Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 10 No. 1 Tahun 1995 > 
STRUKTUR SOSIAL EKONOMI DI ISRAEL KUNO 
Penulis: David L. Baker523

Orang kaya dan orang miskin bertemu; yang membuat mereka semua ialah TUHAN. (Ams 22:2)

Semua manusia diciptakan Tuhan Allah, menurut iman Kristen, baik manusia kaya maupun yang miskin. Tetapi hal itu tidak berarti Tuhan menghendaki jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Di dalam masyarakat pada masa kini ada kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin, yang agaknya semakin lama semakin besar. Jika kita memikirkan hal itu, tentulah timbul pertanyaan, "Apakah harus demikian?" Apakah tidak mungkin tercipta suatu masyarakat di mana semua mempunyai cukup dan tidak ada perbedaan yang mencolok antara yang berada dengan yang tidak berada?

Dalam tulisan pendek ini tentulah tidak mungkin kita membahas segala seluk-beluk masalah ini. Oleh karena itu kita akan membahas secara khusus perkembangan struktur sosial ekonomi di Israel kuno, sebagaimana tampak dalam Perjanjian Lama, sebagai contoh perubahan struktur dalam suatu masyarakat yang relatif adil untuk semua orang kepada struktur di mana ada jurang pemisah antara orang kaya dengan orang miskin. Mengapa dan bagaimana perubahan itu terjadi, perlu diketahui agar kita memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat kita sendiri dan mempunyai bekal untuk menilai baik buruknya.

 ZAMAN PENGEMBARAAN

Nenek moyang Israel hidup sebagai bangsa pengembara, yang memelihara kambing domba di daerah gurun pasir di sekitar Palestina. Pada umumnya Abraham, Ishak dan Yakub hidup dengan berkecukupan, walaupun sewaktu-waktu terjadi kelaparan (Kej 12:10; 41:53-57). Gaya hidup mereka sederhana kalau dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di kota-kota pada zaman itu. Abraham pernah disebut "kaya" (Kej 13:2), namun kekayaan itu hanyalah apa yang bisa dia bawa dalam pengembaraannya (ayat 3). Dia tidak pernah mendirikan rumah atau memiliki tanah, kecuali ladang dengan guanya yang dibeli untuk menguburkan istrinya (Kej 23:3-20). Lagi pula kekayaan yang ada bukanlah milik pribadi melainkan milik bersama kaum keluarga. Kata "miskin" sama sekali tidak ditemukan dalam Kitab Kejadian, karena belum ada orang yang kaya atau miskin secara pribadi pada zaman itu.

Masyarakat pada zaman pengembaraan mempunyai struktur yang sederhana,berdasarkan kekeluargaan, dengan tiga tingkat utama (bnd. Yos 7:14):

- suku (syevet; matte);

- kaum (misypakha); dan

- keluarga (bayit; bet av).

Belum ada pembagian golongan masyarakat dengan lapisan yang bertingkat-tingkat (bangsawan, karyawan, dsb.). Hubungan yang paling penting ialah hubungan kekeluargaan. Kekompakan dalam kelompok suku, kaum dan keluarga meniMbulkan adanya kewajiban untuk melindungi dan membela anggota-anggota kelompok itu.

Biasanya setiap kaum menempati dan menggembalakan kambing dombanya di daerah tertentu. Dalam hal ini unsur terpenting yang menentukan pemakaian tanah ialah persediaan air (pada khususnya letak sumur atau mata air; lihat Kej 21:25-31; Kel 2:15-22).

Dalam masyarakat pengembara, suatu kaum bisa menjadi kaya atau miskin, bergantung pada jumlah ternaknya dan mutu padang rumput serta tempat minumnya; tetapi tidak ada pribadi yang menjadi miskin atau kaya di dalam kaum tersebut.

 PENDUDUKAN PALESTINA

Peralihan dari hidup mengembara pada hidup menetap membawa perubahan struktur masyarakat yang besar. Kaum-kaum menetap di perkampungan dan kota kecil. Dengan demikian timbul adanya tanah milik. Tanah yang sudah diduduki, dan juga yang belum diduduki, dibagikan kepada suku-suku Israel menurut kaum-kaum mereka, dengan cara undi (Yos 13-21; bnd. Hak 1). Pembagian itu tidak dilakukan berdasarkan status (misalnya bagian yang lebih besar untuk suku Ruben sebagai anak sulung Yakub) melainkan berdasarkan kebutuhan, yakni sesuai dengan besarnya masing-masing kaum (Bil 33:54). Tanah itu dianggap sebagai milik bersama kaum yang mendapatnya, walaupun masing-masing keluarga bertanggung jawab untuk memelihara bagian tertentu.

Tetapi dalam masyarakat menetap ada kecenderungan untuk adanya hak milik pribadi. Apabila seseorang atau suatu keluarga mendirikan rumah atau mengolah dan menanami tanah, maka tentu mereka merasa memiliki suatu hak istimewa atas tanah yang diusahakan itu. Jadi akhirnya sistem pemilikan tanah oleh keluarga menjadi biasa di Israel, sebagaimana tampak dalam perkataan-perkataan berikut dari zaman kerajaan:

orang Yehuda dan orang Israel diam dengan tenteram, masing-masing di bawah pohon anggur dan pohon aranya (1Raj 4:25); dan orang dengan rumahnya, manusia dengan milik pusakanya (Mi 2:2).

Akibat perkembangan hak milik tanah ialah timbulnya perbedaan yang semakin nyata di dalam masyarakat. Masing-masing keluarga memiliki tanah yang tidak sama kesuburannya dan kecakapan mereka dalam mengelola tanah juga berbeda. Selain itu ada juga kemungkinan terjadi bencana alam di satu tempat, sedangkan di tempat yang lain petani meraih hasil panen yang banyak. Akibatnya sebagian orang menjadi lebih miskin dan sebagian lebih kaya.

Walaupun ada perubahan-perubahan seperti itu, tanah tetap mempunyai hubungan yang erat dengan kaum keluarga, karena dianggap sebagai pemberian Allah kepada mereka untuk menepati janji-Nya kepada Abraham, nenek moyang mereka. Oleh karena itu tanah tidak dihitung sebagai barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Apabila seorang petani terpaksa menjual tanah karena kemiskinan, maka keluarga terdekat wajib membelinya supaya tetap sebagai milik kaum keluarga (misalnya Rut 4:3-4). Dengan demikian dihindarkan perkembangan jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Pada masa mula-mula tinggal di Palestina (zaman para hakim), orang Israel tinggal di daerah yang berbukit-bukit, terpisah dari kota-kota orang Kanaan di tanah datar, sehingga ekonomi mereka berpusat pada pertanian. Dalam suasana hidup petani, tanpa perdagangan dan urbanisasi, tidak ada kesempatan untuk timbulnya kesenjangan yang mencolok antara orang kaya dan orang miskin.

Raja Israel yang pertama dan kedua berasal dari keluarga yang ekonominya sedang, dan dua-duanya merupakan pekerja biasa sebelum menjadi raja. Saul adalah peternak (1Sam 9:3; 11:5); Daud adalah gembala (1Sam 16:11).

Dari hasil penggalian para arkeolog di Palestina juga terbukti persamaan tingkat kehidupan masyarakat. Di kota Tirza, umpamanya, ditemukan rumah-rumah dari abad ke-10 SM yang semuanya mempunyai ukuran dan susunan yang kira-kira serupa.

 ZAMAN KERAJAAN

Pemusatan pemerintahan yang terjadi dengan pembentukan kerajaan membawa perubahan-perubahan yang penting dalam masyarakat Israel, sebagaimana diramalkan oleh Samuel pada mulanya (1Sam 8:10-18). Untuk pertama kali Israel menjadi negara bersatu, yang mencakup baik daerah pendudukan suku-suku di bukit-bukit maupun tanah datar dengan kota-kota orang Kanaan, yang mempunyai gaya hidup jauh berbeda dari suasana pedusunan pada masa mula-mula orang Israel menduduki Palestina. Struktur sosial ekonomi Kanaan, khususnya dalam hal perdagangan, mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan hidup bersama orang Israel sehingga mulai berkembanglah suatu golongan kaya dan suatu golongan miskin.

Menurut kebiasaan orang Kanaan, kewarganegaraan berdasar pada pemilikan tanah, bukan pada keanggotaan suku. Lagi pula mereka memperlakukan tanah sebagai barang dagangan yang dapat dijual secara bebas. Dengan demikian terbuka kesempatan bagi beberapa keluarga Israel yang mampu untuk memperluas tanah milik mereka dengan membeli tanah milik orang Kanaan dan menambahkannya kepada milik pusaka mereka. Sebaliknya boleh jadi keluarga Israel yang kurang mampu akan menjual sebagian tanahnya kepada orang Kanaan, apabila orang itu menawarkan harga yang lebih tinggi daripada keluarga yang wajib membelinya, ataupun kalau keluarga tersebut tidak bersedia memenuhi kewajibannya. Akibatnya terjadi perbedaan yang semakin besar di dalam masyarakat Israel.

Sistem hak tanah pada orang Kanaan bersangkut paut dengan orde feodal (susunan masyarakat yang dikuasai oleh kaum bangsawan). Pembangunan kota-kota memungkinkan kemajuan dalam bidang militer, khususnya pemakaian kereta tempur, yang sangat mahal dan memerlukan tanah yang luas untuk memelihara kuda-kudanya. Kaum bangsawan orang Kanaan (bahasa Ugarit: mryhm) menjadi ahli-ahli perang yang mahir menggunakan kereta tempur, dan salah satu hak mereka yang utama ialah memiliki tanah. Dengan demikian terjadi kesenjangan yang mencolok dalam masyarakat Kanaan antara golongan bangsawan, yang tinggal di kota dan memiliki tanah, dengan golongan petani yang setengah merdeka serta golongan budak yang mengerjakan tanah.

Sistem feodal ini mempunyai pengaruh yang semakin dalam pada masyarakat Israel:

- pada zaman Raja Saul, Israel masih berperang dengan mengerahkan suku-suku seperti pada zaman hakim-hakim (misalnya 1Sam 15);

- di bawah pemerintahan Daud terbentuklah tentara Israel, mempergunakan orang-orang Israel dan juga prajurit upahan yang didapatkan dari luar negeri (yang bukan anggota salah satu kedua belas suku melainkan setia langsung kepada raja);

- Raja Salomo menyelesaikan pembentukan angkatan bersenjata, antara lain dengan mempergunakan kuda dan kereta tempur (1Raj 4:26).

Orde militer yang baru ini dipengaruhi oleh apa yang berlaku di Kanaan, yang mempunyai hubungan erat dengan sistem feodal, sehingga di Israel juga timbul kesenjangan antara golongan atas dengan golongan bawah sebagaimana biasa dikenal di kota-kota Kanaan kuno. Raja Salomo mempergunakan kerja paksa di dalam proyek-proyek pembangunannya (1Raj 5:13; 9:15-22), sesuatu yang tidak pernah diberlakukan di Israel sebelumnya. Dan berbeda dengan Saul dan Daud, yang masih hidup dengan agak sederhana, Salomo sendiri menjadi kaya raya dan hidup secara sangat mewah (1Raj 10:14-29).

Ada bermacam-macam sebab untuk pemiskinan golongan petani pada zaman kerajaan. Salah satu penyebab ialah sistem pemberian tanah (fief) kepada orang-orang tertentu sebagai penghargaan karena berjasa bagi raja dan negara, sesuatu yang biasa dalam sistem feodal tetapi yang bertentangan dengan prinsip pembagian tanah secara adil dalam masyarakat Israel.

Penyebab yang lain ialah adanya bunga pinjaman yang sangat tinggi (bnd. Kel 22:25; Im 25:35-37; Ul 23:19-20; Ams 28:8). Sesudah panen yang kurang baik, seorang petani yang tidak punya tabungan tentunya membutuhkan pinjaman untuk membeli bibit. Untuk sementara waktu pinjaman itu menolong dia, tetapi akhirnya dia rugi dua kali: pertama disebabkan kegagalan panen, kemudian dalam membayar bunga yang dituntut oleh orang yang memberi pinjaman. Dengan demikian ada beberapa tahap dalam proses pemiskinan ini:

- pinjaman: orang berutang, dan terpaksa menggadaikan pakaian atau hasil tanahnya;

- tidak sanggup membayar: dia menjadi penyewa pada tanahnya sendiri, atau terpaksa bekerja bagi orang yang berpiutang kepadanya;

- perbudakan: akhirnya dia terpaksa menjual anaknya atau dirinya sendiri untuk menghindarkan mati kelaparan (misalnya 2Raj 4:1).

Pada abad ke-8 SM sistem feodal sudah meruntuhkan struktur masyarakat Israel yang tradisional. Makin lama makin banyak tanah menjadi milik suatu golongan pemilik tanah yang tinggal di kota-kota dan memeras para petani (lihat Yes 5:8; Am 5:11; 6:1-6).1 Persekutuan suku-suku secara praktis sudah berakhir dan setiap orang atau keluarga hidup untuk dirinya sendiri, sehingga kesenjangan antara si kaya dan si miskin semakin memprihatinkan.

Perbedaan tingkat hidup pada abad ke-8 ini dibuktikan oleh arkeologi, umpamanya dalam penggalian di kota Tirza. Di sana ditemukan rumah-rumah dari abad ke-8, yang menunjukkan kontras antara rumah-rumah mewah orang kaya dan rumah-rumah kecil yang didiami oleh rakyat biasa. Sedangkan di tempat yang sama pada abad ke-10 tampak persamaan dalam besarnya rumah-rumah.

 PEMBUANGAN DAN PEMULIHAN

Pada tahun 721 SM Samaria, ibu kota Israel utara, jatuh ke tangan pasukan Asyur dan umatnya terpencar-pencar (1Raj 17). Banyak di antara mereka diangkut ke Asyur dan negara-negara lain. Kemudian pada tahun 587 SM Raja Nebukadnezar dari Babel merebut dan menghancurkan kota Yerusalem, dan dengan demikian kerajaan Yehuda juga berakhir (2 Raj 25). Sebagian rakyat dibunuh, sebagian dibawa ke Babel sebagai tawanan perang, dan hanya yang paling miskin ditinggalkan di Yehuda.

Dalam pembuangan seperti itu, semua orang Israel kehilangan kekayaan mereka. Para pembesar dibawa ke Asyur dan Babel sebagai tawanan dan terpaksa meninggalkan tanah milik mereka di Palestina, sedangkan harta milik yang lain tentu diambil oleh tentara yang menawan mereka. Para petani yang ditinggalkan di Palestina menyambung hidupnya di tanah yang diperkosa dengan sangat sulit ataupun melarikan diri ke Mesir dan mengharapkan nasib yang lebih baik di sana hidupnya di tanah yang diperkosa dengan sangat sulit ataupun melarikan diri ke Mesir dan mengharapkan nasib yang lebih baik di sana.

Mungkin saja ada orang yang bisa memanfaatkan situasi itu demi kepentingan mereka dan memperoleh keuntungan, misalnya ada orang yang membelot kepada pihak Babel (2Raj. 25:11). Pada pihak lain, beberapa di antara orang Israel yang dibuang itu berhasil dalam bidang perdagangan, bahkan ada juga yang kemudian mendapat pendidikan di negeri asing dan memperoleh jabatan di pemerintahan (misalnya Daniel, Nehemia; bnd. Ester). Tetapi orang berbakat seperti itu bisa berhasil di mana saja, sehingga tak dapat disimpulkan bahwa ada orang Israel yang sungguh beruntung dari pembuangan. Sebaliknya, peristiwa itu merupakan malapetaka terbesar di seluruh sejarah bangsa Israel.

Pada tahun 538, dan pada tahun-tahun berikut, beberapa orang Yehuda mendapat kesempatan untuk kembali ke tanah air mereka (Ezr 1 dst.). Wilayah Yehuda, di bagian selatan Palestina, menjadi propinsi kerajaan Persia dan Raja Koresy memberi izin kepada mereka yang pulang ke sana untuk membangunnya kembali. Orang-orang Yehuda diberi kebebasan beragama dan berbudaya, walaupun secara politik mereka masih takluk kepada Persia. Sayang sekali, sesudah mereka kembali ke sana untuk membangun bangsa mereka secara baru, penindasan dan ketidakadilan timbul lagi (Neh 5:1-5; Yes 58:1-12; Mal 3:5).

 AKHIR KATA

Perkembangan struktur sosial ekonomi di Israel kuno tentu tidak persis sama dengan situasi yang kita hadapi pada masa kini di Indonesia, namun jelaslah ada beberapa persamaan. Kiranya pembahasan ini akan memberi masukan agar orang-orang Kristen di Indonesia dapat menganalisis perkembangan yang terjadi dalam masyarakat di sini secara kritis; sehingga kita akan mendukung perubahan yang sehat dan melawan perubahan yang tidak sehat.

 KEPUSTAKAAN

1) Boerma, C. Dapatkah orang kaya masuk surga? (Jakarta: BPK, 1986; terjemahan dari bahasa Belanda, aslinya 1978).

2) Clines, D. J. A. Social Responsibility in the Old Testament (Nottingham: Shaftesbury Project, unpublished paper).

3) Epsztein, L. Social Justice in the Ancient Near East and the People of the Bible (London: SCM, 1986; terjemahan dari bahasa Perancis, aslinya 1983) 6-8"

4) Gelin, A. The Poor of Yahweh (Collegeville, Minnesota: Liturgical Press, 1964; terjemahan dari bahasa Perancis, aslinya 1953) 1.

5) Kirk, A. The Origin of Accumulated Wealth (Nottingham: Shaftesbury Project unpublished paper).

6) Lang, B. "The Social Organisation of Peasant Poverty in Biblical Israel", Journal for the Study of the Old Testament 24: 47-63.

7) Premnath, D. N. "Latifundialization and Isaiah 5.8-10", Journal for the Study of the Old Testament 40: 49-60.

8) Sitompul, A. A. Manusia Pengembara: Kehidupan bangsa Allah pada Jaman Pengembaraan dalam Perjanjian Lama (Pematangsiantar: terbitan pribadi).

9) Sugden, C. Is it possible to enforce the standards of socio-economic justice set out in the Old Testament and the New Testament (unpublished paper).

10) Vaux, R. de, Ancient Israel, London 1961 (Darton, Longman dan Todd, terjemahan dari bahasa Perancis, aslinya 1958) 68-114.

11) Wittenberg, G. H. Poverty in Pre-exilic Wisdom Literature (disertasi di Universitas Natal).

12) Wo1f, C. U. "Poverty", Interpreter's Dictionary of the Bible, Vol.3 (Nashville: Abingdon, 1962) 853-854.

13) Wright, C. J. H. Hidup sebagai Umat Allah: Etika Perjanjian Lama (Jakarta: BPK, 1993; terjemahan dari bahasa Inggris, aslinya 1983).



TIP #24: Gunakan Studi Kamus untuk mempelajari dan menyelidiki segala aspek dari 20,000+ istilah/kata. [SEMUA]
dibuat dalam 0.07 detik
dipersembahkan oleh YLSA