Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 1 No. 1 Tahun 1986 > 
RENUNGAN REFLEKTIF: INJIL DAN KEMAJUAN ZAMAN 
Penulis: Yongky Karman

Abad ke-20 hampir ditutup dan boleh jadi umat manusia tidak sempat memasuki abad selanjutnya. Ketidakpastian semacam ini bukannya tidak beralasan, mengingat manusia telah berhasil membuat dan mengumpulkan senjata nuklir yang mampu menghancurkan seluruh manusia dan peradabannya hanya dalam waktu seketika. Di satu pihak teknologi menjanjikan masa depan yang cerah namun di lain pihak manusia hidup di bawah bayang-bayang kehancuran rohani dan fisik. Bukankah ini suatu tragedi? Sementara itu manusia sebagai homo sapiens terus berpikir keras dan berkarya, sehingga berbagai inovasi dan terobosan telah menyusup hampir ke semua bidang kehidupan.

Bangsa Indonesia, setelah 40 tahun merdeka, juga berusaha membangun dirinya menjadi bangsa yang modern. Sudah ada industri mobil dan kapal terbang, universitas yang memiliki reaktor atom, bahkan sebentar lagi Indonesia akan mengutus puteranya menjelajahi ruang angkasa. Perlu pula dicatat bahwa melalui bantuan teknologi maju, maka Indonesia sudah berhasil swasembada dalam penyediaan beras. Memang sejak akhir Perang Dunia II teknologi maju menjadi kunci baik untuk kekuasaan ekonomi, politik maupun militer. Dan pada saat yang sama ilmu pengetahuan menjadi kunci bagi teknologi maju. Maka teknologi yang berdasarkan ilmu pengetahuan, mulai dari mikroelektronik sampai bioteknologi, menjadi makin penting artinya. Sudah menjadi kenyataan bahwa setiap negara yang mau maju harus ikut dalam perlombaan untuk memperoleh teknologi maju. Indonesia sedang ada di dalam kancah perlombaan ini dan ketinggalan berarti kalah. Itulah sebabnya S.T. Alisjahbana berpendapat "kita seharusnya tidak meminta-minta alih teknologi. Ilmu dan teknologi itu harus kita rebut." (Prisma, XI, 1984, h. 54). Jadi, berteknologi sudah dijadikan prasyarat pembangunan bangsa. Walau masih perlu dipertanyakan berulang kali, apakah manusia tidak akan menjadi manusia yang utuh tanpa teknologi?

Memang era pembangunan merupakan masa yang tak dapat dielakkan di negeri Indonesia ini. Pembangunan mutlak ada sebagai mata rantai sejarah Indonesia merdeka. Indonesia memang sudah mencapai kemerdekaan secara politis. Namun dalam bidang ekonomi bangsa Indonesia masih tergantung serta terbelakang. Maka melalui kebijaksanaan pemerintah seluruh bangsa Indonesia harus dilibatkan dalam modernisasi demi suksesnya tujuan pembangunan. Oleh karenanya pertemuan kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan asing tidak dapat dihindari lagi. Karena modernisasi sebagai proses ke arah kemajuan mempertemukan teknologi dan kebudayaan Barat dengan kebudayaan lokal.

 PERJUMPAAN BARAT DAN TIMUR

Sampai saat ini teknologi yang banyak diserap berasal dari Barat. Teknologi itu sendiri tidak lahir dari alam vakum, tetapi merupakan anak kebudayaan. Dengan demikian teknologi Barat mau tidak mau membawa juga karakteristik kebudayaan Barat. Itulah sebabnya penulis setuju bila dikatakan bahwa teknologi modern tidak pernah netral. Ada pesan-pesan yang disampaikan melalui teknologi itu seperti: rasionalisasi, artifisialisasi, otomatisme, suasana yang terus berubah, dan efisiensi, yang semuanya itu telah membudaya di dalam alam kehidupan masyarakat Barat. Dalam prakteknya ketika kebudayaan Barat dan Timur bertemu, ternyata ada hal-hal yang mengganjal, sehingga pertemuan itu tidak berjalan mulus. Ada apa gerangan?

Orang Timur lebih mengandalkan rasa dan intuisi ketimbang rasionya, kontemplasi (perenungan) ketimbang aksi, partisipasi ketimbang individualisasi. Bisa dibayangkan betapa sulitnya terjadi harmoni. Bahkan sehubungan dengan kemerosotan moral yang sekarang sedang terjadi di Timur sebagai ekses modernisasi, timbul semacam antipati apriori yang mencap kebudayaan Barat sebagai dalangnya. Adanya benturan kebudayaan ini sudah lama disadari oleh para cendekiawan Indonesia. Tahun ini saja baru selesai diselenggarakan peringatan tahun ke-50 Polemik Kebudayaan dengan hasil yang tetap mengambang. Rupanya masalah dialog budaya Barat dan Timur merupakan pekerjaan rumah yang belum kunjung selesai.

 KRISIS KEBUDAYAAN

Banyak tudingan sepihak dilontarkan kepada Barat, yang melalui invasinya ke Timur telah ikut menjadikan wajah budaya Timur tidak keruan. Dari keprihatinan ini timbul gerakan melestarikan kebudayaan daerah. Benarkah Barat terlampau kuat bagi Timur, sehingga menjadi suatu ancaman bagi kelestarian Timur?

Sebelum melangkah ke jawaban pertanyaan ini, ada dua pertimbangan yang tidak bisa dilewatkan. Pertama, dilihat dari segi usia kebudayaan Barat modern baru berusia sekitar 5 abad, terhitung sejak zaman Renaissance. Rupanya kebudayaan ini masih belum mapan dan terus berkembang tanpa arah yang jelas. Dengan meminjam istilah futurolog Alvin Toffler, kebudayaan Barat sekarang sedang memasuki peradaban "Gelombang Ketiga" (peradaban mikroelektonik), setelah peradaban Gelombang Kedua (peradaban industri) ditinggalkan.

Sedangkan kebudayaan Timur telah berusia ribuan tahun dan mapan. Tiga aliran kebudayaan Timur yaitu Konfusianisme, Taoisme, dan Budhisme telah mengilhami sistem pendidikan, seni, sastra, perundang-undangan, organisasi sosial, dan dalam tingkat yang lebih dalam, membentuk "ketaksadaran kolektif" yang mendasari kehidupan sadar rakyat Asia, selama lebih dari 2000 tahun (To Thi Anh, Nilai budaya Timur dan Barat, h. 5). Kedua, setiap kebudayaan pada dasarnya termasuk dalam lingkup pemberian ilahi supaya dengan itu manusia di dunia bisa hidup dengan tertib dan sejahtera. Di dalam kebudayaan ada penciptaan, penertiban, dan pengolahan nilai-nilai insani atau 'man humanizes himself in humanizing the world around him' (J.W.M. Bakker, Filsafat kebudayaan, h. 22). Maka dalam derajat tertentu setiap kebudayaan adalah baik, dan unik pada dirinya sendiri.

Dengan dua pertimbangan di atas, maka tidak cukup alasan untuk menganggap kebudayaan Barat lebih superior daripada kebudayaan Timur. Yang pasti ialah kebudayaan Timur bersifat pasif dan prima. Kenyataan ini tidak harus ditafsirkan lemah, karena justru menunjuk pada suatu kualitas hidup yang siap menerima dan menghadapi berbagai aksi dari luar dengan kemampuan menetralisir efek-efeknya. Dengan kata lain budaya Timur memiliki sifat akulturatif, seperti komentar budayawan Soedjatmoko mengenai kebudayaan Asia Tenggara: "Bila sekarang kita membelah sejarah Asia Tenggara, maka apa yang kelihatan menyerupai kue lapis dengan lapisan-lapisan endapan kebudayaan dan keagamaan, di sana sini menebal sedangkan pada bagian lain menipis atau menghilang sama sekali. Dalam penglihatan saya, yang paling mengagumkan dalam proses akulturasi ini ialah kemampuan bangsa-bangsa Asia Tenggara itu untuk mencernakan dan menyesuaikan semua pengaruh itu menurut pembawaan mereka masing-masing" (Simatupang, Iman Kristen dan Pancasila, h. 87).

Maka benturan kebudayaan jangan hanya dilihat dari sudut sifat kontra masing-masing kebudayaan, melainkan yang perlu diperhatikan ialah apakah yang terjadi akibat benturan itu. Menurut Bakker, suatu bangsa yang berhadapan dengan gaya hidup dan kesusilaan bangsa lain walaupun kesusilaan asing itu tidak buruk, akan mengalami krisis dan waktu bahaya; bahaya ini makin besar bila perbedaan antara kebudayaan asli dan asing itu makin besar (op. cit., h. 124).. Akibat benturan budaya itu bangsa Timur mengalami krisis identitas kepribadian bangsa. Di sini harus dibedakan antara kebudayaan nasional dan kepribadian bangsa (lihat uraian Ignas Kledep, Prisma, I, 1985, h. 74-75). Kebudayaan nasional adalah konsep sintetis dan integratif yang hendak merangkum dan mempersatukan semua kebudayaan daerah di Indonesia menjadi kebudayaan nasional. Sedangkan kepribadian bangsa cenderung menjadi konsep yang distingtif dan defensif, yang hendak membedakan secara khas dan mempertahankan kebudayaan nasional dari kooptasi kebudayaan internasional. Dengan kata lain, kepribadian bangsa adalah jawaban nasional yang disiapkan untuk mengatasi kesulitan yang muncul dari perbenturan dengan unsur kebudayaan asing. Jadi, kepribadian bangsa lebih besar peranannya dalam menentukan keunikan bangsa Indonesia daripada kebudayaan nasionalnya.

Lalu bagaimana membentuk kepribadian bangsa yang tangguh dan dinamis? Siapa yang membentuk kepribadian itu? Ada yang menjawab, masyarakatlah yang membentuk kepribadian bangsa. Pendapat ini cenderung dipengaruhi determinisme sosial dan paham rekayasa sosial (social engineering). Penulis sendiri berpendapat bahwa faktor individulah yang lebih besar peranannya dalam membentuk kepribadian yang dimaksud. Sudah nyata bahwa inovasi dalam kehidupan bermasyarakat justru timbul dari terobosan yang dilakukan oleh satu dua orang. Sedangkan masyarakat cenderung memelihara dan menstabilkan apa-apa yang sudah ada dan dipandang baik. Maka kepribadian bangsa dimulai dari individu dengan budinya yang memiliki dimensi inisiatif dan kebebasan. Begitu pentingnya posisi individu di dalam kerangka membina ketahanan nasional yang sinkron dengan identitas nasional, membawa kepada suatu kesimpulan yang sederhana yaitu individu perlu dibenahi dulu. Hal ini memerlukan kekuatan yang merubah dari dalam (inner creative power), yaitu rahmat khusus dari Allah (special grace). Dalam bahasa rasul Paulus, "siapa yang ada di dalam Kristus, ia adalah ciptaan baru" (II Kor. 5:17). Itulah kabar baik bagi manusia!

 ALTERNATIF ALLAH

Di atas telah dibahas keterbatasan jangkauan kebudayaan untuk membentuk kepribadian bangsa yang mampu menanggulangi dampak-dampak negatif modernisasi bangsa. Dalam batas-batas tertentu bisa dikatakan, kebudayaan merupakan sebagian dari rahmat umum (common grace) yang Allah berikan untuk memelihara kehidupan manusia sehari-hari. Namun sekali lagi, itu hanya bersifat untuk sementara dan umum saja, "a part of the general program of God's providence for man on the earth" (J.O. Buswell, Systematic Theology, I, h. 345). Ada bagian lain dari rencana Allah yang menyangkut karya keselamatan bagi individu, dan ini erat sekali hubungannya dengan masyarakat manusia yang akan dibentuk. Manusia lebih dulu harus dilepaskan dan diselamatkan dari dosa serta berbagai macam belenggunya. Alternatif yang Allah tawarkan itu bersifat memulihkan hubungan-hubungan manusiawi yang telah dirusak dosa. Dan ini dinyatakan secara khusus pula di dalam Alkitab. Pada titik inilah kebudayaan manusia apa pun berhenti dan tidak bisa memasuki wilayah penebusan. Rahmat umum itu hanya mengantar manusia berdosa ke pintu gerbang rahmat khusus. Sekarang baiklah dilihat dimensi-dimensi hubungan manusiawi yang dipulihkan.

(1) Hubungan manusia dengan Allah

Akibat dosa maka hubungan manusia dengan Penciptanya menjadi abnormal. Inilah yang melatari krisis semesta sampai sekarang. Manusia yang diciptakan menuruti citra ilahi itu menyadari betul adanya ketidakberesan relasinya dengan Allah. Sejarah peradaban manusia telah menjadi bukti dan saksi bahwa manusia berusaha mencari Allah. Ia selalu gelisah, bagaikan anak yang kehilangan pangkuan ibunya.

Kitab Kejadian 3 mencatat riwayat dosa masuk dengan segala kutuknya masuk ke dalam dunia yang pada waktu itu masih baik (innocent). Akibatnya fatal sekali. Terjadi keterasingan rohani antara manusia dengan Allah, manusia dengan sesamanya, manusia dengan dirinya sendiri, manusia dengan alam, bahkan alam dengan alam. Tragedi ini diawali dengan suatu pertanyaan dari Iblis kepada manusia: "Tentulah Allah berfirman: Semua pohon dalam taman ini jangan kamu makan buahnya, bukan?" (ayat 1) Inilah pertanyaan yang menyangkut firman Allah dan kredibilitasnya (religious question). Iblis berusaha membingungkan manusia, dan kalau ini berhasil maka selanjutnya manusia akan mudah jatuh ke dalam berbagai kekeliruan dan penyimpangan. Jadi, manusia jatuh bukan karena kekeliruan dalam bidang ilmu pengetahuan, bahkan bukan pula karena kebingungan etis! Selanjutnya, setelah manusia makan buah terlarang itu, perkataan pertama yang Allah ucapkan "Di manakah engkau?" (ayat 9). Pertanyaan ini bukan mengenai lokasi, karena Allah mahatahu. Tetapi ini menunjuk pada inisiatif Allah untuk menyadarkan manusia atas keadaannya yang sudah tidak berada di dalam hubungan yang benar dengan Allah. Maka pertanyaan Allah itu juga bersifat religius. Perhatikan pula bahwa sesudah Kejatuhan, manusia menyembunyikan dirinya dari hadirat Allah. Sebaliknya Allah mencari dan mendekati manusia. Puncak inisiatif ilahi ini yaitu sewaktu Firman menjadi manusia dan Allah menyertai kita, Imanuel!

Dari uraian di atas jelas Kejatuhan dan pemulihannya adalah dengan jalur yang sama yaitu bidang agama. Penyelesaian dari sudut ini barulah tuntas, bila ditambah lagi dengan pemulihan kultural untuk efek-efek dosa. Patut disayangkan apabila agama di alam kehidupan modern cenderung bergeser ke posisi tepi. Agama dipeluk sebagai pemuas hasrat batin, seperti halnya hasrat estetis manusia terpuaskan ketika selesai menikmati sebuah karya seni yang indah. Fakta bahwa manusia "menendang" Allah ke luar dari lapangan permainan, sebenarnya cuma menunjukkan bahwa begitu jauhnya manusia telah melarikan diri dari Allah. Ramalan Auguste Comte bahwa dalam perkembangan sejarahnya manusia meninggalkan tahap teologis dan tahap metafisik, untuk masuk ke tahap ilmiah, bukan lagi kabar baik bagi manusia abad ke-20. Karena Allah sebagai dasar makna (point of reference) dari keberadaan dan kegiatan manusia, telah ditukar dengan menara Babil modern.

Sebenarnya agama bila diyakini dengan sungguh, khususnya Kekristenan, tidak akan sampai menghambat kemajuan, bahkan justru akan memberi isi dan arah bagi kemajuan umat manusia. Cukup banyak cendekiawan yang beragama bahkan semakin meyakininya tanpa harus menjadi pribadi yang terbelah. Orang Kristen menyadari keterbatasan dirinya sekaligus ketidakterbatasan Allah. Adakalanya cara kerja Allah melampaui pengertian manusiawi, seperti halnya penebusan manusia dari dosa. Di situ Allah menjembatani kesenjangan antara manusia dan Allah dengan cara mendamaikan dunia dengan diriNya di dalam Kristus dengan tidak menghitungkan pelanggaran mereka (II Kor. 5:19). Karena pendamaian ini - telah menuntut korban. Siapakah yang mampu menjadi korban penghapus dosa, kecuali Kristus? Dialah Allah manusia yang kudus dan yang sanggup menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah (Ibr. 7:25). Maka melalui iman kepada Kristus dan karyaNya itu, setiap orang yang percaya boleh diselamatkan dan memiliki persekutuan yang indah dengan Allah. Itulah alternatif Allah untuk memulihkan hubungan manusia denganNya.

(2) Hubungan manusia dengan manusia

Soal hubungan dan posisi manusia di hadapan Allah adalah hal yang utama. Tetapi ini memerlukan penjabaran dalam rupa sikap dan perlakuan terhadap sesama manusia. Pembangunan dan kemajuan yang hendak dicapai sangat erat hubungannya dengan manusia. Arah pembangunan jangka panjang di Indonesia telah dituangkan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara bahwa Pembangunan Nasional dilaksanakan di dalam rangka pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh Masyarakat Indonesia. Namun ada keprihatinan besar bila melihat kecenderungan pembangunan di dunia dewasa ini yang menyempitkan diri pada sifat-sifat positivistis. Karena hal ini menelurkan gaya dan sikap hidup yang teknologis, ekonomis, dan naturalistis. Positivisme sendiri memang pernah menjiwai abad ke-19, namun paham itu bukannya tanpa kelemahan-kelemahan.

Positivisme hanya mampu memandang manusia sebagai realitas bendawi. Padahal hakekat manusia adalah mono-pluralistic, yang memiliki kesatuan dan keutuhan organis dari unsur-unsurnya yang fisiko kimiawi sampai keadaannya sebagai makhluk yang berakal, berasa, dan berkehendak. Memang Alkitab menegaskan bahwa manusia tidak cuma diciptakan dari debu, tetapi juga diciptakan menurut citra Allah (Kej. 1:27). Jadi, manusia sekaligus memiliki sifat alami dan adi alami. Itulah keunikan dan keagungan manusia! Maka dalam pembangunan selain unsur-unsur fisik juga dikaitkan perkembangan di bidang politik termasuk hukum, sosial, ekonomi, kebudayaan, pertahanan keamanan dan kualitas - manusia (Simatupang, op. cit., h. 195). Selain itu, positivisme memahami proses perkembangan sebagai sesuatu yang sangat naturalistis dan deterministis, yaitu segi-segi kualitatif dipahami melalui penerangan segi-segi kuantitatif. Kelemahan ini perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas manusiawi. Dengan demikian, ukuran sukses tidaknya suatu pembangunan tidak hanya berdasarkan pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto atau Pendapatan Nasional Bruto dan pemerataan pendapatan per kapita saja, tetapi juga mengaitkan secara terpadu tingkat jumlah pengangguran, mutu kesehatan dan pendidikan warga. Dua kelemahan pembangunan yang positivistis ini kiranya perlu mendapat imbangan dari pembangunan manusia seutuhnya.

Para seniman biasanya lebih peka menangkap dan lebih mudah mengungkapkan gejala-gejala sosial yang tidak sehat. Dari album "Suara Persaudaraan" terbetiklah tembang "Manusia terus maju melangkah ke depan, terkadang nurani jauh tertinggal." Sangat ironis! Suatu kasus yang sering muncul yaitu soal penanganan kaum melarat di perkotaan. Dari kaca mata kebersihan dan keindahan kota, mereka dianggap merusak pemandangan serta menurunkan citra bangsa. Ditimbang dari perencanaan tata kota, mereka bermukim di areal tanah yang salah. Kemudian terjadilah penggusuran yang dilindungi undang-undang daerah tanpa mempertimbangkan sikon dan nasib mereka di kemudian hari. Memang hukum sudah ditegakkan, tetapi bukannya hukum untuk manusia lagi, melainkan manusia untuk hukum. Tidak heran bila cara-cara menegakkan hukum itu dilakukan dengan tidak manusiawi. Sementara itu ada pihak yang mengkambinghitamkan urbanisasi sebagai biang keladi masalah ini. Sepertinya ada anggapan bahwa kota itu milik kaum mapan dan orang desa atau rakyat kecil tidak pantas melihat dan menikmati keindahan kota. Padahal kalau dipikir-pikir lagi ternyata model pembangunan yang diambil itulah yang justru menunjang derasnya arus urbanisasi. Perlukah nurani jauh tertinggal?. Memang pembangunan sendiri cenderung dilematis. Sebagai contoh, pabrik-pabrik adalah sebuah masa depan bagi masyarakat setempat, menyerap tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Kemudian dalam perkembangannya sesuai dengan tuntutan modernisasi ternyata tidak sama lagi. Efisiensi menuntut mekanisme yang lebih canggih. Mesin-mesin yang lebih besar dan lebih lengkap berdatangan, pabrik pun dibesarkan. Tetapi celakanya, tenaga justru diperkecil. Ada lagi masalah-masalah baru seperti gangguan kebisingan mesin dan keracunan limbah-limbah buangan pabrik. Bahkan ketika perluasan pabrik menuntut kawasan pemukiman rakyat jelata, timbullah teror dikarenakan penduduk enggan menjual tanah leluhur. Kalau sudah begini, suara siapa yang akan didengar?

Melihat kasus umum di atas, tidaklah berlebihan kalau senantiasa perlu dikaji ulang, apakah pembangunan yang sedang berlangsung masih menjadikan manusia sebagai sasarannya yang terakhir, apakah manusia yang berorientasi maju itu tetap menjunjung tinggi harkat kemanusiaan; apakah ambisi meningkatkan prestasi dibarengi juga dengan semangat mengecilkan orang lain. Hendaknya jangan sampai manusia, lebih-lebih rakyat jelata, hanya diperalat untuk melestarikan mitos pembangunan. Sementara itu bagi kaum politisi dan teknokrat, rakyat hanya penting waktu pemilihan umum. Sedangkan bagi pemilik pabrik mereka hanya bahan yang dapat dibeli dengan harga semurah-murahnya. Siapakah yang paling banyak menikmati hasil pembangunan? Siapa yang akan tinggal landas dan siapa pula yang akan menjadi landasan? Berapa biaya sosial yang harus dibayar untuk bisa tinggal landas? Sepadankah? Jelas di sini teknologi modern dalam bentuk apa pun tidak pernah ada di posisi netral. Ia selalu berkaitan langsung pada oknum yang memakainya. Dengan kata lain di dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, sekarang terkandung banyak pamrih (vested-interest). Ada orang memilih jenis teknologi tertentu karena pertimbangan bisnis, yang jelas motivasinya mencari keuntungan uang. Ada pula karena kehendak politik yang dicanangkan oleh segolongan elite minoritas yang berkuasa di suatu negeri. Dan ada juga yang didorong demi kemajuan bangsa dan negara. (Prisma, V, 1985, h. 75).

Selain itu, teknologi modern tidak pernah netral, karena ia menyentuh manusia dan peradabannya. Maka kalau suatu bangsa akan berteknologi - seperti bangsa Indonesia yang akan mencapai periode lepas landas dengan memakai teknologi modern - bangsa itu harus memilih dan menentukan teknologi mana yang mau dipakai. Berapa besarkah "biaya-biaya manusiawi" (human costs), baik secara fisik maupun non-fisik, yang harus dibayar bila suatu model pembangunan dipakai (Berger, Pyramids of Sacrifice)? Untuk itu para teknokrat dan politisi harus mengadakan kalkulasi, sejauh manakah dampak positif serta negatifnya. Supaya jangan sampai rakyat kecil dijadikan "pahlawan" pembangunan tanpa nama melalui pengorbanan mereka.

Begitu bernilainya aspek horizontal hubungan sesama manusia. Orang Kristen mengerti itu dari Alkitab. Dari Injil bisa dilihat "begitu besar kasih Allah akan dunia ini (baca: dunia manusia), sehingga Ia telah mengaruniakan AnakNya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepadaNya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal" (Yoh. 3:16). Karena Allah mengasihi manusia, sekalipun di dalam keberdosaannya, maka manusia menjadi berharga sekali. Itulah sebabnya manusia memiliki nilai dan martabat yang tidak boleh ditukar dengan materi, termasuk di dalamnya memperalat manusia untuk tujuan-tujuan di luarnya. Bandingkan dengan salah satu pernyataan imperatif kategorinya Kant: "regard humanity in yourself and in others always an end and never as a mere means." Dengan demikian perintah "kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri" (Mat. 22:39), berhak menjadi sendi dasar model pembangunan bangsa. Kiranya alternatif Allah, yang kedua ini diperhatikan oleh bangsa dan negara yang sedang membangun.

(3) Hubungan manusia dengan alam

Manusia diciptakan dalam suatu posisi yang unik, yaitu sekaligus memiliki dimensi hubungan dengan Allah, sesamanya manusia, dan alam. Di dalam hubungan-hubungan itulah terletak tanggungjawab manusia untuk memuliakan Allah, mengasihi sesamanya seperti dirinya sendiri, dan mengelola alam dengan bijaksana. Dua tanggungjawab manusia yang pertama telah dibahas, dan sekarang tentang tanggungjawab yang terakhir. Manusia menggarap alam dan membudidayakannya sebagai pengejawantahan mandat kultural yang diterimanya dari Allah pada saat penciptaan (Kej. 1:28). Hak ini merupakan bagian dari providensia (penyelenggaraan) Allah yang dimengerti manusia melalui penyataan umumNya (general revelation), Maka manusia memikirkan dan berusaha untuk mengatasi, menggunakan, dan mengembangkan alam yang dikaruniakan Allah itu. Dengan itu setahap demi setahap manusia menciptakan dan mengembangkan peradabannya dari masa ke masa. Teknologi berkembang dari yang masih primitif sampai kepada yang canggih. Tetapi manusia tidak bisa lepas dari hubungannya dengan alam dan lingkungan hidupnya.

Di atas telah disinggung bahwa kesejahteraan manusia menjadi tujuan utama pembangunan. Namun ini tidak berarti keseimbangan alam boleh dan harus dikorbankan. Ini mengingat seluruh ciptaan Allah di bumi ini, termasuk manusia, membentuk jaringan ekosistem yang harus dijaga keseimbangannya. Kalau tidak, pembangunan yang dilakukan manusia kelak akan menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Penggundulan hutan dan lingkungan yang tercemar membuat manusia tidak lagi kerasan tinggal. Sebuah contoh tentang sisi cerah dan sisi kelam dari proses pembangunan akan memperjelas pentingnya pembangunan yang berwawaskan lingkungan.

Perusahaan besar Shin Nihon Chisso Hiryo Kabushiki Gaisha (chisso) memilih daerah terbelakang Minamata sebagai tempat pabriknya dengan pertimbangan a.l.: harga tanah murah, biaya energi murah yang berpusat pada pembangkit listrik tenaga air dekat pegunungan, ongkos buruh murah dari penduduk setempat. Kemudian mulai tahun 1959, di perkampungan nelayan pantai Teluk Minamata didapati gejala-gejala linglung pada kucing dan manusia yang terbiasa makan ikan laut yang sudah tercemar mercury (air raksa), yang akhirnya membunuh secara perlahan-lahan. Air limbah pabrik dibuang begitu saja ke Teluk Minamata, sehingga air laut di sekitar teluk itu tercemar. Karena terlambatnya tindakan pencegahan, maka jumlah korban meningkat. Pada tahun 1959 tercatat 111 korban, meningkat menjadi 2000 orang pada tahun 1973, dan pada tahun 1985 mencapai 13.000 orang korban. Jenis korban adalah cacat jasmani seperti cacat mental, buta, lumpuh seumur hidup dll. Alangkah ngerinya kasus ini! Kiranya perlu direnungkan ulang ucapan Tuhan Yesus "apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia kehilangan nyawanya?" (Mk. 8:36). Meskipun konteks pembicaraan berbeda, namun jelas di sini bahwa jiwa dan hidup manusia memiliki nilai yang tidak bisa dibandingkan dengan dunia materi. Ribuan kasus serupa terjadi di mana-mana, tidak terkecuali di negeri Indonesia. Itu hanya satu sisi dari keserakahan industriawan modern, yang mau cepat mengeruk keuntungan sebanyak mungkin tanpa mempedulikan orang lain dan masa depan anak cucu bangsa.

Wajah bumi manusia ini tampak semakin tua, walaupun coba disembunyikan dengan polesan modernisasi dan teknologi modern, yang justru mempercepat proses ketuaan itu. Alam pedesaan pada mulanya memberikan rasa sejuk dan tenteram bagi penghuninya. Namun sejak aspal panas dan mesin-mesin berjalan masuk desa, apakah yang terjadi? Desa menjadi kelihatan lebih ramai dan gerah. Tontonan rakyat mulai bergeser dari kesenian tradisional ke gambar-gambar di televisi. Para pemuda desa lebih senang mengenakan jeans dan mengendarai sepeda motor ketimbang mengencangkan sarung dan memegang cangkul. Jadilah desa yang kekota-kotaan. Begitu murahkah harga kecantikan desa? Siapakah yang mampu mengembalikan keaslian alam pedesaan? Sanggupkah manusia membuat desa di dalam kota? Sebenarnya masyarakat kota sudah menyadari perlunya tempat-tempat yang jauh dari kebisingan dan kesemrawutan kota. Di sana mereka terdapat menyapa dan disapa alam dengan lembut, kesadaran pun bertambah bahwa hidup ini bukan sekedar untuk berprestasi, berhadapan dengan kepolosan integritas pribadi pun semakin kokoh. Pendek kata, hidup ini tidak cuma begini. There is something more about life!

Manusia dan lingkungannya adalah kesatuan terpadu. Semboyan terkenal dari filsuf Spanyol, Jose Ortegay Gasset adalah "I am I and my circumstances" (Aku adalah aku bersama dengan lingkungan duniaku). Tetapi jauh sebelumnya, Alkitab telah menyatakan bahwa manusia selain lebih tinggi dari alam, juga ia termasuk dalam kategori yang sama dengan alam, yaitu ciptaan Allah. Dari pengertian ini paling sedikit manusia seharusnya memiliki perasaan senasib dengan alam. Memang salah satu akibat negatif industrialisasi adalah manusia bisa menjadi "pangling" terhadap alam. Sebab usaha industrialisasi hanya didasarkan pada studi kelayakan dan pertimbangan politis. Maka alternatif yang diajukan Alkitab berdasarkan fakta penciptaan harus berjalan bersama-sama industrialisasi. Ada kelompok pencinta lingkungan hidup yang berusaha mencari suatu dasar bagi etika lingkungan. Namun sangat disayangkan, dasar yang diambil berbau pan-materialisme dan mistisisme Timur, yaitu menganggap apa saja yang ada di dunia memiliki relevansi moral secara hakiki (Kompas, 6 Juli 1985, h. IV-V). Pandangan ini sangat bertolak belakang dengan ajaran Alkitab mengenai ciptaan. Alkitab membedakan manusia dari alam justru salah satunya dari segi moral. Allah tidak pernah menuntut hewan untuk bertindak etis. Itulah sebabnya manusia memiliki tanggungjawab kepada Allah dan ditakdirkan untuk hidup bersekutu dengan Allah. Di samping itu Alkitab juga mengajarkan adanya fakta tertib urutan ciptaan (order of things). Manusia memiliki posisi yang lebih tinggi dan mulia ketimbang ciptaan lainnya, sehingga ia diberi mandat untuk menguasai alam. Meskipun demikian ia bukan Majikan yang memiliki alam, melainkan Allahlah - Pemilik tunggal yang berdaulat penuh atas seluruh ciptaanNya. Pemazmur memproklamirkan "TUHANlah yang empunya bumi serta segala isinya, dan dunia serta yang diam di dalamnya." (Mz. 24:1) Jadi manusia tidak diperbolehkan menguras alam dengan membabi buta dan sewenang-wenang. Karena manusia dan alam sebagai ciptaan sama-sama memiliki hak untuk hidup. Manusia hanya didelegasikan untuk menguasai dan mengolah alam secara benar untuk kepentingan manusia. Pada suatu hari ia harus mempertanggungjawabkan kepercayaan yang telah diterimanya itu.

Sejak tadi hanya dibicarakan perlakuan terhadap alam. Apakah alam memiliki nilai di dalam dirinya sendiri? Alkitab memandang alam fisik sebagai hal yang bernilai. Pada saat Kristus datang untuk kedua kalinya, orang percaya akan dibangkitkan dengan mengenakan tubuh yang mulia dan pada saat itu juga alam akan ditebus (Roma 8:19-23). Kata "makhluk" (ktisis) di ayat-ayat tersebut boleh diterjemahkan ciptaan. Maka Kekristenan mengenal kebangkitan tubuh serta langit dan bumi yang baru. Walaupun ciptaan yang ada sekarang sedikit banyak sudah tercemar dosa, namun pada mulanya apa yang Allah ciptakan pada dasarnya baik dan bernilai. Di dalam Alkitab tidak ada dikotomi materi dan roh seperti yang dimengerti kaum askese. Berbagai konsekuensi Kejatuhan manusia sekarang sedang menantikan pemulihan. Disinilah peranan orang Kristen yang hidup di antara waktu sekarang dan kedatangan Kristus yang kedua kali. Ia wajib menyatakan hidup barunya dengan selalu memandang darah Kristus. Tindakannya bersifat memulihkan, ada kenyataan dan wujudnya, meskipun tetap tidak sempurna, yaitu 'substantial healing.' (F.A. Schaeffer, Pollution and the Death of Man, h. 68) Sedangkan klimaks pemulihan ini adalah pada saat langit dan bumi baru. Dengan. demikian aspek presentis di dalam kerajaan Allah merupakan kenyataan yang bernilai, karena itu menandakan yang sempurna akan datang. Sedangkan aspek futuris menjadi penggenapan aspek presentis. Kedua aspek ini bagaikan kedua keping dari satu mata uang. Tidak mungkin dipisahkan. Kembali dikutip ucapan Schaeffer, "But Christians, who believe the Bible, are knot simply called to say that 'one day' there will be healing, but that by God's grace substantially upon the basis of the work of Christ, substantial healing can be a reality here and now." (Schaeffer, Ibid., h. 67)

 PENUTUP

Sebegitu jauh telah dilihat problematika pembangunan, yang memberikan dampak positif dan negatif. Ternyata ilmu pengetahuan dan teknologi yang menunjang pembangunan tidak bisa berjalan di luar kendali agama. Diperlukan hubungan yang sapa menyapa antara agama dan pembangunan, supaya dampak negatif pembangunan dalam batas-batas tertentu dapat dinetralisir. Injil melihat akar krisis semesta sebagai akibat manusia tidak lagi hidup menurut kodratnya yang ditetapkan Allah. Manusia berupaya dengan segala kemampuannya untuk mencapai dunia idealnya. Tetapi perjuangan itu menyedihkan hati, karena hambatan yang terbesar adalah dirinya sendiri. Puji Tuhan! Sebab Injil merupakan kuasa yang menyelamatkan bagi setiap orang yang percaya (Roma 1:16). Ada pengharapan di dalam Injil bagi dunia yang sedang bergerak cepat ini. Orang Kristen dan Injil tidak hanya berbicara tentang hubungan manusia dan Allah, dan membiarkan saja pembangunan yang sedang berlangsung. Injil akan membentuk manusia-manusia yang berkualitas pembangunan. Tetapi siapakah yang akan membawa Injil ke dalam ajang pergumulan bangsa yang membangun? Seperti ada tertulis: "Betapa indahnya kedatangan mereka yang membawa kabar baik!" (Roma 10:14).



TIP #20: Untuk penyelidikan lebih dalam, silakan baca artikel-artikel terkait melalui Tab Artikel. [SEMUA]
dibuat dalam 1.00 detik
dipersembahkan oleh YLSA