Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 1 Tahun 1996 > 
KATEKISASI 
Penulis: Budhiadi Henoch893
 PENDAHULUAN

Gereja Kristen pada umumnya mengenal katekisasi sebagai kegiatan yang mutlak ada dan direncanakan. Kegiatan tersebut merupakan Cara menetapkan seseorang sebagai calon anggota jemaat, sesudah yang bersangkutan memenuhinya secara memadai, antara lain paling sedikit mengikuti 80 persen jadwal yang disediakan. Dengan mengikuti katekisasi, calon anggota jemaat diharapkan memahami prinsip-prinsip ajaran Kristen yang berlaku di gereja tersebut dan dapat mengamalkannya dalam praktek kehidupan bergereja ketika ia telah menjadi anggota jemaat itu secara penuh yang ditandai dengan sakramen baptisan.

Kegiatan katekisasi biasanya memakan waktu 6-9 bulan, bergantung pada keluasan bahan pelajaran katekisasi, pokok-pokok tata gereja/tata laksana dan pemahaman tentang kehidupan praktis gereja/jemaat itu. Tujuannya agar calon anggota benar-benar dapat mempertanggungjawabkan kehidupan iman Kristen dan karakter sebagai warga jemaat. Tentu saja katekisasi semacam ini tak dikenal di gereja yang menganggap cukup jika seorang simpatisan telah datang dua tiga kali dalam kebaktian hari Minggu, kemudian dapat langsung dibaptiskan berdasarkan pertimbangan pendeta gereja itu. Alasannya, biarlah Roh Kudus yang bekerja dalam diri orang itu dan mengajar dia memahami kehendak Tuhan baginya dalam kehidupan selanjutnya.

Dalam lingkungan gereja yang melaksanakan katekisasi, sering terdengar keluhan para calon anggota, "Masuk gereja lebih sukar ketimbang masuk sorga!". Alasannya, bukankah kalau seseorang telah menyatakan imannya kepada Tuhan Yesus artinya ia diselamatkan? Sedangkan mengikuti katekisasi harus berminggu-minggu lamanya, ditambah lagi tugas menghafalkan ayat-ayat Alkitab. Mengapa gereja tidak mempermudah dengan segera membaptis saja? Terlebih tujuan masuk gereja adalah untuk jadi orang baik. Di sisi lain, gereja pun mengemukakan alasannya, yaitu agar seseorang betul-betul jadi Kristen dengan niat yang benar. Kesungguhan seseorang akan teruji apabila calon anggota jemaat itu rajin mengikuti katekisasi. Dengan demikian, gereja benar-benar mendapatkan calon anggota yang berkualitas, paham terhadap prinsip-prinsip ajaran Kristen dan kelak aktif melakukan pelayanan gerejawi. Jangan sampai gereja kecolongan membaptis seseorang yang sebetulnya tak berniat menjadi orang Kristen yang bersungguh-sungguh, padahal hakekat baptisan adalah meterai suci dari Tuhan sendiri, yang tak boleh diberikan sembarangan.

Di tengah perbedaan pandangan itu, umumnya katekisasi tetap dilaksanakan. Prinsip mempersiapkan calon anggota dengan bekal pemahaman ajaran gereja lebih diutamakan, ketimbang secara langsung membaptis calon anggota itu. Langkah ini tidak menutup keinginan gereja untuk menambah jumlah anggotanya sebab dengan tindakan ini, pada akhir masa katekisasi diharapkan gereja dapat memperoleh hasilnya yaitu anggota jemaat yang benar-benar memenuhi cita-cita gereja yakni memahami ajaran gereja bersama dalam persekutuan dengan anggota-anggota jemaat yang telah lebih dahulu mengamalkan ajaran itu dalam kehidupan pribadi dan keluarganya serta aktif dalam penugasan gereja berupa kesaksian dan pelayanan. Bukan sebaliknya, karena ketidaktahuan terhadap hakikat pentingnya ajaran gereja -- dogma gereja dan etika Kristen -- anggota yang bersangkutan melanggar ajaran gereja dan hukum Allah dan harus dikenai penggembalaan khusus (disiplin gerejawi) oleh majelis jemaat.

Segi kesaksian dan pelayanan gereja dipersiapkan melalui calon anggota tersebut sehingga pada saat menjadi anggota, ia juga dapat mengambil bagian dalam kesaksian dan pelayanan gerejawi. Dengan demikian, sesudah menerima Injil dari orang lain, ia pun terpanggil meneruskan berita Injil kepada orang lain. Demikian seterusnya. Begitu pula dalam hal pelayanan. Jika seseorang telah merasakan pelayanan gerejawi, sangat diharapkan ia juga dapat melakukan pelayanan gerejawi itu kepada orang lain. Dengan cara ini, estafet kesaksian dan pelayanan dapat secara terus menerus dilaksanakan sampai tercapai tujuan menjadikan sekalian bangsa menjadi murid Tuhan Yesus (Mat 28:19-20).

Memperhatikan hal-hal tersebut, katekisasi ternyata mempunyai banyak muatan. Sekiranya rencana ini terlaksana dengan baik, hasilnya dapat dinikmati oleh orang yang bersangkutan dan gereja tempat ia menjadi anggota. Gereja memperoleh anggota jemaat yang benar-benar handal dalam mewujudkan kehidupan gerejawi/Kristianinya sehari-hari di tengah masyarakat. Dapat dikatakan bahwa anggota jemaat tersebut bukan sekadar Kristen KTP, Kristen Minggu atau Kristen karena pacar, melakukan benar-benar Kristen sejati, Kristen milik Kristus dan Kristen lahir batin.

 PENGERTIAN KATEKISASI

Menilik istilahnya, kita dapat mengemukakan pengertian-pengertian katekisasi sebagai berikut:

1. Katekhein: memberitakan, memberitahukan, mengajar, memberi pengajaran (Luk 1:4; Kis 18:25; 21:21, 24; Rm 2:17,18; 1 Kor 14:19; Gal 6:6).

2. Didaskein: menyampaikan pengetahuan, supaya orang dapat bertindak terampil (Mat 4:23; 28:19; Kol 1:28; 3:16; 1Tim 4:11; 6:2).

3. Ginoskein: mengenal, belajar mengenal. Sama seperti istilah 'yada' dalam Perjanjian Lama (Yoh 17:3; Rm 1:21, 28; 1 Kor 10:5; Gal 4:8,9).

4. Manthanein: belajar, suatu proses rohani untuk mengembangkan kepribadian seseorang (Mat 9:13; Ef 4:20; Ibr 5:7, 8).

5. Paideuein: mendidik, memberikan bimbingan kepada anak-anak (2 Tim 3:16,17; Tit 2:12; Ibr 12:7).

Dari istilah-istilah tersebut, diharapkan bahwa seseorang setelah mengalami pendidikan, pengajaran dan pembentukan kepribadian orang itu untuk mengenal Tuhan Yesus dan persekutuan jemaatNya.

 SEJARAH KATEKISASI

Dalam gereja mula-mula, belum ada katekisasi sebagaimana yang dikenal sekarang. Kita membayangkan bahwa sesudah peristiwa Pentakosta, orang yang percaya pada pemberitaan para rasul langsung dibaptis. Bagaimana mungkin Rasul Petrus dan rekan-rekannya membaptiskan tiga ribu orang dengan didahului katekisasi? (Kis 2:41). Pastilah baptisan itu dilakukan secara spontan, tanpa terlebih dahulu dilakukan adanya katekisasi. Hal ini juga sesuai dengan pesan yang disampaikannya: "Bertobatlah dan hendaknya kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis." (Kis 2:38). Tanpa didahului oleh misalnya "Ikutlah katekisasi dahulu". Sesudah gereja mapan keorganisasiannya, mulailah dilakukan adanya kegiatan katekisasi.

Walaupun demikian, tak berarti bahwa praktek katekisasi tidak ada sama sekali. Tradisi orang Israel ternyata telah membiasakan adanya pendidikan agama Yahudi dalam kehidupan keagamaan mereka. Ul 6:4-9 menyatakan, bahwa pendidikan agama dimulai sejak masa kanak-kanak di tengah keluarganya. Dengan seruan 'syemn' (dengarlah), anak berusia enam tahun mulai menjadi anak Torah. Mereka dididik oleh para imam yang mengajar umat Israel perihal makna korban-korban bakaran; hubungan dosa dan korban-korban itu; pengenalan tentang orang kudus, tempat kudus, perbuatan kudus dan hari kudus dan lain-lain. Kesemuanya itu merupakan ajaran teoritis di lingkungan rumah-rumah ibadat. Pada masa berikutnya, nabi-nabi yang muncul pada awal kerajaan Israel mengajar tentang firman, teguran, hukuman dan perdamaian sebagai pemeriksaan (kontrol) terhadap praktik kehidupan umat Israel di tengah masyarakat. Para pengajar lain adalah mereka yang disebut kaum bijaksana dengan pengajaran praktis mereka di pintu-pintu gerbang kota (Ams 15:1; 25:11; Pkh 3:19; 12:1; Ayb 42:5).

Pada satu sisi, gereja Kristen mengambil kebiasaan yang selama ini dipraktekkan dalam kehidupan umat Israel, tentu dengan penyesuaian di sana sini, mengingat adanya perbedaan yang besar dalam pokok ajarannya. Pada sisi lain, dalam perkembangan selanjutnya, kita juga mengenal adanya pengaruh agama misteri Yunani dalam kehidupan gereja Kristen purba, sehingga dikenal adanya proses pentahapan: mengikuti kebaktian umum dahulu dengan pengakuan dasar bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan dengan ajaran katekisasi yang amat sederhana; kemudian masuk dalam kelompok katekumenat, yang terdiri dari dua bagian yakni tingkat katekumin (boleh mengikuti kebaktian sampai turut berlutut dalam pelayanan doa dan penumpangan tangan, namun mereka harus ke luar pada saat ibadah yang sebenarnya) dan tingkat calon baptisan; baru kemudian masuk dalam sekolah katekisasi, yang memproses seseorang untuk menerima meterai baptisan.

Dengan mengacu pada apa yang biasa terjadi dalam lingkungan umat Israel, kemudian juga dijumpai adanya katekisasi keluarga yang dilaksanakan oleh suami/ayah; katekisasi sekolah, yang dilaksanakan oleh para guru; dan katekisasi gereja, yang dilaksanakan oleh para uskup, presbiter, diaken dan anggota-anggota jemaat.

Dalam perkembangannya, katekisasi pernah mengalami pendangkalan, sehingga bersifat proforma saja bagi mereka yang ingin menjadi anggota jemaat, oleh karena itu, Alkuinus, penasihat kaisar Karel Agung perlu memperingatkan, agar pelaksanaan katekisasi jangan asal-asalan, melainkan benar-benar diperhatikan. Alkuinus berkata: "Jangan sekali-kali sakramen baptisan hanya diterima oleh tubuh, padahal jiwa tidak paham terhadap kebenaran yang terkandung di dalamnya". Peringatan ini hanya sebentar saja diperhatikan, sebab ketika seluruh Eropa menjadi Kristen -- hingga masa Reformasi -- pelaksanaan katekisasi kembali mengalami kemerosotan. Martin Luther-lah yang kembali menekankan peranan Alkitab sebagai pusat teologi dan praktik kehidupan jemaat, juga pelaksanaan katekisasi. Ia menyusun buku Katekismus Besar dan Katekismus Kecil, terbit pada tahun 1529. Calvin menyusun buku Institutio sebagai katekismus dalam bahasa Perancis (1536), disusul Katekismus dari Geneva dalam bahasa Perancis (1541) dan bahasa Latin (1545). Selanjutnya atas perintah raja Frederik III dari Pfalz, pada tahun 1562 diterbitkan Katekismus Heidelberg yang disusun oleh Caspar Olevianus, penasihat istana dan Zakarias Ursinus, guru besar di Heidelberg. Buku katekisasi ini cukup lama dipakai dalam lingkungan banyak gereja di Indonesia.

Kebiasaan gereja-gereja di Eropa dibawa ke Indonesia pada zaman sending Belanda, yakni dengan menghadirkan pengajaran agama Kristen di sekolah-sekolah. Itu berarti, bahwa katekisasi juga dilakukan di sekolah-sekolah, yang dilaksanakan oleh para guru. Oleh sebab itu, dalam Sidang Raya Agung pada tahun 1624 di Batavia, ditetapkan bahwa semua murid sekolah harus mengikuti katekisasi gereja. Ketetapan ini diperbarui lagi dalam Reglemen Sekolah Baru pada tahun 1776. Bagi para calon gurunya wajib menandatangani tiga surat simbolis yakni pengakuan iman gereja Belanda, Katekismus Heidelberg dan dasar-dasar Sinode Nasional gereja Hervormd di Dordrecht (1618-1619).

Perkembangan selanjutnya, menunjukkan bahwa hanya katekisasi gerejalah yang masih bertahan, sedang katekisasi di lingkungan keluarga dan di sekolah tak terlaksana dengan baik.

 KAITAN-KAITAN KATEKISASI

Kalau kita amati, maka kita dapat memperoleh kejelasan, bahwa katekisasi berkaitan dengan

1. Dogma gereja

Katekisasi mengajar berdasarkan dogma gereja yang bersangkutan. Setiap denominasi gereja membuat buku katekisasi dengan penekanan yang berbeda. Kendati tentang inti keKristenan sendiri mungkin saja banyak memiliki persamaan. Tak mengherankan bahwa perbedaan tekanan itu sering diterima secara berbeda pula dalam diri murid katekisasi. Kita berharap bahwa para murid katekisasi yang kelak menjadi anggota sesuatu jemaat tertentu dapat menerima perbedaan penekanan itu secara terbuka, khususnya apabila mereka berada dalam forum-forum oikoumenis.

2. Etika gereja/Kristen

Dalam kaitannya dengan etika secara umum, gereja-gereja mempunyai persamaan-persamaannya, kecuali dengan praktik etika yang lebih rinci, dapat terjadi perbedaan pandangan etis antara gereja yang satu dengan gereja yang lain. Hal ini berangkat dari perbedaan penghayatan terhadap hukum-hukum Tuhan pada umumnya. Contoh: hal merokok, bunga uang, merias diri (make up), dan lain-lain.

3. Praktek spiritualitas

Masalah spiritualitas amat ditentukan oleh bagaimana sebuah gereja telah melaksanakannya dalam tradisi kehidupannya sehari-hari. Praktik doa, puasa, persembahan, penghayatan iman dalam pergaulan di tengah masyarakat, dan lain-lain di sebuah gereja akan mendorong seluruh anggota jemaat untuk mewujudkannya dalam kehidupan pribadi dan keluarganya. Itulah sebabnya kita mengenal ciri khas gereja tertentu, yang melaksanakan hal-hal itu, sedang di gereja yang lain tidak.

4. Tata Gereja/Tata Laksana

Sekalipun tata gereja/tata laksana bukan landasan hakiki iman Kristen, namun tetap perlu mendapat perhatian anggota jemaat, mengingat itulah "aturan main" dalam kehidupan bergereja. Ketaatan dan sikap menghargai tata gereja/tata laksana akan menjadikan kehidupan bergereja itu jelas. Namun demikian, tata gereja/tata laksana tak boleh dijadikan sebagai Torah baru atau Alkitab baru.

5. Tradisi gereja

Praktik kehidupan berjemaat yang bertahun-tahun dan mengakar di tengah jemaat dapat disebut tradisi gereja. Tradisi gereja yang baik hendaknya dilestarikan dan diajarkan kepada anggota jemaat yang baru, agar mereka mengikuti apa yang selama ini berlangsung di dalam jemaat tersebut. Misalnya, kebaktian pengucapan syukur tahunan, pelaksanaan perayaan Perjamuan Kudus. Baptisan/Baptisan Anak, dan lain-lain.

Kaitan-kaitan itu perlu diketahui oleh para calon anggota, sehingga mereka dapat mempertimbangkan kesediaannya sebelum masuk dalam lingkungan jemaat. Sesudah mereka merasa benar-benar mantap, jadilah mereka sebagai anggota-anggota jemaat yang benar-benar paham akan ajaran, tradisi dan praktik kehidupan Kristen/jemaatnya.

Pada masa kini, kita juga menjumpai perkembangan mobilitas kehidupan beroikoumene, baik melalui pergaulan antar gereja, maupun antar individu. Kenyataan ini sering membuat terjadinya arus perpindahan timbal balik anggota-anggota jemaat dari sini ke sana dan sebaliknya. Karenanya, kita mengenal adanya anggota anggota jemaat dari gereja-gereja yang seazas dan yang tak seazas; gereja-gereja dalam ikatan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dengan PSMSM-nya (Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima) dan yang bukan anggota PGI. Pernikahan juga membawa dampak, misalnya suami dan istri yang semula berasal dari dua gereja, kemudian bergabung dalam satu gereja. Amat diharapkan. bahwa semua arus perpindahan itu terjadi karena alasan-alasan yang sehat dan bukan akibat dari suatu perselisihan atau penilaian terhadap kepemimpinan gereja yang dirasakan merugikan anggota jemaat yang bersangkutan. Misalnya, seseorang yang merasa diperlakukan tidak memuaskan antara lain ditegur dan digembalakan khusus oleh pimpinan jemaatnya pindah ke jemaat lain atau seorang anggota jemaat pindah ke jemaat lain karena tak puas dengan praktik kehidupan jemaat semula.

Terhadap semua kejadian itu, terutama perpindahan dari dari gereja yang azas pengajarannya berbeda, seseorang diwajibkan mengikuti katekisasi untuk kemudian mengaku sidi (tanpa dibaptis lagi). Maksudnya adalah untuk menguji kesesuaian hati orang yang bersangkutan dengan ajaran jemaat/gereja yang baru dimasukinya, sehingga ia memahaminya dan sekaligus juga merasa at home untuk bergereja di sana.

 KE MANA ARAH CALON ANGGOTA ITU?

Ketika seorang calon anggota jemaat menyediakan diri untuk mengikuti katekisasi, muncul pertanyaan: Ke mana arah calon anggota itu hendak dibawa? Pertama-tama jawabannya jelas, bahwa calon anggota itu pasti dibawa ke arah jalan yang benar sesuai dengan ajaran resmi jemaat/gereja yang bersangkutan Itulah maksud awal dari mengikuti katekisasi di gereja itu, dengan harapan bahwa calon tersebut cukup berpotensi untuk melanjutkan tugas dan tanggung jawabnya selaku anggota jemaat yang aktif, militan dan bersemangat dalam mewujudkan kehidupan Kristennya, baik secara pribadi, maupun dengan seisi rumahnya di tengah jemaat dan masyarakatnya. Dalam perkembangannya, ternyata perlu dilengkapi dengan pelbagai macam pemahaman, menyangkut pengenalan terhadap ajaran-ajaran dari denominasi yang lain, isme-isme yang berkembang di dunia dalam persentuhannya dengan ajaran Kristen, kemampuan untuk meninggalkan kebiasaan lama yang tak sesuai dengan ajaran gereja tersebut, upaya membentuk diri yang dapat diterima di tengah masyarakatnya, dan lain-lain. Hal-hal itu jelas tak mungkin dilaksanakan dalam proses katekisasi, melainkan sebagai tindak lanjut dari katekisasi yang pernah diikutinya, yang biasanya dilaksanakan melalui pemahaman Alkitab, pembinaan gereja dan kursus-kursus Alkitab. Bagaimana apabila yang bersangkutan tidak bersedia mengikutinya? Tentu tak mungkin memaksanya dengan konsekuensi anggota yang bersangkutan mempunyai kekurangan dalam pemahaman mengenai hal-hal yang belum sempat disampaikan dalam proses katekisasi. Itu juga merupakan dilema, bahwa pada satu pihak tak mungkin berlama-lama mengikuti katekisasi, sedang pada pihak lain, perlu para calon itu dilengkapi dengan pelbagai pengetahuan sebagai bekal untuk perjalanan imannya kelak.

Agaknya, dilema ini dapat diatasi melalui arahan bahan katekisasi tersebut. Itulah sebabnya materi katekisasi hendaknya disusun secara memadai, sehingga mampu membekali calon anggota jemaat dengan bekal yang diperlukan dalam satu periode katekisasi. Adalah menjadi tugas para pakar untuk menyusunnya, sehingga kendati bertaraf standar, tetap cukup melengkapi keperluan dalam menempuh kehidupan beriman Kristen. Memang ketrampilan dan ketangkasan dalam menggunakan selengkap senjata Allah (Ef 6:10-20) amat bergantung kepada kerajinan anggota jemaat yang bersangkutan dalam menambah bekal perjalanan kehidupan Kristennya. Oleh sebab itu, wajar apabila pada periode pasca katekisasi anggota jemaat tetap dianjurkan untuk menambah bekal, agar makin mampu dan kuat dalam menempuh perjalanan kehidupan imannya.

 MATERI KATEKISASI

Pada umumnya, materi katekisasi dalam tradisi gereja bersangkut paut dengan prinsip-prinsip ke-Kristen-an pada umumnya, secara garis besar dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:

1. Pengakuan Iman Rasuli (Apostolicum)

Yang berisi dua belas pasal, bersifat trinitaris: Bapa, Putra dan Roh Kudus. Baik pula apabila kita perkenalkan adanya Pengakuan Iman Nicea-Konstantinopel dan Pengakuan Iman Athanasius.

2. Sepuluh Hukum Tuhan (Dekalog)

Yang dapat dihadapmukakan dengan kepercayaan lama dan praktek hidup sehari-hari di tengah masyarakat. Bagian ini menyangkut ajaran yang berkaitan dengan perilaku kehidupan anggota jemaat, sehingga diharapkan, bahwa anggota jemaat terdidik untuk melakukan jalan hidup yang benar, sesuai dengan kehendak Tuhan, baik di hadapan-Nya, maupun di hadapan manusia.

3. Doa Bapa kami dan doa pada umumnya antara lain doa pribadi, doa syafaat, dan lainnya

Sebagai aspek spiritual pergaulan manusia dengan Tuhannya secara vertikal dalam praktik beriman Kristen. Hal ini merupakan tantangan, mengingat kehidupan yang begitu mengagungkan prestasi dan kemampuan manusia pada masa kini sering amat melecehkan peranan doa. Agaknya diperlukan praktek latihan berdoa bagi para calon anggota jemaat, sehingga mereka benar-benar dapat menghayati makna doa bagi kehidupan orang Kristen.

4. Kanonisasi Alkitab

Agar calon anggota mengerti proses terjadinya Alkitab dan semua perkara yang berhubungan dengan itu. Dengan itu, ia mampu memberikan penjelasan kepada orang lain. Hal ini penting. mengingat pemahaman yang minim terhadap masalah kanonisasi Alkitab dan ketidakmampuan anggota jemaat menjadikan Alkitab sebagai pegangan hidupnya akan merugikan perkembangan iman serta kesaksian hidupnya di hadapan orang yang berkeyakinan lain.

5. Sejarah gereja dan oikoumenika

Sehingga calon anggota memahami asal mula gereja Tuhan, pertumbuhannya dan gerak langkahnya pada masa kini yaitu dalam pergaulan antar gereja/denominasi. Sejarah gereja umum dan khususnya gereja/jemaat yang bersangkutan perlu diketahui agar pengenalan itu menambah kecintaan calon anggota terhadap gereja tempat ia kelak menjadi anggotanya.

6. Pengenalan terhadap Tata Gereja/Tata Laksana

Sebagai bekal untuk dapat membangun persekutuan yang benar dalam lingkungan jemaat sendiri (lokal), maupun lingkungan jemaat yang lebih luas (klasikal, sinodal, oikoumenis). Bagian ini perlu dihayati secara memadai, agar anggota jemaat mengetahui cara-cara berorganisasi secara gerejawi, kendati di dalam kasih Kristus sudah cukup untuk mengatasi semua permasalahan hidup gereja sehari-hari.

7. Memahami tugas bersaksi dan melayani

Dalam semangat untuk mengasihi sesama manusia dan taat kepada perintah Tuhan Yesus. Dengan demikian calon anggota memahami kedudukan dwi kewarganegaraannya yakni sebagai warga Kerajaan Allah dan warga dunia. Khusus dalam keberadaannya di Indonesia dengan masyarakat yang majemuk (pluralistis), anggota jemaat perlu bijaksana membawa diri, sehingga di satu sisi sadar akan jati dirinya selaku orang Kristen yang terbeban untuk bersaksi dan melayani, dan di sisi lain ia bertemu dengan orang-orang yang berkeyakinan lain dengan praktik hidup mereka sehari-hari.

Dengan mengemukakan ketujuh aspek dari materi katekisasi ini, amat diharapkan, bahwa calon anggota akan dapat menghadirkan dirinya di tengah keluarga, jemaat, lingkungan Kristen dan masyarakat secara baik, sebagaimana yang diharapkan. Persoalannya, bagaimana kita dapat mengkomunikasikannya dalam program yang padat, mengena dan cukup waktu sesuai periode katekisasi yang ideal.

Sekalipun setiap gereja/jemaat memiliki buku katekisasinya masing-masing, ada baiknya diperkenalkan beberapa buku katekisasi, antara lain:

a. Intisari Iman Kristen, karangan DR B.J. Boland.

b. Tumbuh Dalam Kristus, yang disusun oleh Sinode GKI Jateng.

c. Buku Katekisasi - P.B., karangan DR J.L.Ch. Abineno.

d. Tuhan, Ajarlah Aku (Pegangan Iman Kristen), karangan Yohanes Bambang Mulyono S.Th. Dipakai di GKI Jatim.

e. Kursus Katekisasi, karangan Pdt R.J. Porter MA. Dipakai di lingkungan GPIB.

f. Bertumbuh sebagai umat Allah, terbitan Lutheran Publishing House (diterjemahkan), Adelaide, South Australia.

Di kalangan gereja Roma Katolik, kita mengenal buku-buku katekisasi antara lain, Kita Umat Yesus, karangan Bernard Muller SVD; Kamulah Saksi-saksiKu, karangan Paul Nadal MA dan Sr. Theodula CPS; dan Katekismus Konsili Vatikan II, karangan Adolf Heuken SJ.

 METODE KATEKISASI

Pada umumnya, gereja-gereja melaksanakan metode katekisasi secara monologis, yaitu pengajar menyampaikan bahan kepada murid katekisasi. Sebenarnya ada juga cara lain misalnya dengan cara dialogis, agar dapat mengetahui apa yang sebenarnya dikandung dalam hati para calon anggota dalam menghayati pelbagai hal berkaitan dengan masalah kehidupan ini, kendati semua pelaksanaan katekisasi itu tetap menjadi tanggung jawab gereja.

Apapun metode katekisasi yang dipakai, sasarannya adalah supaya pelajaran katekisasi itu pada akhirnya menjadi milik calon anggota tersebut dan dipraktekkan dalam kedudukannya selaku anggota jemaat kelak. Dengan demikian, pelajaran katekisasi tak hanya merupakan bahan yang di cerna secara kognitif, melainkan juga menjadi bagian dari hidup calon anggota yang dihayatinya secara afektif. Hal ini penting agar benar-benar para calon anggota di hantar kepada iman Kristen yang akrab dalam hubungannya dengan Tuhan Yesus dan dalam persekutuan jemaatNya.

Pelaksanaan katekisasi hendaknya memperhatikan usia, tingkat pendidikan, kategori, dan aspek lain para murid katekisasi tersebut. Hal ini perlu, mengingat para murid katekisasi itu heterogen. Memang tak mungkin menghadirkan kelompok-kelompok yang jumlahnya banyak dalam lingkungan gereja. Oleh sebab itu, kita hanya sampai pada sedekat mungkin kita usahakan untuk mengelompokkan mereka dalam kelompok-kelompok remaja/pemuda, mahasiswa, dewasa dan para orlansia (orang lanjut usia). Dengan memperhatikan mereka berdasarkan kelompoknya masing-masing amat diharapkan bahwa pelaksanaan katekisasi dapat berjalan lebih lancar.

Untuk mencapai tujuan akhir katekisasi, dapat dipakai pula prinsip-prinsip metode mengajar pada umumnya. Oleh sebab itu, kita tidak menutup kemungkinan penggunaan metode tersebut, sehingga setiap kali ada metode, mengajar yang baru, metode itu dapat kita pergunakan dalam pelaksanaan katekisasi.

Untuk menghindarkan keterikatan anggota jemaat dengan seorang pengajar, ada baiknya kelompok-kelompok katekisasi diajar oleh pemimpin-pemimpin katekisasi secara bergiliran. Tujuannya adalah supaya anggota suatu kelompok tidak menjadi pengikut seorang pemimpin, melainkan menjadi pengikut Kristus melalui gereja-Nya. Dengan demikian, yang dikenal adalah bukan kelompok katekisasi si A atau si B, melainkan kelompok katekisasi yang disediakan gereja pada hari dan jam tertentu. Ada kerugian yang terjadi dengan cara itu, misalnya pengenalan terhadap kepribadian dan pertumbuhan iman calon anggota jemaat yang bersangkutan menjadi amat minim, sehingga perlu diatasi melalui penggembalaan. Namun pada sisi lain terasa lebih merugikan, apabila anggota jemaat terbentuk dalam kelompok-kelompok yang bersikap "aku ini golongan Apolos", sedang "engkau golongan Paulus" (1 Kor 3:4), karena menjadi anggota jemaat dengan alasan bertumpu pada pemimpin katekisasinya itu. Jangan kita menambah jumlah anggota jemaat, sekaligus membawa benih-benih perpecahan gereja di dalamnya.

 PENUTUP

Pada akhirnya melalui proses katekisasi dalam kehidupan jemaat/gereja, kita menantikan tuaiannya kelak berupa hadirnya anggota-anggota jemaat baru yang siap untuk mewujudkan persekutuan dengan penuh kasih dan melaksanakan tugas pengutusan berupa kesaksian dan pelayanannya dengan militan dalam ketaatan kepada pesan Tuhan Yesus. Dengan demikian, kita tak hanya menginginkan penambahan jumlah anggota secara kuantitatif, melainkan juga anggota-anggota jemaat baru yang dapat dipertanggungjawabkan secara kualitatif dalam iman dan kehidupan Kristennya. Tentu kesemuanya itu bukan untuk kebanggaan diri kita selaku penyelenggara katekisasi, melainkan untuk kemuliaan nama Tuhan dan keluasan KerajaanNya.

 KEPUSTAKAAN

Abineno, J.L.Ch. Sekitar Katekese Gerejawi - Pedoman Guru. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.

Boehlke, Robert R. Sejarah Perkembangan Pikiran dan Praktek Pendidikan Agama Kristen - Dari Plato sampai Ig. Loyola. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1994.



TIP #06: Pada Tampilan Alkitab, Tampilan Daftar Ayat dan Bacaan Ayat Harian, seret panel kuning untuk menyesuaikan layar Anda. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA