network dan assets melebihi GPD beberapa negara. Kotkin juga meramalkan India perantau di luar India akan mengembangkan potensi mirip Tionghoa perantauan.

Singapura secara cerdik telah memantau teori Kotkin dan ingin menjadikan Singapura sebagai pusat komunikasi dari dua tribes. Tionghoa perantauan dan India perantauan. Lee Kuan Yew memprakarsai World Chinese Entrepreneurs Convention (WCEC) tahun 1991 dan Global Indian Entrepreneurs Conference (GIEC) tahun 1996. WCEC telah berkembang menjadi institusi permanen dan telah menyelenggarakan dua kali konvensi di Hongkong tahun 1993, di Bangkok tahun 1995 selanjutnya di Vancouver dan tahun 1999 di Australia. Lee juga merestui ikut sertanya Association of Malay Professionals Singapore dalam jaringan Melayu perantauan yang disponsori Habibie dan Anwar Ibrahim sebagai wadah kelompok pengusaha pribumi bumiputra Melayu di ASEAN. Jadi, disamping nasionalisme versi modern yang berkiblat kepada nation state, maka teori konflik peradaban dan situasi pasca perang dingin juga telah membangkitkan gejala etnosentrisme. Dalam bentuk ekstrem, gejala ini bisa menjadi ledakan SARA seperti pecahnya Yugoslavia dan perang Serbia Bosnia serta desintegrasi Uni Soviet dan konflik Chechnya, serta konflik tak berkesudahan di antara pelbagai suku di Asia Tengah. Semua ini berlangsung tumpang tindih, jalin menjalin sehingga terkadang masyarakat tersesat dan bingung apa benar globalisasi dan liberalisasi merupakan trend global. Sebab nasionalisme dan etnosentrisme serta primordialisme dan gejala serta gejolak SARA masih tetap laten dan dominan serta mudah meledak dimana saja di pelbagai pelosok dunia termasuk di pusat demokrasi termodern AS.

Dalam kaitan ini menarik untuk dicatat pemikiran Francis Fukuyama dalam bukunya yang seolah berbeda secara prinsipil. Buku The End of History and the Last Man yang terbit tahun 1992, mengemukakan bahwa sistem demokrasi liberal Barat adalah sistem final dalam pencarian sistem peredam konflik sepanjang sejarah umat manusia. Teori benturan peradaban Huntington tahun 1993 seolah menolak teori Fukuyama tersebut karena konflik antara peradaban akan segera menggantikan konflik Perang Dingin. Pada tahun 1995, Fukuyama menulis buku "Trust: The Social virtues and The Creation of Prosperity". Disini Fukuyama mencoba melihat kesamaan hakekat Social Capital berupa Trust di kalangan masyarakat tertentu sebagai rahasia keunggulan dan kemajuan masyarakat atau bangsa tertentu. Dalam kesempatan ceramah di Jakarta tgl 29 Juli 1997, Fukuyama menyatakan bahwa ia tetap percaya pada universalitas perkembangan demokratisasi bila suatu masyarakat sudah mencapai tingkat pendapatan US $ 6000 per kapita, tanpa terpengaruh oleh sistem nilai budaya tradisional tertentu. Huntington sendiri sebetulnya juga menulis dalam salah satu alinea kesimpulan bahwa walaupun peradaban memiliki perbedaan tertentu, tapi ada benang merah commonalities sistem nilai moral dan etika yang bersifat universal.

Saya melihat dunia juga masih tetap diwarnai oleh "arogansi kekuasaan dan kekuatan" terutama dalam diri negara superpower. Jika kita di Indonesia sering berbicara tentang perlunya pendekatan dan penegakan asas negara hukum, rechstaat dan bukan manchstaat negara kekuasaan, ternyata slogan itu juga tetap perlu dikumandangkan pada level global. Jika AS adalah anggota yang baik, tentunya ia tidak nyata setiap saat bertolak pinggang mendikte mitra dagang dengan ultimatum perang dagang, tapi tunduk kepada hukum dan mengadu pada kepada hakim WTO. Tapi barangkali AS juga tidak sabar jika harus menunggu prosedur yang bertele-tele dan pasti memerlukan dana untuk membayar pengacara dan biaya perkara. Karena itu dalam permasalahan dagang internasional, kita tetap harus bersiap menghadapi pelbagai kemungkinan dan tuduhan seperti dumping yang semuanya memerlukan biaya. Termasuk di dalamnya memenuhi kriteria standarisasi ISO yang secara sepihak diperkenalkan oleh Barat dan kita hanya menjadi konsumen dan harus membayar assesor Barat sebagai "fee" untuk pekerjaan sertifikasi ISO, Ecolabelling dst.

 FUNDAMENTAL EKONOMI POLITIK RI

Indonesia dengan sumber daya alam, luas geografis dan jumlah penduduk banyak dinilai mempunyai fundamental yang baik untuk jangka panjang, betapapun kita semua mengeluh dan merasa minder atau ketinggalan dibanding nation state lain. Istilah fundamental ini berkaitan dengan bursa yang juga mengenal istilah itu untuk menjelaskan profit suatu perusahaan apakah sehat, kuat dan mempunyai prospek jangka panjang yang baik atau tidak harus dibedakan dari gejolak sesaat yang bisa berubah cepat. Menanggapi gejolak tgl 27 Juli 1996 (penggusuran Megawati) dan tgl 21 Juli 1997 (krisis valas), banyak pengamat kuatir akan berdampak pada investasi dan arus modal asing.

Namun beberapa pengamat justru mengatakan bahwa panik serta reaksi negatif di bursa dan terhadap kurs Rupiah yang bersifat temporer ini tidak akan mempengaruhi fundamental ekonomi politik RI. Justru orang yang cerdik akan memanfaatkan peluang untuk memborong saham yang anjlok yang pasti akan naik lagi di masa depan. Sebab fundamental ekonomi politik RI tidak akan berubah drastis walaupun terjadi perubahan politik. Banyak pengamat mengatakan bahwa jika presiden diganti, maka akan ada perubahan kebijakan politik ekonomi yang bisa mengganggu bisnis. Saya sudah berulang kali menyatakan kepada media dan investor asing, bahwa siapapun yang menjadi presiden Indonesia, dari partai atau golongan manapun tidak akan mungkin merubah fundamental ekonomi politik RI. Yang saya maksudkan fundamental ekonomi politik RI adalah sistem pasar bebas, jaminan hak individu dan swasta untuk bergerak dalam mekanisme persaingan pasar sehat. Arus modal asing yang dijamin dan dilindungi oleh hukum termasuk kemungkinan mengadukan pemerintah Indonesia ke depan mahkamah pengaduan sengketa investasi (ICSID). Fundamental ini tidak akan mungkin diubah oleh siapapun yang menjadi presiden. Tidak akan ada Fidel Castro Indonesia, Ayatollah Khomeini Indonesia atau Kim Il Sung dan SLORC Indonesia yang akan meng-go to hell modal asing, persetan bantuan asing, pinjaman asing dan Bank Dunia serta PMA. Peta politik global telah membuktikan bahwa tidak ada satu negarapun bisa membangun secara terisolasi, autarkis dan menutup diri terhadap arus investasi modal asing. Negara dengan sistem tertutup seperti Myanmar justru sedang berusaha keras memasuki sistem yang terintegrasi dengan pasar global. Fidel Castro walaupun anti AS, tapi sekarang sudah mengundang modal asing dan mantan penjajah lama Spayol untuk membangun hotel wisata sumber devisa. Jadi, sebetulnya kekuatiran dan was-was bahwa perubahan politik di Indonesia akan mengacaukan ekonomi dan mengganggu bisnis adalah kekuatiran yang tidak berdasar.

Tapi kalau dibakar seperti tgl 27 Juli kan merupakan resiko yang mengerikan, karena itu lebih baik tidak perlu masuk ke Indonesia, buat apa cari penyakit, demikian barangkali pendapat sebagian kalangan bisnis. Ya, kalau mengalami musibah 27 Juli memang tergolong force majeur, tapi itu bisa terjadi dimana saja termasuk di Atlanta ada bom mengacau Olympiade. Di New York, World Trade Center bisa di bom oleh teroris dan pesawat TWA diledakan di udara. begitu pula di Tokyo bisa muncul bom gas beracun. Semua ini memang bisa didalihkan dan relevan, walaupun tetap sulit untuk menerima alasan analogi seperti itu. Karena itu, memang untuk negara berkembang seperti Indonesia, resiko politik dianggap masih tetap lebih besar ketimbang berbisnis di negara yang sudah lebih mapan sistem politiknya. Gejolak sosial politik setiap saat bisa meledak menjadi kerawanan terhadap bisnis seperti insiden di Medan dimana seorang pengusaha terbunuh dan korban material gedung dan mobil pada insiden 27 Juli. Resiko huru-hara seperti ini memang lebih sering terjadi di negara berkembang ketimbang negara maju. Walaupun tidak tertutup kemungkinan meledaknya kerusuhan rasial seperti yang terjadi di Los Angeles tahun 1992. Begitu pula dengan insiden Tiananmen, sempat membekukan arus investasi dari AS dan Eropa. Namun Jepang berjalan terus dan karena mereka secara cerdik terjun ke RRC segera setelah Tiananmen, mereka justru menikmati keunggulan ketimbang mereka yang menyusul belakangan karena takut dampak Tiananmen. Insiden politik di negara berkembang memang merupakan klausule force majeur. Tapi fundamental ekonomi politik bisnis kemudian akan tetap menunjukkan potensi dan peluang bisnis jangka panjang yang konstan.

Jadi, masalah perubahan politik di Indonesia misalnya, walaupun mungkin tidak akan berjalan lancar seperti bulan madu, dan barangkali selalu penuh gejolak, akan tetap teratasi untuk normal kembali kepada fundamentalnya. Yang dikuatirkan ialah keadaan abnormal, fenomena ketegangan sosial dan ancaman ledakan sosial menjelang dan di sekitar pemilihan Presiden pada Sidang Umum MPR Maret 1998. Pemerintah tentu tidak ingin ketegangan dan situasi abnormal berlangsung berkelanjutan sebab itu justru akan membahayakan survivalnya pemerintah.

Selain masalah struktur global yang ditimbulkan oleh acuan dari luar seperti WTO, social clause, AFTA dst., pengusaha Indonesia masih juga menghadapi kendala berupa birokrasi Indonesia yang terkadang tidak memberi iklim sejuk kepada bisnis. Inkonsistensi peraturan bisa membuat corplan berantakan dan tidak relevan, seperti misalnya kebijakan Mobnas yang membuat grogi beberapa prinsipal mobil asing yang tadinya ingin mengadakan investasi besar-besaran. General Motors memilih Thailand sebagai pusat investasi Asia Tenggara dengan investasi US $ 750 juta dan berharap akan masuk ke Indonesia dengan memanfaatkan fasilitas AFTA 2003. Selain yang bersifat policy, ada lagi kendala high cost dari struktur pembiayaan yang juga mengurangi daya saing. Dikaitkan dengan kebocoran, ICOR dan social clause, ada yang mengatakan bahwa high cost untuk pungli sebetulnya bisa disalurkan untuk kenaikan UMR. Karena pekerja lebih berhak memperoleh imbalan lebih besar ketimbang dana disalurkan untuk "backing dan pungli yang tidak jelas juntrungannya serta tidak berkontribusi secara langsung." Dalam proses produksi sudah harus terliput tax resmi dan gaji resmi pegawai negeri, secara ideal dan konvensional. Tapi dalam praktek birokrasi memerlukan imbalan masyarakat untuk bisa survive dan ini mengakibatkan cost per unit barang Indonesia kurang bisa bersaing karena ada faktor high cost yang menambah beban dan biaya tanpa imbalan konkret apapun. Inilah yang disebut Prof. Sumitro, kebocoran dan pemborosan yang mencapai 30% dan karena itu ICOR kita relatif lebih tinggi dari negara tetangga. Untuk mencapai pertumbuhan 1% GDP, kita membutuhkan input yang lebih besar sementara dana pemerintah semakin terbatas dan menciut. Inilah yang mendorong fenomena baru, privatisasi dan internasionalisasi BUMN melalui pasar modal BEJ maupun Wall Street yang juga merupakan sumber bisnis lukratif bagi perusahaan sekuritas. Jadi, tampaknya sektor infrastruktur ini memerlukan investasi langsung maupun portofolio dan proses swastanisasi akan mendongkrak kapitalisasi BEJ.

Secara keseluruhan, daya saing Indonesia memang kurang baik dibanding negara lain yang di pantau oleh WEF dan IMD. Walaupun ranking kita menurut WEF melejit dari no. 30 tahun 1996 menjadi no. 15 tahun 1997 tapi WEF, menurut Syahrir, tetap mencatat korupsi di Indonesia sebagai salah satu yang tertinggi dan terburuk di dunia. Sedang IMD memelorotkan ranking kita dari no. 34 di tahun 1995 menjadi no. 41 di tahun 1996 dan hanya membaik ke no. 39 di tahun 1997. Kita tentu tidak perlu marah-marah dengan penilaian WEF dan IMD, tapi kita jadikan pegangan untuk mawas diri dan memperbaiki semaksimal mungkin. Sebab ranking semacam itu memang bisa fleksibel seperti ranking Trasparancy International. Tahun 1995, kita ditempatkan menjadi juara korupsi no. 1 di dunia, tapi tahun 1996 sudah membaik menjadi no. 10 sedang juaranya direbut oleh Nigeria. tahun 1997, yang baru diumumkan minggu lalu, kita berada di no. 46 atau nomor tujuh dari bawah dengan Nigeria tetap sebagai juara korupsi sedunia. Sebaliknya, suatu koalisi 11 lembaga pemikir dalam buku Economic Freedom of the World 1975-1995 justru menempatkan Indonesia sebagai negara dengan sistem ekonomi yang relatif liberal. Sementara World Bank sejak tahun 1994 sudah meramalkan bahwa Indonesia akan menjadi salah satu dari lima besar ekonomi dunia pada tahun 2020. Ramalan ini dikutip ulang oleh Menteri Ginanjar pada seminar The Jakarta Post tgl 2 Agustus 1996.

Fundamental ekonomi politik RI yang masih tetap diwarnai oleh kolusi dan korupsi pada pelbagai tingkat dan skala ekonomi, telah mengakibatkan Indonesia termasuk dalam negara yang dijangkiti Asian Disease menurut Paul Krugman. Pakar ekonomi MIT ini sejak tahun 1994 menulis tentang Mitos Keajaiban Asia, karena Asia hanya maju dengan intervensi negara, proteksi industri dan tenaga kerja murah berlimpah. Lebih banyak perspirasi ketimbang inspirasi. Karena itu serangan Mahathir terhadap Soros juga ditanggapi oleh banyak pakar dan media massa Barat sebagai arogansi Mahathir untuk mengakui kelemahan fundamental ekonomi negara berkembang yang di kungkung oleh kolusi dan rekayasa mark up dan proteksi yang tidak kompetitif. Ekonomi Jepang yang dilanda krisis kredit macet 43 trilyun Yen dan zero interest state, serta bangkrutnya Chaebol Korea, Hanbo dan KIA serta diseretnya putra Presiden Kim Young Sam ke pengadilan atas tuduhan korupsi, membuktikan kebenaran teori Paul Krugman tentang the Asian Disease.

 KESIMPULAN

1. Era globalisasi dan liberalisasi ternyata masih mempunyai beban tanggungan sisa-sisa nasionalisme sempit bahkan etnosentrisme primordial yang bisa mempengaruhi percaturan bisnis global, regional dan nasional domestik.

2. Fundamental ekonomi politik dan bisnis RI tidak akan bergeser dari ideologi pasar bebas, kerjasama dengan modal asing dan interdependensi yang semakin erat dengan pasar modal global dan lalu lintas modal, barang dan jasa internasional secara permanen. Namun paralel dengan kondisi itu. kolusi dan korupsi yang tetap berlangsung pada segala tingkat termasuk pengambil kebijakan telah mengakibatkan negara ini masuk dalam jajaran yang terjangkit The Asian Disease.

3. Peranan negara memang semakin menciut, tapi selama sisa-sisa nasionalisme primordialisme sempit masih merajalela, maka nation state masih akan tetap mempunyai peranan dalam mekanisme hubungan international, walaupun peranan perusahaan TCN yang lebih bervariasi dari pelbagai negara asal juga akan semakin menonjol. Jika kita ingin berperan dalam Iiberalisasi global maka dikotomi State vs Society yang masih terlalu didominasi State harus beralih kepada keseimbangan baru dimana masyarakat. The Civil Society mengimbangi posisi pemerintah secara setara, mutually interdependent.

4. Mengingat The Business Sector sebagai The Second Sector setelah birokrasi (The First Sector) relatif masih lemah, maka paralel dengan itu harus ditumbuhkan peranan The Third Sector dalam koalisi The Civil Society. Aliansi ini meliputi para pakar, cendikiawan, profesional. media massa dan LSM serta non profit organization yang akan berperan sebagai aktor kekuatan ketiga mengimbangi government bureaucracy dan businees establishment ke arah keseimbangan antar pelbagai kekuatan dalam masyarakat.

5. Indonesia akan memasuki abad XXI dengan kerawanan suksesi politik yang tidak mulus, tapi suksesi sedrastis apapun tidak akan merubah fundamental ekonomi politik bisnis. Sektor unggulan ekonomi bisnis Indonesia cukup bervariasi mengingat potensi yang dimiliki dari agrobisnis sampai marine industry, dari petrokimia sampai infrastruktur termasuk telekomunikasi, pariwisata hingga jasa multi media bahkan pendidikan, berkelanjutan sebagai lahan bisnis. Daya saing Indonesia memang masih memprihatinkan bila dibanding dengan negara lain dan perlu ditingkatkan untuk dapat merealisasi ramalan muluk Bank Dunia tentang Indonesia sebagai kekuatan ekonomi kelima di dunia pada tahun 2020.



TIP #04: Coba gunakan range (OT dan NT) pada Pencarian Khusus agar pencarian Anda lebih terfokus. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA