Resource > Jurnal Pelita Zaman >  Volume 8 No. 2 Tahun 1993 >  RENDAH DIRI: KAITANNYA DALAM HIDUP DAN PELAYANAN > 
PASIF BERGANTUNG DALAM KEHIDUPAN PELAYAN KRISTEN 

Sebelum saya memulai membahas bagian ini, saya hendak mengingatkan pembaca beberapa hal yang penting. Pertama, bagian ini hendaknya dibaca dalam kerangka "kemungkinan". Jiwa manusia sangatlah kompleks dan tidaklah adil jika kita memberi kredit terlalu besar kepada psikologi sebagai ilmu yang dapat menerangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan jiwa manusia. Psikologi hanyalah upaya manusia mengerti dirinya dan semua upaya manusia dibatasi oleh ketidaktahuannya. Jadi, saya mengingatkan pembaca untuk tidak menerima ulasan berikut ini sebagai suatu diktum yang paling benar. Sekali lagi, jiwa manusia terlalu kompleks untuk dapat dirumuskan secara baku dan kaku.

Kedua, saya ingin mengingatkan pembaca bahwa kita semua dapat melihat diri kita dalam aspek-aspek tertentu dari rasa rendah diri ini. Dalam jiwa manusia, tidak ada yang 100% kiri atau 100% kanan. Kita adalah kiri dan kanan, yang patut menjadi perhatian kita hanyalah berapa persen kanan dan berapa persen kiri. (Seandainya jiwa manusia dapat di"kanan kiri"kan dan di"persen"kan.)

Ketiga, saya mengingatkan pembaca untuk tidak bersikap kritis secara berlebihan kepada mereka yang tampaknya "pas" atau cocok dengan penjabaran kepribadian di bawah ini. Jika ini terjadi, saya merasa telah menyalahgunakan ulasan yang hanya bermaksud lugas ini. Nilai tambah dalam bentuk pengetahuan tidak pernah bertujuan untuk memperoleh nilai tambah dalam bentuk kejahatan. Dosalah yang telah membengkokkan ekuasi linear ini. Tuhan kita, Yesus Kristus jauh lebih mengetahui siapa kita sebenarnya, namun demikian, Ia menerima kita seadanya. Kita sungguh-sungguh perlu membersihkan mata kita terlebih dahulu, barulah kita dapat melihat orang lain dengan jelas (Mat. 7:1-5).

1. Orientasi Pada Penerimaan Orang Lain

Seorang pelayan Tuhan yang berkepribadian pasif bergantung cenderung berupaya untuk mencari dan memperoleh penerimaan serta persetujuan mereka yang berada baik di "atasnya" maupun di "bawahnya". Ia akan berusaha untuk selalu "memenangkan" persahabatan atau relasinya dengan tujuan untuk memperoleh kesejahteraan batiniah. Acap kali tindakannya bertujuan untuk memperoleh perlindungan dari orang lain supaya ia tetap merasa aman. Salah satu masalah yang sesungguhnya ia hadapi ialah, ia tidak memiliki identitas diri yang jelas sehingga ia biasanya mendefinisikan dirinya dalam konteks hubungannya dengan orang lain (Peck, 1978). Dengan kata lain, pada dasarnya ia berjalan ke sana ke mari dengan "meminjam" identitas orang lain karena ia sendiri merasakan suatu kekosongan dalam dirinya. Ada beberapa kemungkinan yang dapat timbul dari pola hidup seperti ini.

Sulit mengambil keputusan. Dari segi positifnya, ia dapat menjadi seorang penengah yang baik karena ia selalu berupaya menyenangkan semua pihak. Dalam suatu organisasi, ia dapat menjadi pekerja yang baik karena ia mudah diatur dan mudah diperintah. Pada umumnya ia pun tidak berkeberatan dengan gaya hidup seperti ini karena dengan melekatkan diri pada objek-objek yang memerintahnya ini, ia menerima (meminjam) kekuatan mereka untuk kelangsungan hidupnya. Bagi individu ini, siapa dirinya adalah bagian integral dari objek-objek di luar dirinya.

Faktor yang merugikan dirinya serta pelayanannya adalah, biasanya ia cenderung mengalami kesulitan mengambil keputusan secara cepat dan cenderung berlarut-larut dalam kebimbangannya. Ini bukan bersifat insidentil yang hanya terjadi tatkala ia harus mengambil keputusan yang sungguh penting dan besar bagi dirinya, tetapi ini adalah pola umumnya dalam mengambil keputusan, baik itu keputusan yang besar ataupun yang kecil.

Menimbulkan kesalahpahaman. Masalah lain yang dapat muncul ialah ia acap kali mengalami kesulitan berkomunikasi dengan jelas. Keinginan yang berlebihan untuk diterima orang lain dan ketakutannya ditolak orang lain, dapat membuatnya tidak jelas atau kabur-kabur dalam menyatakan apa yang ia sesungguhnya kehendaki atau tidak kehendaki. Sikapnya yang plin-plan dapat membuat orang lain bertanya-tanya apa yang ia sebenarnya pikirkan atau katakan. Tanggapan mereka-reka bukanlah tanggapan yang ideal dalam berkomunikasi dan berelasi. Dalam konteks gerejawi, kekaburannya ini dapat mengacaukan hubungan banyak pihak.

Mengkompromikan nilai-nilai kristiani. Menurut saya, hal yang paling berbahaya dari kebutuhannya untuk diterima orang lain ialah, ia berpeluang besar untuk mengkompromikan nilai-nilai kristianinya. Sebagai seorang pelayan Kristus acap kali kita dituntut untuk melawan arus; untuk menyatakan kebenaran dan juga dosa. Tuhan Yesus menghendaki agar kita menjadi terang yang menyala dan bukan sinar redup-redup. Kita adalah anak terang dan bukan anak remang-remang. Implikasi spiritual dari sikap hidup yang membutuhkan penerimaan orang lain secara berlebihan, sangatlah luas dan dapat merugikan gereja Tuhan. Panggilan Tuhan Yesus menjadi murid-Nya seperti yang tercantum di Lukas 14:25-35 adalah panggilan yang radikal yang ada kalanya menuntut harga penolakan orang lain.

2. Sulit Menerima Kritikan

Ia sulit menerima kritikan karena ia menganggap kritikan merupakan serangan terhadap dirinya secara pribadi. Rasa tidak sejahtera dalam dirinya biasanya membuat ia begitu sulit mendengar kritikan karena kritikan seakan-akan menyoroti kembali kekosongan dirinya yang sudah "terlupakan". Kritikan seolah-olah mengingatkan akan ketidakmampuannya - suatu perasaan yang sudah ia upayakan untuk lenyap dari hidupnya melalui pelekatannya pada objek-objek penyelamat hidupnya. Akibatnya, ia menganggap kritikan sebagai usaha seseorang untuk memutuskan hubungan dengannya. Dan jikalau yang memberi kritikan adalah seseorang yang telah berfungsi sebagai pemenuh kebutuhannya, ia pun (si penerima kritikan) akan dengan segera merasa ditolak.

Seorang pelayan Tuhan yang berkepribadian pasif bergantung biasanya berusaha menghindarkan diri dari kritikan dengan berusaha sekuat tenaga memuaskan keinginan semua pihak. Konflik-konflik dalam dirinya mulai bermunculan dengan cepat karena ia dengan segera menyadari bahwa mustahil baginya untuk menyenangkan semua pihak. Salah satu cara yang ia mungkin gunakan untuk meredakan konflik-konflik ini adalah dengan cara seperti menambal perahu yang bocor - menambal di satu tempat, bocor di tempat lain dan seterusnya. Dengan kata lain, jika ia tidak berhati-hati, ia dapat menjadi frustrasi dengan dirinya sendiri dan putus asa (burnt-out) karena ia merasa gagal menyenangkan dan mendamaikan semua pihak. Kuncinya di sini adalah, ia perlu memeriksa apakah perilakunya ini (mencoba menyenangkan semua pihak) timbul dari ketakutannya dikritik.

Cara lain untuk mengatasi rasa takut dikritik adalah dengan cara berlindung di balik objek pengayom yang lain. Seseorang dengan kepribadian ini akan berupaya keras mempertahankan hubungannya dengan objek yang dapat memenuhi kebutuhannya itu dan ia akan melakukannya dengan berbagai Cara. Jika ia merasa objek yang satu ini telah menolaknya dan ia tidak berhasil menggaetnya kembali, maka ia dengan cepat akan berusaha mendapatkan objek yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh sebab itu, meskipun secara lahiriah hubungannya dengan individu lain (objek pemenuh kebutuhannya) tampak begitu intim, tetapi sesungguhnya hubungannya itu dangkal (Peck, 1978).

Seorang pelayan Tuhan yang sukar menerima kritikan acapkali menimbulkan perasaan was-was dalam diri orang lain. Sering kali orang lain tidak berani atau sungkan mengkritiknya karena ia begitu "baik dan menyenangkan". Andaikan kritik akhirnya dilontarkan, si pemberi kritik biasanya merasa bersalah karena merasa seolah-olah telah melukai seorang yang lemah. Meskipun tidak selalu disadarinya, seseorang dengan kepribadian ini sesungguhnya telah memanipulasi orang lain untuk tidak "menyerangnya" dengan cara mengambil peran sebagai seseorang yang perlu dikasihani. Saya hendak menggarisbawahi kalimat "tidak selalu disadarinya" karena memang ia mungkin tidak menyadari perilakunya itu. Sebagai seseorang yang takut menerima kritikan, tanpa ia sadari, ia telah membangun suatu sistem perilaku yang sudah mengakar dalam dirinya untuk menghalau kritikan.

3. Memperalat Manusia Untuk Mencapai Tujuannya

Sebagaimana telah dibahas di atas, seseorang dengan kepribadian ini sangat bergantung pada penerimaan orang lain. Lebih lanjut lagi, ia pun senantiasa ingin mengecek, apakah orang lain tetap menyukainya dan memperhatikannya. Dengan kata lain, ia menginginkan bukti nyata bahwa orang lain tetap mengasihinya. Untuk itu ia cenderung memperalat manusia mencapai tujuannya - merasa dihargai dan bernilai - dengan cara memanipulasi orang lain untuk menyatakan perasaan simpati dan kasihnya kepada dia.

Pada dasarnya seseorang dengan kepribadian ini adalah seseorang yang kesepian (Peck, 1978). Ia memiliki "teman" tetapi sesungguhnya ia tetap merasa "sendiri". Ini tidak mengherankan karena persahabatan yang sejati menuntut keseimbangan dan keterbukaan dalam memberi dan menerima - suatu sikap yang mengusik rasa tenteram seseorang yang merasa terlalu butuh pada yang lainnya. Sebagaimana saya katakan tadi, ia dapat tetap bersembunyi di balik jubah objek-objek lainnya mengharapkan untuk terus menerima perlindungan mereka. Sebaliknya, ada juga yang dalam kesendiriannya ini berusaha membuktikan kepada dunia luar bahwa dirinya "mampu" - usaha yang ia biasanya lakukan melalui orang lain. Dengan kata lain, rasa rendah dirinya memaksa dia untuk memperalat orang lain supaya ia merasa cukup berharga.

Seorang pelayan Tuhan yang memiliki rasa rendah diri biasanya menimbulkan kesan kepada yang lain bahwa ia tidak terlalu tertarik pada manusianya tetapi hanya pada karya orang itu. Maksudnya, hubungannya dengan sesama bersifat pragmatis serta ditandai dengan penekanan pada manfaat. Rekan sekerjanya biasanya mengeluh bahwa individu tersebut kurang ada "pendekatan pribadi" dan bahwa individu itu hanya memerlukan "tenaga"nya saja. Pola berelasi ini sejajar dengan kepribadiannya yang berangkat dari titik kebutuhan. Jadi, hubungannya dengan sesama biasanya searah - bagaimana ia tetap dapat menerima pemenuhan untuk kebutuhannya. Andaikan hubungan itu tampaknya dua arah, sebetulnya relasi itu tetap menjadi hubungan dua arah yang dangkal.



TIP #19: Centang "Pencarian Tepat" pada Pencarian Universal untuk pencarian teks alkitab tanpa keluarga katanya. [SEMUA]
dibuat dalam 0.04 detik
dipersembahkan oleh YLSA