"Istri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga daripada permata. Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi istri yang takut akan Tuhan dipuji-puji." (Amsal 31:10,30)
Wanita sepanjang sejarah menjadi obyek pembicaraan, dan senantiasa juga menjadi "pelengkap penderita." Bukan rahasia lagi, bahwa di Asia pada umumnya wanita menjadi orang nomor dua dalam rumah tangga. Di daerah tertentu, wanita menjadi tenaga kerja kasar dengan upah yang rendah, dan bahkan ada sebagian yang dikirim sebagai tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri.
Ada juga yang menyebut wanita dengan "orang-orang perkasa." Hal ini dilatarbelakangi setting agraris, di mana wanita pagi-pagi bangun lalu ke sawah. Agak siang, pulang dari sawah ke pasar atau memasak. Kemudian siang ke sawah lagi membawa makanan untuk suami. Malam hari, wanita menjadi teman suami yang baik. Wanita memiliki kelebihan dari pria, karena wanita dapat bekerja lebih lama dari pria. Selain wanita dapat bekerja lebih lama, wanita juga menjadi tumpahan "kenikmatan" pria. Iklan-iklan di media massa dan bioskop sering meng-ekspose sisi sensual dari wanita.
Wanita sebagai obyek sering merugikan citra dan harga diri, tetapi wanita tidak berdaya menghadapi hal ini. Mungkin karena latar belakang budaya bahwa wanita hanya "konco wingking" (teman di belakang/di dapur), menyebabkan wanita di Indonesia "dikondisikan" untuk menerima kenyataan ini. Itulah sebabnya, R.A. Kartini ingin mengaspirasikan suara hati wanita yang terbelenggu oleh "tradisi" dan ketidakadilan. R.A. Kartini melihat kaum wanita diperlakukan "rendah" dan tidak adil, dia menjerit dalam hatinya dan mengungkapkannya melalui surat kepada temannya di Belanda.
Memasuki era informasi, kaum wanita juga diperhadapkan dengan tantangan. Kalau pada era Kartini, kaum wanita berjuang untuk memperoleh hak yang sama dengan kaum pria dan agar diperlakukan secara adil, maka pada era informasi, kaum wanita berjuang untuk menguasai Iptek dan informasi. Tampaknya ada perkembangan perjuangan kaum wanita dari melawan "penindasan" kaum pria ke kemandirian dan menguasai Iptek serta informasi. Dalam hal ini, Suara Pembaruan, 22 Desember 1992 menuliskan, sbb:
Peranan kaum ibu kembali digugat, terutama dalam menghadapi era informasi. Sebagai pendidik dan pembina utama anak, kaum ibu harus memiliki taraf pendidikan yang baik. Karena itu, untuk meningkatkan peranan mereka, salah satu jalan yang perlu ditempuh adalah meningkatkan taraf pendidikannya.
Menghadapi membanjirnya informasi baik melalui televisi maupun media massa lain, kaum wanita dituntut untuk menguasainya. Hal ini berkaitan dengan peningkatan peranan dan intelektualitas mereka. Bila kaum wanita tidak memiliki pendidikan yang cukup, apakah mereka bisa berperan dan dapat mendidik anak dengan baik? Benarkah era informasi ini menjadikan kaum wanita pusing dalam mendidik anak? Bisakah kaum wanita berperan dalam era informasi ini?