Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 2 Tahun 1996 >  BUDAYA POPULER > 
MENGANTISIPASI, MENANGGULANGI DAN MEMPERBAIKI DAMPAK BURUK BUDAYA POPULER 

Tibalah kita pada bagian terpenting dari seluruh artikel ini. Bagaimanakah kita seharusnya bersikap dalam mengantisipasi perkembangan zaman? Apakah yang bisa kita andalkan dalam menanggulangi atau mencegah infiltrasi nilai-nilai yang ditawarkan oleh budaya populer baik secara terang-terangan maupun tersembunyi? Dan hal-hal apakah yang perlu kita garap dalam upaya menolong para korban budaya sekuler dewasa ini?

Gereja telah memasuki era baru globalisasi yang sangat kritis, suatu kurun masa yang ditandai oleh perubahan yang serba cepat dalam skala global. Dampak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi canggih seakan tak terbendung lagi. Gejolak perubahan yang tidak atau kurang diantisipasi sebelumnya, maupun yang terlambat di pantau pasti harus dibayar mahal oleh setiap insan modern, tak terkecuali orang Kristen. Karena itu, tugas kita dan para pemimpin beserta aktivis Kristen pada khususnya, terasa semakin berat dan sulit sebab di satu sisi kita semua harus berpacu dengan waktu kedatangan Tuhan yang makin mendekat, dengan konsekuensi kesempatan bekerja lebih sempit lagi; sementara di sisi yang lain masih ada begitu banyak permasalahan yang menantang dan menuntut penanganan yang lebih serius dan tuntas. Jelaslah bahwa tekanan demi tekanan permasalahan global yang pelik mendesak Gereja Tuhan agar segera menghadapinya bila umat percaya ingin bertahan terhadap bahaya erosi dan krisis nilai kristiani. Kini, di seluruh medan hidup, umat Allah dituntut untuk bertindak dan terlibat langsung dalam membangun masyarakat "dusun global" ini.

Selaku garam dan terang dunia, gereja perlu menetapkan orientasi yang utuh dalam kancah pelayanannya. Tanpa upaya keras seperti ini orang Kristen akan mudah terjebak dalam status quo-nya, alias mandeg tak bertumbuh kembang. Kekaburan kita dalam melihat posisi diri di tengah-tengah medan perjuangan global dengan segala tantangan dan tuntutannya akan mengakibatkan dua gejala yang sama-sama tak menguntungkan; yaitu (1) bersikap takabur dan sembrono karena menganggap enteng situasi yang kita hadapi; atau (2) malah membuat kita kabur dari tugas panggilan misional yang telah Allah percayakan kepada kita dalam mandat kulturalNya. Karena itu marilah kita bersama-sama menguburkan segala impian kosong berupa sikap optimis semu tanpa tindakan apa apa. Sebaliknya mari kita kikis sifat mudah menyerah, sikap pesimis buta tanpa beriman sedikitpun. Yang paling ideal adalah kita mengantisipasi perkembangan budaya zaman dengan sikap realistis dengan memperhitungkan segala sesuatu secara cermat dan akurat, lalu bertindak bersama sama dengan bijaksana selaras dengan strategi yang Allah ajarkan kepada kita melalui sabda-Nya. Justru peranan Kitab Suci dalam hal ini sangatlah vital dan krusial dalam membaca tanda tanda zaman yang sedang bermunculan. Nubuat nubuat dalam Alkitab memerlukan pengkajian yang lebih saksama serta mendalam, sebab satu persatu peristiwa di dunia ini, termasuk produk-produk budayanya sedang digenapi.

Di samping kebenaran firman Allah, kita pun tak boleh mengabaikan realita sejarah yang membantu kita mengamati segala fenomen yang sudah terjadi sehubungan dengan perkembangan budaya zaman. Juga hasil analisa para futurolog dalam memantau trend perkembangan kontemporer bisa dijadikan bahan acuan penelitian yang sangat berguna.

Dengan dibekali tiga serangkai "f" di atas, yaitu "firman", "fenomen" dan "futurologi", seharusnya kita bisa mengambil ancang-ancang dalam mengantisipasi berbagai gejolak perubahan dan pergolakan arus budaya zaman. Namun, apabila kita berhenti sampai pada taraf sekadar mengetahui gerak gerik dan gejala perubahan, hal itu tidaklah mendatangkan banyak faedah. Oleh sebab itu, kita perlu mengembangkannya lebih lanjut dengan dua metode yang komplementer: prevensi dan kurasi. Secara aktif, konstruktif dan kreatif metode prevensi berurusan dengan segala tindakan pencegahan ekses-ekses negatif sedini mungkin, artinya mengefektifkan seluruh kemampuan dan kearifan untuk menahan serangan bertubi-tubi nilai-nilai perubahan dalam segenap aspek kebudayaan. Sebagai ilustrasi, penulis mengajukan sebuah contoh berikut. Kita semua mengetahui pengaruh kuat media massa terhadap pembentukan sikap/watak seorang anak. Akan tetapi, bila kita membiarkan program acara televisi menguasai alam pikiran anak-anak kecil, yang notabene belum mampu membedakan mana yang baik dan mana yang jahat; mana yang benar dan mana yang sesat; mana yang lurus dan mana yang bias; mana yang berguna dan mana yang sia-sia; mana yang membangun dan mana yang merusak; demikian seterusnya..., maka adalah sangat riskan untuk membiarkan anak-anak mengkonsumsi tayangan yang diperuntukkan untuk orang-orang dewasa, yang belum saatnya dikonsumsi anak-anak, karena akibatnya bila fatal; anak-anak mulai mengadopsi tata nilai dari perilaku yang ditontonnya dari media audio visual itu. Pernah terjadi peristiwa nyata, dimana seorang anak balita melemparkan pisau kepada kakaknya. Ternyata diketahui kemudian bahwa sang bocah melakukan itu karena apa yang pernah disaksikannya dalam tayangan televisi. Dalam hal ini, memang ia belum mengerti apa itu bahaya, serta ia pun tidak mengetahui bahwa apa yang diperankan oleh para aktor dalam film hanyalah teknik animasi yang bukan sungguh sungguh nyata. Jadi langkah prevensi dalam kaitan dengan contoh kasus tadi yang mungkin diambil adalah mencegah anak mengakses pengetahuan yang belum patut baginya. Sebenarnya kita dapat menyesuaikan konsumsi dan porsi tayangan yang layak untuk di tonton anak-anak pada usianya, atau dengan cara mendampingi sang anak sewaktu menonton sambil memberikan ulasan informatif edukatif yang seperlunya agar ia terbimbing secara bijak dan bajik. Singkat kata, untuk menghadapi segala jenis produk budaya yang sekiranya bisa membahayakan atau berpotensi merusak, kita bisa melakukan tindakan pencegahan seawal mungkin sebelum hal yang tak dikehendaki terlanjur terjadi.

Seaktif-aktifnya kita membangun barikade pertahanan, toh itu tak menjamin bahwa kebobolan tak mungkin terjadi. Apabila yang tak kita harapkan itu sudah menjadi kenyataan, kita tak boleh membiarkannya berlarut-larut tanpa perbaikan. Sehubungan dengan problem ini, maka pembaharuan harus dikerjakan. Studi kasus lain juga dipaparkan di sini. Pergaulan bebas yang sudah membudaya pasti akan membawa bencana, baik cepat maupun lambat. Sewaktu orangtua menerima pukulan hebat karena anak gadisnya ternyata mengandung di luar pernikahan, apa yang bisa dilakukan olehnya? Barangkali masyarakat akan mencaci maki, membicarakan perihal kebusukan pola pergaulan anak-anak muda yang memang lepas kontrol dan sudah kelewat batas. Masyarakat juga bisa mencari "si biang keladi" untuk dipersalahkan. Namun semua reaksi ini pada dasarnya tak banyak berarti. Pepatah mengingatkan bahwa sesal kemudian tak berguna. Kalau demikian, solusi yang mungkin paling memuaskan adalah segera menangani si anak yang terkena "kecelakaan" itu secara bertanggung jawab dan tuntas. Tentu saja bukan dengan upaya pengguguran janin, lalu segala sesuatu dianggap beres. Malahan terkadang praktek aborsi menyeret banyak persoalan baru yang menambah kepelikan. Apabila kita ingin mencari jalan keluar yang dapat dipertanggungjawabkan secara iman Kristiani, kita mesti mengacu kepada pertimbangan dan keputusan yang dibangun atas kerangka prinsip-prinsip kebenaran alkitabiah. Pertama, dosa harus diakui, bukan ditutup-tutupi. Kedua, pengampunan harus diberikan kepada pihak yang sungguh-sungguh menunjukkan pertobatan sejati, yang tidak mengulangi perbuatan dosa yang sama. Ketiga, pembinaan dan pendidikan harus ditingkatkan, terutama bagi si korban dosa. Keempat, kalau mungkin, si anak yang lahir di luar perkawinan yang sah diadopsi atau dirawat orang yang bersedia dan bisa mengasuhnya. Bagaimanapun anak ini adalah manusia yang perlu dihargai keberadaannya terlepas dari latar belakang buruk orang tuanya. Kelima, semua rantai dosa dan ikatan kejahatan yang berkaitan dengan kasus ini hendaknya dipatahkan agar penderitaan dan persoalan serupa dapat ditekan jumlahnya. Walaupun harus kita akui bahwa melenyapkan sama sekali belenggu atau dampak dosa bukanlah hal yang mudah, namun toh harus dicoba untuk diselesaikan berdasarkan pertolongan dan pemulihan oleh Tuhan Allah. Inilah yang dimaksud sebagai contoh tindakan kuratif, yakni sikap dan semangat memperbaiki kondisi yang buruk dengan pilihan yang paling bijak demi membuahkan kebajikan terbesar. Pada prinsipnya, kita mungkin membaharui baik manusia, relasi antarpersonal, lingkungan hidup, kondisi masyarakat, sistem mekanisme, pola kecenderungan maupun praktek praktek perilaku yang muncul sebagai dampak buruk akibat budaya zaman. Lebih dari itu, tindakan proaktif lain yang patut dipikirkan adalah bagaimana membenahi dimensi moralitas warga masyarakat dengan memangkas atau membasmi langsung benih bibit budaya apa saja yang sudah jelas bersifat jahat. Misalnya kebiasaan-kebiasaan buruk jangan sampai didiamkan, karena lambat laun hal negatif tersebut akan menyuburkan karakter korup, yang pada gilirannya nanti malah dianggap umum atau biasa biasa saja. Justru inilah yang turut membentuk mentalitas dan budaya jelek yang seharusnya diberantas tuntas.



TIP #01: Selamat Datang di Antarmuka dan Sistem Belajar Alkitab SABDA™!! [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA