Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 10 No. 2 Tahun 1995 > 
TORONTO BLESSING: SUATU TINJAUAN PENGALAMAN RELIGIUS 
Penulis: Yonky Karman771

Belakangan ini orang Kristen di Indonesia diguncangkan oleh apa yang dikenal dengan "Toronto Blessing" (Berkat Toronto).770 Gerakan ini dimulai tepatnya pada kebaktian 20 Januari 1994 di gereja Airport Vineyard Toronto, Canada. Di dalam kebaktian itu orang tiba-tiba mengalami "tertawa kudus" (holy laughter), berguling-guling, tiba-tiba gemetar, menjadi lemah lunglai dan jatuh. Ada juga yang menangis tersedu-sedu atau terbaring dalam kegembiraan meluap-luap yang lama. Tulisan ini akan menyoroti fenomena "Toronto Blessing" bukan dari sudut ajaran doktrinal, tapi dari psikologi agama, tepatnya pengalaman religius.

 DEFINISI

Hidup keagamaan yang utuh tidak hanya dipenuhi oleh ajaran-ajaran dan praktek-prakteknya. Umat beragama juga perlu mengalami Allah yang hidup demi kedewasaan iman secara utuh. Orang-orang sederhana zaman dulu peka dan mudah mengalami Yang Ilahi.772 Ayub akhirnya mengakui bahwa sebelum penderitaan hebatnya ia belum mengenal Allah secara pribadi.

Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu. (Ayb 42:5-6)

Pengalaman religius ini dimungkinkan karena manusia diciptakan menurut citra Allah dan Allah sudah mewahyukan diri kepada semua manusia. Pengalaman religius bisa terjadi dalam konteks bermacam-macam seperti doa, meditasi, penyembahan, pujian, berbahasa lidah, kesembuhan ilahi atau bahkan pengalaman-pengalaman ekstase yang mirip kesurupan.

Dengan diciptakan menurut citra Allah manusia mampu menyapa dan disapa Allah. Tidak seperti hewan. manusia mempunyai kecenderungan dasar untuk mencari Allah dan dalam batas-batas tertentu bisa mengalami Allah. Meskipun demikian kemampuan manusia untuk mengalami Allah sebelum Kejatuhan lebih baik dari pada sesudahnya.773

Allah sudah mewahyukan diri kepada semua manusia secara umum melalui dunia ciptaan. Dalam batas-batas wahyu umum ini manusia dimungkinkan untuk mengenal dan mengalami Allah (bdk. Kis 17:26-28). Dari sini bisa dikatakan bahwa pengalaman manusia akan Allah sebagai Sang Pencipta di dalam agama apapun merupakan pengalaman yang real.774 Orang fasik juga masih memiliki pengenalan akan Allah. hanya saja pengenalan itu telah ditindas oleh kelaliman (Rm 1:18-21).

Kedua faktor di atas dikatakan obyektif. Masih ada faktor-faktor subyektif yang berperan dalam terjadinya pengalaman religius.775 Kalau A mendengar khotbah dengan persiapan hati, dan B tidak, mungkin sekali A akan lebih menghayati Allah berbicara melalui khotbah ketimbang B (bdk. Mat 13:1-23). Lagi, orang yang mencintai kebaikan, kesucian dan ketulusan pasti akan lebih bisa menghayati kebenaran firman Tuhan (bdk. Mzm 19:8-9).

Pengalaman religius, bagaimanapun dalam dan dangkalnya, adalah sebuah pengalaman insani.776 Minimal ada tiga unsur tipikal dari pengalaman religius yakni rasa menyatu dengan Yang Ilahi, rasa bergantung pada Yang Ilahi dan rasa keterpisahan dari Yang Ilahi.777 Ketiga unsur ini bisa dipersempit lagi ke dalam dua kategori yaitu rasa takut yang menjauhkan dan rasa tertarik yang mendekatkan.

 SUBYEKTIVITAS DAN OBYEKTIVITAS

Di dalam pengalaman religius manusia adalah subyek yang mengalami dan Yang Ilahi dialami sebagai obyek.778 Dari segi ini, pengalaman religius memiliki segi subyektif dan obyektif779 Ditinjau dari obyek pengalaman, pengalaman religius terjadi berkat ada realitas Ilahi di luar diri manusia.

Ditinjau dari subyek yang mengalami pengalaman religius merupakan sebuah proses psikologis yang terjadi di dalam diri seseorang. Tanpa realitas obyektif di luarnyapun seseorang bisa "merasa" mengalami seperti pada kasus halusinasi. Oleh karena itu, sulit sekali kita membantah seseorang yang mengklaim bahwa ia mempunyai pengalaman religius seperti mendapat visi atau beban khusus dari Tuhan. Karena bisa saja sebuah pengalaman religius begitu subyektifnya, sehingga pengalaman itu sebenarnya bukan lahir dari kontak subyek dengan realitas Ilahi obyektif di luarnya.

Dalam karyanya yang amat termasyur Das Heilige Rudolf Otto menggambarkan pengalaman religius sebagai sebuah pengalaman yang paradoks, di satu pihak menggentarkan, namun di lain pihak mempesonakan. Di dalam Yang Ilahi ada sesuatu yang ambigu, yaitu antara hal yang mendahsyatkan dan sekaligus menarik hati manusia untuk mendekati-Nya. Struktur Numinosum seperti ini merupakan obyek dari perasaan-perasaan religius yang terdiri alas dua kutub. Kedua kutub ini serentak dialami. Jauh namun juga terasa dekat. Asing namun juga akrab. Harmoni dari pertentangan struktur rangkap ini merupakan dasar pengalaman religius. Dalam filsafat agama kedua kutub ini muncul dalam faham transendensi dan imanensi Allah. Sedangkan di dalam teologi hal ini nyata dalam keadilan Tuhan yang menghakimi namun sekaligus merahmati.

Pertama, manusia mengalami Allah sebagai mysterium tremendum (misteri yang mendahsyatkan).780 Yang Ilahi dialami sebagai sebuah misteri.781 Arti misteri adalah bahwa Yang Ilahi dirasakan sebagai Ada yang berada di luar jangkauan pemahaman manusia dan sama sekali asing tak dikenal. Yang Ilahi sama sekali berbeda dari manusia dan segala yang duniawi Dialah Yang Mahalain (The Wholly Other). Berhadapan dengan Yang Maha lain ini manusia merasa tercengang dan bingung. Ini bukan cuma karena akal budi kita terbatas, melainkan karena juga memang Yang Ilahi bukan sesuatu yang terdapat di dalam dunia biasa (supernatural). Yang Ilahi bukan apa-apa, yang dalam kepercayaan Budhisme disebut sunyata (kekosongan). Maka, Tersteegen bisa mengatakan, "Em begriffener Gott ist kem Gott" (Allah yang bisa dimengerti adalah bukan Allah). Yang Ilahi dialami sebagai yang mendahsyatkan dan tak terhampiri (Latin. tremendum). Pengalaman akan Yang Ilahi seperti itu menimbulkan rasa takut di dalam diri manusia.

Kegentaran ini dikarenakan manusia memiliki apa yang disebut sebagai kesadaran sebagai makhluk yang fana (creature feeling).782 Creature feeling ini berasal dari creaturehood (Jerman, Geschoplichkeit), yakni kesadaran eksistensial dari seorang yang berhadapan dengan Yang Mahakuasa dan Mahamulia dan bukan berasal dari createness (Jerman, Geschaffenheit) yaitu kesadaran seseorang bahwa dirinya terbatas sebagai makhluk ciptaan.783 Creature feeling adalah semacam emosi yang menguasai manusia tanpa terbendung ketika dirinya berhadapan dengan kemahaan dari Yang Ilahi (overpoweringness, majesty), sehingga ia merasa dirinya bukan apa-apa, kecil, tak berarti dan tak berdaya (bdk. Kej 18:27, MZm 8:4-5; Yes 6:3,5).

Kedua, rasa takut akan Yang Ilahi ini tidak berjalan sendiri. Suatu pengalaman lain menyertai rasa takut itu sehingga manusia berani mencari Yang Ilahi. Inilah rasa tertarik yang mendorong orang yang sama untuk mendekati Allah (Latin, fascinans/fascinosum).784 Wujud dari perasaan fascinans ini misalnya adalah rasa bergantung sebagai makhluk ciptaan yang menenteramkan hati manusia yang gelisah. rasa kasih, rasa merindukan, rasa percaya, rasa bahagia dan damai yang melampaui segala akal (bdk. Flp 4:7). Seseorang bersaksi demikian,

Untuk sesaat tiada lain yang tinggal tetap selain sukacita dan kegembiraan yang meluap-luap tak terlukiskan. Mustahil untuk menggambarkan seluruh pengalaman itu seperti efek dari karya orkes yang agung ketika semua nada yang terpisah berpadu membantu sebuah harmoni yang semakin membesar yang membuat pendengar cuma menyadari bahwa jiwanya sedang dibawa naik dengan emosi yang hampir meletup.785

Perasaan-perasaan seperti ini juga dialami orang Kristen, misalnya, pada kejadian-kejadian istimewa seperti pertobatan dan kelahiran kembali, di mana ia dibebaskan dari rasa bersalah dan belenggu dosa.

 RASIONALITAS DAN IRASIONALITAS

Pengalaman religius bersifat rasional sekaligus non rasional. Suatu perjumpaan dengan Allah bisa diterima tanpa harus menerjemahkan pengalaman itu seluruhnya ke dalam kategori-kategori rasional. Kita begitu kecil dan terbatas, sedangkan Allah sendiri serba maha, tak terukur dan tak terbatas. Maka di satu pihak pengalaman religius bisa dijelaskan secara rasional, namun di lain pihak penjelasan rasional itu tak pernah mencukupi. Di dalam teologi misalnya, kita berusaha untuk mengidentifikasi Allah sebagai roh, punya rencana dan kehendak, baik, berkuasa, dll. Semua istilah ini diambil dari konsep-konsep insani dalam dunia sehari-hari dan oleh karenanya dapat kita pahami. Namun manakala kita mengira bahwa Allah adalah sama seperti yang termuat di dalam konsep-konsep ini, agama melarangnya. Kedirian Allah jauh melampaui apa yang dapat dikatakan dan dipahami manusia. Diri Allah sendiri atau Ding an sich. meminjam istilah Kant. tak terjelaskan baik oleh kata-kata maupun daya rasio manusia yang terbatas. Maka kepada atribut-atribut rasional itu teologi menambahkan "maha." Allah disebut mahatahu, mahakuasa, mahahadir. Atribut-atribut seperti ini cuma hanya mau mengatakan satu hal yakni bahwa di dalam diri Allah yang telah menyatakan diri itu. tetap ada aspek-aspek non rasionalnya.786 Itulah sebabnya dari pada menyebut Allah sebagai yang kudus dengan konotasi moralnya. Otto memilih sebuah istilah lain Numen atau Nummosum.787

 PENGALAMAN RELIGIUS SEMU

Dari pembicaraan kita sejauh ini, bisa dikatakan bahwa pengalaman religius merangkul sekaligus aspek-aspek subyektif dan obyektif, aspek-aspek rasional dan non rasional, tanpa subordinasi aspek yang satu terhadap lainnya. Pertanyaannya apakah yang klaim manusia atas pengalaman religius selalu benar? Ternyata pengalaman seperti pengalaman religius tidak hanya dihasilkan dari perjumpaan manusia dengan Yang Ilahi. Kuasa gelap juga bisa memberi pengalaman yang mirip sekali dengan pengalaman religius (quasi-religious). Kesulitan untuk membedakan ini diakui oleh Otto.788

Meskipun perasaan akan Yang Ilahi dalam perkembangannya yang tertinggi berbeda dari 'rasa takut akan setan,' namun dalam levelnya yang tertinggi tidak dipungkiri asal-usul atau kesamaannya. Bahkan ketika penyembahan akan 'setan-setan' sudah mencapai level yang lebih tinggi bagaikan menyembah allah-allah, allah-allah ini masih mempertahankan sesuatu dari dunia roh (numina) yang di dalam diri orang yang menyembah tertinggal sebagai perasaan 'gaib' dan 'dahsyat,' yang tetap bertahan bersama rasa mulia dan agung atau yang sudah dilambangkan melalui rasa agung itu.

Mengingat pada kasus-kasus tertentu, perbedaan antara menyembah Allah dan menyembah setan begitu halus, sungguh tepat bila Alkitab memberi tempat yang penting bagi "karunia untuk membedakan bermacam-macam roh" (1 Kor 12:10) dan memberi perintah untuk menguji roh-roh (1Yoh 4:1). Oleh sebab itu, pengalaman religius harus bisa diuji.

 PENGESAHAN

Dalam mengesahkan pengalaman religius ada dua sikap yang perlu dihindari.789 Sikap pertama adalah menolak pengesahan dari luar (self validating). Sikap ini didasarkan pada anggapan bahwa pengalaman religius merupakan komunikasi langsung dari Allah kepada seseorang secara individual. Orang mengklaim bahwa "hanya" dia yang mendapat visi atau wahyu, sementara orang lain dianggap "tidak tahu apa-apa." Atau bisa juga orang mengklaim bahwa tindakannya dilakukan karena "dorongan beban khusus dari Tuhan." Seorang pemimpin Kristen bisa jatuh ke dalam kecenderungan ini. Kalau ia seorang yang berkharisma untuk mempengaruhi orang lain, dengan mudah ia akan memiliki banyak pengikut. Kalau orang ini diberitahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres, ia akan jalan terus dengan alasan bahwa "saya sendiri jelas" atau "motivasi saya murni." Sikapnya, kalau orang lain tidak mau ikut biar saja. Toh para nabi juga dulu bernubuat dan ketika tidak digubris, ia jalan terus.

Kelemahan dari sikap ini adalah pengalaman religius pribadi tidak terkontrol. Kalau memang visi atau beban itu adalah dari Tuhan dan harus dikerjakan bersama-sama, apakah salah kalau Tuhan juga memberi visi serupa kepada orang lain? Apakah keadaan umat Allah sudah begitu buruk, sehingga hanya segelintir kecil orang saja yang memiliki pengalaman religius yang istimewa? Tanpa mau menerima counter-check dari orang lain, orang itu dengan mudah akan merasa diri sebagai nabi atau juruselamat zaman ini (messianic syndrome). Di dalam kehidupan berjemaat klaim-klaim seperti ini mengandung nada arogan dan bisa manipulatif.

Sikap kedua adalah bahwa pengalaman religius hanya benar bila Alkitab membenarkan dan apabila Alkitab tidak menyebutkan, maka pengalaman itu tidak benar (Scripture-validating). Orang yang mengklaim seperti ini selalu mengecek setiap pengalaman atau peristiwa secara kaku berdasarkan ada atau tidak di dalam Alkitab seolah-olah Alkitab memuat daftar berbagai pengalaman religius yang sah. Alkitab dijadikan tolok ukur tertinggi bagi semua jenis pengalaman religius.

Di sini ada masalah. Tujuan utama Alkitab dilupakan. Kita tahu bahwa berita utama dari Alkitab adalah supaya orang dituntun ke dalam pengenalan akan Yesus Juruselamat, dan oleh karenanya memperoleh selamat (bdk. Yoh 20:31). Betul bahwa Alkitab mencatat banyak sekali pengalaman seperti pertobatan, mujizat, berbahasa lidah, kesembuhan, pertumbuhan rohani dst. Namun itu tidak berarti bahwa Alkitab mau berperan sebagai sebuah buku daftar pengalaman religius. Implikasinya, kita tidak bisa selalu memakai Alkitab untuk membenarkan atau menyalahkan sebuah pengalaman religius. Mungkin ada pengalaman religius yang tak pernah terjadi di dalam Alkitab. Kalau begitu, jangan-jangan orang yang menghakimi pengalaman religius orang lain, ia sendiri tidak memiliki pengalaman religius itu.

Dengan apa pengalaman religius bisa dipercaya? Pengalaman religius, perlu bisa dimengerti menurut suatu konteks rasional, moral dan kultural tanpa harus dijelaskan secara tuntas. Yang terakhir "tanpa harus dijelaskan tuntas" perlu digarisbawahi. Dalam mengecek pengalaman religius orang lain kita harus selalu ingat bahwa Allah itu tak terbatas, sehingga cara yang dipakai-Nya juga tak terbatas seperti yang ditegaskan oleh Evans.790

Karena Allah mahakuasa dan sama sekali bebas, maka Ia memiliki kemungkinan inisiatif yang terbesar. Nampaknya mustahil seseorang mengalami Allah kecuali Allah menghendaki hal itu terjadi. Dan nampaknya sulit atau juga mustahil bagi kita untuk mengatakan kapan Allah mau melakukan hal itu.

Ujian terhadap pengalaman religius perlu, karena pengalaman religius yang berdiri sendiri akan menghasilkan kekacauan dan kebingungan. Menghadapi situasi kacau dari pelaksanaan karunia-karunia rohani yang spektakuler di jemaat Korintus dari para kharis-maniak, rasul Paulus tidak berusaha memberikan kriteria teologis tentang validitas pengalaman-pengalaman itu. Ia hanya menasihatkan mereka tentang pentingnya ketertiban.

Sebab Allah tidak menghendaki kekacauan, tetapi damai sejahtera... Tetapi segala sesuatu harus berlangsung dengan sopan dan teratur. (1 Kor 14:33,40)

Dalam pengalaman religius harus ada keseimbangan di antara aspek rasional dan aspek non rasional supaya pengalaman itu dihayati secara utuh.791 Orang harus selalu mengkonsultasikan pengalaman religiusnya dengan aspek-aspek rasional, moral dan kultural yang ada, agar pengalaman itu tidak jatuh ke dalam fanatisme atau mistisisme sewenang-wenang.

Kirk Farnsworth menyebutkan dua macam kriteria, mencukupi (adequacy) dan cocok (appropriateness).792 Kriteria "mencukupi" menyangkut makna dan terdiri dari tiga unsur, yaitu bermakna (meaningfulness), berharga (worthwhileness) dan keutuhan (coherence). Kriteria "cocok" berhubungan dengan signifikansi dan juga terdiri dari tiga unsur, yaitu layak (worthiness), perubahan (conversion) dan cocok (compatibility).

Pengalaman religius harus bermakna dalam arti bila memperkaya dan melengkapi pengalaman sehari-hari; berharga dalam arti pengalaman itu menegaskan ulang kesadaran kita sebagai makhluk dan nilai eksistensi kita; koheren dalam arti meskipun pengalaman religius memiliki sisi non rasional, namun tetap ada signifikansi rasional, moral dan kultural.

Pengalaman religius bisa dilihat dari kelayakan obyek pengalaman itu bagi kepedulian dan penyerahan kita yang terdalam perubahan terjadi dalam perilaku dan sikap orang yang memiliki pengalaman religius; sebuah pengalaman religius harus cocok dengan kelompok acuan religius di mana orang itu berada (reference group). Di sinilah pentingnya persekutuan orang percaya. Apa yang dialami seseorang juga dialami oleh orang lain (intersubjective verification). Untuk orang yang mengaku punya pengalaman khusus seharusnya pengalaman itu juga diakui oleh orang Kristen lainnya. Maka kalau suatu pengalaman religius diterima dan berlaku umum di dalam suatu kelompok religius yang tidak bisa dikatakan bidat, prinsipnya adalah menerima dulu bahwa pengalaman itu benar sampai ada bukti yang lebih kuat yang dapat meragukan pengalaman itu. Kalau kita percaya bahwa Roh Kudus ada dengan salah satu manifestasi-Nya berbahasa lidah, kita harus dengan sangat hati-hati untuk menghakimi pengalaman itu di dalam diri seseorang sebagai hal yang di manipulasi. Kita boleh langsung meragukan suatu pengalaman religius, kalau jelas tahu bahwa apa yang dialami itu sebenarnya tidak ada atau kalau orang yang mengalaminya dalam kondisi yang meragukan seperti mabuk, emosi yang labil.

Akhirnya, dalam menilai sebuah pengalaman religius yang spektakuler hendaknya kita bisa membedakan mana yang menjadi inti pengalaman dan mana yang merupakan bumbu-bumbunya. Misalnya, ada seorang yang baru disembuhkan secara ajaib dari penyakit yang secara medis tersembuhkan. Dalam pengalamannya itu orang ini bersaksi bahwa Tuhan Yesus menyembuhkan dia melalui mimpi, di mana di dalam mimpi itu ia diajak berjalan jalan di sorga dan melihat Petrus yang berbaju biru dst. Inti dari pengalaman rohani ini adalah disembuhkan secara ajaib, sedangkan bumbu-bumbunya adalah tour di sorga dan perjumpaan dengan banyak orang dan hal. Terhadap inti dari pengalaman rohani kita tidak boleh terlalu cepat curiga, apalagi kalau faktanya memang betul. Namun terhadap detil pengalaman perlu di kaji secara kritis, karena setiap pengalaman religius bersifat subyektif. Barangkali untuk tidak jatuh ke dalam debat kontroversial, Rasul Paulus dengan amat hati-hati menceritakan pengalamannya diangkat ke tingkat ketiga sorga (2Kor 12:1-7).793 Baginya pengalaman spektakuler seperti itu bukan untuk disaksikan ke mana-mana, melainkan untuk menjadikannya seorang yang lebih menyadari apa arti hidupnya.

 KESIMPULAN

Pengalaman religius tidak pernah sepenuhnya terjelaskan dengan kata-kata manusia, namun juga tidak pernah tak terjelaskan sama sekali. Di hadapan Allah yang serba maha itu, kata-kata manusia terasa miskin dan sumbang. Maka dalam pengalaman religius perlu sekali keseimbangan antara aspek rasional dan aspek non rasional. Bila pengalaman religius takluk di bawah komando rasio, agama cenderung dihayati secara formal dan dingin. Inilah bahaya dari mereka yang terlalu menekankan formula-formula ajaran di alas segala-galanya dan mengabaikan pengalaman religius yang tidak pernah bisa di kungkung oleh rumusan-rumusan iman. Namun kalau aspek non rasional terlalu mendominasi aspek rasional, akan tersedia lahan yang subur bagi tumbuhnya mistisisme.

Pengalaman "Toronto Blessing" adalah sejenis pengalaman religius, terlepas dari apakah betul secara obyektif pengalaman itu dihasilkan oleh Allah atau bukan. Sebagai sebuah pengalaman religius. itu memiliki segi non rasional dan subyektif. Maka cukup sulit bagi kita untuk menilai hanya dari segi rasional dan secara obyektif bahwa itu bukan dari Allah. Namun demikian, bukannya berarti "Toronto Blessing" tidak bisa diuji. Sebagai sebuah pengalaman religius, seperti pengalaman-pengalaman religius lainnya, ia harus bisa disahkan validitasnya dengan kriteria pengujian di atas. Bahwa "Toronto Blessing" tidak boleh dilihat sebagai gol adalah cukup jelas. Pdt. Ir. Bambang Widjaja. Ketua Umum Majelis Pastoral Gereja Kristen Perjanjian Baru menilai bahwa gerakan "Toronto Blessing" merupakan tanda kepada gerakan Allah berikutnya dan pada dirinya bukan merupakan tujuan dari pengalaman rohani. Fenomena ini merupakan tanda yang amat jelas bahwa Roh Allah sedang melawat dan memperbaharui umat-Nya.794 Seorang pendeta gereja baptis, Richard Long merasakan hasil positifnya dalam kehidupan beragamanya pribadi sebagai "kekudusan baru hasil dari suatu hubungan cinta pertama yang baru dengan Tuhan ... saya secara pribadi tertantang bahwa segala sesuatu yang saya lakukan dan katakan adalah dari kasih untuk Bapa."795 Tapi masalahnya ada umat Kristen yang berhenti pada gejala saja. Mereka tidak mencari substansi dari fenomena kejadian. Untuk mendapat label sebagai umat yang "dilawat" Allah. mereka terobsesi dengan berbagai fenomena lahiriah seperti tertawa tak putus-putusnya, jatuh tergeletak dst. Kalau itu yang terjadi, pengalaman religius menjadi sesuatu yang dangkal. Reaksi negatif dan kelompok Kristen lain terhadap "Toronto Blessing," walau kadang-kadang ada yang sangat ekstrim dan melukai perasaan umat seperti memberi label "Toronto Cursing." mestinya harus dimasukkan ke dalam pertimbangan penganut gerakan "Toronto Blessing." Sebagai sebuah pengalaman religius, orang harus bisa mempertanggungjawabkan pengalaman "tertawa kudus" melalui prinsip-prinsip pengujian pengalaman religius seperti diuraikan di atas. Seberapa jauh ayat-ayat yang dipakai untuk mendukung fenomena pengalaman "Toronto Blessing" secara akademik dapat dipertanggungjawabkan? Secara moral, apakah orang menjadi berperilaku lebih baik setelah pengalaman? Lalu apakah kultur masyarakat kita biasa dengan fenomena perilaku "Toronto Blessing" sehingga mendatangkan syak di hati banyak orang?796 Kalau mereka mengabaikan kriteria-kriteria rasional, moral dan kultural, gerakan itu tidak akan bertahan lama dan cepat atau lambat akan ditinggalkan. Jangan-jangan, "Toronto Blessing" adalah modus baru setelah popularitas bahasa lidah mulai merosot.

Maka alangkah lebih bijaksananya selama pertanggungjawaban rasional, moral dan kultural belum bisa di kaji, penganut "Toronto Blessing" bersikap menahan diri untuk tidak mempropagandakan hal-hal yang fenomenal, sementara yang mendasar seperti lawatan Allah yang sejati, terlupakan. Bagi mereka yang tidak mengalami secara langsung, hendaknya juga tidak perlu terlalu reaktif. Adalah lebih bijaksana kalau mereka melakukan introspeksi apakah selama ini mereka rindu untuk dilawat Allah. Rutinitas yang dingin sering membuat orang tidak lagi peka akan gerakan Allah. Seyogyanya umat Kristen selalu rindu untuk dilawat Allah dan selalu membuktikan diri layak untuk diperbaharui terus-menerus~ Kedatangan Yesus semakin dekat.



TIP #27: Arahkan mouse pada tautan ayat untuk menampilkan teks ayat dalam popup. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA