Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 >  RENUNGAN REFLEKTIF: INJIL DAN KEMAJUAN ZAMAN > 
KRISIS KEBUDAYAAN 

Banyak tudingan sepihak dilontarkan kepada Barat, yang melalui invasinya ke Timur telah ikut menjadikan wajah budaya Timur tidak keruan. Dari keprihatinan ini timbul gerakan melestarikan kebudayaan daerah. Benarkah Barat terlampau kuat bagi Timur, sehingga menjadi suatu ancaman bagi kelestarian Timur?

Sebelum melangkah ke jawaban pertanyaan ini, ada dua pertimbangan yang tidak bisa dilewatkan. Pertama, dilihat dari segi usia kebudayaan Barat modern baru berusia sekitar 5 abad, terhitung sejak zaman Renaissance. Rupanya kebudayaan ini masih belum mapan dan terus berkembang tanpa arah yang jelas. Dengan meminjam istilah futurolog Alvin Toffler, kebudayaan Barat sekarang sedang memasuki peradaban "Gelombang Ketiga" (peradaban mikroelektonik), setelah peradaban Gelombang Kedua (peradaban industri) ditinggalkan.

Sedangkan kebudayaan Timur telah berusia ribuan tahun dan mapan. Tiga aliran kebudayaan Timur yaitu Konfusianisme, Taoisme, dan Budhisme telah mengilhami sistem pendidikan, seni, sastra, perundang-undangan, organisasi sosial, dan dalam tingkat yang lebih dalam, membentuk "ketaksadaran kolektif" yang mendasari kehidupan sadar rakyat Asia, selama lebih dari 2000 tahun (To Thi Anh, Nilai budaya Timur dan Barat, h. 5). Kedua, setiap kebudayaan pada dasarnya termasuk dalam lingkup pemberian ilahi supaya dengan itu manusia di dunia bisa hidup dengan tertib dan sejahtera. Di dalam kebudayaan ada penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani atau 'man humanizes himself in humanizing the world around him' (J.W.M. Bakker, Filsafat kebudayaan, h. 22). Maka dalam derajat tertentu setiap kebudayaan adalah baik, dan unik pada dirinya sendiri.

Dengan dua pertimbangan di atas, maka tidak cukup alasan untuk menganggap kebudayaan Barat lebih superior daripada kebudayaan Timur. Yang pasti ialah kebudayaan Timur bersifat pasif dan prima. Kenyataan ini tidak harus ditafsirkan lemah, karena justru menunjuk pada suatu kualitas hidup yang siap menerima dan menghadapi berbagai aksi dari luar dengan kemampuan menetralisir efek-efeknya. Dengan kata lain budaya Timur memiliki sifat akulturatif, seperti komentar budayawan Soedjatmoko mengenai kebudayaan Asia Tenggara: "Bila sekarang kita membelah sejarah Asia Tenggara, maka apa yang kelihatan menyerupai kue lapis dengan lapisan-lapisan endapan kebudayaan dan keagamaan, di sana sini menebal sedangkan pada bagian lain menipis atau menghilang sama sekali. Dalam penglihatan saya, yang paling mengagumkan dalam proses akulturasi ini ialah kemampuan bangsa-bangsa Asia Tenggara itu untuk mencernakan dan menyesuaikan semua pengaruh itu menurut pembawaan mereka masing-masing" (Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, h. 87).

Maka benturan kebudayaan jangan hanya dilihat dari sudut sifat kontra masing-masing kebudayaan, melainkan yang perlu diperhatikan ialah apakah yang terjadi akibat benturan itu. Menurut Bakker, suatu bangsa yang berhadapan dengan gaya hidup dan kesusilaan bangsa lain walaupun kesusilaan asing itu tidak buruk, akan mengalami krisis dan waktu bahaya; bahaya ini makin besar bila perbedaan antara kebudayaan asli dan asing itu makin besar (op. cit., h. 124).. Akibat benturan budaya itu bangsa Timur mengalami krisis identitas kepribadian bangsa. Di sini harus dibedakan antara kebudayaan nasional dan kepribadian bangsa (lihat uraian Ignas Kledep, Prisma, I, 1985, h. 74-75). Kebudayaan nasional adalah konsep sintetis dan integratif yang hendak merangkum dan mempersatukan semua kebudayaan daerah di Indonesia menjadi kebudayaan nasional. Sedangkan kepribadian bangsa cenderung menjadi konsep yang distingtif dan defensif, yang hendak membedakan secara khas dan mempertahankan kebudayaan nasional dari kooptasi kebudayaan internasional. Dengan kata lain, kepribadian bangsa adalah jawaban nasional yang disiapkan untuk mengatasi kesulitan yang muncul dari perbenturan dengan unsur kebudayaan asing. Jadi, kepribadian bangsa lebih besar peranannya dalam menentukan keunikan bangsa Indonesia daripada kebudayaan nasionalnya.

Lalu bagaimana membentuk kepribadian bangsa yang tangguh dan dinamis? Siapa yang membentuk kepribadian itu? Ada yang menjawab, masyarakatlah yang membentuk kepribadian bangsa. Pendapat ini cenderung dipengaruhi determinisme sosial dan paham rekayasa sosial (social engineering). Penulis sendiri berpendapat bahwa faktor individulah yang lebih besar peranannya dalam membentuk kepribadian yang dimaksud. Sudah nyata bahwa inovasi dalam kehidupan bermasyarakat justru timbul dari terobosan yang dilakukan oleh satu dua orang. Sedangkan masyarakat cenderung memelihara dan menstabilkan apa-apa yang sudah ada dan dipandang baik. Maka kepribadian bangsa dimulai dari individu dengan budinya yang memiliki dimensi inisiatif dan kebebasan. Begitu pentingnya posisi individu di dalam kerangka membina ketahanan nasional yang sinkron dengan identitas nasional, membawa kepada suatu kesimpulan yang sederhana yaitu individu perlu dibenahi dulu. Hal ini memerlukan kekuatan yang merubah dari dalam (inner creative power), yaitu rahmat khusus dari Allah (special grace). Dalam bahasa rasul Paulus, "siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru" (II Kor. 5:17). Itulah kabar baik bagi manusia!



TIP #26: Perkuat kehidupan spiritual harian Anda dengan Bacaan Alkitab Harian. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA