Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 2 Tahun 1997 > 
PENAHBISAN WANITA SEBAGAI PENDETA 
Penulis: Meitha Sartika

"Wanita menjadi pendeta? "Pertanyaan ini diungkapkan dengan penuh keheranan oleh seorang teolog pria Korea dalam colloquium "Methods of Doing Theology from an Ecumenical Perspective in Asia" yang diadakan oleh Christian Conference of Asia (CCA) dan World Council of Churches (WCC) di Kyoto, pada tanggal 14-9 April 1996. Juga ketika saya kotbah pada ibadah pembukaan colloquium itu. ia menyatakan "inilah pertama kalinya saya mendengar seorang pendeta perempuan berkhotbah." Keheranan yang serupa terjadi jika saya bercerita dengan beberapa anggota Christian Reformed Church (CRC) di Michigan, USA atau pun di Canada pada saat saya belajar di Calvin Theological Seminary pada tahun 1992-1993. Pada saat itu memang CRC tidak mengenal adanya pendeta perempuan di tingkat jemaat. Sampai tahun 1993, hanya Laki-lakilah yang bisa menjadi pendeta CRC. Pada tingkat sinode sudah terjadi diskusi mengenai "penahbisan wanita menjadi pendeta" di CRC sekitar 20 tahun lebih.1209

Memang sejak berabad-abad yang lalu citra pendeta berhubungan dengan sosok laki-laki. Laki-laki yang mempunyai keluarga yang harmonis. Laki-laki yang mempunyai istri yang dengan setia harus mendukung dan senantiasa menyertai pelayanan suaminya. Seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki yang berjabatan pendeta, dianggap secara otomatis menikah dengan jabatannya juga.1210 Sebab itu sangat mudah untuk mendeskripsikan sosok "istri" pendeta, tetapi sosok "suami" pendeta bagi banyak orang sulit sekali membayangkannya.

Tidak dapat disangkal memang bahwa di banyak gereja wanita boleh dan diharapkan berperan dalam kehidupan gereja. Namun jika kita perhatikan, tampaknya di beberapa gereja peran wanita hanya diharapkan pada bidang-bidang tertentu, seperti: bidang konsumsi, paduan suara, sekolah minggu atau komisi wanita; tetapi tidak untuk menjadi pendeta. Kalaupun seorang wanita lulusan sekolah teologia, di beberapa gereja ia dianggap cukup menjadi penginjil (dari tugas-tugasnya tampak bahwa yang dimaksud "penginjil" di sini adalah pembantu pendeta) atau di gereja Batak dikenal istilah "diakones" dan penginjil atau pengkhotbah wanita. Seorang pendeta wanita dari gereja Presbyterian di Taiwan menggambarkan partisipasi kaum perempuan di gereja sbb:

Dalam jemaat-jemaat lokal, kaum perempuan biasanya ditemukan dalam jumlah yang terbatas dalam tingkat Majelis. Tanggungjawab mereka biasanya terbatas pada komisi bunga dan musik, sebagai diakones (sebuah jabatan yang biasanya tidak persis sama dengan diaken) dan guru sekolah gereja. Sementara kaum perempuan lebih besar jumlahnya sebagai anggota gereja yang aktif dan menjadi kekuatan yang mendukung dalam hampir setiap jemaat, mereka praktis tidak mempunyai kuasa apapun di dalam strukturnya, yang biasanya didominasi oleh para rohaniwan dan pejabat gereja laki-laki. Seperti dalam masyarakat umumnya. mereka dipandang sebagai penolong bagi kaum laki-laki, dengan bakat yang hanya terbatas pada hal-hal estetika atau pekerjaan dengan anak-anak.1211

Hal serupa pernah dinyatakan oleh seorang pendeta demikian: "The whole of Scripture witnesses with one accord that to man is confided the heavy task of ruling, to woman the beautiful task of serving."1212 Adanya pendapat-pendapat semacam ini membuat hal penahbisan wanita menjadi pendeta masih agak "kontroversial" (artinya ada gereja yang memandang boleh dan ada gereja yang memandang tidak boleh).

Betulkah wanita hanya dapat berperan di bidang tertentu saja dalam pelayanan di gereja? Betulkah seorang wanita tidak boleh menjadi pendeta?" Pertanyaan "bolehkah seorang wanita ditahbiskan menjadi pendeta" lebih banyak ditanyakan dan mendahului pertanyaan "bisakah seorang wanita menjadi pendeta." Dalam makalah ini akan dibahas dasar teologis penahbisan seorang wanita menjadi pendeta. Juga akan dibahas mengenai kendala atau keberatan yang masih ada untuk menahbiskan perempuan menjadi pendeta di gereja, dan diakhiri dengan melihat pandangan-pandangan gereja-gereja di Indonesia tentang hal ini.

 I. DASAR TEOLOGIS PENAHBISAN WANITA MENJADI PENDETA

Dasar utama yang pertama adalah karena menurut Kejadian 1, manusia baik laki-laki maupun perempuan diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Baik laki-laki maupun perempuan semuanya ambil bagian dalam gambar dan rupa Allah. Ini berarti laki-laki ataupun perempuan sama dalam hal menjadi penerima janji-janji Allah dan juga dalam kewajibannya terhadap Allah. Bagi Allah, tidak ada yang merupakan warga kelas dua.

Dasar utama yang kedua adalah bahwa segala karunia yang telah Tuhan berikan kepada seseorang harus digunakan dan dikembangkan (Rom. 12:1-8). Alkitab dengan jelas mengatakan bahwa Allah telah memberikan kepada setiap anggota tubuh Kristus pemberian atau karunia khusus untuk digunakan memuliakan Dia dan untuk melayani satu sama lain (I Pet 4:10). Sebagai anggota tubuh Kristus kita punya karunia yang bermacam-macam (I Kor. 12:4-31) dan ada tugas khusus yang harus dilakukan setiap orang sesuai dengan karunianya (Ep. 4:4-16). Jadi tidak satupun dari karunia ini yang diberi label "for men only."

Boleh tidaknya seseorang mengemban tugas atau jabatan tertentu, pertama-tama ditentukan oleh apakah ia mendapat karunia untuk tugas atau jabatan tertentu itu bukan ditentukan oleh apakah ia laki-laki atau perempuan (band. Gal 3:28). Jadi seharusnya ukuran apakah seseorang boleh menjadi pendeta atau tidak bukan berdasarkan jenis kelaminnya, melainkan apakah Tuhan memperlengkapi seseorang dengan karunia untuk tugas-tugas pendeta atau tidak. Seorang laki-laki maupun perempuan sama-sama harus memberi jawab atas panggilan dan karunia yang telah Tuhan berikan. Adanya hakim perempuan dalam Alkitab dalam diri Deborah (Hak. 4-5) dan juga nabiah Hulda (II Raj 22:14-20), perempuan-perempuan yang ikut dalam pelayanan Yesus dan Yesus yang menyambut perempuan-perempuan itu (bersikap lain dari budaya patriarkal yang berlaku pada zaman Yesus) menunjukkan tugas panggilan yang ternyata juga Allah berikan kepada para perempuan.

Banyak gereja (termasuk GKI [w] Jabar sebelum keputusan Persidangan Majelis Sinode tanggal 13 September yang baru lalu) tidak mengijinkan suami istri menjadi pendeta. Maka kalau terjadi percintaan diantara mahasiswa dan mahasiswi yang sama-sama menempuh pendidikan teologia, maka si mahasiswi harus sadar bahwa pada saat itu ia sudah kehilangan hak untuk menjadi pendeta, sekalipun sebenarnya ia masuk sekolah teologia dengan panggilan yang jelas untuk menjadi pendeta. Pernah seorang wanita berpendidikan teologia yang kompeten dalam berbagai tugas-tugas kependetaan dengan putus asa menceritakan bahwa yang membuatnya tidak bisa memenuhi panggilan hidup sebagai seorang pendeta hanyalah karena ia jatuh cinta kepada laki-laki yang pendeta. Pergumulan gereja atas berita panggilan pelayanan dalam Alkitab akhir-akhir ini memberi kesadaran bahwa jika dua orang lulusan teologia jatuh cinta dan menikah; tidak selalu harus yang pria yang jadi pendeta sedangkan yang wanita hanya menjadi istri pendeta. Tetapi harus berdasarkan siapa yang lebih dilengkapi oleh karunia untuk menjadi pendeta dan yang lebih jelas akan panggilan Tuhan. Ada kemungkinan keduanya mempunyai karunia dan panggilan, maka dengan kesadaran ini makin banyak gereja (termasuk GKI [w] Jabar) memberi kemungkinan suami istri keduanya menjadi pendeta, tetapi dengan pembagian tugas yang diatur.

Mungkin ada yang menanyakan mengapa perempuan harus ditahbiskan, bukankah seseorang bisa melayani Tuhan tanpa penahbisan? Kebanyakan gereja memandang penahbisan sedikitnya sebagai simbol dari pemberdayaan Allah untuk seorang pribadi yang dipercayakan untuk melayani. Dari segi sosial, penahbisan adalah tanda bahwa orang yang ditahbiskan telah diuji dan didapati mampu dan layak (bisa dibandingkan seperti surat izin praktek dokter yang menunjukkan bahwa seorang dokter sudah menempuh pendidikan tertentu dan kompeten). Seorang pelayan dengan penahbisan siap diterima dalam berbagai bidang pelayanan seperti rumah sakit dan penjara, sementara awam mungkin lebih sulit diterima. Selain itu penahbisan juga merupakan suatu komitmen gereja untuk mendukung pendetanya, sesuatu yang perlu dan layak didapatkan baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Penahbisan bukan hanya memberi keuntungan bagi orang yang di tahbis, tetapi juga bagi mereka yang dilayani. Penolakan penahbisan terhadap perempuan telah membuat banyak orang yang dilayani perempuan tidak mendapatkan pelayanan seperti baptisan, sidi, pemberkatan nikah, dan perayaan perjamuan kudus.

Berbicara mengenai karunia yang Allah berikan dan harus digunakan oleh setiap orang yang mendapatkannya mengingatkan kita juga pada perumpamaan talenta (Mat. 25:14-30). Dalam perumpamaan tentang talenta ini diceritakan bahwa tuan yang telah mempercayakan talenta yang berbeda-beda jumlahnya kepada hamba-hambanya berdasarkan kemampuan masing-masing akan meminta pertanggungjawaban penggunaan dan pengembangan talenta itu. Tuan itu memuji hamba yang berhasil mengembangkan talentanya. Sebaliknya tuan itu begitu marah kepada hamba yang tidak menggunakan talentanya. Bagaimana jika ada seorang perempuan yang menceritakan pengalamannya seperti di bawah ini?

I heard Your call to preach Your Word, but when I sought advice from my pastor the ridiculed me I applied to a seminary, but they told me women were not permitted to enroll in the Master of Divinity program (jalur study untuk menjadi pendeta) I requested ordination from our denomination, but theytold me women were not called to the ministry. I asked to candidate at a local church, but they said people in the congregation would not accept a woman pastor. I applied to a mission board, but they turned me away when they learned my gift was evangelization, not nursing, secretarial world or teaching children. So I just gave up, got married, and had kids like everyone had been telling me to do all along.1213

Kepada siapakah tuan yang telah mempercayakan talenta itu akan marah? Tidak mungkinkah tuan itu marah kepada mereka yang menutup kesempatan?

Setiap orang yang mendapatkan karunia, hendaklah ia dapat memiliki kesempatan untuk menanggapi karunia Tuhan dengan melakukan hal yang sesuai dengan karunia tersebut (Roma 12:6-8). Jika banyak perempuan dalam hidupnya merasakan panggilan Allah untuk menjadi pendeta, bisakah gereja menolak perempuan dan tidak memberi kesempatan pada mereka untuk menanggapi panggilan Allah?

 II. KEBERATAN-KEBERATAN YANG BIASA DIAJUKAN UNTUK TIDAK MENYETUJUI PENAHBISAN WANITA MENJADI PENDETA

1. Metafora "Kepada" dan "Penolong" dalam Alkitab

Jabatan pendeta adalah jabatan yang tidak bisa lepas dari jabatan sebagai seorang pemimpin. Ketidaksetujuan terhadap pendeta wanita salah satunya didasarkan pada pendapat bahwa "perempuan tidak boleh memimpin," atau pendapat yang lebih longgar adalah "selama masih ada laki-laki yang dapat memimpin, mengapa harus perempuan yang memimpin." Kalau ada laki-laki maka dianggap lebih pada tempatnya kalau laki-lakilah yang memimpin. Ini berdasarkan prinsip laki-laki sebagai "kepala" (1 Kor 11:3), sedangkan perempuan disebutkan dalam Alkitab sebagai "penolong" laki-laki.

Dalam makalah ini tidak dimungkinkan bagi penyusun untuk menafsir tiap bagian Alkitab secara detail. Yang dapat dilakukan adalah memeriksa hasil ahli tafsir. Misalnya dalam Akta Persidangan Majelis Sinode CRC tahun 1973 dinyatakan bahwa terjemahan yang paling baik untuk "penolong" dalam kisah penciptaan kitab Kejadian adalah kata "sekutu" (partner). Baik kata "penolong" maupun "sekutu" di sini harus dimengerti sebagai istilah yang menunjukkan adanya "kesetaraan."1214 Seringkali istilah "penolong" dihubungkan dengan "orang yang lebih rendah yang memberikan bantuan", tetapi dalam Perjanjian Lama kata "penolong" sebanyak 15 kali digunakan untuk menunjuk kepada Allah sebagai Penolong (mis. Maz 46:1). Dalam hal ini sulit dibayangkan jika Allah dianggap sebagai yang lebih rendah dan orang yang ditolong dianggap sebagai kepala!

Bapa Gereja Agustinus mempunyai gambaran yang indah untuk menggambarkan bagaimana seharusnya hubungan pria dan wanita. Ia mengatakan:

If God meant woman to be superior to man, he would have created her from man's head; or if he wanted her to be inferior to man, he would have made her from his feet. Her creation from man's side shows her to be of equal value; she is to stand side by side to him in all of life.1215

Sedangkan untuk pemahaman istilah "kepala," pergumulannya adalah apakah ruang lingkup kepala hanya menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan dalam pernikahan, atau hubungan laki-laki dan perempuan secara umum?

2. Anjuran Paulus dalam I Kor. 14:33-36 dan 1 Tim. 2:8-15

Kata-kata Paulus agar perempuan-perempuan tidak berbicara (berdiam diri) dalam pertemuan-pertemuan jemaat dan bahwa wanita tidak boleh mengajar telah menjadi dasar bagi beberapa pimpinan gereja menolak keterlibatan penuh perempuan dalam gereja. Teolog-teolog Reformed mengenal cara penafsiran yang membedakan antara "prinsip" dan "aplikasi dari prinsip." Dalam rumusan prinsip-prinsip belajar Alkitab dalam tradisi Reformed dikatakan: "In dealing with various passages, we must distinguish between abiding principles (which are always normative) and specific applications (which are related to certain historical situations)."1216 Misalnya, dalam ajaran Yesus mengenai "jika engkau berdoa, masuklah ke dalam kamarmu, tutuplah pintu..." (Mat.6:6), apakah berarti kita harus selalu berdoa di kamar yang tertutup? Jika kita menerapkan penafsiran "prinsip dan aplikasi dari prinsip", maka kita tahu bahwa prinsip pengajaran dalam bagian itu adalah bahwa Allah menghargai doa yang tidak bersifat pamer, sedangkan hal masuk kamar dan tutup pintu dapat dikatakan hanya sebagai aplikasi dari prinsip ajaran tersebut. Demikian juga anjuran Paulus agar perempuan berdiam diri di dalam ibadah perlu dipahami sebagai aplikasi dari prinsip. Prinsipnya adalah Paulus mau mengajarkan perlunya ketertiban di dalam kegiatan peribadatan. Dan aplikasi yang relevan pada waktu itu sehubungan dengan prinsip ajarannya adalah agar para perempuan mampu menguasai diri. Anjuran yang terakhir ini harus dipahami sebagai suatu pernyataan yang sangat situasional dan kondisional, karena berhubungan dengan kebiasaan para perempuan di jemaat Korintus yang punya kecenderungan sulit terkendali.1217

3. Pengaruh pandangan budaya

Sudah sejak waktu yang lama sekali, kehidupan di dunia ini didominasi oleh budaya patriarkal. Sistim patriarkal adalah sistim sosial di mana kekuasaan selalu ada di tangan laki-laki atau dengan kata lain para laki-lakilah yang dominan dan yang lain ada pada peringkat bawahnya. Kembaran sistim patriarkal ini adalah sistim Androsentrisme. Androsentrisme menganggap pemerintahan laki-laki sebagai hal yang normal dan standar. Wanita, anak-anak, dan pria yang tidak memenuhi standar ini dianggap bukan manusia yang sepenuhnya melainkan hanya warga kelas dua saja. Pandangan yang sudah begitu lama sebagai warga kelas dua mengalami proses internalisasi dalam diri wanita. Akibatnya wanita sendiri mempunyai konsep diri yang rendah, menganggap diri pasif, tidak mampu, irasional, sensual, dan bersifat tergantung pada orang lain. Banyak wanita yang merasa tidak mempunyai kemampuan berkarya, dan parahnya menganggap sesama wanita lainnya juga tidak mampu berkarya. Di beberapa tempat, sempat yang menolak adanya pendeta wanita adalah justru kaum wanita sendiri. Budaya yang mempengaruhi dalam rentang waktu begitu lama membuat beberapa orang sulit bersikap terbuka.

Tentunya masih ada kendala-kendala maupun keberatan yang lain, namun keberatan atau kendala di atas inilah yang paling sering ditemukan.

 III. PANDANGAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA MENGENAI PENDETA WANITA

Sebagaimana banyak gereja-gereja di seluruh dunia yang makin terbuka terhadap penahbisan wanita menjadi pendeta, demikian juga gereja-gereja di Indonesia. Setidaknya di Indonesia ini ada lebih dari 600 pendeta wanita. Penyusun tidak sempat mencari data yang lengkap dari semua gereja, namun apa yang penyusun ketahui tentang pendeta wanita di beberapa sinode kiranya bermanfaat dalam memberi gambaran dan untuk memperoleh pandangan.

Pendeta wanita yang pertama di Indonesia ditahbiskan oleh Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM) pada sekitar tahun 50-an. Saat ini GMIM mempunyai lebih dari 300 orang pendeta wanita dari jumlah keseluruhan pendeta sebanyak sekitar 1000 orang. Jadi boleh dikatakan bahwa persentase pendeta wanita di sinode yang pertama memiliki pendeta wanita ini sekitar 35%. Minahasa memang terkenal sebagai daerah yang sudah lebih lama mempunyai penghargaan terhadap wanita. Ini berhubungan dengan budaya yang muncul dari kepercayaan bahwa wanitalah yang berperan dalam menjadikan alam Minahasa.

Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) menahbiskan pendeta wanita pertamanya pada tahun 60-an, dan jumlah pendeta wanita yang ada saat ini juga berkisar sekitar 30% dari keseluruhan jumlah pendeta. GKI (W) Jabar pertama kali menahbiskan perempuan menjadi pendeta pada tahun 1965, pada waktu itu ditahbiskan sekaligus 2 orang wanita. Saat ini ada 26 pendeta wanita atau sekitar 20% dari jumlah pendeta GKI (w) Jabar secara keseluruhan. Bahkan satu klasis yang masih menggunakan bahasa Mandarin juga terbuka menahbiskan pendeta wanita pertamanya pada tahun 1989, dan saat ini telah memiliki 4 pendeta wanita dari jumlah pendeta yang keseluruhannya 11 orang itu.

Kebanyakan gereja-gereja Batak baru menahbiskan pendeta wanita pada tahun 80-an. Mengapa mereka membutuhkan waktu agak lama untuk menerima kehadiran pendeta wanita? Ini berkaitan erat dengan budaya patriarkal mereka di mana hanya laki-lakilah yang boleh mengambil keputusan. Juga Gereja-gereja Kristen Jawa (GKJ) baru mempunyai pendeta wanita pada tahun 80-an.

Kita bersyukur untuk makin banyaknya gereja yang mendengar panggilan Tuhan dalam mengusahakan kesempatan bagi semua orang untuk mengembangkan karunia yang sudah Tuhan percayakan.



TIP #26: Perkuat kehidupan spiritual harian Anda dengan Bacaan Alkitab Harian. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA