Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 1 Tahun 1997 >  KLONING: WAWANCARA DENGAN ROLF HILLE, J.E. SAHETAPY DAN SINGGIH WIDJAJA > 
VI. MENEGAKKAN SUARA KENABIAN: MANDAT KULTURAL GEREJA 

Mandat kultural yang diemban gereja mengharuskan umat Kristen untuk menyuarakan kebenaran firman Tuhan sebagai pijakan yang melandasi perkembangan iptek, termasuk bioteknologi. Dalam konteks itu, pesatnya perkembangan riset dalam rekayasa genetika pada era globalisasi ini menuntut para teolog dan etikawan Kristen berani menyuarakan suara kenabiannya, di tengah arus cepat perubahan zaman. "Seperti terhadap isu-isu dalam bidang sosial politik pada umumnya, orang Kristen harus berani untuk mengambil sikap dalam menghadapi isu-isu bioteknologi seperti inseminasi buatan dan kloning pada manusia," kata Sahetapy. Menurutnya iman Kristen seharusnya memberi landasan moral dan etika terhadap perkembangan iptek. "Jadi, berbicara mengenai kloning, kita harus memakai firman Tuhan sebagai patokan."

Sikap yang dilandasi kebenaran firman seperti itulah yang menurut guru besar tamu di Fakultas Hukum Universitas Leiden (Belanda) dan Universitas Katolik Leuven, Belgia tahun 1989 ini yang harus dengan berani disuarakan oleh gereja. Mananggapi peran suara kenabian gereja di tengah masyarakat Indonesia, Sahetapy menilai, "Gereja sampai saat ini, kecuali Katolik tidak pernah menegaskan sikap terhadap hal-hal seperti inseminasi buatan pada manusia apalagi kloning." Menurut Sahetapy, gereja seharusnya berani untuk menyuarakan suara kenabiannya dalam menghadapi perkembangan bioteknologi seperti ini karena itulah salah satu fungsi gereja sebagai garam dan terang dunia. "Saya heran mengapa para teolog Kristen Indonesia terutama Protestan tidak pernah berani ambil sikap tegas menanggapi hal-hal seperti ini," tandas Sahetapy, ketua Asosiasi Kriminologi Indonesia (AKI) yang terkenal vokal dalam menyuarakan penegakan hukum dan keadilan itu. "Padahal pada saat-saat seperti inilah dunia membutuhkan suara kenabian gereja." Sahetapy menilai keengganan gereja untuk mengambil sikap itu tidak hanya dalam hal isu-isu bioetik tapi juga dalam bidang politik dan sosial kemasyarakatan. Mengapa para teolog dan pemimpin umat Protestan tanah air enggan bersuara dalam hal ini? "Tampaknya para teolog kita mau cari aman. Mungkin saya keliru dalam hal ini. Saya sudah berkali-kali berceramah membicarakan hal ini, tapi hasilnya nihil," tandas Sahetapy sengit.

Faktor lain yang menurut Sahetapy menghambat respons gereja tatkala diperlukan adalah belum padunya suara dan langkah orang percaya dalam menyoroti isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. "Mungkin karena aliran di gereja Protestan begitu banyak sehingga masing-masing saling tunggu, siapa bersuara lebih dulu. Kalau Katolik 'kan hirarkinya jelas dan satu suara makanya tidak susah untuk bersuara." Bagaimana jalan keluar dari masalah diamnya suara kenabian ini? Sahetapy mengatakan, "Saya pikir para pendeta juga perlu di tatar secara khusus mengenai isu yang sedang berkembang dalam masyarakat dan tanggung jawab moralnya selaku pemimpin umat. 'Kan dalam jemaat biasanya ada ahli di bidang-bidang tertentu., atau kita undang pembicara non Kristen yang memang ahli di bidangnya untuk memperluas wawasan kita. "Dalam kaitan ini, Sahetapy menilai institusi pendidikan teologia sangat vital dan strategis perannya dalam menghasilkan pemimpin-pemimpin Kristen yang tidak hanya kokoh dalam bidang teologia tapi juga memiliki respek dan tanggung jawab sosial serta keberanian moral untuk menyuarakan kebenaran firman. "Kan sekolah tinggi teologialah tempat mendidik para pendeta kita. Di situlah kuncinya."

Senada dengan Sahetapy, Hille menegaskan pentingnya peranan seorang pemimpin Kristen baik dalam menyuarakan kesaksian gereja maupun dalam pembinaan umat. "Salah satu tugas dan panggilan para teolog dan pemimpin umat adalah menjadikan warga awam waspada dan kritis terhadap masalah tanggung jawab moral yang terkandung dalam setiap fenomena bioteknologi termasuk kloning." Menurut Hille, karena tantangan yang dihadapi gereja dan para pemimpin Kristen makin beragam dan kompleks di era globalisasi ini, gereja saat ini membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya kokoh dalam pengajaran Alkitab, tetapi juga harus memiliki wawasan yang luas dan keinginan yang kuat untuk selalu well-informed terhadap realitas dan perkembangan informasi di luar bidang teologia dan kekristenan yang digelutinya. "Singkatnya, selain memperdalam Alkitab, para pemimpin umat harus rajin membaca koran agar mereka benar-benar tahu informasi mutakhir tentang segala sesuatu yang terjadi di sekitar mereka sehingga mereka dapat menghadapi setiap problematika etik dan moral yang terkandung di dalamnya secara cepat dan tepat berlandaskan kebenaran firman, yang absolut dan kekal itu."

Sementara itu, mengomentari kesiapan pemerintah dan institusi hukum dan peradilan dalam mengantisipasi perkembangan dan kemajuan dalam bidang bioteknologi, Sahetapy berujar, Indonesia ketinggalan jauh dalam hal ini. "Perangkat peraturan dan perundang-undangan di bidang bioteknologi masih kosong, belum ada di sini. Jangankan itu untuk mengantisipasi era perdagangan bebas saja kita masih mencontoh perundangan dari luar. Lain halnya dengan bidang ekonomi, kita masih punya peraturan perundangan warisan Belanda sebagai patokan." Namun, Sahetapy percaya bahwa kalaupun secara teknis kloning dimungkinkan pada manusia, teknologi itu tidak akan berkembang di Indonesia karena hal itu tidak sesuai dengan kebudayaan dan tata kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius serta harkat dan martabat manusia.

Tim peliput: Joachim dan Elies Megawati Huang, Surya S. Giamsjah, Sucipto, Sandi Nugroho, Yusak Jore Pamei.



TIP #05: Coba klik dua kali sembarang kata untuk melakukan pencarian instan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA