Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 12 No. 1 Tahun 1997 > 
YESUS SEJARAH DAN ANALISIS REDAKSI 
Penulis: Hok Liong

Pribadi Yesus Kristus dapat dikatakan sebagai pribadi yang paling kontroversial di dalam dunia ini dari dulu sampai sekarang. Terbukti dari perdebatan tentang keilahian dan dua naturNya pada abad-abad permulaan sampai usaha-usaha penyelidikan terhadap bukti-bukti keberadaan-Nya pada abad-abad belakangan. Seakan-akan diri Yesus tak pernah berhenti diperbincangkan dari masa ke masa. Teristimewa beberapa abad terakhir yang berusaha menemukan Yesus yang sesungguhnya di dalam kitab-kitab Injil sebagai sumber tentang diri Yesus. Istilah Yesus Sejarah berasal dari buku karangan Albert Schweitzer yang sangat berpengaruh: The Quest of Historical Jesus: A Critical Study of its Progress from Reimarus to Wrede (1910, terjemahan dari judul asli Jerman Von Reimarus zu Wrede. Eine Geschichte der Leben-Jesu-Forschung). Istilah itu mengacu pada gambaran pribadi Yesus yang direkonstruksi melalui metode analisis historis modern.1146 Walaupun demikian, konsep tentang Yesus Sejarah1147 sendiri telah dikenal beberapa abad sebelum Schweitzer menerbitkan bukunya. Studi terhadap historisitas Yesus telah dimulai sekitar abad XVIII saat Gotthold Ephraim Lessing menerbitkan fragmen-fragmen berjudul Fragments from an Unnamed Author yang dikenal kemudian sebagai Wolgenbuttel Fragments (antara 1774 sampai 1778). Cuplikan-cuplikan tulisan tersebut berasal dari karangan seorang sarjana Jerman bernama Hermann Samuel Reimarus (1694-1768) yang melakukan pendekatan untuk pertama kalinya dari sudut pandang analisis historis dalam menjawab pertanyaan tentang siapa Yesus.

Puncak perkembangan analisis historis yang digunakan dalam studi-studi Yesus Sejarah pada masa kini adalah analisis redaksi. Artikel ini ditulis untuk memberikan sedikit penjelasan tentang analisis redaksi dan hasil-hasil yang dicapai melalui metode tersebut. Juga sikap orang Kristen, yang masih meyakini Alkitab adalah firman Tuhan yang diwahyukan dan diinspirasikan serta berotoritas, terhadap metode tersebut.

 I. GAMBARAN RINGKAS SEJARAH ANALISIS REDAKSI

Analisis redaksi dikenal mulai sekitar pertengahan abad XX yang sebelumnya didahului oleh dua disiplin ilmu analisis lainnya yaitu analisis sumber (abad XIX) dan analisis bentuk (awal abad XX).

Analisis sumber berusaha menyelidiki sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan kitab-kitab Injil. Penemuan pentingnya adalah bahwa Injil Markus merupakan sumber utama tertulis bagi Injil Matius dan Lukas. Analisis bentuk menyelidiki proses oral yang mana cerita dan perkataan Yesus diteruskan sebelum penulisan kitab-kitab Injil. Keberhasilan yang dicapai adalah mengklasifikasikan materi-materi kitab-kitab Injil ke dalam tiga kategori besar: (1) cerita-cerita tentang perbuatan Yesus; (2) perkataan-perkataan Yesus; (3) narasi-narasi penderitaan dan kematian Kristus. Namun para sarjana tidak berhenti sampai di situ, mereka kemudian berusaha meneliti cara-cara para penulis kitab Injil menyusun materi yang ada sekarang ini seperti perubahan, penambahan, pengurangan yang mereka lakukan terhadap tradisi yang mereka terima dan tujuan mereka melakukan itu semua. Inilah yang melahirkan analisis redaksi.

Ahli analisis redaksi pertama dapat ditujukan pada R.H. Lightfoot meski dia tidak menggunakan istilah itu sendiri. Dalam ceramah-ceramahnya (The Bampton Lectures, 1934) yang kemudian dibukukan dengan judul History and Interpretation in the Gospels, dia mendekati kitab-kitab Injil dengan menggunakan analisis bentuk namun melangkah lebih dalam sehingga menemukan bahwa bentuk-bentuk narasi kitab-kitab Injil atau aspek-aspek pengaturan materi yang ada, atau juga pilihan yang jelas terhadap materi yang ditransmisikan ternyata disesuaikan dengan tujuan teologis para penulis kitab Injil sendiri.

Analisis redaksi tampil ke permukaan setelah Perang Dunia II melalui karya-karya yang masing-masing berdiri sendiri dari tiga orang sarjana yaitu Gunter Bornkamm yang menyelidiki Injil Matius (1948), Hans Conzelmann atas Lukas (1954) dan Willi Marxzen terhadap Markus (1956). Walaupun bekerja tanpa saling bergantung, mereka bergerak ke arah umum yang sama. Nama sarjana yang terakhir, Willi Marxzen, memberikan gerakan yang baru itu dengan nama Redaksionsgeschichte (secara literal sejarah redaksi), yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan redaction criticism. Dari mereka tersebarlah suatu disiplin ilmu analisis baru yaitu analisis redaksi.

Analisis redaksi tersebut dapat didefinisikan sebagai disiplin ilmu analisis yang berusaha menemukan teologi setiap penulis Injil dan situasinya dengan mempelajari cara-cara dia telah mengedit sumber-sumber yang dimiliki dan menyusun Injilnya. Analisis ini menurut Perrin dapat disebut juga analisis komposisi karena berkaitan dengan komposisi baru dari materi yang ada dan pengaturan-pengaturannya ke dalam unit dan pola baru.1148

Hasil terpenting darinya adalah pengenalan terhadap pemahaman teologis tentang Yesus oleh para penulis kitab Injil yang mewakili kekristenan mula-mula. Tak mengherankan ada julukan bagi setiap gambaran Yesus dari setiap Injil. Markus menggambarkan Yesus sebagai Kristus yang Tersalib (Crucified Christ), Matius sebagai Kristus yang Mengajar (Teaching Christ), Lukas dengan Kristus yang Universal (Universal Christ) dan Yohanes yang menunjuk Yesus sebagai Kristus yang Kekal (Eternal Christ).

Walaupun demikian, analisis redaksi ternyata juga menimbulkan masalah serius dalam penyelidikan kitab-kitab Injil bagi mereka yang menjadikan Injil sebagai objek penelitian ilmu analisis. Jika materi-materi dalam Injil telah di distorsi oleh motivasi teologis para penulisnya bahkan diatur sedemikian rupa untuk mencapai tujuan mereka masing-masing, maka materi-materi tersebut patut dipertanyakan keabsahan historisnya (teologis terpisah dari yang historis). Kitab Injil cuma sekedar memberikan bisikan suara Yesus1149 karena timbul asumsi bahwa yang diberikan secara langsung hanya informasi tentang teologi gereja mula-mula dan bukan tentang pengajaran sebenarnya dari Yesus Sejarah.1150 Hasilnya tentu dapat dibayangkan terhadap validitas materi-materi yang ada dalam kitab-kitab Injil seperti tampak di bawah ini.

 II. JESUS SEMINAR

Pemakaian analisis redaksi yang ketat bahkan radikal dapat dilihat pada Jesus Seminar yaitu suatu kelompok sarjana sejumlah tujuhpuluh lebih, kebanyakan sarjana liberal, yang bertemu untuk mengevaluasi keabsahan catatan PB tentang tindakan dan perkataan Yesus. Mereka berkumpul dua kali setahun, mengajukan makalah-makalah penelitian, mendiskusikan teks-teks, dan memungut suara atas keotentikan materi yang didiskusikan, secara khusus bagian-bagian (kadang-kadang seluruh perikop, kadang dapat satu atau dua kata) yang hendak diwarnai. Warna merah berarti bahwa Yesus mengatakan hal tersebut atau paling tidak sesuatu sangat mirip dengannya (asli). Merah muda menandakan sedikit ketidakpastian tentang keotentikan perkataan itu (mungkin asli). Abu-abu menunjuk pada keragu-raguan (mungkin tidak asli). Dan hitam berarti teks tersebut berasal dari sumber lebih awal atau kemudian namun bukan dari Yesus (tidak asli).

Beberapa tahun terakhir, mereka telah mencapai pada suatu kesimpulan bahwa Yesus tak pernah mengatakan sebanyak 82% dari apa yang kitab-kitab Injil kanonik catat sebagai perkataan-Nya sedangkan sisanya 18% masih diragukan pula. Gebrakan mereka yang cukup hebat adalah diterbitkannya buku The Five Gospels: The Search for the Authentic Words of Jesus baru-baru ini. Buku ini mengemukakan kitab Injil kelima yang perlu dimasukkan ke dalam kanon di samping keempat Injil yang lain, yaitu Injil Thomas.1151 Bahkan sebagian dari mereka mengatakan Yesus yang sesungguhnya lebih merupakan pengkritik sosial seperti Socrates daripada Anak Allah dan Pemberita Kerajaan Allah.1152

Yang menarik, beberapa klaim terpenting dari mereka tentang kitab-kitab Injil tersebut tidak berkaitan dengan evaluasi terhadap perkataan-perkataan Yesus atas dasar kriteria objektif yang diperlukan untuk keotentikan, melainkan lebih pada asumsi-asumsi mereka yang berprasangka. Antara lain: (a) Yesus tidak bertindak sebagai nabi apokaliptik dari sebuah Kerajaan Allah eskatologis; (b) Sebelum kitab-kitab Injil ditulis, ajaran-ajaran Yesus ditransmisikan sekian lama dalam bentuk oral yang kebanyakan bagiannya tidak dapat dipercaya; (c) "Beban bukti" menimpa mereka yang hendak mempertahankan keotentikan kitab-kitab Injil.1153 Jadi, semua perkataan Yesus dalam kitab-kitab Injil harus diasumsikan tidak otentik sampai terbukti sebaliknya.

 III. BEBAN BUKTI

Beban bukti (burden of proof) perlu disinggung di sini mengingat para pemakai analisis redaksi radikal menunjuk itu sebagai hal yang harus dimiliki oleh orang-orang yang meyakini keotentikan perkataan Yesus.

Sebenarnya itu dilatarbelakangi bahwa mereka memiliki apriori bahwa kitab-kitab Injil tidak boleh dianggap dapat dipercaya historisitasnya kecuali kriteria-kriteria yang diperlukan ada. Kriteria-kriteria inilah yang merupakan beban bukti yang harus dimiliki oleh orang-orang yang memandang keabsahan historisitas kitab-kitab Injil. Tetapi sebaliknya, bagi orang-orang tersebut, kehadiran kriteria tersebut merupakan konfirmasi historisitas sedangkan tidak adanya kriteria itu tidak berarti historisitasnya perlu diragukan. Kriteria itu adalah:

A. Demonstrasi ganda

Jika ada lebih dari satu sumber secara esensial setuju satu sama lain, maka pernyataan-pernyataan yang ada dapat dipandang memiliki kepastian tinggi, secara khusus jika saling ketidakbergantungan sumber-sumber itu dapat diteguhkan.

B. Ketidakmiripan/ketidaklanjutan

Sebuah pernyataan yang dianggap berasal dari Yesus dapat dianggap otentik jika berbeda sekali dari apa yang dapat ditemukan baik dalam Yudaisme ataupun gereja mula-mula.

C. Lingkungan Palestina

Jika sebuah perkataan yang dianggap berasal dari Yesus dapat ditunjukkan berdasarkan ekspresi Aramaik atau jika sebuah konsep/peristiwa dapat ditujukan sebagai refleksi budaya Palestina abad pertama, maka tak dapat menganggapnya sebagai bentukan kemudian budaya helenistik (Yunani).

D. Koherensi

Jika telah menetapkan keotentikan perkataan-perkataan tertentu, maka perkataan lainnya yang berhubungan dapat juga dipandang otentik.

E. Bukan merupakan kehendak/tujuan

Hal-hal yang bukan merupakan bagian kehendak dan tujuan dasar dari penulis atau gereja mula-mula dapat dianggap mungkin otentik.

F. Sebab akibat (kontinuitas tradisi)

Harus ada sebab yang menimbulkan kehadiran catatan setiap bagian tradisi yang ada sekarang. Harus ada sesuatu yang menghasilkannya. Pertanyaan yang diajukan adalah sebab historis apa yang harus dipostulasikan untuk menjelaskan asal mula tradisi ini?1154

Tanggapan bijaksana terhadap beban bukti dapat kita lihat pada ungkapan Hooker yang dikutip oleh Blomberg.1155 Ia mengatakan bahwa perdebatan tentang beban bukti tidak sangat menguntungkan, dan hanya sesuai bagi mereka yang mengambil posisi-posisi ekstrim baik yang memandang kitab-kitab Injil mewakili laporan-laporan historis kata-kata Yesus atau bagi mereka yang menganggap Yesus sendiri tidak mengatakan apa pun yang cukup dapat diingat sehingga mampu disampaikan kepada kita. Mungkin lebih tepat memandang beban bukti terletak pada setiap sarjana, yang memberikan penilaian atas setiap bagian materi untuk memberikan penjelasan beralasan bagi keberadaan perkataan itu, dan menebak situasi kehidupan (Sitz im Leben) yang sesuai bagi setiap perkataan atau perikop.

 IV. KESIMPULAN

Analisis redaksi telah menambah khasanah disiplin ilmu analisis Alkitab sehingga kehadirannya tak dapat diabaikan. Bagi kita, khususnya yang masih memegang teguh otoritas Alkitab, dapat memakai secara tepat analisis redaksi ini untuk semakin memahami tujuan mula-mula para penulis mencatat segala perbuatan Yesus dan mengerti pengenalan mereka terhadap Yesus secara pribadi yang hendak disampaikan sehingga pengertian terhadap penekanan-penekanan mereka membuat perbedaan-perbedaan dalam kitab-kitab Injil dapat dijelaskan.

Walaupun demikian, adalah tidak dibenarkan kita melangkah terlalu jauh, seperti Jesus Seminar lakukan, yang menganggap bahwa materi yang mana para penulis kitab Injil telah tambah atau kurangi dan perubahan-perubahan yang mereka lakukan terhadap sumber-sumber mereka menyebabkan materi tersebut tak dapat dipercayai historisitasnya." Itu dikarenakan telah mengabaikan beberapa hal:12)

1. Kitab-kitab Injil ditulis oleh orang-orang yang secara tradisi terbukti adalah para rasul atau orang-orang yang sangat dekat dengan mereka sendiri. Karena itu, dengan demikian dapat melengkapi sumber-sumber yang ada berdasarkan informasi yang mereka miliki dari pengalaman dan ingatan mereka sendiri.

2. Pengalimatan bebas perkataan Yesus selalu dapat menghasilkan makna aslinya secara tepat sama dengan dibuat secara literal (parafrase ditujukan untuk memelihara makna asli karena lebih mudah dipahami). Bentuk diubah namun isi tetap sama.

3. Yohanes mengklaim bahwa Yesus berjanji Roh Kudus akan mengajar murid-murid-Nya "segala sesuatu," menolong mereka mengingat apa yang Dia telah katakan pada mereka (Yoh. 14:26), dan memimpin mereka kepada kebenaran (Yoh. 16:13). Ini menunjukkan bahwa para penulis kitab Injil percaya mereka dapat memperoleh informasi historis yang kuat.

4. Teologi dan sejarah tidaklah bertentangan. Seorang sejarawan dapat memiliki pandangan kokoh tentang makna peristiwa-peristiwa tertentu dan masih menulis sejarah yang dapat dipercaya. Tidaklah harus dianggap seorang saksi sejarah melebih-lebihkan fakta yang ada supaya dipercaya seperti di pengadilan untuk mengelabui jaksa penuntut. Justru, sebagai contoh, catatan-catatan dari orang Yahudi yang terlepas dari masa pembunuhan dan penyiksaan oleh Hitler dan Partai Nazi tentu lebih akurat meski dikemukakan secara menggebu-gebu (malah itu mendorong kepada kebenaran dan ketelitian karena mereka ingin orang lain percaya) daripada surat-surat kabar yang dianggap objektif.

Dengan demikian, analisis redaksi dapat menjadi alat berguna untuk penyelidikan Yesus Sejarah demi pertumbuhan iman umat-Nya karena semakin mengenal dan mengakui keberadaan-Nya teristimewa karya-Nya di dunia secara historis. Masalahnya sebenarnya bukan terletak pada sumber-sumber yang mencatat itu semua melainkan penafsir-penafsir sumber-sumber itu sendiri. Bagi yang merasionalkan segala sesuatu pasti harus merasionalkan sumber-sumber itu sedangkan bagi yang mengakui sumber-sumber itu sebagai firman Allah tentu akan menjadikan mereka sebagai yang berotoritas dalam hidup ini. Akhir kata, mengutip Dahl,1156 bahwa masalah teologis dan analisis sejarah atas Yesus memang dapat tidak berhenti, namun semua itu seharusnya mengingatkan kita bahwa Yesus adalah Tuhan atas gereja-Nya dan gereja tak boleh menjadikan dirinya tuhan atas Yesus.



TIP #34: Tip apa yang ingin Anda lihat di sini? Beritahu kami dengan klik "Laporan Masalah/Saran" di bagian bawah halaman. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA