Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 2 Tahun 1996 > 
INJIL DAN KONTEKSTUALISASI 
Penulis: Roger L. Dixon966
 PENDAHULUAN

Masalah utama dalam hubungan Injil dengan konsep kontekstualisasi diungkapkan oleh Bong Rin Ro.

"Pokok yang menjadi kunci dalam soal teologi kontekstual adalah masalah doktrin alkitabiah yang bersejarah dalam gereja Kristen apakah doktrin tersebut dapat dipertahankan tanpa kompromi dalam proses kontekstualisasi."964

Sampai sekarang ini proses kontekstualisasi itu masih diperdebatkan oleh para ahli misiologi. Menurut Krikor Haleblian, definisi-definisi yang dipakai para ahli bidang misiologi tidak sama dan tidak jelas.965 Bukan itu saja, yang menjadi masalah adalah sebab sudah lama kita menyadari perbedaan konsep mengenai intisari doktrin Alkitab itu sendiri. Misalnya, apa yang disebut gospel core tidak sama untuk orang Injili dan orang neo-orthodox. Bagaimana mungkin dapat kita rencanakan suatu cara untuk mendekatkan Injil pada kebudayaan yang lain jika kita tidak dapat saling mengerti konsep-konsepnya? Tentu saja tidak dapat.

 LATAR BELAKANG

Mula-mula konsep kontekstualisasi muncul pada tahun 1971 ketika Theological Education Fund berpendapat bahwa kata indigeneous (pempribumian) tidak cukup untuk memberikan tanggapan yang bermakna terhadap Injil dalam hal hakikat inkarnasi Firman.

"Pada hakikatnya "pempribumian" cenderung dipakai sebagai tanggapan atas Injil dalam pengertian budaya tradisional. Kontekstualisasi, kendati tak mengabaikan hal tersebut, namun memperhitungkan unsur proses sekularitas, teknologi dan perjuangan untuk keadilan manusia, yang mencirikan momen historis negara-negara dunia ketiga."967

Selama 25 tahun yang baru berlalu ini, ahli-ahli misiologi dari pelbagai gereja memperbincangkan kontekstualisasi dan kegunaannya. Masih banyak orang Injili yang tidak senang dengan konsepnya. Mereka lebih senang memakai konsep lama, yaitu konsep indigenous (pempribumian) sebagai dasar perencanaan pemberitaan Injil dan church planting secara lintas budaya. Orang-orang injili masih belum menyetujui definisi umum sebab ada yang tidak senang dengan istilah kontekstualisasi yang lahir di kalangan orang oikoumene (baca: liberal). Di samping itu, mereka takut akan pengaruh antropologi yang diberi peranan penting dalam bidang misiologi. Akibatnya, kita masih berpisah jauh satu dari yang lain dan konsep-konsep kontekstualisasi cukup banyak, apalagi perencanaan-perencanaan untuk mendekatkan Injil pada budaya-budaya yang belum terjangkau.968

Dalam keadaan yang majemuk ini, kita menghadapi banyak macam cara kontekstualisasi. Yang penting bagi kita ialah suatu pegangan yang dapat mengikat kita pada landasan yang teguh. Bagi orang Kristen, pegangan ini disebut intisari Injil (gospel core).

Misalnya, Paulus menerangkan intisari Injil dalam Roma 1:1-5 dan 1 Korintus 15:1-6. Di dalam ayat-ayat tersebut telah tercatat pokok kepercayaan Kristen yang tidak boleh dihilangkan. Jika intisari Injil tidak jelas kita cenderung terseret jauh bilamana kita menerapkan Injil dan kekristenan pada budaya lain.

 SEBUAH CARA KONTEKSTUALISASI MASA KINI YANG KURANG MEMADAI

Sebagai contoh, saya ingin meneliti sebuah model yang diberi judul The C1-C6 Spectrum. Istilah model ini dalam bidang ilmu-ilmu sosial diartikan sebagai rumus untuk menjelaskan kaitan antara berbagai unsur dan variabel dalam satu gejala atau masalah. Dalam soal kontekstualisasi Injil, sebuah model bukan saja cara, contoh, bentuk, atau struktur untuk menjelaskan sesuatu tetapi juga merupakan rumus tentang Injil itu yang akan dikontekstualisasikan. Sangat menarik jika kita meneliti model The C1-C6 Spectrum sebab model ini sedang diimpor ke dalam beberapa bagian pelayanan di Indonesia. "The C1-C6 Spectrum" berdasarkan perumusan yang menjelaskan kontekstualisasi melalui sebuah garis lurus (linear model sebagaimana kebiasaan orang barat mengungkapkan sesuatu). The C1-C6 Spectrum disodorkan selaku suatu model universal meskipun tidak tercatat nama penciptanya. Seluruh model ini tidak perlu kita perlihatkan di sini karena beberapa hal yang khusus. Tapi cukup kita melihat bagian ini saja. Huruf C berarti gereja (church) dan angka 1-6 dipakai untuk menggambarkan beberapa pola kontekstualisasi. Semua pola ini boleh kita pakai tapi C-4 s.d. C-5 dianggap lebih baik untuk mendekatkan Injil pada orang yang beragama lain.

Jika kita berada di C-1 berarti kita ikut gereja tradisional yang memakai bentuk pelayanan yang biasa untuk gereja-gereja yang lahir dari misi Barat. Dalam tingkat C-2, kita lebih maju sebab bahasa daerah dipakai. Pada C-3 gereja memakai beberapa hal yang kontekstual seperti bahasa, seni, dan unsur-unsur kebudayaan yang lain. Tingkat C-4 melompat lebih jauh lagi dengan memakai bahasa agama dan adat istiadat dari agama suku yang dijangkau itu.

Jika kita maju ke C-5, kita.mengalami sesuatu yang tidak biasa dalam pengalaman gereja Kristen. Petobat-petobat masih menganggap dirinya anggota agama lama tetapi mereka menjadi pengikut nabi agama Kristen (misalnya: Nabi Isa). Keadaan ini mirip dengan gerakan "Jews for Jesus" di mama seorang Yahudi percaya kepada Mesias namun tidak ke luar dari agama Yahudi.

Menurut model The C1-C6 Spectrum, pola ini dianggap suatu perbatasan antara agama Kristen dengan agama lain. Kelompok C-5 adalah orang percaya yang tidak menghubungkan diri dengan gereja mana pun bahkan masih berfungsi sebagai anggota agama lama sekalipun ia percaya pada Juruselamat.

Yang terakhir, pola C-6 sebenarnya menyimpang dari garis lurus sebab orang-orang di sini merupakan kelompok orang percaya yang masih dirahasiakan. Mereka tidak pindah dari agama lama dan pengertian mereka tentang Juruselamat masih terbentuk oleh pengalaman seperti mimpi, mujizat, atau bacaan dari kitab agama yang lain.

 PENILAIAN THE C1-C6 SPECTRUM

Ada dua bahaya yang pokok dalam model ini. Yang pertama, sebuah model sebaiknya diciptakan oleh orang-orang setempat supaya dapat memperhitungkan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan kehidupan orang yang diinjili. Misalnya, The C1-C6 Spectrum tidak mengingat akan keadaan politik di Indonesia di mana seseorang perlu memeluk salah satu agama yang resmi. Tidak dapat diharapkan bahwa seorang petobat yang menyadari hal itu akan masuk pada perangkap seperti C-5. Jikalau betul C-5 berada di perbatasan agama, hal itu berarti bahwa kelompok C-5 dapat dianggap sebuah bidat atau aliran sesat dari salah satu agama.

Di Indonesia, status agama semacam itu belum ada yang dihargai. Jika kita mau melayani dengan baik, kita harus bertanggung jawab memenuhi harapan-harapan orang yang kita layani. Kurang bagus jika kita memimpin mereka kepada sesuatu yang merugikan mereka. Pada pola C-4, ada bahaya lain lagi, yaitu bahaya teologia.

Para ahli setuju bahwa sebuah model kontekstualisasi harus mempunyai gospel core. Mana intisari itu dalam model ini? Bahaya tersebut dapat merugikan kedua belah pihak, baik agama Kristen maupun agama lain. Dalam pola ini, pelayanan gereja diperbolehkan menggunakan istilah-istilah bahasa agama lain sebagai jembatan untuk menarik perhatian penganutnya. Umpamanya, menurut peraturan pola C-4, kita boleh menggunakan istilah Isa Al-Masih untuk menjelaskan identitas Yesus Kristus. Hal itu tidak akan menjadi masalah jikalau maksud kita sekadar menerangkan siapa Yesus itu. Akan tetapi. jika kita bermaksud membuat Yesus menjadi seorang Juruselamat yang dinantikan oleh orang Islam, mereka tidak akan setuju. Sebab menurut teologia mereka tidak perlu kita menantikan seorang juruselamat. Bahkan mereka tidak percaya bahwa Yesus itu Anak Allah. Ia tidak mati di kayu salib, tidak bangkit pula. Maka Ia tidak berkuasa mengampuni dosa dan bukan Juruselamat dunia, hanya juruselamat orang Yahudi saja.

Cara hermeneutik semacam ini menjadi timbal balik. Kontekstualisasi Injil seharusnya mulai dengan teks bukan konteks. Ada teks (yaitu Firman Tuhan) dan ada konteks (budaya manusia). Hermeneutik kita harus mulai dengan teks sebab dasar kontekstualisasi kita adalah intisari Injil. Shoki Coe, seorang teolog dari Taiwan, memberi petunjuk agar kita "setia pada teks, relevan pada konteks."969 Kita tidak boleh mengubah begitu saja intisari Injil agar manusia senang mengikuti pelajaran Alkitab. Intisari Injil harus jelas dan tetap. Kegagalan dalam hal ini membuat Injil menjadi alat ideologis yang cocok dengan agama lain. Akibatnya fatal: makna Injil hilang.

Ada masalah lain yang berkaitan. Istilah-istilah agama lain mempunyai arti tertentu yang tidak sesuai dengan teologia Kristen yang alkitabiah. Jika kita belum menjadi ahli dalam bidang istilah-istilah agama lain, bahaya sekali apabila kita begitu saja menggunakannya. Sebagai contoh, Seyyed Hossein Nasr, salah satu pakar agama Islam, menerangkan dalam buku-bukunya bahwa istilah-istilah AI-Quran adalah rumus-rumus yang suci yang menyiakan seluruh maksud dan tujuan agama. Rumus-rumus seperti Shahadah, Bismillah al-rahman al-rahim, Allahu Akbar, dan juga Alhamdulillah adalah simbol-simbol yang menjelmakan manusia yang mengucapkannya menjadi seorang baru. "Jiwa seorang Muslim bagaikan mosaik yang dibuat dari rumus-rumus Quran di mana orang itu bernafas dan hidup."970 Maksud Professor Nasr, untuk orang Islam Quran itu sama nilainya dengan Yesus dalam agama Kristen. Dengan memakai rumus-rumus itu, kita mempertentangkan dua pegangan yang berbeda.

Kontekstualisasi yang menggantikan istilah-istilah Alkitab dengan rumus-rumus agama lain bukanlah kontekstualisasi yang bersifat alkitabiah. Contohnya, pengakuan bahwa Yesus adalah Anak Allah. Bisa jadi dalam bahasa orang, nama Yesus diganti dengan terjemahan mereka. Tapi makna dari nama itu tidak boleh diubah. Banyak orang barangkali kurang setuju bahwa Yesus adalah Anak Allah. Namun pengakuan itu tidak boleh dihilangkan, bahkan dikurangi sedikit pun tidak boleh. Kita harus mengucapkan kata yang sama dengan firman Tuhan. Apa yang dikatakan Tuhan? Tuhan berkata bahwa Yesus adalah Anaknya. "Inilah Anak yang Kukasihi, kepada-Nyalah Aku berkenan." (Matius 3:17) Yang difirmankan oleh Tuhan harus dikatakan oleh kita. Ada Bapa, ada Anak. Mereka adalah satu.

Ada orang yang mengikuti perumusan The C1-C6 Spectrum itu yang membuka peluang untuk banyak hal aneh. Misalnya, ada yang menasihati orang agar tetap berdoa menurut kebiasaan lama. Bahkan ada yang menciptakan doa Kristen lima kali sehari untuk menggantikan doa lama. Meskipun ada orang yang tidak pernah mengikuti doa agama lama, namun ia terdorong untuk menerapkannya. Alasannya, agar dapat menjangkau teman-teman lain yang belum mendengar Injil. Janggal, bukan? Orang yang mengikuti Yesus supaya lepas dari perbudakan rohani seakan-akan dibelenggu kembali oleh para penginjil. Ada teman saya yang memakai The C1-C6 Spectrum yang pernah memberitahukan saya bahwa mereka tidak mengajar orang tentang Yesus sebagai Anak Allah sebelum mereka dibaptis. Setelah mereka dibaptis baru saja mereka dibimbing sungguh-sungguh bahwa Yesus adalah Anak Allah. Tetapi, pertanyaan saya begini. Berdasarkan apa orang itu dibaptis? Siapa berkuasa mengampuni dosa-dosanya? Kuasa apa yang dapat menjadikan dia baru secara rohani? Cara pelayanan itu sungguh membingungkan.

Untuk mereka yang memegang cara kontekstualisasi The C1-C6 Spectrum ini, nama Yesus suka dihilangkan. Usul mereka agar nama Yesus tidak dipakai saja baik dalam penginjilan maupun dalam ibadah gereja. Mereka ingin menggantikan nama Yesus dengan nama yang lebih cocok dengan selera agama lain. Saya dapat menerima usul agar sekali-sekali kita memakai nama lain untuk menerangkan makna Anak Allah itu. Akan tetapi, tidak bermanfaat untuk kesatuan gereja di Indonesia jika nama Yesus harus hilang sama sekali. Di Indonesia kekristenan sudah menjadi kontekstual dengan memakai nama Yesus. Jika nama itu dihilangkan tentu gereja-gereja tidak akan setuju. Mungkin juga petobat-petobat baru tidak akan disambut oleh kalangan Kristen. Sayang bukan? Banyak usul yang belum matang dalam The C1-C6 Spectrum membuat kita cemas.

Kesimpulan saya yaitu The C1-C6 Spectrum adalah perumusan yang bukan saja belum matang tapi menyimpang dari teologia Alkitab. Jika dipandang dari aspek misiologi, perumusan ini sempit dan kurang berbobot sebagai rumus kontekstualisasi. Perhatian perumusan ini ada pada salah satu pokok saja, yaitu soal agama. Sebuah model kontekstualisasi harus bersifat utuh untuk mencakup seluruh kepentingan masyarakat.

 PERUMUSAN KONTEKSTUALISASI YANG UTUH

Menurut ahli-ahli sosiologi dan antropologi, kehidupan manusia diwarnai oleh kebudayaan-kebudayaan yang kompleks dan utuh. Salah satu prinsip dalam misiologi yaitu sebuah model kontekstualisasi sedapat-dapatnya harus memperhatikan seluruh aspek kebudayaan suku bangsa yang mau diinjili. Maka pertama-tama kita perlu meneliti sejauh mungkin keadaan budaya tersebut Model-model kontekstualisasi boleh saja diimpor dari luar negeri asal dapat memenuhi syarat-syarat lokal yang penting. Umpamanya, sebuah model kontekstualisasi harus sesuai dengan aspek-aspek kebudayaan seperti politik, pendidikan, ekonomi, organisasi sosial, dan sebagainya. Model INTAN adalah salah satu contoh model kontekstualisasi yang bersifat pribumi dan utuh.

Model INTAN diciptakan melalui sebuah proses pelayanan di Jawa Barat yang berlangsung kurang lebih 10 tahun. Dalam proses ini Yayasan Persekutuan Untuk Pekabaran Injil mengambil peranan penting dalam hal mensponsori pelayanan yang beragam. Justru dalam proses tersebut, kami yang berjuang saling mendorong dan melengkapi pikiran satu sama lain. Pengalaman gereja di Jawa dipelajari dan diperbaurkan untuk mengambil manfaatnya. Akhirnya, muncul suatu filsafat pelayanan yang utuh dan matang. Pada tahun 1980, model INTAN ini telah terbentuk. Model ini bukan sebuah impor dari negeri atau pelayanan orang lain. Model ini lahir di lapangan di mana orang-orang pribumi memberi masukan-masukan yang pokok. Maka dari itu, kami percaya bahwa model INTAN adalah sebuah model kontekstual di Indonesia.

Model INTAN dapat dirumuskan dalam gambaran sebuah intan sebagaimana dilukiskan di atas. Setiap permukaan (faset) dari intan itu menggambarkan sebuah aspek dari kebudayaan. Dalam model kontekstualisasi yang utuh, semua aspek kebudayaan harus diperhatikan. Contoh aspek-aspek tersebut sebagai berikut: politik, sosial, pendidikan, hukum, ekonomi, kepemimpinan keadilan, agama, komunikasi, adat, bahasa, nilai-nilai, dasar, kependudukan, pemukiman, mata pencarian tanah, dan pembangunan.

Di samping daftar di atas ada juga ciri-ciri lingkungan yang lain yang perlu diperhatikan. Mungkin tidak ada sebuah model kontekstualisasi yang sempurna, tapi sedapat-dapatnya kita harus mengingat akan lebih dari masalah agama saja. Model INTAN memberi peluang kepada para pengerja Injil untuk menyadurkan pendekatan-pendekatan Pemberitaan Injil. yang matang dan cara penggembalaan yang menaruh perhatian kepada masalah-masalah rakyat.

Model INTAN ini berdasarkan intisari Injil yang alkitabiah. Oleh karena intisari itu berada di tempat yang sentral, pola-pola dan daerah pelayanan tidak menggoncangkan Injil itu. Sebaliknya, Injil memberi dampak yang pokok pada setiap pola pelayanan. Model ini bertolak dari prinsip bahwa Yesus Kristus adalah alfa dan omega dari segala sesuatu yang ada dalam kebudayaan dan kehidupan seorang anak Tuhan. Model INTAN mulai dengan Yesus dan terbentuk sedemikian rupa sehingga Yesus menjadi intinya. Ia yang harus unggul dalam segalanya.

Seorang petobat tidak boleh diasingkan dari lingkungannya tapi orientasinya terhadap Yesus harus jelas. Kita berharap bahwa setiap petobat menjadi garam dan terang dalam lingkungannya sendiri. Untuk mencapai tujuan itu, hubungannya dengan Yesus perlu jelas. Yesus tetap sentral dalam setiap pola pelayanan. Tidak mungkin seorang petobat boleh mengikuti dua agama atau seolah-olah tidak mengikuti agama mana pun. Kurang bagus juga jika ia tidak dikenal sebagai seorang pengikut Yesus Kristus, seorang Kristen. Bertobat berarti memutar haluan hidup. Menjadi pengikut Kristus berarti berubah hidup 180 derajat. Kita meninggalkan hidup lama menuju hidup baru. Bukankah Tuhan Yesus menyuruh kita menyangkal dirinya? (Matius 16,24)

Model-model kontekstualisasi seperti model INTAN berfungsi untuk mengintegrasikan petobat-petobat di dalam lingkungannya. Hal itu berarti bahwa posisi petobat-petobat itu harus jelas dalam pelbagai bidang. Jika agamanya tidak jelas, ia dapat dianggap pengikut bidat, aliran agama sesat. Jikalau demikian, bukan saja pemimpin-pemimpin agama lokal yang memberi perhatian, pemerintah pun dapat turun tangan untuk memperbaiki keadaan itu. Seorang yang dikenal sebagai seorang Kristen mempunyai hak menganut agama yang ia pilih. Orang itu akan dibela oleh gereja dan instansi-instansi pemerintah yang bersangkutan. Hal itu tidak berarti bahwa tidak akan terjadi gangguan untuk orang-orang Kristen. Tetapi, jika ada gangguan, posisinya jelas, tidak kabur.

Kita tidak mengajak petobat-petobat agar pindah dari kampung dan lingkungannya. Jika mereka bisa bertahan, lebih baik mereka tinggal tetap di kampung di mana mereka dikenal. Biasanya, mereka mengalami bermacam-macam penganiayaan sebab orang tahu bahwa mereka mempunyai keyakinan lain. Jika posisi mereka tidak jelas, mungkin mereka tidak akan mengalami reaksi dari rakyat. Tetapi, juga tidak ada kesaksian yang jelas. Menurut pengalaman yang saya amati, petobat-petobat yang bertahan dengan sikap yang dibentuk Roh Tuhan, sering sempat berkembang di tempatnya.

Dengan mempergunakan pendekatan ini kita dapat menolong petobat-petobat baru untuk mengintegrasikan aspek-aspek hidupnya seperti ibadah, pekerjaan, dan kesaksian hidup. Maka semua aspek kehidupan mereka terkaji guna menyesuaikan aspek-aspek itu dengan Injil. Jikalau ditinjau dari segi teoritis, hidup kita dipandang secara utuh. Tidak ada yang dihilangkan. Soal agama adalah salah satu aspek yang sangat penting namun agama tidak dapat dianggap terpisah dari aspek-aspek lain.

Melalui sebuah model kontekstual seorang Kristen dibantu menilai kembali segala aspek kehidupannya menurut cermin firman Tuhan. Ketika ia percaya, pandangan hidupnya mulai berubah dan terus berubah. Pendapat seorang Kristen tentang hal-hal seperti nilai-nilai dasar, politik, dan keadilan jelas berbeda dari orang-orang lain. Contohnya dapat kita lihat dalam bidang pendidikan, pelayanan sosial, dan kehidupan moral. Meskipun orang-orang Kristen belum sempurna, tidak dapat disangkal bahwa dunia ini menjadi lain karena pelayanan Kristen di bidang sekolah, medis, dan pelayanan sosial seperti rumah sakit, rumah anak yatim piatu, pelayanan untuk orang miskin, dan sebagainya.

 PENUTUP

Di dalam artikel ini, telah kita perhatikan beberapa aspek mengenai cara-cara mengkontekstualisasikan Injil. Untuk mengerti secara praktis apakah kontekstualisasi itu, saya sudah menerangkan beberapa contoh yang sedang dipakai di Jawa Barat. Masalah yang penting bagi kita dicatat oleh Y. Tomatala.

"Pertanyaan yang terus digumuli ialah 'bagaimana' seharusnya orang Kristen dalam setiap konteks berteologi, sehingga... tidak muncul dengan sintesis timpang?"971

Paulus menulis: "Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antar kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan." (1 Korintus 2:2) Kiranya kesaksian yang jelas itu menjadi kesaksian kita juga.



TIP #13: Klik ikon untuk membuka halaman teks alkitab dalam format PDF. [SEMUA]
dibuat dalam 0.16 detik
dipersembahkan oleh YLSA