Resource > Jurnal Pelita Zaman > 
Volume 12 No. 2 Tahun 1997 
 DARI MEJA REDAKSI

Topik wanita diangkat bukan dengan tujuan mengistimewakan sesuatu yang tidak istimewa. Sebenarnya, wanita sebagaimana juga pria sudah istimewa karena dijadikan menurut gambar dan rupa Allah. Namun dalam prakteknya harus diakui bahwa posisi dan peran wanita belum mendapat tempat yang selayaknya dalam masyarakat Indonesia. Kesamaan martabat dan harkat wanita dengan pria sering berhenti pada jargon-jargon perjuangan emansipasi. Kalau begitu, ternyata posisi dan peran itu tidak begitu saja diberikan tanpa usaha, perjuangan, dan tuntutan dari yang bersangkutan.

Seiring dengan semakin modernnya masyarakat ternyata berkembang juga arus kesadaran baru bahwa wanita harus juga mendapat kesempatan dan penghargaan yang sama dengan pria sebagaimana memang harkat keduanya adalah setara. Memang Allah telah mempercayakan manusia, laki-laki dan wanita, untuk menguasai bumi seturut dengan kehendak-Nya agar bumi mengeluarkan buah-buah kebaikan kepada manusia. Betapa perlunya peningkatan kesadaran bahwa peranan wanita dalam masyarakat modern semakin lama semakin besar, apalagi memasuki milenium ke-3 (mudah-mudahan benar prediksi dan pengamatan futurolog Alvin Toffler!). Semoga pembaca akan terlibat dalam arus kesadaran global yang semakin deras!

 STATUS WANITA MENURUT ALKITAB
Penulis: G. Hanny Hernayanti

Kita harus mengakui bahwa selama ini kaum wanita mengalami status conflict dalam mencari identitasnya karena sistem patriarkhal dijadikan alasan utama sehingga wanita seolah-olah menempati status kelas dua di bawah pria. Benarkah pendapat ini? Apakah Alkitab berpendapat demikian mengenai status wanita?

Di dalam Alkitab, kaum wanita memang sudah lama hidup dalam masyarakat patriarkhal karena umumnya mereka tinggal di lingkungan rumah atau keluarga yang seringkali mendapat perlindungan dari ayah, suami atau laki-laki lain dalam keluarga tersebut, kecuali beberapa wanita yang mampu menjadi pemimpin.1176

Penulis akan membahas status kaum wanita menurut Alkitab ditinjau dari kitab Kejadian dan surat Galatia. Doktrin penciptaan menekankan fakta bahwa Allah adalah asal mula dari segala sesuatu, karena segala sesuatu adalah kepunyaan-Nya dan berhadapan denganNya. Dengan kehendak bebasNya, Allah menciptakan segala sesuatu termasuk manusia, yaitu pria dan wanita, dengan tujuan untuk membahagiakan mereka. Melalui kebahagiaan itu mereka memuliakan Allah dengan penyembahan dan pengucapan syukur.1177 Penulis yakin bahwa Allah menginginkan komunikasi yang mesra antara Dia sebagai pencipta dengan manusia sebagai ciptaan, dan hal itu pasti akan mempengaruhi komunikasi manusia dengan sesamanya (termasuk pria dan wanita).

 TANTANGAN WANITA ABAD 21
Penulis: Guno Tri Tjahjoko

"Istri yang cakap siapakah akan mendapatkannya? Ia lebih berharga daripada permata. Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi istri yang takut akan Tuhan dipuji-puji." (Amsal 31:10,30)

Wanita sepanjang sejarah menjadi obyek pembicaraan, dan senantiasa juga menjadi "pelengkap penderita." Bukan rahasia lagi, bahwa di Asia pada umumnya wanita menjadi orang nomor dua dalam rumah tangga. Di daerah tertentu, wanita menjadi tenaga kerja kasar dengan upah yang rendah, dan bahkan ada sebagian yang dikirim sebagai tenaga kerja wanita (TKW) ke luar negeri.

Ada juga yang menyebut wanita dengan "orang-orang perkasa." Hal ini dilatarbelakangi setting agraris, di mana wanita pagi-pagi bangun lalu ke sawah. Agak siang, pulang dari sawah ke pasar atau memasak. Kemudian siang ke sawah lagi membawa makanan untuk suami. Malam hari, wanita menjadi teman suami yang baik. Wanita memiliki kelebihan dari pria, karena wanita dapat bekerja lebih lama dari pria. Selain wanita dapat bekerja lebih lama, wanita juga menjadi tumpahan "kenikmatan" pria. Iklan-iklan di media massa dan bioskop sering meng-ekspose sisi sensual dari wanita.

Wanita sebagai obyek sering merugikan citra dan harga diri, tetapi wanita tidak berdaya menghadapi hal ini. Mungkin karena latar belakang budaya bahwa wanita hanya "konco wingking" (teman di belakang/di dapur), menyebabkan wanita di Indonesia "dikondisikan" untuk menerima kenyataan ini. Itulah sebabnya, R.A. Kartini ingin mengaspirasikan suara hati wanita yang terbelenggu oleh "tradisi" dan ketidakadilan. R.A. Kartini melihat kaum wanita diperlakukan "rendah" dan tidak adil, dia menjerit dalam hatinya dan mengungkapkannya melalui surat kepada temannya di Belanda.

Memasuki era informasi, kaum wanita juga diperhadapkan dengan tantangan. Kalau pada era Kartini, kaum wanita berjuang untuk memperoleh hak yang sama dengan kaum pria dan agar diperlakukan secara adil, maka pada era informasi, kaum wanita berjuang untuk menguasai Iptek dan informasi. Tampaknya ada perkembangan perjuangan kaum wanita dari melawan "penindasan" kaum pria ke kemandirian dan menguasai Iptek serta informasi. Dalam hal ini, Suara Pembaruan, 22 Desember 1992 menuliskan, sbb:

Peranan kaum ibu kembali digugat, terutama dalam menghadapi era informasi. Sebagai pendidik dan pembina utama anak, kaum ibu harus memiliki taraf pendidikan yang baik. Karena itu, untuk meningkatkan peranan mereka, salah satu jalan yang perlu ditempuh adalah meningkatkan taraf pendidikannya.

Menghadapi membanjirnya informasi baik melalui televisi maupun media massa lain, kaum wanita dituntut untuk menguasainya. Hal ini berkaitan dengan peningkatan peranan dan intelektualitas mereka. Bila kaum wanita tidak memiliki pendidikan yang cukup, apakah mereka bisa berperan dan dapat mendidik anak dengan baik? Benarkah era informasi ini menjadikan kaum wanita pusing dalam mendidik anak? Bisakah kaum wanita berperan dalam era informasi ini?

 KEDUDUKAN ISTRI TERHADAP SUAMI
Penulis: Kristiana Tuniyah Herawati

Permasalahan dalam keluarga seringkali muncul karena kurangnya pemahaman tugas antar suami dan istri. Berikut ini disajikan uraian tentang pentingnya peran seorang istri yang sekaligus adalah seorang ibu dalam Perjanjian Lama. Dan terlebih dahulu diungkapkan bagaimana kedudukan seorang istri terhadap suaminya.

 PENAHBISAN WANITA SEBAGAI PENDETA
Penulis: Meitha Sartika

"Wanita menjadi pendeta? "Pertanyaan ini diungkapkan dengan penuh keheranan oleh seorang teolog pria Korea dalam colloquium "Methods of Doing Theology from an Ecumenical Perspective in Asia" yang diadakan oleh Christian Conference of Asia (CCA) dan World Council of Churches (WCC) di Kyoto, pada tanggal 14-9 April 1996. Juga ketika saya kotbah pada ibadah pembukaan colloquium itu. ia menyatakan "inilah pertama kalinya saya mendengar seorang pendeta perempuan berkhotbah." Keheranan yang serupa terjadi jika saya bercerita dengan beberapa anggota Christian Reformed Church (CRC) di Michigan, USA atau pun di Canada pada saat saya belajar di Calvin Theological Seminary pada tahun 1992-1993. Pada saat itu memang CRC tidak mengenal adanya pendeta perempuan di tingkat jemaat. Sampai tahun 1993, hanya Laki-lakilah yang bisa menjadi pendeta CRC. Pada tingkat sinode sudah terjadi diskusi mengenai "penahbisan wanita menjadi pendeta" di CRC sekitar 20 tahun lebih.1209

Memang sejak berabad-abad yang lalu citra pendeta berhubungan dengan sosok laki-laki. Laki-laki yang mempunyai keluarga yang harmonis. Laki-laki yang mempunyai istri yang dengan setia harus mendukung dan senantiasa menyertai pelayanan suaminya. Seorang perempuan yang menikah dengan laki-laki yang berjabatan pendeta, dianggap secara otomatis menikah dengan jabatannya juga.1210 Sebab itu sangat mudah untuk mendeskripsikan sosok "istri" pendeta, tetapi sosok "suami" pendeta bagi banyak orang sulit sekali membayangkannya.

Tidak dapat disangkal memang bahwa di banyak gereja wanita boleh dan diharapkan berperan dalam kehidupan gereja. Namun jika kita perhatikan, tampaknya di beberapa gereja peran wanita hanya diharapkan pada bidang-bidang tertentu, seperti: bidang konsumsi, paduan suara, sekolah minggu atau komisi wanita; tetapi tidak untuk menjadi pendeta. Kalaupun seorang wanita lulusan sekolah teologia, di beberapa gereja ia dianggap cukup menjadi penginjil (dari tugas-tugasnya tampak bahwa yang dimaksud "penginjil" di sini adalah pembantu pendeta) atau di gereja Batak dikenal istilah "diakones" dan penginjil atau pengkhotbah wanita. Seorang pendeta wanita dari gereja Presbyterian di Taiwan menggambarkan partisipasi kaum perempuan di gereja sbb:

Dalam jemaat-jemaat lokal, kaum perempuan biasanya ditemukan dalam jumlah yang terbatas dalam tingkat Majelis. Tanggungjawab mereka biasanya terbatas pada komisi bunga dan musik, sebagai diakones (sebuah jabatan yang biasanya tidak persis sama dengan diaken) dan guru sekolah gereja. Sementara kaum perempuan lebih besar jumlahnya sebagai anggota gereja yang aktif dan menjadi kekuatan yang mendukung dalam hampir setiap jemaat, mereka praktis tidak mempunyai kuasa apapun di dalam strukturnya, yang biasanya didominasi oleh para rohaniwan dan pejabat gereja laki-laki. Seperti dalam masyarakat umumnya. mereka dipandang sebagai penolong bagi kaum laki-laki, dengan bakat yang hanya terbatas pada hal-hal estetika atau pekerjaan dengan anak-anak.1211

Hal serupa pernah dinyatakan oleh seorang pendeta demikian: "The whole of Scripture witnesses with one accord that to man is confided the heavy task of ruling, to woman the beautiful task of serving."1212 Adanya pendapat-pendapat semacam ini membuat hal penahbisan wanita menjadi pendeta masih agak "kontroversial" (artinya ada gereja yang memandang boleh dan ada gereja yang memandang tidak boleh).

Betulkah wanita hanya dapat berperan di bidang tertentu saja dalam pelayanan di gereja? Betulkah seorang wanita tidak boleh menjadi pendeta?" Pertanyaan "bolehkah seorang wanita ditahbiskan menjadi pendeta" lebih banyak ditanyakan dan mendahului pertanyaan "bisakah seorang wanita menjadi pendeta." Dalam makalah ini akan dibahas dasar teologis penahbisan seorang wanita menjadi pendeta. Juga akan dibahas mengenai kendala atau keberatan yang masih ada untuk menahbiskan perempuan menjadi pendeta di gereja, dan diakhiri dengan melihat pandangan-pandangan gereja-gereja di Indonesia tentang hal ini.

 BUAH IMAN YANG MENJADI BERITA
Penulis: Shuni Veka, S.S.
 POLIGAMI DAN PERCERAIAN DALAM PERJANJIAN LAMA
Penulis: Risnawati Sinulingga

Kemitraan perempuan dan laki-laki sering dipermasalahkan. Perempuan biasanya dikemukakan dalam status yang lebih rendah dari laki-laki (Bnd. Lagu "Sabda Alam" ciptaan Ismail Marzuki. "Diciptakan... pria dan wanita. Ditakdirkan bahwa pria berkuasa. Wanita dijajah pria sejak dulu..."). Perjanjian Lama sering dipergunakan sebagai dasar argumentasi untuk membuktikan bahwa status perempuan lebih rendah dari laki-laki. Pembuktian ini, antara lain, dilakukan berdasarkan penafsiran tradisional terhadap Kej. l dan 2. yaitu bahwa perempuan berasal dari laki-laki, untuk laki-laki, bahkan sepanjang waktu statusnya lebih rendah dari laki-laki.1218 Pembuktian yang sama diberikan dengan mengutip bagian Perjanjian Lama yang berbicara "negatif" tentang perempuan.1219 Satu diantara bagian Perjanjian Lama yang dianggap "berbicara negatif" adalah yang mengijinkan poligami dan diceraikannya perempuan dengan cara yang relatif mudah.

Argumentasi dan pembuktian seperti ini jelas tidak dapat diterima. Yang dibutuhkan dewasa ini adalah penafsiran yang alkitabiah sekaligus ilmiah. Lagi pula banyak bagian-bagian Perjanjian Lama lain yang berbicara positif tentang perempuan (dalam perkawinan monogami misalnya), yang tidak boleh dilalaikan. Dalam hal ini, bagian Perjanjian Lama yang berbicara negatif tersebut ditambah bagian-bagian lainnya, termasuk mengenai masalah poligami dan perceraian, membutuhkan suatu metode pendekatan khusus, sehingga melaluinya diperoleh pemahaman yang obyektif mengenai perempuan.

 ANUGERAH UMUM: PERSPEKTIF TEOLOGI REFORMED (LANJUTAN BAGIAN PERTAMA) - SOTERIOLOGI HIPOTETIS DARI W.G.T. SHEDD
Penulis: Rudiyanto

Uraian sistematis tentang Kalvinisme ortodoks di Inggris terumus pada tahun 1646 dalam bentuk Westminster Standards (WS) yang terdiri dari Westminster Confession of Faith (WCF) serta Larger dan Smaller Catechisms (LC dan SC). Pada tahun 1647 WS diterima oleh gereja Kalvinis Skotlandia dan selanjutnya menjadi pegangan ajaran bagi hampir semua gereja Presbiterian, Kongregasional serta Baptis di Inggris dan di Amerika. Dapat dikatakan hampir semua gereja Protestan di dunia berbahasa Inggris, dengan pengecualian gereja Episkopal dan gereja Wesley, memegang WS.

Pada suatu sidang Majelis Umum denominasi gereja Presbiterian di Amerika Serikat pada tahun 1889, sejumlah penatua mengusulkan revisi untuk WS. Usul ini dipertimbangkan dan dibentuk komisi revisi. Yang pro revisi keberatan terhadap isi WS yang memuat butir-butir Kalvinisme ortodoks seperti Allah melewati dan tidak menyelamatkan sebagian, anugerah umum dan anugerah khusus, dosa asal, keselamatan bayi dan keselamatan untuk orang-orang yang belum pernah mendengar Injil. Para revisionis mempersoalkan keadilan Allah kalau Ia melewatkan anugerah khusus bagi sebagian orang sementara kepada sebagian lain diberikan. Mereka mengusulkan supaya doktrin kedaulatan Allah, yang dengan sengaja tidak menyelamatkan sebagian orang, dihapus. Kalaupun mau tetap dipertahankan, hendaknya doktrin itu dimodifikasi sedemikian rupa sehingga dasar Allah untuk tidak menyelamatkan kaum bukan pilihan bukan lagi kedaulatan-Nya melainkan dosa-dosa mereka sendiri. Untuk itu, diusulkan supaya lingkup pemilihan Allah adalah universal tidak terbatas; anugerah umum dapat menjadi anugerah keselamatan asal manusia mau bekerjasama; bayi yang pada dasarnya cuma mewarisi dosa asal tanpa dosa perbuatan tidak bersalah di hadapan Allah dan oleh karena itu tidak pantas menerima hukuman kematian. Namun karena tidak mencapai dua pertiga suara dari seluruh penatua denominasi itu - sekalipun dalam sidang Majelis Umum pada tahun 1893 mayoritas menyatakan telah siap merevisi WS - revisi tidak jadi dilakukan.

William Greenough Thayer Shedd (1820-1894), teolog senior dari denominasi itu. memimpin mereka yang menolak revisi. Pada tahun 1893 ia menerbitkan buku berjudul Calvinism: Pure and Mixed yang isinya membela WS dan menolak revisi.1241 Dengan mengacu kepada sejarah Gereja, Shedd menegaskan bahwa kredo-kredo Kristen yang penting tidak pernah direvisi, karena perevisian akan mengubah isi doktrin dan segera suatu kredo akan kehilangan konsistensinya (hal ix-xvii). Menurut Shedd, konsistensi suatu kredo mutlak harus ada. Maka Shedd menilai upaya merevisi WS berasal dari semangat zaman yang tidak menyukai Kalvinisme murni tinimbang hasil pemahaman yang memadai terhadap Alkitab. Padahal menurut Shedd di tengah-tengah perubahan dunia, gereja Presbiterian seharusnya menegaskan kembali kemurnian doktrinnya, bukan merevisinya (hal 10). Kalvinisme ortodoks memang sulit dan untuk itu perlu dijelaskan, diterangkan, dan ditegaskan kembali.

Tulisan berikut akan menguraikan pandangan Shedd tentang anugerah umum. Konsep ini berkaitan dengan konsep-konsep lain yang dipersoalkan kaum revisionis yaitu predestinasi ganda dan universalitas kasih Allah.

 PERAN GEREJA DI INDONESIA MENYONGSONG ERA PERDAGANGAN BEBAS
 WAWANCARA DENGAN CHRISTIANTO WIBISONO
 WAWANCARA DENGAN CHARLES CHRISTANO
 KETERANGAN PENULIS EDISI INI

Charles Christano, alumnus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta (sarjana muda sastra Inggris), STT Jakarta (STh), London Bible College (M.Th). Sejak 1976 menjadi gembala sidang Gereja Kristen Muria (GKMI) Kudus. Beberapa kali terpilih sebagai Ketua Sinode Gereja Kristen Muria Indonesia. Pada 1978-1984 menjabat Presiden Mennonite World Conference.

Christianto Wibisono, alumnus Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Politik Universitas Indonesia (UI), salah satu pendiri dan direktur EKSPRES, salah satu pendiri (bersama dengan Goenawan Muhammad dan Fikri Jufrie) majalah TEMPO. Pendiri dan direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (Indonesian Business Data Center/IBCD)

G. Hanny Hernayanti, alumnus STT Bandung (STh), kini melayani di Gereja Injili Indonesia Garut.

Guno Tri Tjahjoko, alumnus STT 13 Batu Malang (M. Div), kini menjadi staf Perkantas DI Yogyakarta.

Kristiana Tuniyah Herawati. mahasiswa tingkat empat di Sekolah Tinggi Teologia (STT) Bandung.

Risnawaty Sinulingga, alumnus SAAT Malang (B.Th), STT HKBP Pematangsiantar (STh dan MTh), ATESEA/Hebrew University Jerusalem (Doktor Teologia Biblika). Kini dosen agama Kristen dan pembina kegiatan mahasiswa Kristen di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan serta dosen mata kuliah PL dan Bahasa Ibrani di Institut Teologia Alkitab-GMI, Medan.

Rudyanto. mahasiswa tingkat tiga di STT Bandung.

Shuni Vashti Karuniadi, alumnus Program Studi Sastra Jepang Universitas Padjajaran. Bandung, mahasiswa Jurusan Konseling Kristen. Program Studi Pasca Sarjana di Institut Alkitab Tiranus Bandung. Kini dosen tetap di Program Studi Bahasa dan Sastra Jepang Universitas Kristen Maranatha. Bandung.



TIP #08: Klik ikon untuk memisahkan teks alkitab dan catatan secara horisontal atau vertikal. [SEMUA]
dibuat dalam 0.09 detik
dipersembahkan oleh YLSA