Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 1 Tahun 1997 > 
KLONING: WAWANCARA DENGAN ROLF HILLE, J.E. SAHETAPY DAN SINGGIH WIDJAJA 

Keberhasilan tim Roslin Institute, Skotlandia, yang dipimpin Dr. Ian Wilmut menghasilkan Dolly, sebuah copy domba melalui teknik kloning telah menggemparkan dunia awal Maret 1997 yang lalu. Temuan itu menghebohkan baik karena terobosan keilmuannya maupun kemungkinan dampak yang ditimbulkannya. Dolly merupakan produk revolusi bioteknologi, karena makhluk baru itu dibiakkan dengan memakai sel tubuh makhluk dewasa, bukan melalui pembuahan sebagaimana proses reproduksi alami. Time (10 Maret 1997) menyebutkan, "Dolly merupakan bukti hidup bahwa sel tubuh dewasa dapat dikembalikan ke dalam fase embrio untuk menghasilkan makhluk baru secara utuh." Tak pelak lagi kontroversi di seputar Dolly pun merebak di seluruh jagad. Pertanyaan yang segera muncul, akankah manusia dibuat klonnya?

Dolly tak hanya membuat geger dunia ilmiah. Gaungnya bergema lebih jauh ke bidang moral, etika, teologi dan politik. Bahkan Time menyebutnya sebagai isu yang telah melahirkan debat kultural. Tak kurang dari Presiden Amerika dan Paus, pemimpin umat Katolik sedunia ikut bicara menanggapi penemuan fantastis itu. Presiden Clinton berkomentar, "Stop, kita tidak bisa memPermainkan Tuhan." Sementara Paus Yohanes Paulus II melontarkan kritik terhadap orang-orang yang, menurutnya, telah mengkhianati semua hal dengan menginjak-injak martabat manusia demi kekuasaan dan uang (Kompas, 9 Maret 1997). Maka, terbuktilah pernyataan Lane P. Lester dan James C. Hefley dalam Cloning-Miracle or Menace (1980), yang pada saat terbitnya buku itu isu ini masih samar, "Manipulasi genetik adalah salah satu isu moral yang paling dramatis untuk generasi kita."

Untuk membahas kloning dari perspektif teologis dan etika Kristen, berikut ini hasil wawancara dengan tiga ahli: Dr. Rolf Hille, rektor Albrecht-Bengel Haus, Tiibingen (Jerman), Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H, M.A., guru besar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Surabaya) dan Dr. Singgih Widjaja, kepala Laboratorium Genetika Klinik RS. Anak dan Bersalin Harapan Kita (Jakarta). Yusak Jore Pamei dari Pelita Zaman menuliskan hasil wawancara ini sekaligus meramunya dengan bahan dari berbagai sumber.

 I. KLONING MENURUT ALKITAB: SEJAUH MANA MANUSIA BOLEH MELANGKAH?

Kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam sains dan teknologi telah melahirkan isu-isu bioetis yang baru. Inseminasi buatan, bayi tabung, ibu titipan, transplantasi organ, hewan transgenik serta berbagai bentuk manipulasi genetik yang merupakan produk bioteknologi yang benar-benar telah merupakan realitas medis masa kini. Di antara sekian banyak produk bioteknologi itu, kloning paling hangat diperdebatkan para teolog dan etikawan Kristen, terutama di negara-negara maju di kawasan Eropa Barat dan Amerika Serikat. "Bila di bidang doktrin masalah Kristologi tentang siapa sesungguhnya Yesus menjadi topik yang paling hangat diperdebatkan para teolog, maka masalah kloning dan rekayasa genetika adalah isu yang paling hangat dalam bidang etika," demikian Rolf Hille. Menurutnya, kemungkinan kloning pada manusia bukan hanya berdampak etis moral dan legal, tapi lebih jauh, secara teologis yakni hal yang sangat substansial yaitu bagaimana manusia melihat hubungan antara dirinya sebagai makhluk dengan Allah sebagai Pencipta.

Hille menegaskan bahwa Alkitab jelas mengajarkan bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai citra Allah secara khusus, lain dari proses penciptaan benda dan makhluk lain. Manusia adalah ciptaan yang merupakan ide asli dari Allah. Bertolak dari kebenaran ini, kloning pada manusia bertentangan dengan Alkitab dan merupakan bentuk pelanggaran manusia terhadap lingkup kedaulatan Allah sebagai Pencipta hidup. Bila itu diterapkan sebatas hewan dan tumbuhan demi kepentingan riset dan kemaslahatan manusia, kloning dan pelbagai bentuk produk rekayasa genetika masih bisa diterima, tandas Hille, guru besar teologia sistematika ini. "Bukankah Tuhan memberi amanat dan mandat kepada manusia untuk menguasai dan mengelola alam ciptaan termasuk hewan dan tumbuhan?" Menurutnya, kloning pada manusia tidak dibenarkan Alkitab sekalipun demi alasan riset ilmiah dan kepentingan medis.

Hille mengakui bahwa sebagaimana isu-isu bidang etika yang lain, diperlukan kejelian dan kehati-hatian dalam menanggapi masalah kloning, apalagi tidak semua isu itu dapat ditemukan jawabnya secara eksplisit dalam Alkitab. Namun, Alkitab dengan jelas mengajarkan kebenaran tentang hukum dan kedaulatan Allah atas hidup manusia.

Selain melanggar kewenangan Allah sebagai pencipta, kloning pada manusia merupakan pelanggaran serius terhadap harkat dan martabat manusia yang diciptakan Allah sebagai makhluk termulia dan unik. "Tuhan telah menetapkan manusia untuk berkembang biak secara alami melalui proses perkawinan. Lagi pula manusia diciptakan secara tunggal dan satu-satunya, bukan duplikasi," tandas Hille yang juga menjabat Ketua Komisi Teologi World Evangelical Fellowship itu. "Ketunggalan berarti hubungan antara Allah dengan pribadi adalah tunggal adanya. Allah punya hubungan historis tersendiri dengan setiap orang dan ini tidak boleh diduplikasi secara proses teknis." Hille menegaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia agar dapat berkomunikasi dengan-Nya. "Lebih dari itu, Tuhan Yesus mati untuk menebus dosa manusia pribadi demi pribadi."

Hille mengakui bahwa secara teologis, pemberian mandat kepada manusia untuk menjadi pengelola yang berkuasa atas segenap ciptaan (Kej 1:28) dilematis bagi manusia. Di satu sisi, manusia sebagai makhluk termulia dipercayakan Tuhan untuk berkuasa atas segenap ciptaan. Namun di sisi lain, sebagai ciptaan, manusia terikat kepada kedaulatan Sang Pencipta, yang telah menetapkan batas-batas wewenangnya. Sejauh mana manusia bisa melangkah dalam tapal batas kedua wilayah itu, di situlah letak ketegangan pergumulan etis dan moral. Dalam konteks itu, Hille, doktor teologia lulusan Universitas Munich (1989) itu menegaskan bahwa kloning pada manusia jelas berlawanan dengan kebenaran firman karena, "Tuhan menciptakan manusia sebagai gambar dan citraNya, sedangkan dalam kloning, manusia berusaha menciptakan suatu individu yang mirip dengan dirinya sendiri."

Senada dengan Hille, Sahetapy dengan tegas menolak kloning pada manusia. "Secara mutatis mutandis, saya setuju dan mendukung bila hal itu diterapkan pada binatang dengan tujuan mencari bibit unggul. Tapi bila kloning diterapkan pada manusia, secara kategoris itu sudah melanggar kedaulatan dan wewenang Tuhan sebagai Pencipta," tandas Sahetapy yang pernah mendalami bidang apologetika Kristen di Institut Alkitab Tiranus Bandung itu. Oleh karena itu, menurutnya, kepatuhan terhadap hukum Tuhan bersifat mutlak, tanpa tawar-menawar. "Menguasai bumi dengan segala isinya tidak lalu berarti manusia menjadi seperti Allah."

Ternyata keunikan manusia bukan cuma diajarkan Alkitab. Kebenaran ilmiah melalui temuan-temuan dalam bidang bioteknologi dan kedokteran juga membuktikan hal itu, kata Dr Singgih Widjaja. Salah satu contoh fakta bidang genetika medis yang membuktikan keunikan manusia dari binatang adalah dalam hal penyakit genetis. "Lihat contohnya pada anjing. Kalau pun mereka kawin di antara kerabatnya bahkan dalam satu keturunan, itu tidak menimbulkan cacat genetis pada anaknya. Coba pada manusia. Perkawinan sedarah langsung akan menghasilkan keturunan cacat," tandas dokter yang memperdalam medical genetics di Universitas Hawai itu. "Bukankah ini merupakan bukti bahwa manusia adalah lain dan tidak berasal dari binatang seperti kesimpulan teori Evolusi?"

 III. MUNGKINKAH KLONA MANUSIA?

Problem etis dan moral berkaitan dengan penerapan teknologi tertentu tidak dapat dilepaskan dari pembicaraan mengenai kemungkinan praktisnya secara empiris. Problem etis moral justru timbul karena adanya kemungkinan penerapan teknis teknologi tertentu. Maka diskusi moral menyangkut kloning sangat erat kaitannya dengan pertanyaan: mungkinkah kloning dilakukan pada manusia? Pertanyaan ini layak diajukan karena berbeda dengan masalah moral yang bisa dilanggar, kendala teknis tidak mungkin bisa dilanggar karena hal itu berkaitan dengan hukum alam yang empiris sifatnya," tandas Singgih, yang juga menjadi Overseas Affiliate American Society of Human Genetics itu.

Dr. Ian Wilmut, arsitek sang Dolly, menyatakan bahwa jika ilmuwan sudah berhasil mengembangkan sel dewasa domba menjadi domba dewasa, berarti teknik yang sama juga bisa diterapkan pada manusia dan jika penelitian serupa dilanjutkan, maka para ahli hanya membutuhkan waktu dua tabun untuk membuat klona manusia dari sel tubuh, bukan dari sel embrio (Kompas, 9 Maret 1997, h. 13). Skema tahap pengklonan domba Dolly (lihat lampiran h. 90).

Berpijak pada pengalaman medis dalam menangani penyakit-penyakit genetis pada manusia, Singgih dengan tegas menyatakan bahwa kloning pada manusia adalah sesuatu yang mustahil secara teknis. Lalu, mengapa pada hewan kloning bisa dilakukan? "Itulah keunikan manusia. Memang kloning bisa dilakukan pada domba tapi manusia `kan lain dari hewan," tandas Singgih. Para ilmuwan yang menyatakan bahwa kloning pada manusia bisa dilakukan, membangun argumen mereka hanya berdasarkan kemungkinan teoritis, tanpa melihat fakta dan pengalaman empiris medis berkaitan dengan penyakit genetis pada manusia. Dengan kata lain, mereka mengasumsikan bahwa sifat-sifat genetis pada manusia identik dan berespons sama atas perlakuan sejenis terhadap binatang. "Habis, mereka tidak berurusan dengan orang sakit," demikian Singgih, dokter yang selama ini banyak menangani penyakit genetis medis. Singgih, master anatomi kedokteran yang juga memperdalam genetika molekuler di Universitas Hawaii dan Universitas Stanford Amerika itu, menolak adanya kemungkinan teknis kloning pada manusia dengan tiga argumen berikut.

Pertama, pengalaman empiris menunjukkan bahwa kelainan genetis hanya pada satu pasang kromosom saja, misalnya keduanya berasal dari ayah saja atau hanya dari ibu yang lazim disebut disomi, sudah akan menyebabkan cacat genetis yang parah, bahkan mengakibatkan keguguran pada janin. Sedangkan pada individu hasil kloning, karena kromosom hanya berasal dari salah satu orang tua, maka cacat itu akan terjadi pada semua kromosom tubuh. (Setiap orang memiliki 23 pasang (46) kromosom dimana 23 buah diwarisi dari ibu dan 23 lainnya dari ayah. Satu pasang diantaranya adalah kromosom seks red). "Jangankan pada semua kromosom, pada satu kromosom saja misalnya pada kromosom 15, terjadi disomi paternal dimana kedua kromosom hanya berasal dari sang ayah (kasus Angelmann Syndrome), maka anak yang lahir akan mengalami cacat genetis yang parah seperti IQ rendah, suka kejang-kejang, tidak bisa jalan dan mental terbelakang. Bagaimana mungkin manusia bisa hidup dengan disomi pada semua kromosomnya?" tanya Singgih. Sedangkan selama ini disomi pada dua pasang kromosom saja tidak pernah ditemukan. Mengapa? "Karena janinnya kemungkinan sudah langsung gugur beberapa saat setelah konsepsi."

Kedua, bagaimana mungkin inti sel organ tubuh tertentu yang diselipkan ke dalam sel telur yang belum dibuahi sebagaimana yang dilakukan pada kloning, bisa membuat organ-organ lain padahal dia tidak punya potensi genetis untuk membuat organ lain selain organ serupa? "Kalau yang dimasukkan inti sel kulit, maka otomatis dia hanya potensial untuk membuat sel kulit."

Ketiga, "sel itu terdiri dari inti sel dan sitoplasma. Sitoplasma mengandung asam deoksiribonukleat (DNA adalah asam-asam yang menyusun protein pembentuk kode genetik red) namanya mitokhondrial DNA. Mari kita lihat sperma. Hampir seluruhnya adalah inti, sitoplasmanya sedikit sekali. Itu berarti DNA-nya sedikit sekali. Kalau kita ambil sel lain lalu kita masukkan ke sel telur yang belum dibuahi, seperti yang terjadi pada kloning, itu berarti, mitokhondria dari sperma tersebut tidak ada. Padahal selain sebagai sumber energi bagi sel, mitokhondria juga berisi DNA untuk pembuatan sel saraf dan organ-organ lain. Padahal dari segi medis, satu molekul DNA saja yang hilang pada penyakit Thallasemia Constant Spring, misalnya, orangnya sudah cacat. Coba hitung berapa ratus bahkan ribu molekul DNA yang hilang karena tidak terlibatnya sperma pada kloning."

Singgih menambahkan, fakta bahwa belum pernah ada manusia hasil klon di dunia ini bukan karena manusia belum pernah mencobanya, tetapi walau para ahli sudah mencoba namun gagal karena tidak bisa mengatasi kendala-kendala teknis alamiah itu. Menurutnya, sebelum runtuhnya Uni Soviet, rejim komunis di sana telah sering mencoba kloning pada manusia namun mereka selalu gagal. "Ini sebenarnya suatu pertanda dari Tuhan bahwa kloning memang tidak boleh dilakukan pada manusia," tandasnya.

Singgih melanjutkan sebenarnya dalam beberapa diskusi informal dengan koleganya para ahli medical genetics internasional, para ilmuwan itu menyadari kebenaran tiga argumentasi di atas, namun mereka menganggap kendala teknis itu sekadar miracle yang belum tersingkap secara ilmiah. "Umumnya mereka tidak menerima kenyataan tersebut kalau kita sebut itu sebagai keunikan genetis manusia apalagi kalau kita katakan itu ada campur tangan Tuhan di dalamnya," komentar Singgih yang berencana menyampaikan argumen itu dalam forum ilmiah American Society of Human Genetics di Maryland, AS, Oktober 1997 mendatang.

 IV. PROBLEM BIOETIS DARI KLONING

Kalaupun kloning pada manusia dimungkinkan secara teknis, dari kacamata bioetik, Singgih tegas menolaknya; kendati menurutnya, dari segi medis, teknologi itu sangat membantu program transplantasi organ. Dengan kloning akan dihasilkan organ yang secara genetis identik dengan organ individu yang di klon sehingga akan cocok dengan tubuh resipien-nya.

Problematika bioetik muncul di sini karena adalah sesuatu yang mustahil dalam proses transplantasi organ untuk menyelamatkan satu nyawa, tanpa mengorbankan nyawa lainnya. "Memang organ donor itu akan sangat cocok dengan tubuh penerimanya, namun, apa kita tega untuk membunuh seorang bayi untuk diambil ginjalnya demi menyelamatkan hidup seseorang?" tanya Singgih, ayah lima anak dengan tujuh orang cucu itu. Lebih dari itu, menurut Singgih, pada tahap praembrional, adalah relatif kecil peluang untuk menghasilkan suatu individu, tanpa konsekuensi untuk tidak menyingkirkan embrio-embrio lainnya. Sebagai contoh, untuk menghasilkan satu Dolly, Ian Wilmut melakukan 277 percobaan dengan hanya menghasilkan 29 embrio yang bertahan hidup lebih dari enam hari. Dari jumlah itu, hanya Dolly satu-satunya embrio yang lahir dengan selamat. (Time, 10 Maret 1997, h. 35). Jadi, untuk menghasilkan satu embrio hasil kloning, sang ahli tidak bisa tidak harus menyingkirkan ratusan bahkan ribuan bakal embrio lainnya. "Sedangkan pada manusia, saat terjadinya konsepsi pada saat pertemuan sel telur dan sperma, sang calon janin sebenarnya sudah lengkap menerima sifat genetis dari kedua tetuanya, jenis kelaminnya sudah ditentukan dan dia sudah bernyawa. Maka pada tahap ini pun pengguguran sudah berarti pembunuhan."

Pertanyaan lain yang bermuatan problematik bioetis adalah untuk kasus Dolly, berapa lama ia akan bertahan hidup. Setiap sel telah membawa umur tertentu dan akan mati pada pembagian sel yang ke sekian. Sedangkan Dolly berangkat dari sebuah sel induk domba yang telah berumur enam tahun. Kita mengetahui bahwa umur maksimum seekor domba sekitar 11 tahun. Pertanyaannya adalah apakah Dolly masih bisa hidup untuk merayakan Ultahnya yang ke-6? Dari segi reproduksi, yang juga tidak pasti adalah apakah Dolly bisa subur untuk berkembang biak. Kembaran-kembaran kodok hasil penelitian serupa biasanya mandul.

 V. IDEALISME ARISTOTELES VS IDEALISME BACON

Pentas pertentangan antara etika dan ilmu pengetahuan yang memang selalu ada, seolah marak kembali dengan kahadiran Dolly. Sekarang sering dibicarakan imperatif Iptek, yaitu apa yang bisa dilakukan iptek akan dilakukan oleh iptek, seperti yang ditegaskan Hille, "Sekali kita membolehkan kloning pada manusia, tidak ada titik balik bagi iptek untuk berbalik arah."

Imperatif Iptek itu, menurut Liek Wilardjo (Kompas, 12 Maret 1997, h. 4) berdasar pada satu dari dua aksiologis ilmu yaitu idealisme Aristoteles: Ilmu untuk ilmu itu sendiri. Umumnya ilmuwan yang mendukung rekayasa genetika termasuk kloning pada manusia meletakkan dasar legitimasi bagi kiprah mereka pada ideal ini, entah itu atas nama ilmu atau sekadar demi memuaskan naluri ingin tahu yang menjadi kodratnya sebagai manusia. Yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana para ilmuwan boleh melangkah dalam kiprah mereka untuk menerobos wilayah ketidaktahuan dalam memperluas wilayah pengetahuan, khususnya menyangkut misteri nyawa dan kehidupan?

Apa yang seharusnya menjadi rambu-rambu pembatas bagi langkah mereka? Staf Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya, K. Bertens (Kompas, 9 Maret 1997) menyatakan, "Perkembangan iptek harus dibatasi dengan norma-norma etis, imperatif moral. Itu berarti apa yang secara teknis bisa dilakukan belum tentu boleh dilakukan." Untuk itu, aspek moral dan etis dari agama bisa dan harus digunakan untuk menilai apakah penemuan teknologi kloning boleh atau tidak boleh diterapkan pada manusia. Hille menegaskan sebagai orang beriman, tidak bisa tidak, norma mutlak bagi moral dan etika Kristen adalah Alkitab, firman tertulis yang kebenarannya mutlak.

Untuk itu, Hille menyatakan bahwa dalam melakukan kiprah ilmiahnya, para ilmuwan termasuk ahli biogenetika tidaklah memadai bila hanya memakai kausalitas Aristoteles. Dia cenderung lebih memilih kausalitas kedua keilmuan yang menyatakan: Ilmu untuk kemanusiaan (idealisme Francis Bacon-red). Karena pada dasarnya, setiap ilmuwan dalam melakukan kiprahnya, tak pernah secara murni bebas dari kepentingan tertentu, tandas Hille.

Seolah mendukung Hille, Singgih mengemukakan kepentingan dibalik lahirnya Dolly. Tujuan eksperimen-eksperimen tersebut sebenarnya untuk mencari cara terbaik mereproduksi gen domba untuk kepentingan industri farmasi. Embrio domba bisa digunakan memproduksi protein atau hormon manusia dalam air susunya. Protein manusia tersebut kemudian dipanen dari air susu domba lalu dijual. Daripada menanti tanpa kepastian melalui proses alami yang memakan waktu lebih panjang, dilakukanlah kloning agar gen yang di rekayasa tersebut tidak hilang. "Makanya inti sel kambing dipakai untuk menghasilkan Dolly," tandas Singgih.

 VI. MENEGAKKAN SUARA KENABIAN: MANDAT KULTURAL GEREJA

Mandat kultural yang diemban gereja mengharuskan umat Kristen untuk menyuarakan kebenaran firman Tuhan sebagai pijakan yang melandasi perkembangan iptek, termasuk bioteknologi. Dalam konteks itu, pesatnya perkembangan riset dalam rekayasa genetika pada era globalisasi ini menuntut para teolog dan etikawan Kristen berani menyuarakan suara kenabiannya, di tengah arus cepat perubahan zaman. "Seperti terhadap isu-isu dalam bidang sosial politik pada umumnya, orang Kristen harus berani untuk mengambil sikap dalam menghadapi isu-isu bioteknologi seperti inseminasi buatan dan kloning pada manusia," kata Sahetapy. Menurutnya iman Kristen seharusnya memberi landasan moral dan etika terhadap perkembangan iptek. "Jadi, berbicara mengenai kloning, kita harus memakai firman Tuhan sebagai patokan."

Sikap yang dilandasi kebenaran firman seperti itulah yang menurut guru besar tamu di Fakultas Hukum Universitas Leiden (Belanda) dan Universitas Katolik Leuven, Belgia tahun 1989 ini yang harus dengan berani disuarakan oleh gereja. Mananggapi peran suara kenabian gereja di tengah masyarakat Indonesia, Sahetapy menilai, "Gereja sampai saat ini, kecuali Katolik tidak pernah menegaskan sikap terhadap hal-hal seperti inseminasi buatan pada manusia apalagi kloning." Menurut Sahetapy, gereja seharusnya berani untuk menyuarakan suara kenabiannya dalam menghadapi perkembangan bioteknologi seperti ini karena itulah salah satu fungsi gereja sebagai garam dan terang dunia. "Saya heran mengapa para teolog Kristen Indonesia terutama Protestan tidak pernah berani ambil sikap tegas menanggapi hal-hal seperti ini," tandas Sahetapy, ketua Asosiasi Kriminologi Indonesia (AKI) yang terkenal vokal dalam menyuarakan penegakan hukum dan keadilan itu. "Padahal pada saat-saat seperti inilah dunia membutuhkan suara kenabian gereja." Sahetapy menilai keengganan gereja untuk mengambil sikap itu tidak hanya dalam hal isu-isu bioetik tapi juga dalam bidang politik dan sosial kemasyarakatan. Mengapa para teolog dan pemimpin umat Protestan tanah air enggan bersuara dalam hal ini? "Tampaknya para teolog kita mau cari aman. Mungkin saya keliru dalam hal ini. Saya sudah berkali-kali berceramah membicarakan hal ini, tapi hasilnya nihil," tandas Sahetapy sengit.

Faktor lain yang menurut Sahetapy menghambat respons gereja tatkala diperlukan adalah belum padunya suara dan langkah orang percaya dalam menyoroti isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. "Mungkin karena aliran di gereja Protestan begitu banyak sehingga masing-masing saling tunggu, siapa bersuara lebih dulu. Kalau Katolik 'kan hirarkinya jelas dan satu suara makanya tidak susah untuk bersuara." Bagaimana jalan keluar dari masalah diamnya suara kenabian ini? Sahetapy mengatakan, "Saya pikir para pendeta juga perlu di tatar secara khusus mengenai isu yang sedang berkembang dalam masyarakat dan tanggung jawab moralnya selaku pemimpin umat. 'Kan dalam jemaat biasanya ada ahli di bidang-bidang tertentu., atau kita undang pembicara non Kristen yang memang ahli di bidangnya untuk memperluas wawasan kita. "Dalam kaitan ini, Sahetapy menilai institusi pendidikan teologia sangat vital dan strategis perannya dalam menghasilkan pemimpin-pemimpin Kristen yang tidak hanya kokoh dalam bidang teologia tapi juga memiliki respek dan tanggung jawab sosial serta keberanian moral untuk menyuarakan kebenaran firman. "Kan sekolah tinggi teologialah tempat mendidik para pendeta kita. Di situlah kuncinya."

Senada dengan Sahetapy, Hille menegaskan pentingnya peranan seorang pemimpin Kristen baik dalam menyuarakan kesaksian gereja maupun dalam pembinaan umat. "Salah satu tugas dan panggilan para teolog dan pemimpin umat adalah menjadikan warga awam waspada dan kritis terhadap masalah tanggung jawab moral yang terkandung dalam setiap fenomena bioteknologi termasuk kloning." Menurut Hille, karena tantangan yang dihadapi gereja dan para pemimpin Kristen makin beragam dan kompleks di era globalisasi ini, gereja saat ini membutuhkan pemimpin-pemimpin yang tidak hanya kokoh dalam pengajaran Alkitab, tetapi juga harus memiliki wawasan yang luas dan keinginan yang kuat untuk selalu well-informed terhadap realitas dan perkembangan informasi di luar bidang teologia dan kekristenan yang digelutinya. "Singkatnya, selain memperdalam Alkitab, para pemimpin umat harus rajin membaca koran agar mereka benar-benar tahu informasi mutakhir tentang segala sesuatu yang terjadi di sekitar mereka sehingga mereka dapat menghadapi setiap problematika etik dan moral yang terkandung di dalamnya secara cepat dan tepat berlandaskan kebenaran firman, yang absolut dan kekal itu."

Sementara itu, mengomentari kesiapan pemerintah dan institusi hukum dan peradilan dalam mengantisipasi perkembangan dan kemajuan dalam bidang bioteknologi, Sahetapy berujar, Indonesia ketinggalan jauh dalam hal ini. "Perangkat peraturan dan perundang-undangan di bidang bioteknologi masih kosong, belum ada di sini. Jangankan itu untuk mengantisipasi era perdagangan bebas saja kita masih mencontoh perundangan dari luar. Lain halnya dengan bidang ekonomi, kita masih punya peraturan perundangan warisan Belanda sebagai patokan." Namun, Sahetapy percaya bahwa kalaupun secara teknis kloning dimungkinkan pada manusia, teknologi itu tidak akan berkembang di Indonesia karena hal itu tidak sesuai dengan kebudayaan dan tata kehidupan masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius serta harkat dan martabat manusia.

Tim peliput: Joachim dan Elies Megawati Huang, Surya S. Giamsjah, Sucipto, Sandi Nugroho, Yusak Jore Pamei.



TIP #32: Gunakan Pencarian Khusus untuk melakukan pencarian Teks Alkitab, Tafsiran/Catatan, Studi Kamus, Ilustrasi, Artikel, Ref. Silang, Leksikon, Pertanyaan-Pertanyaan, Gambar, Himne, Topikal. Anda juga dapat mencari bahan-bahan yang berkaitan dengan ayat-ayat yang anda inginkan melalui pencarian Referensi Ayat. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA