Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 11 No. 1 Tahun 1996 >  STAGNASI DALAM PELAYANAN > 
PENDAHULUAN 

Stagnasi dapat terjadi dalam semua bentuk organisasi baik yang bersifat sekuler maupun yang bersifat spiritual. Melalui pemberitaan di surat kabar, majalah, buletin gereja dan sarana komunikasi lainnya dapat dibaca tentang stagnasi-stagnasi yang telah atau sedang terjadi di perusahaan-perusahaan, organisasi-organisasi sosial, institusi-institusi politik, lembaga-lembaga pendidikan, dan lembaga-lembaga agama. Meskipun telah diberikan alasan yang sangat rasional tentang terjadinya stagnasi tersebut, namun sangat disayangkan bahwa hal ini justru terjadi dalam era modernisasi, globalisasi dan teknologi. Seharusnya semakin tinggi pendidikan seseorang atau tingkat pendidikan yang dimiliki oleh suatu masyarakat umum akan dapat menghindarkan terjadinya stagnasi. Apalagi kalau dilihat dari menjamurnya lembaga-lembaga managemen, berlipatgandanya jumlah tenaga-tenaga profesional dalam bidang komunikasi, dialog dan pemecah masalah (problem solver), seharusnya stagnasi tidak perlu lagi terjadi. Namun yang menjadi kenyataan sekarang ini hampir di semua bidang kehidupan manusia telah atau sedang terjadi kemacetan-kemacetan bahkan tidak sedikit yang telah mengalami kemacetan total.

Kalau dilihat dari sudut perkembangan situasi lalu lintas di dunia, yang sering mengalami kemacetan lalu lintas justru terjadi di kota-kota besar. Kalau diperhatikan dengan sungguh-sungguh, kota-kota besar adalah tempat berkumpulnya golongan intelektual, para ahli dalam semua bidang disiplin ilmu, pusatnya komputerisasi, diterapkannya pengetahuan teknologi canggih, tempat bertemunya para ahli komunikasi dan dialog, namun ironisnya tempat-tempat tersebut menjadi tempat yang rawan dengan stagnasi lalu lintas. Secara sepintas, dari peristiwa-peristiwa yang dapat disaksikan dengan mata telanjang dan bila dibandingkan dengan kemacetan lalu lintas yang terjadi hampir pada setiap waktu di kota-kota besar, dapat disimpulkan bahwa modernisasi dan teknologi bukanlah jaminan untuk dapat menghindarkan terjadinya stagnasi. Pada umumnya jalan-jalan yang macet sudah memiliki sarana dan prasarana yang cukup lengkap, dan telah dijaga oleh tenaga polisi yang terdidik dan diperlengkapi dengan perlengkapan elektronik yang canggih. Namun masih harus diakui, bahwa keahlian dan perlengkapan modern bukanlah satu-satunya jaminan untuk tidak terjadinya suatu kemacetan, apabila tidak disertai dengan ketaatan lalu lintas dan didukung dengan disiplin nasional yang tinggi. Hal itulah yang menyebabkan sering kalinya terdengar ucapan ironis yang menyedihkan, "Ternyata semakin canggih perlengkapannya semakin canggih pula kemacetannya." Ucapan ini mengandung muatan 'sindiran' yang ditimbulkan oleh situasi jenuh yang berkepanjangan tanpa alternatif jalan keluarnya yang pasti. Secara psikologis memang dapat dirasakan oleh semua orang ketika sedang berada di jalan-jalan yang sedang mengalami kemacetan lalu lintas secara total. Seringkali yang tampak pada wajah seseorang adalah kelelahan dan kekecewaan yang disebabkan oleh: 1. Terhambatnya mencapai tempat tujuan sesuai dengan jadwal waktu; 2. terbuangnya waktu yang berharga; 3. kurang efisien dalam bidang keuangan; 4. merasa jenuh dan gerah; dan akan berakibat: 1. munculnya penyakit psikologis -- tegang dan emosional; 2. mudah menyalahkan orang lain atau mencari kambing hitam; 3. kehilangan kestabilan jiwa dan semangat bekerja; dan 4. menurunnya percaya diri. Pada umumnya stagnasi selalu berakibat fatal. Pengalaman ini pun juga dirasakan oleh golongan cendikiawan, politikus, budayawan, karyawan, dan tokok-tokoh agama apabila mereka sedang berada dalam kondisi stagnasi. Baik secara nyata atau abstrak, stagnasi telah menimbulkan depresi dan ketegangan jiwa bagi semua pihak yang terlibat. Contohnya, stagnasi yang terjadi di PDI Jatim tidak hanya membebani kelompok PDI di tingkat daerah atau di tingkat pusat, tetapi hal tersebut telah berakibat buruk untuk semua golongan, seperti pemerintah, masyarakat umum secara lokal, regional, nasional dan internasional. Hal yang sama juga sedang terjadi pada tokoh NU, Universitas Satyawacana, HKBP dan beberapa lembaga lain. Akibat yang mencolok dari stagnasi adalah ketidakpercayaan terhadap kemampuan para pemimpin lembaga tersebut dan juga pemimpin lembaga-lembaga yang terkait. Akibat lainnya adalah munculnya tafsiran-tafsiran atau praduga-praduga dari semua pihak yang merasa dirugikan, bertambah memperuncing masalah dan memperburuk situasi, yang menjadi penghambat penyelesaian masalah yang sebenarnya, telah menjadi kabur karena komentar dan pandangan khalayak ramai. Pada umumnya hal seperti ini akan mengundang perhatian orang banyak dan akan melibatkan banyak orang yang mempunyai interes pribadi, yang akan lebih memperburuk situasi dan mengakibatkan tingkat kemacetan yang sifatnya lebih total dari sebelumnya. Tidak dapat disangkal lagi, memang banyak orang yang sedang menantikan kesempatan untuk dapat memancing di air keruh. Banyak orang mempunyai kesenangan kesempatan di dalam kesempitan. Tidak sedikit organisasi yang tenggelam dalam kesulitan yang semakin kompleks setelah masuknya orang-orang yang kelihatannya beretiket baik memberikan pertolongan. Dengan demikian benarlah peribahasa Indonesia yang mengatakan, "Dalamnya laut dapat diduga tetapi dalamnya hati siapa tahu. Hal ini menuntut kewaspadaan dan kehati-hatian atau hati yang bijaksana. Meskipun sulit, diakui atau tidak, dilaksanakan dalam keadaan sadar atau tidak oleh seseorang, dapat dibenarkan bahwa 'kebudayaan rekayasa' sudah terjadi di mana-mana, baik dalam dunia yang sifatnya sekuler atau religius. Rupanya 'hukum laut' dan 'hukum rimba' telah bangkit kembali dalam kehidupan dunia modern ini, yang realitanya dapat dilihat dalam praktek hidup masyarakat yang menggunakan falsafah hidup "siapa yang besar dan kuat ialah pasti yang akan memang. Disadari atau tidak, baik di dalam dunia gereja atau di dunia sekuler, telah terjadi usaha rekayasa dari kelompok-kelompok tertentu secara terus-menerus yang telah mengakibatkan terjadinya 'stagnasi total' atau 'kemacetan total' dalam bidang komunikasi dan dialog pada umumnya disebabkan oleh suatu tekad atau kemauan yang salah dari suatu kelompok yang mendahulukan kepentingan pribadi lebih dari kepentingan organisasi. Niat jahat ini telah merangsang dan mendorong seseorang untuk melakukan tindakan manipulasi, korupsi, eksploitasi yang menyebabkan tidak efisien dalam penggunaan waktu, sumber dana, dan sumber daya manusia, karena ketidakmampuan dalam bidang kepemimpinan dan managemen yang seringkali berakhir dengan 'macet total' dalam suatu organisasi.

Pertanyaan sentral yang harus dijawab ialah: 1. apakah yang menjadi penyebab stagnasi? dan 2. bagaimana cara menyelesaikannya? Dua pertanyaan ini akan dijawab secara komprehensif dan kondusif melalui uraian di bawah ini, yang akan dibagi dalam tiga kategori: a. terjadi stagnasi dalam pelayanan; b. penyebab-penyebab stagnasi dalam pelayanan; c. cara-cara mengatasi stagnasi dalam pelayanan.



TIP #30: Klik ikon pada popup untuk memperkecil ukuran huruf, ikon pada popup untuk memperbesar ukuran huruf. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA