Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 1 Tahun 1996 >  PANDANGAN TEOLOGIA PAULUS TENTANG GLOSSOLALIA > 
PROPOSAL TEOLOGIS 

Meskipun Paulus sendiri tidak memberikan perenungan teologis tentang fenomena bahasa lidah, tapi apa yang dikatakannya (dan juga apa yang tidak dikatakannya) memberi kita kesempatan untuk menyimpulkan pemahamannya tentang hal ini. Berdasarkan kesimpulan yang telah kita bahas di atas, saya menawarkan beberapa perenungan ini:

1. Bahwa Paulus memahami glossolalia sebagai ucapan yang diilhami Roh Kudus seperti terlihat dalam berbagai pernyataannya di 1 Kor 12:7-8, 10 dan 11. Dalam 1 Kor 12:7 dia memulai dengan mengatakan bahwa kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama, yang diikuti dengan ayat 8-10 yang berisi daftar sembilan penyataan. Empat penyataan yang pertama dinyatakan secara eksplisit sebagai karya Roh Kudus ("kepada yang seorang Roh memberikan ..."kepada yang lain lagi Ia memberikan...") sehingga membawa implikasi bahwa kelima yang lain juga sama halnya. Hal ini lebih ditegaskan lagi dalam ayat 11 "Semuanya ini dikerjakan oleh Roh yang satu dan yang sama (di antara kalian), yang memberikan karunia kepada tiap-tiap orang secara khusus, seperti yang dikehendakiNya."

Hal ini juga secara eksplisit ditegaskan Paulus dalam 1 Kor 14:2 bahwa: "Siapa yang berkata-kata dengan bahasa Roh... mengungkapkan hal-hal yang rahasia (kepada Allah) oleh Roh,"908 yang kemudian dilanjutkan dalam ayat 15 dengan "aku akan berdoa/menyanyi dengan Rohku."909 Berdoa "dengan Roh" seperti ini yang tidak dipahami oleh pembicaranya tetapi efektif untuk Allah juga secara eksplisit dinyatakan dalam Rm 8:26-27.

Kenyataan teologis ini seharusnya membuat orang-orang lebih berhati-hati jika berusaha untuk "menempatkan bahasa lidah pada tempatnya" (biasanya berarti "menghapuskannya sama sekali" di gereja masa kini). Paulus tidak menegur bahasa lidah dengan pujian yang samar, seperti yang biasa dikemukakan beberapa ahli, dan dia juga tidak terheran-heran dengan fenomena ini, seperti yang nampaknya terjadi di kalangan jemaat Korintus sendiri, maupun di beberapa kalangan Pentakosta dan karismatik masa kini. Seperti halnya untuk semua aktifitas karena kuasa Roh Kudus yang lain, Paulus juga memandang tinggi, pada tempatnya yang sewajarnya.

2. Tentang fenomena itu sendiri, ada dua hal yang perlu dicatat. Pertama, aturan untuk pemakaian di tengah jemaat dalam 1 Kor 14:27-28 menjelaskan bahwa pembicaranya bukan dalam kondisi tidak sadar atau diluar kontrol. Sebaliknya, para pembicara ini diminta untuk berbicara bergantian, satu persatu, dan mereka harus tetap diam jika tidak ada yang menerjemahkan. Instruksi semacam itu tidak ada gunanya jika pembicara dalam keadaan tidak sadar dalam pengertian orang itu "di bawah kuasa Roh Kudus" sehingga lepas dari kontrol pribadi. Karena itu, apa yang dikatakan Paulus tentang bernubuat dalam ayat 32 juga diterapkan pada mereka yang ingin berbicara dalam bahasa lidah dalam kebaktian umum jemaat: "roh dari nabi tunduk kepada nabi." Ini juga berarti bahwa orang-orang luar yang melihat para orang percaya sebagai orang gila kalau semua berbahasa lidah (nampaknya dalam pengertian: pada waktu yang sama) dalam kebaktian mereka, bukannya melihat kegilaan dalam sifat aktifitasnya sendiri tetapi karena tidak memahami arti ucapannya dan karena ketidakteraturannya. Begitu pula meskipun Paulus tidak membahas masalah ini dalam pengertian seperti itu dalam Rm 8:26-27, tidak ada dalam penggambarannya yang menyatakan bahwa pembicara itu di luar kontrol.

Kedua, bahwa Paulus tidak menganggap glossolalia sebagai bahasa dunia dinyatakan oleh beberapa bukti yang saling mendukung. Dia jelas tidak menganggap bahwa ada orang yang hadir yang mengerti bahasa itu bila tidak diterjemahkan, dan persamaan pada 14:10-12 berarti bahwa itu bukan bahasa dunia (sesuatu tidak identik dengan sesuatu yang dinamakan dengannya). Pemahaman Paulus yang paling mungkin kita mengerti adalah gambarannya tentang fenomena itu dalam 1 Kor 13:1 yaitu bahasa malaikat. Konteksnya sendiri menentukan bahwa frase ini ditujukan untuk glossolalia. Hal yang lebih sulit lagi adalah hubungannya yang dekat dengan bahasa bangsa-bangsa. Kemungkinan sekali ada dua macam glossolalia: bahasa manusia, yang diilhami oleh Roh Kudus, tetapi tidak dikenal oleh pembicara atau orang yang mendengar, dan bahasa malaikat, diilhami oleh Roh Kudus untuk berbicara dalam dialek surgawi. Konteks historisnya pada umumnya menyatakan bahwa arti yang kedualah yang dipahami oleh orang Korintus sebagai glossolalia, dan karena itu mereka menganggap itu sebagai bukti bahwa mereka sudah mencapai sebagian dari status surgawi mereka untuk masa mendatang.910

3. Menurut semua bukti yang ada, Paulus memahami glossolalia sebagai pembicaraan yang ditujukan kepada Allah, bukannya untuk sesama orang percaya. Hal ini dinyatakan dalam beberapa cara. Pertama, hal ini dikatakan secara jelas dalam setiap kasus bila Paulus mengatakan arah dari ucapan itu dan dalam satu kasus jelas dibandingkan dengan nubuat yang ditujukan untuk orang lain. Jadi dalam 1 Kor 14:2 Paulus mengatakan bahwa orang yang berbahasa lidah tidak berbicara pada manusia, tetapi kepada Allah. Begitu pula dalam 14:28, kalau tidak ada yang menerjemahkan bahasa lidah, pembicara itu supaya diam di dalam gereja dan supaya "berbicara sendiri dan kepada Allah." Hal yang sama juga disinggung dalam ayat 14-16, dimana orang yang berbahasa lidah dikatakan "berdoa" (ayat 14-15), "memuji Allah" (ayat 16), dan "mengucap syukur" (kepada Allah implikasinya, ayat 17). Akhirnya begitu pula dalam Rm 8:26-27 Roh Kudus dikatakan berdoa kepada Allah melalui orang percaya demi orang percaya itu sendiri.

Dua hal yang penting yang timbul dari kenyataan ini. Pertama, nampaknya hanya ada sedikit bukti dari Paulus untuk istilah yang biasa dipakai di kalangan Pentakosta "pesan dalam bahasa lidah," untuk menggambarkan fenomena bahasa lidah dan penerjemahannya seperti yang telah dalam sejarah dipraktekkan oleh gereja-gereja Pentakosta. Nampaknya istilah ini didasarkan pada 1 Kor 14:5, 19) dimana Paulus menilai bahwa nubuat dan bahasa lidah yang diterjemahkan itu punya nilai yang sama untuk membangun kelompok orang percaya. Tetapi nampaknya ada yang dalam membaca teks itu menginterpretasikan bahwa nubuat dan bahasa lidah yang diterjemahkan sebagai fenomena yang sama, karena ayat 2 dan ayat 28 jelas mengatakan bahwa itu bukan hal yang sama. Hal ini terutama sekali dalam ayat 28 ketika Paulus menegaskan bahwa tidak boleh ada glossolalia jika tidak ada penerjemahannya di dalam gereja; tetapi pembicara itu disuruh berbicara "sendiri dan kepada Allah." Implikasinya jelas bahwa apa yang diterjemahkan dalam setiap kasus adalah pembicaraan yang dalam ayat 2 dinamakan "mengungkapkan hal-hal yang rahasia." Tentu saja, kita tidak dapat dengan begitu menunjukkan bahwa berbahasa lidah di tengah umum tidak pernah ditujukan kepada jemaat itu; hanya kita dapat mengatakan bahwa Paulus tidak pernah mengatakan atau mengimplikasikan yang demikian.

Kedua, karena semua data yang ada menunjukkan bahwa Paulus tidak pernah melarang glossolalia yang diterjemahkan dalam jemaat, ataupun bahwa dia menganjurkan hal itu. Hal ini jelas dibuktikan dari pernyataannya bahwa dia lebih menyukai nubuat di dalam gereja, maupun dari implikasi yang jelas dalam 1 Kor 14:18-19 ("Aku berkata-kata dengan bahasa roh lebih daripada kamu semua, tetapi dalam pertemuan jemaat lima kata yang dimengerti lebih baik daripada beribu-ribu kata yang tidak dimengerti") dan 28 (untuk mereka yang berbahasa lidah, "jika tidak ada orang yang dapat menafsirkannya hendaklah berdiam diri di dalam gereja dan berkata-kata sendiri kepada Allah").

4. Ini mengarahkan kita untuk melihat lebih jauh, dan untuk khusus memisahkan demi perenungan teologis kita berikut ini, bahwa alasan untuk "diam" di dalam gereja untuk bahasa lidah yang tidak diterjemahkan dibandingkan dengan nubuat adalah karena dalam kedua kasus ini penekanan Paulus adalah membangun jemaat. Apa yang terjadi dalam jemaat yang berkumpul harus dapat dimengerti, agar supaya dapat membangun seluruh anggota yang lain. Dengan demikian dalam kasus glossolalia yang tidak diterjemahkan, orang yang berbahasa lidah memang "mengucap syukur kepada Allah", tetapi yang lainnya tidak dibangun dan tidak dapat mengatakan "amin" (1 Kor 14:16-17), karena mereka tidak mengerti apa yang dikatakan kepada Allah.

Tetapi hal yang sebaliknya terjadi untuk orang yang berdoa dalam bahasa lidah secara pribadi. Orang seperti itu "mengungkapkan hal-hal yang rahasia kepada Allah," dan meskipun pikirannya beristirahat dan tidak menghasilkan apa-apa, pikirannya tidak melayang-layang atau lepas kontrol. Sebaliknya, doa semacam itu merupakan alat untuk membangun orang yang berdoa itu (1 Kor 14:4), meskipun "tidak menghasilkan apa-apa" dari segi pemahaman orang itu tentang apa yang dikatakan.

Meskipun pemahaman ini bertolak belakang dengan pemahaman diri sendiri di kalangan Kristen Barat yang sangat dipengaruhi filosofi Abad Pencerahan, Rm 8:27 memberikan kunci teologis mengenai membangun iman ini. Ini adalah masalah mempercayai Allah bahwa yang mendengar doa kita melalui Roh ini "mengetahui maksud/pikiran dari Roh itu, bahwa Roh itu berdoa untuk orang-orang kudus apa yang sesuai kehendak Allah. Paulus nampak jelas dapat menerima kenyataan bahwa Roh Kudus membangun roh orang percaya, meskipun pembangunan ini diproses tanpa melalui otak, meskipun hal ini sulit diterima kekristenan masa kini. Pada titik inilah perenungan teologis kita yang terakhir muncul sebagai usaha menyatukan bagian 1 dan 3 dari tulisan ini.

5. Konteks Paulus untuk berdoa dalam Roh," dan juga untuk glossolalia, adalah kerangka eskatologinya yang menyeluruh, dimana dia memahami Roh Kudus itu bukti yang pasti bahwa masa depan telah muncul di masa kini911 dan merupakan jaminan tentang pemenuhan akhirnya.912 Dalam kerangka pemikiran ini bagi Paulus glossolalia melayani jemaat bukan sebagai bukti bahwa masa depan sudah tiba (bertolak belakang dengan Korintus), tetapi bahwa masa depan "belum lagi" kita jangkau.913 Karena kita saat ini berada di antara "dua masa" ini maka kita membutuhkan bantuan Roh Kudus dalam ketidakberdayaan kita saat ini. Inilah sebenarnya maksud Rm 8:26-27. Roh Kudus datang, berdoa melalui kita dengan "keluhan-keluhan yang tak terucapkan" sebagai penolong kita dalam masa kelemahan ini. Pada saat yang sama glossolalia berfungsi sebagai peringatan yang terus-menerus bahwa kita, bersama dengan semua makhluk, terus menunggu masa penebusan akhir kita.

Itulah sebabnya mengapa bahasa lidah, maupun nubuat dan karunia-karunia Roh Kudus yang lain hanya untuk masa kini saja (1 Kor 13:8-13). Bahasa lidah (juga nubuat dan pengetahuan) hanya pada masa kelemahan ini saja, ketika kita "hanya mengetahui sebagian saja" dan memerlukan pertolongan Roh Kudus. Doa orang percaya dalam bahasa lidah menggemakan "keluhan-keluhan" dari semua ciptaan, sewaktu kita bersama-sama menunggu penggenapan masa depan yang Allah sudah mulai dalam kebangkitan dan karunia Roh Kudus.

Implikasi teologis dari pemahaman seperti ini sangatlah luas. Berbeda dengan apa yang selama ini dikatakan di kalangan Pentakosta dan karismatik, bagi Paulus kita tidak "berdoa dalam bahasa lidah" dari posisi yang "kuat," seakan-akan kepenuhan dengan Roh membuat kita punya posisi yang kuat di hadapan Allah. Sebaliknya, kita berdoa dalam bahasa lidah dalam posisi kelemahan, karena kita "tidak tahu bagaimana seharusnya kita berdoa." Pada waktu seperti itu kita sangat membutuhkan Roh Kudus untuk membantu kita karena Roh itu berdoa melalui kita apa yang sesuai dengan rencana Allah. Dan kita terutama perlu belajar untuk mempercayai seperti yang dituntut doa itu sendiri, yaitu bahwa Allah sungguh-sungguh mengenal pikiran dari Roh Kudus, dan doa syafaatnya bagi kita benar dalam pengertian sesuai rencana Allah dalam hidup kita.

Pemahaman tentang glossolalia seperti itu juga punya pengertian kelemahan dalam hal lain. Meskipun orang yang berbahasa lidah tidak "di luar kontrol" dalam pengertian perasaan yang meluap-luap dari fenomena ini, tetapi juga orang ini tidak "dapat mengontrol" dalam pengertian alkitabiah: yaitu melepaskan kontrol atas kehidupan dan tujuannya, sehingga orang menyerahkan seluruh dirinya - terutama bagian yang paling sulit dikuasai dari dirinya, yaitu pikiran dan lidahnya - pada pimpinan Allah,914 percaya bahwa kasih-Nya kepada kita tulus, sepenuhnya "tanpa kepura-puraan" (menurut King James Version) dan bahwa Dia hanya bertujuan yang baik untuk "orang-orang kudus." Inilah sebabnya mengapa Paulus bersikeras bahwa dia akan melaksanakan kedua hal ini: bahwa dia akan berdoa dan menyanyi dengan akalnya (demi orang lain), dan bahwa dia akan berdoa dan menyanyi di dalam Roh (demi dirinya sendiri).

Pada waktu yang sama, dengan berdoa dari posisi kelemahan, Paulus juga menegaskan ketergantungan kita sepenuhnya pada Allah dalam semua hal; dan di sinilah dimana "kuasa dalam kelemahan" muncul. Dengan berdoa dalam bahasa lidah, Roh Kudus menjadi jalan yang melaluinya kekuatan Allah disempurnakan di tengah kelemahan kita - inilah kekuatan pokok orang percaya. Jadi ketika kita berdoa dalam bahasa lidah, selain sebagai bukti bagi kita bahwa kita telah memasuki jaman eskatologis yang baru di hantar oleh Roh Kudus, terutama juga berfungsi sebagai bukti bahwa kita masih "belum" mencapai pemenuhan jaman itu. Karena kita belum lagi sampai, dan sedang menunggu dengan seluruh makhluk penebusan kita yang akhir, jadi kita berdoa dalam Roh dari kelemahan kita, secara implisit mempercayakan bahwa Roh akan berdoa sesuai dengan rencana Allah. Berdoa seperti itu berarti kebebasan dan kekuatan, kekuatan Allah yang disempurnakan di tengah kelemahan kita.

Terakhir saya mencatat bahwa jika pandangan yang disampaikan di sini ini sesuai dengan Paulus, kita akan dapat memahami mengapa di satu pihak dia sangat sedikit berbicara tentang hal itu, tetapi sangat positif tentang hal itu di lain hal; dan juga mengapa dia sendiri juga biasa melakukannya dalam doa pribadinya lebih dari orang Korintus manapun juga yang sangat meninggikan hal itu. Seluruh pemahaman Paulus tentang keberadaan saat ini dalam Kristus melalui Roh Kudus adalah kehidupan di mana kuasa dan hikmat Allah paling nyata melalui kelemahan dan ketidakberdayaan manusia. Inilah sebabnya mengapa dia menolak mengenal apapun juga di antara orang Korintus selain dari "Kristus dan Dia yang disalibkan"; inilah sebabnya mengapa dia menegur mereka di dalam 1 Kor 11-12; dan inilah sebabnya mengapa dia dapat berbicara dengan begitu percaya diri tentang Roh Kudus yang menguatkan meskipun dia sendiri mengenal kelemahan, penderitaan, dipenjarakan, dicemohkan.

Sebagai kesimpulan, dipandang dari perspektif Paulus, berbicara dalam bahasa lidah sesuai dengan semua pandangan teologisnya. Inilah kesempatan kita untuk menyatakan diri kita yang terdalam kepada Allah - dalam pujian, ucapan syukur, doa dan doa syafaat. Dan hal ini terutama lagi ketika kita sendiri tidak tahu apa yang harus didoakan di tengah kelemahan saat ini; tetapi apa yang kita ketahui, Paulus melanjutkan, adalah dengan berdoa bagi kita dalam kelemahan kita saat ini, "Roh Kudus bekerja dalam segala hal untuk kebaikan, untuk kita yang mengasihi Allah dan terpanggil sesuai dengan rencana Allah" (Rm 8:28).915



TIP #07: Klik ikon untuk mendengarkan pasal yang sedang Anda tampilkan. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA