Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 2 Tahun 1996 > 
BILA TIMUR BERTEMU BARAT 
Penulis: Yonky Karman{*}

({*}Yonky Karman adalah alumnus Seminari Alkitab Asia Tenggara (Malang) dengan gelar B. Th., Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara (Jakarta) dengan gelar Dr.s, dan Calvin Theological Seminary (USA) dengan gelar M. Th., sekarang menjadi pengajar di STT Bandung.)

Dalam perbincangan umum tentang budaya dikenal pembedaan Barat dan Timur. Kita bangsa Indonesia termasuk orang Timur, sedangkan bangsa Amerika atau Inggris orang Barat. Pembedaan Timur dan Barat, dalam hal ini Barat modern, tidak sekadar letak geografis, tetapi jauh lebih fundamental soal perbedaan budaya. Seringkali perbedaan ini dijadikan dasar oleh sebagian orang untuk memperingati orang lain agar tidak mengadopsi nilai-nilai Barat dengan alasan bahwa budaya itu tidak cocok dengan budaya Indonesia. Sebenarnya sejauh manakah perbedaan itu dan apakah perbedaan itu harus menyebabkan konflik?

 I. BUDAYA TIMUR

Mari kita mulai dengan Asia yang ketimurannya sudah jelas. Ada tiga agama besar yang amat mempengaruhi peradaban Asia yakni agama Konghucu, agama Tao dan agama Budha.953 Ketiganya berbeda satu sama lain, namun ketiganya memiliki ciri dominan yakni unsur harmoni atau "jalan tengah."954 Agama Konghucu mengajarkan jalan tengah antara manusia dan masyarakat;955 agama Tao menekankan jalan tengah antara manusia dan alam; sedangkan agama Budha mengajarkan jalan tengah antara manusia dan Yang Mutlak. Dalam falsafah agama yang menekankan harmoni ini, manusia hanya dilihat sebagai bagian integral dari keseluruhan. Keseluruhan lebih utama daripada bagian. Betapa pun pentingnya manusia, ia tetap bagian dan oleh karenanya, bukan yang utama.

Maka manusia tidak pernah boleh hidup untuk dirinya sendiri. Orang Timur dididik untuk memiliki tenggang rasa yang kuat. Ia diajar untuk ramah dengan orang lain dan menjaga hubungan baik. Tidak boleh ada dorongan untuk menjadi orang nomor satu di dunia. Kalau perlu hak-hak pribadi dilepaskan demi menjaga kadar toleransi yang tinggi ini. Demi menjaga tenggang rasa ini, maka lebih terpuji apabila seseorang tidak memperlihatkan apa yang dipikir dan dirasakannya pada suatu saat, menekan perasaan-perasaannya yang mengganggu seperti marah, benci atau tak setuju. Ia harus bisa mengontrol diri sedemikian rupa sehingga perasaannya tidak boleh menjadi begitu kuat dan menguasai seluruh kesadarannya. Orang yang mengumbar perasaannya malah akan dikatakan sebagai orang yang tidak bijaksana.

Sebuah contoh prinsip hidup harmoni ini terdapat pada kebudayaan Jawa. Salah satu kaidah terpenting dalam pergaulan yang menata kehidupan bermasyarakat adalah kerukunan.956 Rukun bukan berarti tidak ada perbedaan pendapat, melainkan tidak dikehendaki pertentangan frontal. Keadaan rukun merupakan ideal yang dipertahankan dalam semua hubungan sosial mulai dari keluarga sampai negara. Setiap pihak dituntut untuk tidak menimbulkan unsur-unsur yang bakal menimbulkan perselisihan dan keresahan. Bila unsur-unsur itu muncul, dengan terpaksa harus dipadamkan. Lebih jauh lagi, sikap rukun tidak berarti tanpa pendirian, juga tidak berarti meremehkan diri sendiri atau mudah berkurban untuk orang lain. Kerukunan yang dimaksud adalah menghindari konflik terbuka. Sekiranya terdapat perbedaan pendapat atau kepentingan, pengungkapannya akan diam-diam berpisah tidak bertemu (mis. perceraian), tidak omong satu sama lain untuk sementara waktu (jothakan) atau tidak berbuat apa-apa walaupun sudah diputuskan untuk dilakukan. Bila cara terakhir dilihat dari budaya Barat akan dianggap sebagai tindakan tidak konsekuen, padahal bagi orang Jawa itu cuma ekspresi ketidaksetujuan

 II. BUDAYA BARAT

Berbeda dari kebudayaan Timur, budaya Barat modern meletakkan martabat individu di atas segala-galanya. Manusia diakui sebagai makhluk yang unik dan tak tergantikan oleh apapun. Oleh karena itu, nilai-nilai lain bergantung pada manusia. Dari sini lahirlah penghargaan yang tinggi atas hak-hak asasi manusia, yang bagi masyarakat Barat merupakan hak-hak dasar yang tak bisa diganggu gugat. Kebebasan individu amat dijunjung tinggi. Anak-anak kecil sudah biasa berbicara tanpa tedeng aling-aling di depan orang dewasa untuk mengungkapkan ketidaksukaannya. Para remaja selepas sekolah menengah sudah dibiarkan hidup sendiri di apartemen. Orang tua membiarkan mereka memilih jalan hidupnya sendiri. Itu sebabnya orang Barat lebih berani menjadi dirinya sendiri, lebih spontan, lebih terus terang, lebih kreatif dan lebih percaya diri. Sejak kecil mereka sudah dibiarkan untuk menjadi dirinya sendiri dan menjadi pribadi yang otonom.

Budaya demokrasi juga tumbuh subur di Barat, walaupun pada awalnya Eropa seperti halnya Asia, menganut paham monarki di mana pemimpin negara merupakan orang yang khusus dikaruniai Allah untuk memerintah. Dalam pemerintahan monarkhis seperti ini berlaku slogan the king can do no wrong. Raja selalu benar, tidak pernah dan juga tidak bisa keliru. Yang salah selalu rakyat. Maka penguasa berlaku absolut atas rakyatnya. Berbeda sekali dengan sistem demokrasi, di mana kekuasaan memerintah, berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Selain pemerintah berkepentingan sekali untuk memperhatikan kesejahteraan rakyatnya dalam menyediakan tunjangan sosial, tempat rekreasi, sekolah, perpustakaan umum, tempat perawatan orang jompo dan yatim piatu, ia juga harus mempertanggungjawabkan pemakaian kekuasaan kepada rakyat.

 III. PERBEDAAN BARAT DAN TIMUR

Dari sekilas perbincangan masing-masing tentang Barat dan Timur di atas, bisa dilihat ada tiga perbedaan dari keduanya yakni dalam pengetahuan, sikap terhadap alam dan pandangan terhadap individu.957 Tentunya, perbedaan-perbedaan ini sudah di simplifikasi. Dalam kenyataannya, kita tidak pernah menemukan orang Barat atau Timur secara persis seperti ini.

A. Pengetahuan

Budaya Barat menekankan analisis pengetahuan yang kritis dengan mencari unsur sebab akibat dan membangun argumentasi-argumentasi. Hal ini dikarenakan kodrat manusia diletakkan pada akal budinya. Unsur rasionalitas amat ditekankan seperti terlihat pada konsep anima rationale (makhluk berakal budi) dari Aristoteles atau motto cogito ergo sung (aku berpikir, maka aku ada) dari Descartes. Puncak rasionalitas dalam sejarah filsafat Barat terletak pada Hegel dengan filsafatnya yang mengatakan bahwa yang nyata adalah rasional dan yang rasional adalah nyata.958 Maka orang Barat sibuk dengan usaha-usaha mengabstraksikan pengetahuan secara simbolis. Bahkan sekarang muncul begitu banyak pengetahuan-pengetahuan spesialis, yang membuat orang semakin terkotak dalam spesialisasinya sendiri.

Sebaliknya budaya Timur menekankan pengetahuan intuitif yang menyeluruh dan melibatkan unsur-unsur emosi. Bagi orang Timur yang nyata tidak harus selalu bisa dijelaskan secara rasional. Mereka mengakui bahwa ada hal-hal yang tidak dapat dijelaskan akal budi seperti misteri dan irasionalitas. Maka pusat kepribadian manusia tidak terletak pada inteleknya, melainkan pada hatinya. Orang tidak menggantungkan diri pada kata, karena tahu betapa terbatasnya kata-kata untuk mengungkapkan sesuatu. Dengan demikian, ternyata hidup bisa dihayati secara lebih utuh.

Di Timur ide-ide abstrak tidak sepenting ide-ide konkret, karena tujuan utama belajar bukan untuk mengisi otak dengan pengetahuan tapi untuk menjadi bijaksana. Oleh karena itu, orang Timur tidak tertarik melulu pada pengetahuan intelektual, karena dipercaya bahwa itu tidak mampu membuat hidup seseorang menjadi lebih baik. Itu sebabnya di Timur pengetahuan-pengetahuan spesialis tidak berkembang. Yang berkembang adalah pengetahuan mengenai bagaimana menjadi manusia, hikmat hidup dan keterlibatan dengan persoalan-persoalan hidup manusia secara konkret. Seorang misionaris Metodis yang terkenal E. Stanley Jones pernah berkata mengenai perbedaan Timur dan Barat. Di Timur orang bertanya-tanya allah mana yang harus dipercaya, namun di Barat orang bertanya-tanya mengapa harus ada Allah. Untuk orang Barat agama harus sistematis rasional dan akibatnya apologetika berkembang, tapi di Timur orang beragama untuk menghayati hubungannya dengan Allah.

B. Sikap Terhadap Alam

Budaya Timur lebih mendorong orang untuk menghayati diri sebagai bagian dari alam dalam kesatuannya dengan alam, sedangkan budaya Barat menghadapi alam sebagai objek yang bila dikuasai dan dimanfaatkan. Perbedaan sikap ini kentara pada dua contoh syair berikut yang mewakili kedua kebudayaan. Penyair pertama adalah Basho (1644-1694) seorang Jepang.

Ketika saya mengamati dengan hati hati,

saya melihat bunga nazuna sedang mekar dekat pagar!

Ketika menemui bunga nazuna di dekat pagar tua sepanjang jalan desa yang sunyi, Basho tidak menjamahnya, melainkan melihatnya dengan hati-hati. Rupanya bunga itu tampak begitu polos, tanpa kemegahan dan tanpa keinginan diperhatikan siapapun. Namun justru keadaan seperti itu sanggup memancing rasa kagumnya. Seakan-akan bunga itu menyimpan misteri kehidupan yang dalam. Penyair kedua adalah Alfred Tennyson (1809-1892).

Bunga di sela tembok tua,

kucabut kau dari sana,

kugenggam kau di sini, sebagian dan semuanya, dalam tanganku,

bunga yang kecil, andaikan aku dapat mengerti,

apa sebetulnya kau, sebagian dan semuanya,

aku akan tahu apa itu Tuhan dan manusia.

Berlainan dengan sikap Basho, Tennyson tidak membiarkan bunga itu hidup. Ia mencabut, memisahkan bunga itu dari tempat hidupnya. Ia tak peduli dengan nasib bunga itu, yang penting keinginannya terpuaskan. Betapa berbedanya kedua sikap ini!

Orang Timur lebih pendiam dan kontemplatif, sedangkan orang Barat aktif dan eksploratif. Semangat eksploratif ini baik, sepanjang terkendali dan tidak menjadi eksploitatif. Di Barat orang bergumul dengan persoalan tentang berapa banyak manusia harus memiliki, tetapi di Timur orang bergumul dengan masalah bagaimana seharusnya hidup dengan yang sedikit. Orang Timur lebih mencari kekayaan hidup ketimbang kekayaan materi. Maka di Barat manusia menjadi aktor yang aktif mengambil peranan membentuk sejarah. Konsep waktunya juga berjalan menurut garis lurus. Ia harus menentukan nasibnya sendiri dan percaya pada kemampuannya sendiri dalam memerangi penderitaan, penyakit dan kebodohan. Tapi di Timur manusia lebih menerima hidup apa adanya dan pasrah. Ada tuduhan terhadap budaya Barat bahwa sifat eksploitatifnya merupakan aplikasi dari Kej 1:28. Ini tidak betul. Eksploitasi alam merupakan salah aplikasi dari Kej 1:28. karena penguasaan alam di situ bukannya tanpa batas.

C. Individu

Budaya Barat lebih menghargai hak-hak individu. Suasana bebas dijamin supaya orang bisa menikmati hak-haknya. Di Timur martabat manusia juga diakui, namun ikatan hubungan dengan orang lain dan kelompok lebih ditekankan. Kita tidak pernah dibiarkan benar-benar mengurus diri kita sendiri. Kalaupun orang tak terang-terangan mencampuri urusan kita, minimal kita bila menjadi bahan omongan orang lain. Di Barat orang tidak suka usil dengan urusan orang lain, sepanjang orang lain itu tidak mengganggu kebebasannya. Tapi di Timur sudah menikah pun orang tua masih turut campur, karena pernikahan di Timur lebih dari melibatkan dua orang yakni dua keluarga. Itu sebabnya pernikahan yang tidak direstui orang tua, bagi orang Timur tidak baik. Selain itu, orang tidak dapat dengan bebas mengungkapkan isi hatinya, karena banyak pembatasan kultural. Kreativitas belum tentu dihargai, terutama kalau itu lain dari yang biasanya. Maka orang Timur lebih mudah malu, pendiam, tidak mau menonjolkan diri dan pasrah. Namun yang lebih merugikan, banyak cendekiawan Timur berimigrasi ke Amerika, karena di sana mereka jauh lebih dihargai dan leluasa mengembangkan diri. Mahasiswa santai saja di depan dosen dan tidak perlu bersikap terlalu hormat. Dosen wajib melayani pertanyaan murid dengan sabar, karena murid berhak untuk bertanya.

Bisa dikatakan kegotongroyongan dalam lingkungan sosial yang karib membedakan sekali budaya Timur dari budaya Barat.959 Di dunia Barat tidak ada lingkungan karib. Manusia sejati adalah manusia yang bisa mencapai sesuatu bersandarkan kemampuannya sendiri. Ideal hidup seperti ini menjadi sumber sikap gigih manusia Barat terhadap hidup seperti yang terlihat dalam mengeksplorasi alam dan mengorbankan diri demi kemanusiaan. Namun tatkala masalah dan stres datang, mereka mudah merasa kesepian. Di Timur orang hidup dalam lingkaran karib, sehingga ia lebih tergantung pada "apa kata orang' dalam komunitas. Antropolog R Benedict membedakan antara guilt culture dan shame culture. Dalam masyarakat yang menganut guilt culture, perasaan menyesal muncul karena perbuatan salah itu sendiri. Sedangkan dalam masyarakat shame culture, perasaan bersalah baru muncul kalau sudah ketahuan orang banyak. Jadi, sekalipun jelas salah namun kalau belum malu, jalan terus.

 IV. PERJUMPAAN BARAT DAN TIMUR

Kita di Indonesia harus mengakui bahwa pengaruh budaya Barat amat kuat. Dalam proses modernisasi ini kita banyak berkiblat ke Barat. Lalu apakah menjadi modern identik dengan menjadi Barat? Dalam hal ini antropolog senior Indonesia Koentjaraningrat membedakan antara modernisasi, penggunaan unsur-unsur kebudayaan Barat dan westernisasi.960

Modernisasi merupakan proses penyesuaian diri sesuai dengan konstelasi dunia di mana pada suatu saat kita hidup. Yang menentukan konstelasi biasanya bangsa atau negara adidaya pada waktu itu. Pada abad ke-2 SM sampai abad ke-2 kerajaan Romawi menentukan corak kehidupan ekonomi, politik dan kebudayaan dari kerajaan-kerajaan di sekitar Laut Tengah. Maka bangsa yang mau modern pada waktu itu harus menyesuaikan diri dengan kerajaan dan kebudayaan Romawi. Kemudian pada abad ke-4 sampai ke-10 kerajaan-kerajaan besar di India dan Tiongkok menentukan kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara dan Timur. Lalu akhirnya, pada abad ke-20 ini negara-negara Eropa Barat, Amerika Serikat dan Canada merupakan negara-negara maju yang menentukan percaturan politik dan ekonomi dari negara-negara belum berkembang atau sedang berkembang. Untuk tidak sampai terdesak oleh kekuatan-kekuatan raksasa seperti teknologi dan ilmu pengetahuan, maka modernisasi merupakan suatu keharusan. Kalau perlu, seperti kata Sutan Takdir Alisyahbana, bukan cuma sekadar alih teknologi, tetapi teknologi itu harus disebut.

Westernisasi merupakan usaha meniru gaya hidup orang Barat secara berlebihan seperti terlihat dari gaya berpakaian yang tidak sesuai lagi dengan sikon Indonesia. Ini yang disebut dengan kebarat-baratan. Berbicara sering dicampur dengan kata-kata asing sementara memakai bahasa sendiri belum betul seperti terlihat di sebuah kios McDonald, "Bu, nasi satu dan ayam fried chicken! Dalam bergaul, berpesta, merayakan ulang tahun, nampak juga sikap kebarat-baratan. Namun ironisnya, kita tidak menghayati mentalitas Barat yang positif seperti hemat, disiplin, berani bertanggung jawab dalam kesulitan, bermutu dalam karya-karya, gigih dalam berusaha atau berinisiatif.961

Mentalitas meremehkan mutu terlihat pada waktu orang cepat gembira kalau pekerjaan selesai tanpa memikirkan bagaimana mutunya. Di Indonesia orang masih harus membayar mahal untuk mutu pekerjaan maupun pelayanan. Ada mental yang suka menerabas mencari jalan paling singkat untuk mencapai sesuatu tanpa melewati jalan normal yang panjang. Gejala pemalsuan skripsi dan joki di kalangan perguruan tinggi merupakan contoh yang jelas. Hamba Tuhan ingin cepat dikenal. Caranya? Meniru gaya pengkhotbah besar tertentu. Gejala mumpungisme merajalela, di mana orang mengeruk keuntungan sebesar-besarnya tanpa menjunjung tinggi unsur fairness dalam berusaha. Sebenarnya, mentalitas suka menerabas ini berdampak pada daya saing. Pemberian monopoli dan proteksi tanpa batas yang jelas kepada pihak swasta melemahkan daya saing produk yang lemah. Gula Indonesia, contohnya, dibandingkan dengan negara produsen gula di ASEAN yakni Filipina, Thailand dan Malaysia, sudah mutunya jelek, harganya lebih mahal.962 Mentalitas suka menerabas juga memberi peluang munculnya OKB (Orang Kaya Baru). Dengan modal kecil mereka berhasil mendapat kepercayaan yang amat besar dari bank-bank pemerintah.963 Akhirnya, muncul sifat tak disiplin atau hanya disiplin kalau ada yang mengawasi. Kalau tak ada pengawasan, peraturan dilanggar seenaknya. Orang menaati rambu lalu lintas karena ada polisi yang menjaga. Kalau tak ada polisi, jalan saja.

Sifat inisiatif tidak berkembang, karena amat tergantung pada atasan. Barangkali ini ada kaitannya dengan warisan zaman kolonial. Orang Indonesia pada waktu itu selalu merasa kurang mampu sewaktu membandingkan diri dengan penjajah kulit putih. Kemudian teori-teori antropologi dan kebudayaan Timur juga dimulai dan dikembangkan oleh orang Barat, sehingga kita begitu bergantung pada teori-teori asing tentang identitas bangsa kita sendiri. Padahal belum tentu itu benar. Singkatnya, kita berada pada posisi minder terhadap budaya Barat. Sampai sekarang rasa tidak mampu itu tetap melekat pada diri kita. Kita masih lebih percaya pada manajer asing kulit putih daripada orang kita sendiri yang kemampuan manajerialnya tidak kalah. Sifat inisiatif yang positif tidak berkembang dalam suatu budaya priyayi yang selalu meminta doa restu ataupun mohon petunjuk, sekalipun kegiatan itu sudah terprogram. Dahulu dalam kasus kredit macet di Bapindo oleh Golden Key Group, jalan keluar untuk mengatasi collapse dari Bapindo dipakai bantuan tenaga asing dari Citibank, yang sebenarnya kompetensi serupa sudah kita miliki. Namun kekurangan orang kita, tidak berani berkata "Tidak!" sedangkan orang asing bisa dan berani berkata demikian.

Sifat tidak bertanggung jawab terlihat bila hasil pekerjaan jelek atau ada problem, dengan mudah kambing hitam dicari-cari. Di Jepang, seorang menteri perhubungan bisa mundur dari jabatannya hanya karena kecelakaan lalu lintas. Begitu besar rasa tanggung jawab orang Jepang, sehingga layaklah dari mereka lahir apa yang kemudian dikenal dengan Total Quality Control dalam sistem produksi. Sifat tak mau bertanggung jawab ini juga nampak dalam perjanjian-perjanjian ekonomi. Orang mudah berkelit, atau lebih jelek lagi, seolah-olah tidak pernah ada perjanjian. Begitu beraninya orang berutang cuma karena ingin memiliki secara cepat sesuatu yang sebenarnya tidak urgen.

Jadi, westernisasi tidak sama dengan penggunaan unsur-unsur budaya Barat. Kita bisa mengambil cara berpakaian, sistem persekolahan, sistem administrasi penyelenggaraan negara, teknologi yang modern, tanpa kita harus kehilangan identitas sebagai orang Timur. Modernisasi tidak identik dengan westernisasi. Namun untuk menjadi bangsa yang betul-betul modern, tidak cukup cuma memakai unsur-unsur budaya Barat. Kita juga harus memiliki mentalitas Barat yang positif supaya bisa mengikuti laju modernisasi yang sangat pesat. Kalau bisa, mentalitas kita Barat, tapi hati kita Timur. Sampai sekarang ini kita tertinggal jauh dari bangsa Jepang yang porak poranda pada Perang Dunia II. Salah satu kendala besar adalah soal mentalitas. Kita tidak memiliki mentalitas modern untuk mengiringi modernisasi, cuma sikap kebarat-baratan yang diambil. Maka akhirnya modernisasi hanya peniruan apa yang telah Barat capai. Kita sendiri belum sampai berani berinovasi dan menggugat dominasi intelektualisme Barat.

Sebuah pertanyaan lagi, apakah perjumpaan Barat dan Timur ini tidak membahayakan identitas nasional? Kita sering bicara tentang kebudayaan nasional yang pada dasarnya bukan sekadar penjumlahan dari kebudayaan-kebudayaan daerah yang ada, melainkan sebagai kebudayaan yang nilai-nilai pokoknya diacu oleh seluruh warga negara Indonesia. Maka kebudayaan nasional juga disebut sebagai "puncak-puncak kebudayaan daerah," artinya kebudayaan nasional merupakan unsur-unsur kebudayaan daerah yang sudah bisa diterima oleh suku bangsa lain, selain dari suku bangsa yang menghasilkannya. Dengan demikian, kebudayaan nasional adalah kebudayaan baru yang nilai-nilai pokoknya diacu secara bersama oleh seluruh warga negara Indonesia. Kebudayaan nasional penting supaya warga Indonesia tidak kehilangan "akar" kebudayaan, terlebih dalam era globalisasi. Globalisasi melalui jaringan telekomunikasi modern telah menyebabkan perubahan sosial budaya yang cepat dan mendalam, yang pada gilirannya menimbulkan disintegrasi kebudayaan (disorientasi kultural). Namun kebudayaan nasional tidak bisa menarik diri dari pergaulan dengan budaya global. Mau tidak mau kebudayaan kita bersentuhan dengan budaya-budaya asing lainnya. Kalau terjadi hal ini, kebudayaan nasional tidak cukup hanya menerima, melainkan harus transformatif dengan tetap memperhatikan akar-akar kebudayaan sendiri.



TIP #01: Selamat Datang di Antarmuka dan Sistem Belajar Alkitab SABDA™!! [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA