Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 1 Tahun 1996 > 
KISAH TIGA HAMBA TUHAN 
Penulis: Juswantori Ichwan919

Samuel, Hofni, dan Pinehas adalah tiga orang yang mendapatkan peran sakral dari Tuhan. Mereka adalah segelintir orang yang dipilih dari sekian juta umat untuk menjadi pemimpin rohani: orang-orang yang berdiri di hadapan Allah untuk mewakili seluruh umat. Mereka tidak pernah mendaftarkan diri untuk menduduki jabatan itu. Boleh di kata, mereka mendapatkan peran itu secara otomatis. Anak-anak Eli menjadi imam karena mereka keturunan Harun;917 sedang Samuel menjadi pelayan Bait Allah karena nazar ibunya.918 Ini sebuah peran sakral yang luar biasa!

Ketiga hamba Tuhan ini berangkat dari garis start yang sama. Mereka sama-sama pernah dididik dengan kurikulum yang sama. Tempat belajarnya sama: di Bait Allah. Guru merekapun sama: imam Eli. Dari dialah mereka tahu bagaimana caranya menjadi pelayan Tuhan. Dari dialah mereka tahu mana yang benar, mana yang salah.

Tetapi jika kita membaca 1 Sam 2:1-26, kita akan melihat bahwa arah pertumbuhan hidup mereka ternyata begitu berlawanan. Sementara Samuel makin hari makin menghayati peran sakral yang Allah berikan kepadanya, anak-anak Eli semakin tidak pantas menyandang peran sakral itu. Bahkan kisah ini berakhir dengan kontras: Tuhan semakin mengasihi Samuel, di pihak lain, TUHAN hendak mematikan anak-anak Eli. Mengapa demikian?

 CARA ELI MENDIDIK ANAK-ANAKNYA

Walaupun ketiga anak ini diberi materi pendidikan yang sama, namun cara Eli memperlakukan mereka tentu saja berbeda. Bagaimanapun juga Samuel harus menghadapi kenyataan bahwa ia bukan anak Eli. Maka wajarlah kalau Eli lebih memperhatikan anak-anaknya. Kalau kita membaca kisah ini dengan teliti, akan timbul kesan bahwa Eli memanjakan anak-anaknya. Ada dua bukti yang mendukung kesimpulan ini:

1. Cara penulis menyebut nama anak-anak Eli ini. Tidak satu kalipun nama Hofni - Pinehas920 muncul di perikop ini. Mereka selalu dipanggil dengan sebutan "anak-anak Eli," anak-anak yang begitu bergantung pada Bapanya."

2. Di ayat 29 dikatakan bahwa Eli "lebih menghormati anak-anaknya daripada Tuhan."Ini menunjukkan bahwa ia bersikap longgar dalam menerapkan disiplin keimaman pada anak-anaknya. Bisa jadi Eli memberikan banyak dispensasi pada anak-anaknya. Ia ingin menjadi bapak yang baik. Tetapi ia tidak mengajar anak-anaknya untuk hidup di hadapan Allah. Eli tidak mengajar mereka apa artinya takut akan Allah.

Sewaktu kecil memang efek memanjakan anak ini belum terasa. anak-anak Eli ini menuruti saja apa kata bapanya. Tetapi persoalan mulai muncul sewaktu mereka tumbuh semakin besar dan kuat. Sekarang mereka tidak bisa lagi di setir, apalagi waktu itu Eli sudah sangat tua. Umurnya sudah sembilan puluhan tahun. Anak-anak ini mulai menggantikan posisinya sebagai imam. Celakanya, pada saat wibawa Eli mulai pudar di mata anak-anaknya, rasa takut akan Allah belum lagi tumbuh di hati mereka. Anak-anak ini menjadi orang-orang yang hidup di bait Allah, tetapi tidak hidup di hadapan Allah.

 ANAK-ANAK DURSILA

Demikianlah akhirnya anak-anak itu tumbuh menjadi "orang-orang dursila921" (ayat 12): artinya orang yang di dalamnya tidak ada suatupun yang baik; pelanggar institusi perjanjian; orang yang tidak layak duduk dalam posisi sebagai imam. "Mereka tidak mengindahkan Tuhan." Tidak menghargai, tidak peka kepada Tuhan. Mereka tidak punya prespektif ilahi dalam menjalankan peran sebagai imam. Mereka hidup seolah-olah Tuhan tidak ada.

Sejak saat itulah peraturan-peraturan aneh muncul di Bait Allah. Mula-mula batas hak imam atas daging korban diubah. Menurut peraturan, binatang yang akan dipersembahkan harus dicurahkan darahnya di atas mezbah, lalu lemaknya dibakar. Orang Israel percaya bahwa pada waktu lemak itu dibakar. Tuhan mencium bau harum lemak itu, dan pada saat itulah Tuhan menerima persembahan itu.922 Setelah itu barulah daging persembahan itu direbus. Pembagian jatah daging rebus itu sudah diatur dengan jelas: Bagian dada dan paha kanannya menjadi jatah para imam, sisanya untuk orang yang mempersembahkan korban itu.923

Rupanya para imam muda ini tidak puas dengan jatah mereka.924 Batas hak ini akhirnya diubah menjadi begini (ayat 13-14): "Sewaktu daging direbus, pelayan imam akan datang membawa garpu bergigi tiga. Garpu ini akan dicucukkan ke atas daging rebus, dan daging yang tertarik oleh garpu itu akan menjadi jatah para imam." Konon umat diajak untuk berpikir bahwa garpu itu adalah "garpu Allah". Apa yang tertarik oleh garpu itu berarti ditentukan oleh Allah untuk para imam. Maka tempat merebus daging itupun berubah menjadi "arena pancing daging rebus." Praktek seperti itu akhirnya menjadi praktek yang biasa,925 dan sampai tahap ini anak-anak Eli tidak merasa gentar, sebab mereka tidak hidup di hadapan Tuhan.

Belum puas dengan semua itu, lama-kelamaan rupanya mereka bosan makan daging rebus. Mereka ingin menikmati daging panggang. Untuk keperluan itu, mereka meminta jatah daging itu diserahkan sebelum lemaknya dibakar. Ini berarti sebelum Tuhan menikmati persembahan itu, mereka ingin menikmatinya duluan. Mereka mau merebut "jatah Tuhan". Mereka ingin mendapatkan bagian yang terbaik dari daging itu, sedangkan Tuhan hanya diberi sisanya.

Permintaan ini tentu saja sangat mengagetkan umat Israel. Semua orang Israel tahu bahwa persembahan korban adalah sebuah ritual yang sakral. Ritual yang ditetapkan oleh Tuhan sendiri untuk mendidik umat memberi bagian yang terbaik bagi Tuhan. Karena itu mereka memberanikan diri bertanya, "Pak, bukankah lemak itu harus dibakar dahulu? Bapak boleh mengambil semua jatah daging kami. Tetapi jatah untuk Tuhan, biarlah kita serahkan dulu untuk Tuhan" Di sini kita melihat situasi yang terbalik. Bukannya bujang imam mengajari umat, malah umat yang perlu mengajari imam.

Tetapi tegoran ini tidak juga membuat jajaran imam sadar. Bujang-bujang imam malah berani merebut daging itu: kalau perlu dengan kekerasan! Di sini narator ingin menggambarkan betapa parahnya kehidupan anak-anak Eli, mereka telah buta. Mereka tidak bisa lagi melihat bait Allah sebagai bait Allah, tidak bisa melihat diri mereka sebagai imam yang kudus ; dan tidak bisa lagi memandang upacara korban sebagai sesuatu yang sakral. Di mata mereka, upacara persembahan korban itu tidak punya arti apa-apa. Persembahan korban hanya berarti pindahnya daging dari tangan umat ke perut mereka.

Narator menilai keadaan mereka dengan satu kalimat tajam di ayat 17: "Dengan demikian sangat besarlah dosa kedua orang muda itu di hadapan Tuhan."

 PERTUMBUHAN SAMUEL

Kita telah melihat bahwa Samuel tidak dimanjakan oleh Eli, tetapi justru hal itu membuatnya mampu menjadi orang yang dewasa. Sesuatu berubah di dalam dirinya. Kalau sebelumnya (di ayat 11) dikatakan ia melayani Tuhan di hadapan Eli (Ibrani: et penei Eli, yang diterjemahkan LAI sebagai "di bawah pengawasan" Eli), sekarang ia menjadi pelayan Tuhan di hadapan (Ibrani: et-penei Yahweh).926 Mengapa hal ini bisa terjadi ?

Orangtua Samuel rupanya sadar bahwa mereka tidak bisa terus-menerus ada di hadapan Samuel. Mereka hanya bisa bertemu Samuel beberapa kali dalam setahun, maka mereka mendorong anak itu agar hidup takut akan Tuhan. Hal itu diungkapkan lewat suatu simbol: Ibunya memberikan Samuel sebuah jubah kecil (baju luar dari Efod)927 yang dibuatnya sendiri. Melalui jubah itu orangtua ini seakan mengajar Samuel untuk menjadi anak yang hidup di hadapan Tuhan; yang menghormati hal-hal yang sakral. Setiap kali Samuel memakai jubah ibunya, teringatlah Samuel bahwa jauh dari sana, di kota Rama, ada orangtua yang berharap agar ia memainkan perannya sebagai pelayan Tuhan dengan benar.

Demikianlah tahun-tahun berlalu. Orangtua Samuel sekarang sudah mempunyai lima orang anak lagi, dan itu berarti perhatian sang ibu semakin terbagi-bagi.928 Tetapi justru di tengah jauhnya hidup dari orangtua, Samuel belajar banyak bagaimana hidup di hadapan Allah; hidup mengandalkan kasih dan penghiburan Allah saja.

 ANAK ELI DAN SAMUEL DI MATA MASYARAKAT

Samuel dan anak-anak Eli sama-sama bertumbuh semakin besar. Di ayat 22-26 dibandingkan secara kontras sikap Samuel dan anak-anak Eli. Samuel makin besar imannya di hadapan Tuhan, sedang anak-anak Eli semakin besar dosanya di hadapan Tuhan.929 Di mata masyarakat, Samuel semakin menjalankan perannya sebagai pemimpin rohani yang dikasihi umat, sedang anak-anak Eli semakin mengecewakan umat, bahkan merusak kesucian hidup hamba-hamba Tuhan lain. Mereka berani tidur dengan perempuan-perempuan yang melayani di kemah Pertemuan.

Eli masih sempat menegur mereka dengan keras; mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu adalah suatu dosa di hadapan Tuhan, bukan hanya dosa di hadapan manusia. Dalam sistem Israel saat itu, imam adalah perantara untuk membawa dosa-dosa umat kepada Allah. Tetapi jika Allah menjadi pihak yang dilukai, tidak ada lagi perantara.930 Namun teguran keras ini tidaklah mempan. Mereka tidak memiliki prespektif Ilahi. Sampai akhir kisah ini bahkan tidak ada tanda-tanda mereka menyesal.

Anak-anak Eli berdosa terhadap Allah dan manusia, sehingga Allah merencanakan untuk mematikan mereka, sementara itu Samuel semakin dikasihi oleh Allah dan manusia, sehingga Samuel sekarang siap menggantikan peran anak-anak Eli: peran sakral yang Allah berikan kepada mereka.

 PERAN SAKRAL KITA

Sama seperti ketiga tokoh kita, banyak orang Kristen menerima "peran sakral." Kita mungkin diberi peran sebagai pendeta, penginjil, majelis jemaat, atau aktifis gereja. Namun kisah ini mau mengingatkan kita bahwa tanpa hidup di hadapan Tuhan, orang tidak akan bisa menjalankan peran sakral yang dipercayakan Tuhan kepadanya.

Para pelayan Tuhan adalah orang yang paling akrab dengan gereja. Ikut banyak kegiatan gerejawi dengan segala ritualnya. Mereka menjadi orang yang paling tahu banyak "dapurnya gereja," sampai-sampai (tanpa sadar) mereka bisa memandang rendah ritual-ritual itu. Gejala-gejalanya bisa nampak ketika orang mulai terjebak dalam ritual tanpa makna: kebaktian yang asal ada saja, doa-doa yang asal lewat, nyanyian yang dinyanyikan tanpa penghayatan, keputusan-keputusan rapat yang diambil tanpa pergumulan dengan Tuhan, dan kejenuhan beribadah. Orang lalu mulai mencari sensasi: memasukkan hal-hal duniawi ke dalam gereja. Terjadilah proses desakralisasi.

Dalam kondisi seperti itu, bila jadi orang yang bersangkutan tidak sadar, bahkan masih merasa menjadi orang yang cukup rohani. Ia salah mengukur kedewasaan rohaninya. Ia merasa diri sudah dewasa rohani, semata-mata karena ia sudah senior, sudah sangat sering melakukan kegiatan rohani ini dan itu, atau sudah merasa tahu banyak Firman Tuhan. Orang bisa lupa bahwa kedewasaan rohani seseorang sebetulnya diukur dari seberapa jauh orang itu sudah hidup di hadapan Tuhan. Belajar takut dan menghormati Tuhan. Belajar peka, hidup murni dan jujur di hadapanNya.

Hidup di "bait Allah" ternyata tidak menjamin orang sedang hidup di hadapan Allah. Bahkan, orang bila "kehilangan Allah" di bait Allah! Orang bisa kehilangan makna rohani yang terdalam pada saat ia justru sedang sibuk-sibuknya mengurus perkara-perkara rohani.

Maka setiap kita mengingat tokoh Hofni dan Pinehas, hendaknya kita tidak terlalu cepat berkata, "Saya tidak akan menjadi seperti mereka. Saya sudah cukup rohani: Saya sudah hidup di hadapan Allah." Nanti dulu. Coba periksa: apakah kepekaan kita kepada Allah masih kuat?

Seperti Hofni dan Pinehas, hari ini kita menghadapi banyak godaan. Dunia ini akan menggiring setiap kita untuk menodai peran sakral yang Allah berikan bagi kita. pada saat cobaan itu datang, hanya satu hal yang menentukan apakah kita akan tetap bertahan: Sampai seberapa jauh kita memiliki rasa takut akan Tuhan.

Masalahnya, rasa takut akan Tuhan ini tidak bisa datang mendadak. Tidak bila terbentuk dalam sehari. Bahkan, rasa takut akan Tuhan bisa hilang dengan cepat jika tidak dipelihara. Satu-satunya cara mempertahankan rasa takut akan Tuhan itu hanyalah: belajar hidup di hadapan Tuhan setiap hari. Mulai dari saat ini. Di tempat dimana Tuhan menempatkan kita.



TIP #21: Untuk mempelajari Sejarah/Latar Belakang kitab/pasal Alkitab, gunakan Boks Temuan pada Tampilan Alkitab. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA