Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 1 Tahun 1997 >  KLONING: WAWANCARA DENGAN ROLF HILLE, J.E. SAHETAPY DAN SINGGIH WIDJAJA > 
III. MUNGKINKAH KLONA MANUSIA? 

Problem etis dan moral berkaitan dengan penerapan teknologi tertentu tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kemungkinan praktisnya secara empiris. Problem etis moral justru timbul karena adanya kemungkinan penerapan teknis teknologi tertentu. Maka diskusi moral menyangkut kloning sangat erat kaitannya dengan pertanyaan: mungkinkah kloning dilakukan pada manusia? Pertanyaan ini layak diajukan karena berbeda dengan masalah moral yang bisa dilanggar, kendala teknis tidak mungkin bisa dilanggar karena hal itu berkaitan dengan hukum alam yang empiris sifatnya," tandas Singgih, yang juga menjadi Overseas Affiliate American Society of Human Genetics itu.

Dr. Ian Wilmut, arsitek sang Dolly, menyatakan bahwa jika ilmuwan sudah berhasil mengembangkan sel dewasa domba menjadi domba dewasa, berarti teknik yang sama juga bisa diterapkan pada manusia dan jika penelitian serupa dilanjutkan, maka para ahli hanya membutuhkan waktu dua tabun untuk membuat klona manusia dari sel tubuh, bukan dari sel embrio (Kompas, 9 Maret 1997, h. 13). Skema tahap pengklonan domba Dolly (lihat lampiran h. 90).

Berpijak pada pengalaman medis dalam menangani penyakit-penyakit genetis pada manusia, Singgih dengan tegas menyatakan bahwa kloning pada manusia adalah sesuatu yang mustahil secara teknis. Lalu, mengapa pada hewan kloning bisa dilakukan? "Itulah keunikan manusia. Memang kloning bisa dilakukan pada domba tapi manusia `kan lain dari hewan," tandas Singgih. Para ilmuwan yang menyatakan bahwa kloning pada manusia bisa dilakukan, membangun argumen mereka hanya berdasarkan kemungkinan teoritis, tanpa melihat fakta dan pengalaman empiris medis berkaitan dengan penyakit genetis pada manusia. Dengan kata lain, mereka mengasumsikan bahwa sifat-sifat genetis pada manusia identik dan berespons sama atas perlakuan sejenis terhadap binatang. "Habis, mereka tidak berurusan dengan orang sakit," demikian Singgih, dokter yang selama ini banyak menangani penyakit genetis medis. Singgih, master anatomi kedokteran yang juga memperdalam genetika molekuler di Universitas Hawaii dan Universitas Stanford Amerika itu, menolak adanya kemungkinan teknis kloning pada manusia dengan tiga argumen berikut.

Pertama, pengalaman empiris menunjukkan bahwa kelainan genetis hanya pada satu pasang kromosom saja, misalnya keduanya berasal dari ayah saja atau hanya dari ibu yang lazim disebut disomi, sudah akan menyebabkan cacat genetis yang parah, bahkan mengakibatkan keguguran pada janin. Sedangkan pada individu hasil kloning, karena kromosom hanya berasal dari salah satu orang tua, maka cacat itu akan terjadi pada semua kromosom tubuh. (Setiap orang memiliki 23 pasang (46) kromosom dimana 23 buah diwarisi dari ibu dan 23 lainnya dari ayah. Satu pasang diantaranya adalah kromosom seks red). "Jangankan pada semua kromosom, pada satu kromosom saja misalnya pada kromosom 15, terjadi disomi paternal dimana kedua kromosom hanya berasal dari sang ayah (kasus Angelmann Syndrome), maka anak yang lahir akan mengalami cacat genetis yang parah seperti IQ rendah, suka kejang-kejang, tidak bisa jalan dan mental terbelakang. Bagaimana mungkin manusia bisa hidup dengan disomi pada semua kromosomnya?" tanya Singgih. Sedangkan selama ini disomi pada dua pasang kromosom saja tidak pernah ditemukan. Mengapa? "Karena janinnya kemungkinan sudah langsung gugur beberapa saat setelah konsepsi."

Kedua, bagaimana mungkin inti sel organ tubuh tertentu yang diselipkan ke dalam sel telur yang belum dibuahi sebagaimana yang dilakukan pada kloning, bisa membuat organ-organ lain padahal dia tidak punya potensi genetis untuk membuat organ lain selain organ serupa? "Kalau yang dimasukkan inti sel kulit, maka otomatis dia hanya potensial untuk membuat sel kulit."

Ketiga, "sel itu terdiri dari inti sel dan sitoplasma. Sitoplasma mengandung asam deoksiribonukleat (DNA adalah asam-asam yang menyusun protein pembentuk kode genetik red) namanya mitokhondrial DNA. Mari kita lihat sperma. Hampir seluruhnya adalah inti, sitoplasmanya sedikit sekali. Itu berarti DNA-nya sedikit sekali. Kalau kita ambil sel lain lalu kita masukkan ke sel telur yang belum dibuahi, seperti yang terjadi pada kloning, itu berarti, mitokhondria dari sperma tersebut tidak ada. Padahal selain sebagai sumber energi bagi sel, mitokhondria juga berisi DNA untuk pembuatan sel saraf dan organ-organ lain. Padahal dari segi medis, satu molekul DNA saja yang hilang pada penyakit Thallasemia Constant Spring, misalnya, orangnya sudah cacat. Coba hitung berapa ratus bahkan ribu molekul DNA yang hilang karena tidak terlibatnya sperma pada kloning."

Singgih menambahkan, fakta bahwa belum pernah ada manusia hasil klon di dunia ini bukan karena manusia belum pernah mencobanya, tetapi walau para ahli sudah mencoba namun gagal karena tidak bisa mengatasi kendala-kendala teknis alamiah itu. Menurutnya, sebelum runtuhnya Uni Soviet, rejim komunis di sana telah sering mencoba kloning pada manusia namun mereka selalu gagal. "Ini sebenarnya suatu pertanda dari Tuhan bahwa kloning memang tidak boleh dilakukan pada manusia," tandasnya.

Singgih melanjutkan sebenarnya dalam beberapa diskusi informal dengan koleganya para ahli medical genetics internasional, para ilmuwan itu menyadari kebenaran tiga argumentasi di atas, namun mereka menganggap kendala teknis itu sekadar miracle yang belum tersingkap secara ilmiah. "Umumnya mereka tidak menerima kenyataan tersebut kalau kita sebut itu sebagai keunikan genetis manusia apalagi kalau kita katakan itu ada campur tangan Tuhan di dalamnya," komentar Singgih yang berencana menyampaikan argumen itu dalam forum ilmiah American Society of Human Genetics di Maryland, AS, Oktober 1997 mendatang.



TIP #25: Tekan Tombol pada halaman Studi Kamus untuk melihat bahan lain berbahasa inggris. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA