Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 2 Tahun 1993 >  RENDAH DIRI: KAITANNYA DALAM HIDUP DAN PELAYANAN > 
LANGKAH PEMULIHAN 

Dalam bukunya To Have or To Be, Fromm (1976) menunjukkan bahwa masalah-masalah dalam kehidupan kita berkaitan dengan keinginan dasar kita untuk "memiliki" sehingga kita berhubungan dengan dunia kita berdasarkan asas "memiliki" ini. Ia menekankan bahwa rasa aman, percaya, dan identitas diri seharusnya dilandasi atas iman pada siapa kita ini seadanya serta atas kebutuhan kita untuk berelasi dengan dunia di sekitar kita; bukan pada keinginan untuk menguasai dunia yang akhirnya hanya membuat kita menjadi budak milik kita sendiri. Martin Buber (dikutip dalam Kinderson, h. 77) menegaskan, jika saya menghadapi seorang manusia sebagai 'Engkau'-nya aku dan berbahasa 'Aku - Engkau' kepadanya, maka ia bukanlah suatu benda di antara benda-benda, dan tidak terdiri dari benda-benda" (h. 213).

Kecenderungan untuk memiliki dan mem-benda-kan manusia adalah satu sisi kepribadian pasif bergantung yang perlu dipulihkan. Memang tidaklah mudah melepaskan objek penyelamat kita tetapi inilah yang kita harus lakukan jika kita ingin sungguh-sungguh pulih. Perintah agung Tuhan kita untuk mengasihi-Nya dengan segenap hati kita dan mengasihi sesama seperti diri kita, hanyalah dapat menjadi kenyataan tatkala kita belajar melepaskan genggaman kita. Tuhan yang kita layani dan sembah bukanlah objek atau "itu". Ia-lah subjek pusat dari segala-galanya - dan kitalah objek yang menanggapi inisiatifNya. Memang Tuhanlah penopang hidup kita, tapi Ia bukanlah sebuah tongkat kayu -- yang dapat kita gunakan kapan saja kita kehendaki dan singkirkan kapan saja kita tidak lagi membutuhkannya. Ia adalah penopang hidup kita karena Ia adalah Allah yang Maha Kuasa yang karena kemurahan-Nya, sanggup dan mau menopang kita yang datang kepada-Nya dengan rendah hati.

Malony (1985) membedakan dua cara seseorang memeluk agamanya, yakni (cara) beragama yang defensif (defensive religion) dan (cara) beragama yang mengatasi (coping religion). Beragama yang defensif adalah di mana agama memang membuat seseorang merasa lebih baik tetapi sesungguhnya keadaannya semakin memburuk karena gangguan atau masalah yang dihadapinya malah semakin diperpanjang. Sebaliknya, beragama yang mengatasi membuat seseorang merasa lebih baik atau sehat dan sekaligus membawa kesembuhan sejati pada dirinya. Memperlakukan Tuhan dan sesama saudara seiman sebagai tongkat kayu adalah beragama yang defensif, membuat kita merasa tenang tetapi sebenarnya ketenangan itu berdiri pada pemenuhan kebutuhan belaka. Beragama yang mengatasi adalah berani berhadapan dengan siapa diri kita seadanya, menerimanya, dan menyerahkannya kepada Tuhan untuk menerima pemulihan sejati. Malony (1985) mencoba memberi kita definisi tentang kedewasaan kristiani yang saya pikir baik untuk kita simak

Orang-orang Kristen yang dewasa adalah mereka yang memiliki identitas, integritas, dan inspirasi. Mereka memiliki "identitas", artinya mereka memiliki kesadaran pribadi bahwa mereka adalah anak-anak Tuhan - dicipta oleh-Nya dan ditetapkan oleh-Nya untuk hidup sesuai dengan rencana ilahi. Mereka mempunyai "integritas", artinya mereka menjalani kehidupan mereka sehari-hari dengan satu kesadaran bahwa mereka telah diselamatkan oleh anugerah Tuhan dari dosa dan bahwa mereka sekarang ini dapat secara bebas memberi respons kepada kehendak Tuhan. Mereka memiliki "inspirasi" artinya mereka hidup dengan satu perasaan bahwa Tuhan selalu bersedia untuk memelihara, menghibur, menguatkan, dan memimpin hidup mereka hari lepas hari. Semua dimensi kedewasaan ini berhubungan dengan kepercayaan pada Allah Bapa, Allah Anak, dan Roh Kudus. Dimensi-dimensi ini berkaitan dengan doktrin-doktrin kristiani yakni penciptaan, penebusan, dan pengudusan. Dimensi-dimensi ini merupakan landasan kehidupan praktis sehari-hari. (h. 28)

Kita juga tidak akan dapat mengasihi sesama kita manusia jika kita, baik secara sadar atau tidak, menggunakan mereka untuk mengisi kekosongan dalam diri kita. Peck (1978) menjelaskan bahwa diagnosis "pasif" disejajarkan dengan istilah "bergantung" karena individu dengan kepribadian ini memusatkan perhatiannya pada apa yang orang lain dapat perbuat baginya dan tidak melihat apa yang dia sendiri dapat lakukan untuk dirinya. Ini bukan kasih, sebab kasih bersifat memberi - bahkan memberi kebebasan kepada orang lain untuk tidak menerima kita.

Sebagaimana dipaparkan oleh Carlson (1988), definisi penghargaan diri adalah kerelaan kita untuk tidak menjadi pusat dari kehidupan kita dan menerima fakta bahwa kita bernilai, dapat dikasihi, dapat ditebus oleh karena kita dicipta oleh Allah, ditebus oleh AnakNya, dan diberi kekuatan oleh kuasa Roh KudusNya. Pernyataan ini sepintas memang bernada teoritis dan ada kalanya tidak mudah bagi kita menerapkannya dalam kehidupan kita, apalagi tatkala kita sungguh merasakan kekosongan dalam hidup kita. Namun demikian, setiap anak manusia pada akhirnya harus menyadari dan menerima kesendiriannya (Yalom, 1980) dan dalam kesendiriannya itu satu hal yang paling berharga ialah mengetahui bahwa ia adalah milik Tuhannya yang sudah menerima dan mengakuinya sebagai anak. Sesungguhnya, tidak ada pengetahuan lain yang lebih memerdekakan daripada pengetahuan ini! Rasa rendah diri mendesak kita untuk menjadi pusat dan cenderung melakukan hal ini dengan cara yang halus dan tidak blak-blakan. Pengetahuan yang mendalam tapi lirih bahwa kita secara pribadi sudah menjadi pusat perhatian Tuhan kita, adalah pengetahuan yang meneduhkan dan menenteramkan jiwa sanubari kita sehingga kita tidak perlu lagi berlari-lari ke sana ke mari, bagai anak ayam yang sedang mencari induknya. Kita sudah ditemukan oleh dan menemukan Induk Agung kita.

Duncombe (dikutip dalam Malony, 1985) berpendapat, kedewasaan kristiani berakibatkan "perasaan sejahtera yang memerdekakan" (lihat Tabel 1). Memerdekakan karena adanya penerimaan diri seadanya dan penyerahan diri seadanya kepada Tuhan membuahkan kesadaran diri yang tepat serta persepsi akan orang lain dan situasi luar yang tepat pula. Memerdekakan karena kita tidak usah lagi bersembunyi tatkala kita bergaul dengan Tuhan dan sesama kita. Dengan jujur kita dapat menyatakan siapa diri kita seadanya dan pergaulan dengan sesama kita menjadi mendarat serta jelas. Orang lain tidak perlu menduga-duga tentang kita lagi dan ini berakibatkan kejelasan dalam berkomunikasi.

Tabel 1

Akibat-akibat Iman "Perasaan Sejahtera yang Memerdekakan"

---------------------------------------------------------------------------------------

Secara Pasif Akibat Internal Akibat Eksternal

kesadaran diri persepsi yang tepat

---------------------------------------------------------------------------------------

Secara aktif Ekspresi diri Interaksi yang realistik

yang jujur

---------------------------------------------------------------------------------------



TIP #04: Coba gunakan range (OT dan NT) pada Pencarian Khusus agar pencarian Anda lebih terfokus. [SEMUA]
dibuat dalam 0.03 detik
dipersembahkan oleh YLSA